Anda di halaman 1dari 9

PENGELOLAAN KEBUDAYAAN:

KEMITRAAN PEMERINTAH DAN MASYARAKAT 1


Oleh:
Meutia Farida Hatta Swasono

1.Pendahuluan

Ketika bangsa Indonesia masih terjajah, Pemerintah kolonial Belanda


menetapkan tiga kategori penduduk Indonesia dalam tiga kelas: (a) European (bangsa
Eropa/Barat, khususnya Belanda; (2) Vreemde Oosterlingen (Timur Asing); dan kelas
terbawah: (3) Inlander (pribumi Indonesia).

Pernyataan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan


pernyataan budaya, yaitu pernyataan kesetaraan untuk tidak terdiskriminasi dalam hak
dan kewajiban dalam hukum dan pemerintahan. Hal ini dinyatakan dalam pasal 27 ayat
(1) UUD 1945: Tiap-tiap warganegara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada
kecualinya.

Sesuai tema Kongres Kebudayaan Indonesia 2013 ini, Kebudayaan untuk Ke-
indonesia-an, kiranya kita sepakat bahwa dalam era yang sarat dengan kemajuan iptek
dan komunikasi yang pesat ini, Bangsa Indonesia harus maju sehingga mampu setara
dengan bangsa lain. Namun untuk mencapainya, tidaklah berarti bahwa bangsa
Indonesia yang unik sebagai bangsa merdeka yang multietnis dan multikultural ini akan
dibiarkan meninggalkan tradisi, nilai-nilai dan norma-norma budaya mereka yang telah
diajarkan oleh para leluhurnya. Bangsa Indonesia harus maju dan bersatu sebagai
bangsa yang kuat tanpa kehilangan ciri ke-Indonesia-an mereka.

Berkenaan dengan itu, maka tugas dari Pemerintah Indonesia adalah mengelola
kebudayaan dengan tujuan menjaga agar kemajuan peradaban di era globalisasi ini
tidak melunturkan nilai-nilai, norma-norma budaya lama serta kearifan lokalnya, yang
dapat membuat bangsa Indonesia menjadi lemah karena kehilangan jatidiri dan
budayanya. Selain itu, Indonesia juga harus mampu mengukir dan berperan aktif dalam
mengukir peradaban dunia.

1
Makalah dipresentasikan pada Kongres Kebudayaan Indonesia 2013, dengan tema Kebudayaan untuk
Keindonesiaan, diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemdikbud pada tanggal 8-11
Oktober 2013, Penulis adalah Gurubesar Antropologi FISIP-UI dan saat ini menjabat sebagai Anggota
Dewan Pertimbangan Presiden bidang Pendidikan dan Kebudayaan.
2. Bangsa Indonesia: sebagai Sukubangsa dan Bangsa

Setiap sukubangsa (etnis) yang hidup di Indonesia, termasuk


subsukubangsanya, merupakan unit budaya yang utuh. Biasanya mereka mengakui
adanya suatu daerah yang dahulu merupakan tempat asal para leluhur mereka2. Setiap
etnis mengajarkan pendukungnya tentang hakekat kehidupan, cara berperilaku dan
kearifan lokal yang mereka ciptakan untuk menjalankan dan melangsungkan kehidupan
mereka dalam beradaptasi dengan lingkungan alamnya. Kebudayaan etnis, termasuk
bahasa etnisnya, kulinernya, kebudayaan materiel yang sebagiannya mengandung
simbol dan makna, tradisi dan sistem kepercayaan dari leluhur, dihargai dan
dibanggakan oleh warga etnisnya3.

Ratusan sukubangsa yang hidup di Kepulauan Nusantara pada daerah-daerah


yang diyakini sebagai tanah asal leluhur mereka. merupakan wilayah dari NKRI. Pada
era Indonesia merdeka, penduduk dari aneka ragam sukubangsa itu juga menjadi
Bangsa Indonesia yang hidup di NKRI. Di sinilah sebagai Bangsa Indonesia, mereka
menerima kebudayaan nasional yang dibentuk oleh para pendiri negara bangsa,
dengan Pancasila sebagai nilai budaya bangsa dan UUD 1945 sebagai norma budaya
bangsa. Kebudayaan nasional ini merupakan pedoman bagi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara sebagai Bangsa Indonesia. Kebudayaan nasional diajarkan
di sekolah dan dalam pendidikan bagi masyarakat dalam kehidupan sehari-hari.

