Anda di halaman 1dari 7

1.

Nekara dan Moko



Nekara dan Moko merupakan hasil budaya yang biasa digunakan sebagai alat
upacara, bentuknya menyerupai genderang dengan penyempitan dibagian
pinggangnya. Pada umumnya nekara berbentuk besar dan moko yang berbentuk
mirip nekara memiliki ukuran yang lebih kecil. Nekara memiliki bentuk yang
bermacam-macam, ada yang polos tetapi ada juga yang memiliki banyak hiasan.
Di indonesia ditemukan sejenis nekara berukuran besar, yaitu di Panjeng,
sebuah desa di Gianyar, Bali. Nekara Penjeng ini di perkirakan merupakan
nekara asli buatan indonesia. Keistimewaan nekara Penjeng adalah pada ke
empat pegangannya terdapat hiasan gambar kepala manusia, kemungkinan
terkait dengan konsep masyarakat bali tentang keberadaan dewa penjaga arah
(Nawasanga), atau juga berfungsi sebagai perwujudan dari dewa pelindung.
Hiasan nekara penuh dengan simbol yang terkait dengan kegiatan pertanian
seperti telihat dari gambar matahari dan katak sebagai simbol air.
Nekara lain banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Pulau Rote, Pulau Selayar,
dan Kepulauan Kei.
Temuan nekara dan moko merupakan bukti kuat telah adanya sistem
kepercayaan yang di anut masyarakat saat itu, sebab nekara dibuat untuk
memenuhi kebutuhan alat dalam upacara ritual seperti pengiring upacara
kematian, upacara memanggil hujan, dan sebagai genderang perang.
Sementara itu, moko yang bentuknya lebih kecil banyak ditemukan di Pulau
Alor dan Manggarai (pulau Flores). Moko digunakan sebagai benda pusaka dari
seorang kepala suku, dan biasanya di wariskan kepada anak laki-lakinya.
2. Bejana Perunggu
Bejana perunggu di Indonesia ditemukan di tepi Danau Kerinci (Sumatera) dan
Madura, bentuknya seperti periuk tetapi langsing dan gepeng. Kedua bejana
yang ditemukan mempunyai hiasan yang serupa dan sangat indah berupa
gambar-gambar geometri dan pilin-pilin yang mirip huruf J.


3. Kapak Corong

Karena mirip sepatu, kapak corong juga di sebut kapak sepatu. Hasil budaya
logam dari jenis ini biasanya digunakan sebagai alat upacara atau tanda
kebesaran dari kepala suku dan para pemimpin masyarakat pada masa itu.
Kapak corong banyak ditemukan di Sulawesi Selatan (pulau Selayar), Sulawesi
Tengah, Sumatra Selatan, Jawa, dan Papua (Danau Sentani).



4. Candrasa

Seperti halnya kapak corong, hasil budaya zaman logam yang disebut candrasa
ini juga digunakan sebagai alat upacara. Sejenis kapak dengan ragam rias yang
sangat halus buatannya ini menunjukan tingginya kemampuan membuat benda-
benda dengan bahan dasar perunggu dengan detail yang lebih halus.














Moko pada tradisi alor





Pulau Alor di Provinsi Nusa Tenggara Timur dikenal sebagai Negeri Nusa
Kenari karena di pulau ini banyak ditumbuhi pohon kenari sehingga buah kenari
dijadikan sebagai komoditas unggulan pulau ini. Selain dikenal sebagai Negeri
Nusa Kenari, pulau Alor juga dikenal sebagai Negeri Seribu Moko karena
dalam Tradisi masayarakat Alor, Moko memiliki peranan yang penting. Bagi
masyarakat Alor, kepemilikan terhadap jumlah dan jenis moko tertentu dapat
menunjukkan status sosial seseorang.

Moko atau disebut nekara perunggu merupakan benda budaya zaman pra-
sejarah. Menurut para ahli Arkeologi dan sejarah, teknologi pembuatan Moko
Alor berasal dari teknologi perunggu di Dongson, Vietnam bagian Utara.

