Anda di halaman 1dari 4

RESUME “Writing Material Culture Histroty: Identity, Heritage, and

Memorialization”
-Chapter Seven-
Tugas Kelompok Untuk Memenuhi Mata Kuliah Sejarah Budaya

Anggota kelompok 7:
1. Ahmad Aziz Kurniawan 11210220000026
2. Zahid Ahmad Tsabit 11210220000085
3. Muhammad Arifin 11210220000086
4. Hasna Huwaida Rachmah 11210220000089
5. Syifa Hafidzoh Salsabilla 11210220000090
6. Aisyah Elhumaira 11210220000091

Kelas:
4A

Dosen:
Nurul Azizah, M.Hum

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM


FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2023
Identitas, Warisan, Dan Peringatan: Rumah Adat Tongkonan yang berada di daerah
Toraja Indonesia

Semua bangsa menggunakan simbol/lambang dan gambar yang diambil dari masa lalu
yang dipilih secara khusus dan hati-hati untuk menyajikan visi identitas nasional dan warisan
nasional baik untuk warga negara sendiri maupun dalam dunia yang lebih luas. Di negara yang
memiliki banyak sekali etnis dan banyak agama, dalam pemilihan simbol/lambang untuk
sebuah peringatan nasional itu sangat menantang, contohnya sebagai monumen nasional,
simbol/lambang ini sangat dianggap sakral oleh negara, dan para arsitektur harus bekerja sama
dengan banyak kelompok jika ingin efektif, sebagai sarana menunjukkan perasaan untuk
penggambaran tentang bangsa. Pada bab ini membahas tema-tema tentang keterkaitan antara
benda-benda cagar budaya dan pembangunan bangsa, kemudian yang lebih rincinya yaitu
pembahasan tentang ukiran rumah adat leluhur yaitu rumah ‘Tongkonan’ yang berasal dari
masyarakat Toraja di Indonesia. (Syifa Hafidzoh Salsabilla – halaman 1)
Beberapa negara mengambil dan mengangkat artefak yang berkaitan dengan kejayaan
kelompok minoritas pribumi di masa lalu untuk memajukan proyek legitimasi mereka. Dalam
kasus-kasus seperti ini, kita dapat melihat sekilas bagaimana benda-benda warisan dari
kelompok-kelompok, misalnya, pemerintah Meksiko menyesuaikan gambar-gambar megah
masa lalu suku Aztec (monumen dan artefak arkeologi) untuk memajukan legitimasi/keaslian
nasionalisnya. Demikian pula, pemerintah Australia telah menggunakan seni aborigin dan seni
totemik pada prangko, mata uang, dan stempel lembaganya: motif aborigin ini telah menjadi
bagian dari identitas nasional negara Australia baru-baru ini. Lain lagi dengan negara
Singapura menjadikan Merlion (ikan mitos berkepala singa) sebagai symbol, saat ini patung,
monumen, dan toko Merlion mulai menjajakan kaus Merlion dan cokelat yang menghiasi
keindahan kota. Negara-negara lain menggunakan kumpulan simbol material yang
diasosiasikan dengan era dan kelompok yang berbeda yang berada di dalam perbatasan mereka.
Misalnya, Gedung Parlemen Papua Nugini dirancang untuk mewujudkan kolase motif
arsitektural dan ikonik yang diasosiasikan dengan berbagai daerah dan budaya asli yang
membentuk bangsa sementara dianut oleh banyak orang sebagai peringatan bagi bangsa, desain
struktur simbolik ini tidak lepas dari kritik domestik dan internasional. (Ahmad Aziz
Kurniawan – halaman 2)
Dalam kasus-kasus seperti ini, kita mendapatkan sekilas tentang cara-cara di mana
objek warisan dari kelompok tertentu dapat terjalin dalam pembuatan kepekaan tentang
sejarah, serta tentang identitas regional dan nasional yang lebih luas. Tapi, seperti yang telah