Sebagian dari nilai budaya nasional diadopsi dari nilai-nilai budaya etnis, seperti
nilai ketuhanan, kemanusiaan, nilai kebersamaan dan persatuan sebagai unsur
membangun kekuatan masyarakat, yang tercermin dalam berbagai pepatah, pantun
dan dekorasi, yang mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat, kerjasama
(gotong-royong), keadilan, ketangguhan, dan kemartabatan tinggi4.

Dalam perjalanan waktu, berkembang pula inovasi dan kreativitas dari bangsa
Indonesia untuk menghasilkan corak-corak budaya baru yang mengadopsi nilai-nilai
budaya etnis dan berbagai unsur budaya yang dihasilkan oleh proses akulturasi, yang
terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hasil inovasi dan kreativitas ini
merupakan unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang sebagiannya patut dibanggakan

Mitologi mereka sering diperkaya oleh unsur-unsur gaib yang diyakini atau hingga kini dibanggakan,
misalnya tentang turunnya tokoh pembawa kebudayaan yang menjelma ke dunia untuk mengajarkan
kebudayaan, etika dan adat-istiadat kepada leluhur mereka. Cerita suci tentu tidak dapat diterima secara
harfiah, misalnya tentang tokoh yang turun dari langit untuk mengajarkan peradaban yang lebih maju.
Namun secara tidak langsung, mitologi dan juga folklor, sering berkaitan dengan pembentukan struktur
sosial, pelapisan sosial, organisasi sosial dan sistem kekerabatan dari sukubangsa yang bersangkutan.
Sebagian dari berbagai nilai dan norma budaya etnis dibawa oleh para warga etnis sampai akhir
hayatnya, terutama unsur-unsur budaya yang diyakini, dibanggakan dan dihargai secara mendalam.
Contoh-contoh dapat dikemukakan di sini tentang nilai-nilai dan norma-norma budaya yang bisa
menjadi pendorong semangat untuk maju, misalnya sekali layar terkembang, pantang surut kembali ke
tepian (pepatah Bugis yang mengajarkan ketangguhan), maju terus, pantang mundur (dorongan
semangat untuk melawan Belanda si penjajah), patah tumbuh, hilang berganti (dorongan untuk tidak
kehilangan semangat untuk maju terus).
dan memperkaya unsur-unsur budaya yang sudah ada, baik yang bersifat takbenda
(intangible) maupun benda (tangible).

3. Pengelolaan Kebudayaan

Pengelolaan kebudayaan untuk ke-Indonesia-an juga tidak dapat dilepaskan dari


cita-cita nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) NKRI Tahun 1945 menegaskan tugas Pemerintah
Republik Indonesia yang antara lain mencerdaskan kehidupan bangsa .

Pengertian mencerdaskan kehidupan bangsa lebih dari sekedar membuat


bangsa menjadi cerdas otaknya, namun lebih jauh lagi, cerdas hidupnya. Hal ini
dimaksudkan sebagai hidup yang penuh kemartabatan tinggi, sifat tangguh, dan
mandiri (tidak rendah diri terhadap bangsa lain). Kehidupan yang berharkat-martabat
tinggi perlu diawali dengan adanya perasaan bangga menjadi bangsa Indonesia,
merasa cinta kepada tanah air dan bangsanya sendiri, sehingga mampu mendisain
arah pembangunan negaranya, tanpa tergantung pada disain bangsa lain.

Amanat dalam Pembukaan UUD 1945 mengenai mencerdaskan kehidupan


bangsa itu merupakan salah satu tujuan nasional yang melandasi filosofi dan
pelaksanaan sistem pendidikan nasional. Salah satu bentuknya adalah melalui
pendidikan, anak bangsa dididik untuk tidak kehilangan jatidirinya, dan tetap merasa
bangga sebagai bangsa yang memiliki negaa dengan kekayaan aset-aset sosial-
budayanya.