Kemudian teknologi ini menyebar ke berbagai daerah di Asia Tenggara,
termasuk ke pulau Alor. Secara fisik, moko berbentuk seperti drum dengan
diameter 40 sentimeter hingga 60 sentimeter dan tinggi 80 sentimeter hingga
100 sentimeter dan memiliki bentuk yang beragam.

Pada umumnya Moko berbentuk lonjong seperti gendang kecil, namun ada pula
yang berbentuk gendang besar. Pola hiasannyapun bermacam-macam
tergantung jaman pembuatannya dan sangat mirip dengan benda-benda
perunggu di Jawa pada jaman Majapahit.

Dalam penggunaannya, Moko memiliki berbagai fungsi. Namun dahulu, Moko
berfungsi sebagai alat musik tradisional yang digunakan pada waktu upacara
adat dan acara kesenian lainnya. Biasanya alat musik gong dan Moko
dimainkan untuk mengiringi tari-tarian tradisional. Selain sebagai alat musik
tradisional, Moko juga berfungsi sebagai alat tukar ekonomi masyarakat Alor.

Moko dapat ditukar dengan barang tertentu secara barter. Hal inilah yang
kemudian menyebabkan inflasi pada zaman pemerintahan kolonial Belanda
sehingga Belanda membuat sistem baru dengan membatasi peredaran Moko di
pulau Alor.

Seiring perjalanan waktu, Moko mengalami perubahan fungsi. Saat ini, Moko
berfungsi sebagai peralatan belis atau mas kawin serta sebagai simbol status
sosial. Dalam adat- istiadat pernikahan masyarakat Alor, Moko digunakan
sebagai alat pembayaran belis atau mas kawin seorang laki-laki kepada calon
isterinya.

Jika pihak keluarga pria tidak memiliki Moko, maka mereka harus meminjam
moko kepada Tetua Adat. Peminjaman ini tidaklah gratis, karena pihak keluarga
pria harus menggantinya dengan sejumlah uang yang cukup besar.

Memang harga satu buah Moko sangatlah bervariasi, bergantung dengan ukuran
besar kecilnya Moko, tahun pembuatannya serta pola hiasnya. Namun bagi
masyarakat Alor, moko tak bisa diukur dengan uang berapapun jumlahnya
karena Moko mempunyai kedudukan dan nilai tersendiri dalam pergaulan sosial
masyarakat Alor.

Memiliki beberapa jenis Moko tertentu menunjukan status sosial seseorang
dalam masyarakat Alor, misalnya Moko Malei Tana atau Moko Itkira.
Kepemilikan kedua Moko ini menunjukan status sosial yang cukup tinggi dan
terpandang. Bahkan yang memiliki kedua Moko ini memiliki pengaruh dalam
setiap kepemimpinan tradisional masyarakat Alor.

Bagi anda yang berkunjung ke Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, janganlah
lupa untuk melihat benda peninggalan pra-sejarah ini. Anda dapat melihat
beragam jenis Moko di Museum Seribu Moko atau di perkampungan adat
tradisional di Takpala atau Monbang. Untuk mengunjungi kedua lokasi ini, anda
bisa mengunakan transportasi laut maupun udara. Jika anda memilih
menggunakan transportasi Laut, anda bisa menggunakan kapal Sirimau dari
Jakarta.

Sedangkan jika menggunakan transportasi udara, anda harus transit di Bandara
El Tari, Kupang, kemudian melanjutkan penerbangan ke Bandara Mali Alor.
Sesampainya di pulau Alor anda bisa menggunakan transportasi darat menuju
Museum Alor maupun perkampungan adat tradisional di Takpala atau Monbang

Kapak Perunggu: Sebuah Peninggalan Kebudayaan Masyarakat
Perundagian

Pada masa perundagian kemahiran manusia dalam membuat alat-alat makin
berkembang, sebagai akibat dari adanya penggolongan dalam masyarakat
berdasarkan keahliannya masing-masing. Adanya masyarakat yang bertugas
secara khusus untuk membuat alat-alat. Teknologi pembuat benda-benda
semakin meningkat, terutama setelah ditemuakan suatu campuran antara timah
dan tembaga menghasilkan logam perunggu. Di Asia Tenggara logam mulai
dikenal sejak kira-kira 3000-2000 SM.