diilustrasikan oleh beberapa penelitian, ini jauh dari proses yang mulus. Peran apa yang
mungkin dimainkan benda-benda pusaka dalam membangun tidak hanya jembatan antar-
kelompok tetapi juga batas-batas di negara-negara multi-etnis? Bagaimana kepekaan tentang
hubungan antara objek dan identitas kelompok bergeser dari waktu ke waktu? Dan apa jadinya
bila benda-benda cagar budaya ini diarak di panggung global? Sekarang saya beralih untuk
mengkaji nuansa proyek pembangunan identitas regional dan nasional semacam ini dengan
mengambil contoh rumah adat tongkonan, struktur rumah tradisional Toraja yang diukir
dengan rumit yang telah diminiaturkan dan dimonumentalisasikan di berbagai tempat di
Indonesia. (Ahmad Aziz Kurniawan – halaman 2)
Membahas tentang Toraja, Sa'dan Toraja adalah kelompok minoritas kecil yang
mendominasi dinegara Indonesia yang berpenduduk mayoritas muslim. Di negara yang
berpenduduk lebih dadi 242 juta orang dan sekirar 750.000 masyarakat Toraja tinggal ditanah
air Indonesia diwilayah dataran tinggi Sulawesi yang dikelilingi oleh kelompok muslim
didataran rendah seperti suku bugis dan suku makassar. Disamping itu, suku Toraja memiliki
etnis yang unik, akan tetapi megalami potensi akan kerentanan dinegara yang telah mengalami
banyak konflik antar agama dan antar etnis dalam beberapa tahun terakhir. Sejak tahun 1980an,
Toraja telah menarik wisatawan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Para turis tertarik
dengan ritual kamar mayat dan kuburan toraja yang diukir secara unik dengan bambu yang
luas. Rumah khas asal Toraja bernama tongkonan. Rumah tongkonan memiliki nama dan
sejarah yang unik dan milik semua keturunan leluhur pendirinya. (Hasna Huwaida Rachma –
halaman 3)
Rumah adat Tongkonan Toraja tidak semuanya memiliki kesamaan dan memiliki
kualitas yang berbeda. Tongkonan yang lebih lama didirikan oleh leluhur jadi lebih bermartabat
tinggi/bergengsi dibandingkan dengan tongkonan yang baru dibangun. Dikarenakan kelompok
yang terkait dengan tongkonan tumbuh bersama setiap generasi. Kelompok ini terpecah
menjadi kelompok kecil dan akhirnya mereka membuat tongkonan mereka sendiri. Dengan
demikian setiap orang Toraja dapat menghitung keanggotaan dalam beberapa tongkonan yang
lebih besar dan lebih kecil, asalkan mereka mempertahankan kewajiban ritual mereka terhadap
struktur ini. Anggota keluarga besar yang terkait dengan tongkonan berukir bernama secara
berkala menyelenggarakan ritual konsekrasi/penyucian/pengudusan penuh arak-arakan untuk
tongkonan mereka, sehingga memperkuat kemuliaan dan kehormatan rumah mereka. (Aisyah
Elhumaira – halaman 4&5)
Rumah adat tongkonan tidak hanya sebagai tanda identitas keluarga dan sejarah, tetapi
juga sebagai penunjuk pangkat identitas. Tongkonan yang dihiasi dengan ragam pahatan yang
rumit serta mewah secara tradisional dikaitkan dengan kaum bangsawan. Sedangkan rakyat
terpencil hanya bisa mengukir bagian tertentu, pada zaman pra-kolonial (zaman sebelum
perbudakan dihapus) para budak dilarang menggunakan hiasan ukiran pada rumah mereka.
Jadi, tongkonan yang diukir secara rumit dan mewah merupakan lambang dari jati diri yang
mulia. Hampir sepanjang abad ke-20, para pendakwah Belanda dan para pejabat pemerintah