Jika pendidikan kita dapat mengemas pesan UUD 1945 itu dengan baik, maka
diharapkan tidak akan terus-menerus terjadi adanya sifat bangsa Indonesia yang masih
merasa rendah diri (minder) kepada bangsa asing dan mudah terpukau kepada unsur
asing, seakan-akan kemajuan atau modernisasi harus berwujud sebagai westernisasi.
Bangsa kita, khususnya para pengelola pemerintahan, tidak boleh lagi menari di atas
gendang orang lain, terpukau untuk meniru bangsa asing. Karena itu di era
kemerdekaan dan kemajuan saat ini, seharusnya kita tidak lagi termakan suasana
feodalisme yang menempatkan bangsa kita kembali sebagaimana di era penjajahan
kita menjadi bangsa inlander.

Dalam kaitan ini pula, dalam membangun kebudayaan daerah dan kebudayaan
nasional, Pemerintah, khususnya yang menjadi pengelola kebudayaan, harus
bertumpu pada kekuatan budaya bangsa kita sendiri. Hal ini termasuk menghargai dan
mendayagunakan kearifan lokal, sebagai titik-tolak maju ke masa depan. Pemerintah
harus mendorong kesadaran warga bangsa Indonesia untuk menjaga agar ciri ke-
Indonesia-an tetap mewarnai kemajuan negara dan bangsa.

Dalam pola inilah Pemerintah dan masyarakat dapat bekerjasama untuk


menjaga kelestarian unsur-unsur budaya bangsa yang intangible maupun tangible, agar
pembangunan dapat bermakna dan mengangkat harkat dan martabat bangsa
Indonesia di tengah pergaulannya dengan bangsa-bangsa di dunia. Jika aspek budaya
intangible ini diabaikan, akan sulit bagi bangsa kita untuk memperkuat jatidirinya.
Berkenaan dengan kebudayaan, dalam pasal 32 UUD 1945 ayat (1) dinyatakan
bahwa Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan
nilai-nilai budayanya. Ayat (2) menyatakan bahwa Negara menghormati dan
memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.

Pasal 32 ini dengan tegas menyatakan kedaulatan budaya, yaitu memajukan


kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia. Mengenai hal ini telah pula
diingatkan oleh para pendiri bangsa agar Bangsa Indonesia agar bangsa Indonesia
tidak kehilangan jatidirinya. Karena itu Pemerintah perlu memberi ruang dan peluang
kepada masyarakat untuk tetap mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan
mereka di era globalisasi yang makin pesat saat ini.

Negara melalui Pemerintah juga perlu menghormati kebudayaan sukubangsa


dan kebudayaan nasional Indonesia dan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budaya etnis dan budaya bangsanya.

4. Perlunya Memahami Aset-Aset Budaya Bangsa

Peranan Pemerintah untuk mengelola kebudayaan, baik kebudayaan daerah


(sukubangsa) maupun kebudayaan nasional harus terus-menerus ditingkatkan.

Kita berada dalam era Otonomi Daerah. Ada cara-cara tertentu untuk memilih
kepala daerah dibandingkan dengan sebelum Era Reformasi. Ada sekitar 500-an
Kepala Daerah dan jajarannya, dengan pola rekrutmen birokrasi yang tidak selalu sama
dengan di masa lalu. Dalam kaitan itu diharapkan kemampuan para pengelola
pemerintahan, khususnya Kepala Daerah dan jajarannya yang mengelola kebudayaan,
untuk selalu meningkatkan kemampuan mereka untuk belajar memahami arti
kebudayaan itu sendiri, serta menguasai dengan baik berbagai aset sosial-budaya yang
terdapat di daerahnya sendiri maupun aset-aset sosial-budaya nasional yang
kebetulan terdapat di daerahnya. Tentu mereka juga harus memupuk perasaan
kebanggaan dan rasa cinta kepada aset-aset sosial-budaya dan alam di daerah yang
dipimpinnya.

Aset-aset budaya milik bangsa Indonesia dari ratusan sukubangsa itu tersebar
di seluruh wilayah Indonesia. Pemeliharaan dan perlindungannya berada di tangan
pemerintah, ada yang di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Aset-aset itu dapat
didayagunakan untuk kepentingan nasional, misalnya untuk mengangkat citra
Indonesia di mata dunia melalui warisan budayanya yang unggul, dan sebagai wisata
ekobudaya yang menjadi kekuatan pariwisata nasional.