Berdasarkan hasil penemuan arkeologi, Indonesia hanya mengenal alat-alat yang
terbuat dari perunggu dan besi. Sedangkan untuk perhiasan sudah mengenal
bahan dari emas, selain berbahan dasar perunggu. Benda-benda perunggu yang
ditemukan di Indonesia memiliki kesamaan denga yang ada di Dongson
(Vietnam), baik bentuk maupun pola hiasnya. Hal ini menimbulkan dugaan
tentang adanya hubungan budaya yang berkembang di Dongson dengan di
Indonesia.

Carapembuatan
Suatu kemahiran baru pada masa perundagian adalah kemampuan menuang
logam. Teknik melebur logam merupakan teknik yang tinggi, karena
pengetahuan semacam itu belum dikenal dalam masa sebelumnya. Logam harus
dipanaskan hingga mencapai titik lebur, kemudian baru dicetak menjadi
bermacam-macam jenis perkakas atau benda lain yang diperlukan. Teknik
pembuatan benda perunggu ada dua macam yaitu dengan cetak setangkup
(bivalve) dan cetak lilin (a cire perdue).

Cetakan setangkup, yaitu cara menuangkan dengan kita membuat, cetakan dari
batu misalnya, yang terdiri dari dua bagian yang dapat di tangkupkan
(dikatupkan) seperti kulit tiram. Teknik ini dilakukan untuk benda-benda yang
tidak memiliki bagian-bagian yang menonjol. Tuangan untuk semacam ini dapat
dipergunakan untuk beberapa kali.

Teknik a cire perdue dipergunakan untuk benda-benda yang berbentuk dengan
ada bagian yang menonjol, misalnya arca, kapak perunggu. Caranya yaitu
sebagai berikut:
a. Mula-mula dibuat model benda dari lilin yang diinginkan
b. Seluruh model dari lilin itu kemudian dilapisi dengan tanah liat yang tahan api
c. Lapisan tanah liat di bagian atas dibuat semacam corong dan dibagian bawah
diberi lubang
d. Seluruh model yang berlapis tanah liat itu dibakar sampai lilin meleleh dan
mengalir melalui saluran yang telah dibuat
e. Dari corong tadi dituangkan cairan perunggu
f. Setelah cairan perunggu membeku dan dingin, maka lapisan tanah liat itu
padat dan pecah, sehingga kita memperoleh benda cetakan dari perunggu.

Kapak perunggu memiliki macam-macam bentuk dan ukuran. Dilihat dari
penggunaannya, maka kapak perunggu dapat berfungsi dua macam yaitu:
1. Sebagai alat upacara atau benda pusaka
2. Sebagai perkakas atau alat untuk bekerja

Secara tipologi, kapak perunggu dapat digolongkan dalam dua golongan, yaitu
kapak corong dan kapak upaca. Umumnya kapak perunggu yang terdapat di
Indonesia mempunyai semacam corong untuk memasukan kayu tangkai. Oleh
karena bentunya menyerupai kaki yang bersepatu, maka dinamakan kapak
sepatu.Namun lebih tepatnya disebut kapak corong.

Berdasarkan hasil temuan, kapak perunggu ternyata ada yang memiliki hiasan
dan ada yang tidak memiliki hiasan. Adapun daerah penemuan dari kapak
perunggu adalah Sumatra Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Bali, Flores, Pulau Roti, dan Papua dekat
danau Sentani.

Anda mungkin juga menyukai