Indonesia memandang tongkonan dengan rasa bertentangan dan terkadang dengan perasaan
benci. Bagi orang luar, tongkonan menjadi symbol ‘keterbelakangan’dan pada tahun 1960-an,
pemerintah Indonesia melakukan kampanye untuk mendorong orang Toraja meninggalkan
rumah tongkonan dan memilih perumahan yang lebih modern. Kemudian di tahun 1970-an dan
1980-an, tongkonan muncul makna baru lagi bagi orang luar ataupun dalam. Sejumlah gereja
didesain dengan hiasan tongkonan. Orang Toraja yang beragama protestan menyebutnya
sebagai ‘tongkonan besar’. Ditahun 1980-an, para pendeta Toraja yang bukan dari kaum
bangsawan mengambil alih posisi gereja, mereka ingin mengubah system kepemimpinan
gereja mereka, mereka menganut kesetaraan di hadapan Tuhan. (Aisyah Elhumaira – halaman
4&5)
Pada tahun 1970-an, krtika pemerintah Indonesia mendapatkan penghargaan baru
terhadap nilai wisata arsitektur tradisional. Tongkonan yang diukir merupakan penanda status
keluarga bangsawan oleh orang luar sebagai symbol etnis Toraja. Dengan demikian,
berkembanglah citra tongkonan mulai dari pernak pernik khas tongkonan Toraja yang dijual-
belikan ataupun patung-patung tongkonan Toraja yang sudah meluas di jalanan, kemudian
buku-buku pelajaran di Indonesia sudah ada ilustrasi tentang Toraja dan sketsa-sketsa ukiran
tongkonan. Gabungan ukiran tongkonan dengan identitas etnik Toraja terjalin kuat bagi
generasi penerus Toraja yang dibesarkan dalam citra wisata ini. Pada pertengahan 1980-an,
ukiran motif arsitektur yang terinspirasi dari rumah adat tongkonan dimasukkan ke
dalam/dijadikan hiasan beberapa hotel, bank, dan bangunan lain di Makassar. Ukiran
tongkonan juga menghiasi bandara Makassar pada tahun 1980-an. Kemudian di tahun 1995,
bandara ini mengalami renovasi, jadilah bandar aini dengan bentuk rumah panggung suku
Bugis yang sangat besar. Hingga akhirnya di tahun 2008, terjadi lagi renovasi bandara
menggunakan kaca yang tinggi dan atapnya terbuat dari baja merupakan perpaduan antara atap
Bugis dan Toraja. (Zahid Ahmad Tsabit – halaman 6)
Pemerintah Indonesia kemudian menjadikan tongkonan untuk tujuan pembangunan
bangsa. Pada tahun 1970-an, orde baru era Soeharto merayakan keanekaragaman daerah
sebagai identitas Indonesia. Tetapi dengan banyaknya keragaman budaya yang ada dalam
negara bisa memecah belah jika salah mempresentasikan tradisi dan visi mereka. Seperti yang
telah diamati oleh Benedict Anderson, monumen atau tugu peringatan, biasanya bangunan-
bangunan ini 'memperingati peristiwa atau pengalaman di masa lalu agar anak cucu bisa
melihatnya atau memperbarui nya'. Bisa dilihat kebelakang, bahwa budaya Toraja sebagai
bentuk untuk mengenang para leluhur dan generasi terdahulu, sehingga berfungsi sebagai
ikon/simbol warisan dan identitas. Tongkonan juga diharapkan bisa membawa generasi
selanjutnya/yang akan datang akan memperbaharui dan melestarikannya. Dapat kita lihat pula
dalam perkembangan sejarah, kolonialisme, perkembangan pariwisata, migrasi balik dan
pembangunan bangsa, tongkonan telah memperoleh makna baru dan dipersatukan dengan
identitas yang lebih baru dan lebih luas. Hingga akhirnya rumah adat tongkonan cenderung
terus menjadi ikon yang kuat untuk berbagai visi identitas. (Muhammad Arifin – halaman 7)

Anda mungkin juga menyukai