Di pihak lain, tiap sukubangsa juga memiliki hambatan budayanya masing-


masing. Maka menjadi tugas negara pula, melalui pemerintahnya, untuk
mengidentifikasi, memahami dan mengatasi berbagai hambatan budaya yang ada dan
secara aktif memberi dorongan dan peluang bagi munculnya potensi-potensi budaya
baru sebagai kekuatan bangsa.

Dalam pemantauan penulis, di berbagai daerah masih banyak personil pada


Pemerintah Daerah, termasuk di lembaga-lembaga yang merupakan pemerhati atau
bertanggungjawab untuk mengelola budaya, yang belum cukup paham tentang
keberadaan aset-aset budaya yang terdapat di daerah mereka, baik yang intangible
maupun yang tangible. Terdapat pula indikasi bahwa sebagian pengelola kebudayaan
tidak cukup paham mengenai berbagai macam aset budaya daerah dan aset budaya
nasional yang berpotensi menjadi warisan budaya dunia dan kearifan lokal yag patut
disosialisasikan dan didayagunakan. Beberapa contoh yang menunjukkan tentang hal
itu antara lain adalah:

1. Belum populernya pengetahuan kearifan lokal untuk mendeteksi gempa yang


berpotensi tsunami di Provinsi Aceh, khususnya di Pulau Simeuleu yang rawan
gempa5.
2. Belum cukup tersosialisasikannya pengetahuan tentang kearifan lokal dalam
membangun rumah-rumah adat yang tahan gempa di Bengkulu, Kampung Naga
(Jawa Barat) dan NTT6.
3. Masih kurangnya pemahaman tentang kawasan wisata eko-budaya yang
potensial dikembangkan sebagai primadona wisata daerah, misalnya di kawasan
wisata di Toraja7.
4. Masih kurangnya pemahaman pengelola pemerintah tentang kampung adat
dengan kekayaan budayanya, misalnya yang terdapat di Desa adat Bena,
Flores, NTT8.

Pengetahuan ini sudah diwariskan turun-temurun dan berdayaguna sebagai penyelamatan terhadap
bencana tsunami. Tak kenal maka tak sayang. Karena belum dipahami dengan baik, Pemerintah belum
cukup mensosialisasikan dan mendayagunakan kearifan lokal ini ke wilayah yang lebih luas, sehingga
lebih banyak dana dikelujarkan untuk alat deteksi tsunawi dari TEWS yang tidak murah.
Kearifan lain yang terdapat pada berbagai sukubangsa di kawasan rawan gempa antara lain di
Bengkulu, Kampung Naga di Jawa Barat, dan NTT, konstruksi rumah adat yang tahan gempa dengan
mengikuti pola rumah-rumah adat yang tidak hancur akibat gempa menunjukkan kearifan lokal leluhur
mereka. Hal ini mendorong Akademi Teknik Mesin Industri untuk mempelajari dan membangun rumah
sesuai konstruksi rumah-rumah adat tersebut.
Dalam budaya Toraja, rumah adat (tongkonan) di kampungnya, sawah, serta liang (kuburan di dalam
batu padas) merupakan satu unit budaya (upacara kematian dan penguburan) dalam satu ekologi yang
khas (sawah dan bukit batu). Keseluruhannya merupakan suatu atraksi wisata ekobudaya yang patut
dihargai dan menjadi kebanggaan daerah dan nasional. Dalam kenyataan, pemahaman yang kurang
mendalam pada pengelola pemerintahan, khususnya untuk bidang budaya dan pariwisata, telah
menyebabkan pembiaran dari menjamurnya kios-kios cinderawata, pakaian produk lokal maupun produk
dari provinsi lain, tanpa penataan sehingga mengesankan kesemrawutan. Akibatnya, pemahaman
wisatawan mengenai unit budaya antara liang, sawah dan tongkonan menjadi tidak tersampaikan,
tertutup oleh kios-kios cinderamata. Tentu solusinya bukan harus berupa penggusuran kios secara tidak
adil dan merugikan pemilik usaha wisata, namun sebaliknya, memberikan mereka tempat usaha yang
lebih representatif, manusiawi, tidak menghilangkan keasrian pemandangan setempat, dan juga tidak
menyebabkan terdistorsinya pengetahuan wisatawan tentang budaya adat kematian pada orang Toraja.
Di kampung Bena di Flores, tepatnya di Bukit Inerie, terdapat kampung adat berbentuk
perahu. Foklor setempat menceritakan asal kampung itu yang merupakan perahu yang
5. Masih kurangnya kemampuan mengidentifikasi dan mengkaji aset-aset wisata
yang berdaya jual tinggi, sehingga aset-aset itu tak cukup mendapatkan
anggaran, serta upaya penataan, perawatan dan pengelolaan yang baik 9.
6. Masih kurangnya pengadaan museum yang dapat mengangkat keunikan daerah,
kebesaran sejarahnya atau hal-hal lain yang meningkatkan kebanggaan daerah.
Di antaranya juga belum cukupnya terdapat apresiasi terhadap peninggalan
perang yang mengangkat nama negara dan bangsa, serta menimbulkan dapat
kebanggaan bagi penduduk Indonesia, misalnya di Morotai10.

terdampar di Bukit Inerie dari laut. Pada salah satu rumah di ujung kampung, terdapat sebuah
batu yang berukuran hampir 2 meter, yang disebut batu menyeimbang, sebagaimana yang ada
pada perahu phinisi orang Bugis. Dalam kenyataan, hiasan berupa perahu terdapat di dapur
yang gelap, dekorasi di dalam rumah dan di teras rumah. Sebagian lagi ada pada ukiran-ukiran
kayu di dinding-dinding rumah penduduk kampung. Adanya dekorasi dan folklore mengenai
kampung yang dahulu berupa perahu, lengkap dengan batu penyeimbangnya, merupakan hal
yang aneh, mengingat deawas ini, berkendaraan roda empat dari tepi pantai di Ende menuju ke
Kampung Bena makan waktu sekitar 4 jam. Bagaimana asalnya hingga perahu berada di sana?
Salah satu kemngkinan, jika benar, adalah perahu yang terbawa tsunami, mengingat wilayah
NTT rawan gempa. Namun ada versi lain yang mengatakan tentang sejumlah pemukim yang
berasal dari Jawa merantau ke sana. Kebenarannya pelru diteliti lebih lanjut, tetapi bentuk
kampung seperti perahu, dekorasi, dan peninggalan megalitikumyang berdiri tegak di tengah
kampung, merupakan suatu kesatuan ekobudaya yang perlu dikunjungi wisatawan, tidak saja
untuk memperoleh pemandangan yang indah, melainkan juga untuk memperoleh pengetahuan
mengenai kebudayaan megalitikum dan kekhususan kampung adat itu dengan folklornya
tentang perahu terdampar.
Di berbagai kawasan wisata di Indonesia, primadona pariwisata yang paling tepat untuk dijual
adalah pemandangan sawah-ladang, laut, danau, sungai, gunung, tebing, kampung dan
kampung adat serta kehidupan sosial masyarakat, misalnya di pasar. Namun hampir selalu
terjadi salah persepsi pada pengelola pemerintah, masyarakat, juga pada pengusaha/pengelola
wisata sendiri, bahwa wisatawan tertarik untuk melihat pemandangan sambil duduk minum kopi
dan makanan kecil. Sebaliknya, lebih banyak wisatawan dalam dan luar negeri yang menikmati
keindahan alam dari kendaraannya yang tetap berjalan sesuai jadwal perjalanan.
Peristiwa sejarah dapat mengangkat nama negara dan bangsa. Demikian pula halnya peristiwa Perang
Dunia II yang juga menjangkau wilayah NKRI, seperti Morotai. Banyak peninggalan perang di era PD II
yang tersebar di berbagai tempat di sekitar Morotai, namun kondisinya sudah tidak terawat dengan baik.
Dengan adanya Sail Morotai tahun 2012, telah dibangun sebuah museum peninggalan PD II,
namun karena pembangunannya terkesan singkat mengejar acara itu, maka diperlukan pengawasan
terus-menerus agar tidak cepat rusak, dan biaya serta keahlian yang komperehensif untuk
mmembangun dan memeliharanya. Peninggalan sejarah berupa sisa-sisa persenjataan PD II yang ada di
Indonesia Timur, seperti Biak, Morotai, Kabupaten Sarmi, Jayapura, dan beberapa daerah di bagian
selatan Papua. Nampaknya belum cukup tersedia pengetahuan, dokumentasi dan artefak yang dapat
dipagelarkan dalam bangunan museum perang yang khusus dan dijadikan kebanggaan daerah.
Museum merupakan sarana belajar mengenai sejarah masa lalu dan kearifan lokal leluhur. Rumah-
rumah cagar budaya, termasuk rumah milik tokoh nasional, belum menjadi kebanggaan. Di India orang
bisa mengunjungi rumah PM Jawaharlal Nehru dan PM Indira Gandhi, di Pyongyang mengunjungi
rumah Presiden Kim Il Sung, di Argentina mengunjungi rumah Ibu Negara Evita Peron, yang ditata
dengan menonjolkan kekayaan batin dan kuatnya kepribadian mereka, sehingga menjadi sumber
inspirasi bagi generasi muda dan bangsanya, juga bagi wisatawan asing. Peluang seperti itu dari rumah-
rumah para tokoh daerah yang telah berjasa bagi tanah air, cinta dan berjuang bagi rakyatnya, sudah
cukup tersedia namun belum dilaksanakan. Hal ini menunjukkan belum cukupnya perhatian dan
kepedulian pemda umumnya terhadap kebutuhan museum, pembiayaannya, serta pengadaan SDM
pengelolanya dengan segala kebutuhan profesionalnya dan imbalan dananya.
7. Di banyak daerah, masih tampak belum cukupnya upaya dan anggaran serta
keprihatinan terhadap makin berkurangnya aset-aset budaya berupa rumah-
rumah adat yang sejak dahulu menjadi kebanggaan daerah dan nasional11.
8. Masih rendahnya pengadaan dan pengelolaan arboretum dan kebun binatang
karena belum dilihat sebagai aset budaya yang dapat didayagunakan untuk
menumbuhkan perasaan cinta dan bangga anak muda Indonesia terhadap tanah
air dan budaya bangsanya, terutama melalui aspek budaya intangible-nya12.
9. Masih kurang terangkat dan terawatnya aset-aset budaya berupa rumah
tradisional, artefak, candi-candi dan kawasan sekitarnya, bangunan ibadah dan
berbagai peninggalan lain13.

5. Kemitraan Pemerintah dan Masyarakat

Pembangunan kebudayaan menuntut komitmen untuk memajukan kebudayaan


Indonesia sesuai dengan jatidiri Indonesia, bukan sesuatu yang meniru asing sebagai
ukuran dari kemajuan. Dalam konteks kemajuan, kebudayaan bukan harus dilihat
sebagai panglima, namun lebih tepat, sebagai landasan dalam merancang dan
melaksanakan pembangunan nasional. Landasan itu harus berupa kebudayaan yang
sesuai dengan jatidiri bangsa Indonesia, yang didasarkan atas kebudayaan
sukubangsa (daerah) dan kebudayaan nasional.

Rumah-rumah adat di berbagai daerah penuh dengan kearifan lokal yang bersifat intangible maupun
tangible, baik dalam bentuk fisiknya, gaya dan teknologi konstruksinya, bahan pembuatannya, simbol dan
maknanya, serta fungsinya sebagai tempat tinggal, tempat pertemuan adat maupun fungsi
komunikasinya dalam kaitan dengan ajaran mengenai pendidikan akhlak dan berperilaku. Dewasa ini
telah makin banyak rumah adat yang mulai rusak, tak ada gantinya karena bahan-bahan sudah tak
tersedia di lingkungan setempat, biaya menjadi sangat mahal dan tukang yang memiliki keahlian
membangun rumah adat yang masih hidup telah semakin berkurang jumlahnya. Namun upaya berupa
rekrutmen SDM pengelola dan penganggarannya belum tampak dirancang secara serius.
Seperti halnya dengan museum, tampak bahwa arboretum dan kebun binatang belum menjadi sarana
untuk membangkitkan kebanggaan terhadap tanah air dan bangsa. Cara pengelolaan arboretum dan
kebun binatang sebagai museum flora dan fauna yang hidup, perlu ditingkatkan untuk mendidik anak
bangsa agar sejak usia muda dapat belajar mencintai kekayaan tanah air. Melalui arboretum dan kebun
binatang, orang Indonesia dapat pula belajar mengenai nilai-nilai budaya tertentu (intangible), seperti
kata pepatah orang Minangkabau, alam takambang jadi guru, yang menyiratkan pesan untuk selalu
belajar dari sifat-sifat alam dan isinya. Siswa sekolah juga bisa mendapatkan bahan ilmu pengetahuan
dari arboretum dan kebun binatang. Disayangkan bahwa arboretum belum banyak jumlahnya, bahkan
untuk para guru pun, istilah ini masih awam. Diketahui pula bahwa banyak kebun binatang gagal
memelihara hewan peliharaannya dengna baik sehingga banyak yang mati, sakit, kurang makan atau
dianiaya, dalam kandang yang kotor dan tak cukup terawat. Pengunjung sedikit karena tidak cukup
informasi dan motivasi untuk mengunjunginya, dan belum paham tentang manfaat kunjungan ke kedua
tempat ini. Pada umumnya pendidikan menyayangi hewan dan anaman masih rendah di kalangan
masyarakat Indonesia.
Berbagai artefak itu yang pada beberapa dasawarsa terdahulu tampak asri, kini telah mulai memudar
dan tertutup kios-kios wisata, tempat hiburan dan rumah makan yang tak tertata rapi dan sebagian
terkesan dibiarkan kumuh, karena kebersihan tidak terjaga baik, dan sebagian tertutup pepohonan.
Pemerintah tidak dapat menyelesaikan semua kekurangan yang ada maupun
kebutuhan pengelolaan budaya oleh dirinya sendiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu
membangun kemitraan dengan melibatkan potensi masyarakat untuk memberi tempat
yang signifikan pada aktivitas mereka dalam melaksanakan berbagai kegiatan budaya.

Dalam kaitan ini, terdapat beberapa hal yang dirasakan akan dapat
meningkatkan keberhasilan kemitraan antara Pemerintah dan masyarakat, sbb:

1. Pemerintah perlu memberikan peluang bagi masyarakat (termasuk lembaga-


lembaga budaya) untuk tetap memelihara, melestarian dan mengembangkan
berbagai sumberdaya sosial-budaya yang memang berasal dan hidup dalam
pengelolaan masyarakat pendukung budaya yang bersangkutan 14.
2. Pemerintah perlu menegaskan peranannya untuk memelihara aset-aset budaya
di daerahnya yang terdiri dari pengetahuan budaya (kearifan lokal), perilaku
budaya (yang riel maupun yang berupa simbolik, misalnya berupa upacara adat)
dan artefak-artefak yang digunakan, yang berdayaguna tinggi dan tersedia
dalam kehidupan masyarakat.
3. Paradigma pembangunan nasional yang berjalan saat ini perlu menghindarkan
penekanan atau fokus yang lebih besar pada pembangunan ekonomi daripada
pembangunan budaya. Mengabaikan kebudayaan dapat mempercepat putusnya
transmisi kebudayaan kepada generasi berikut sehingga mereka tidak peduli
lagi pada asal-usul pembentukan Bangsa Indonesia dan tidak sadar mengenai
peranan dan anggungjawabnya sebagai warganegara RI dan warga Bangsa
Indonesia untuk membangun Indonesia Raya di masa depan, demi
kesejahteraan dan kebesaran Bangsa Indonesia sendiri. Generasi berikut perlu
menyhadari bahwa bangsa kitalah yang harus menjadi tuan di negerinya sendiri,
dan tidak tergantung pada bangsa lain.
4. Kemitraan Pemerintah dan masyarakat perlu pula ditujukan untuk mengelola
hubungan sosial untuk memperkuat solidaritas antar penduduk yang multietnis
dan agama, untuk menjaga multikulturalisme Indonesia dari potensi konflik
sukubangsa, agama dan kelompok, serta mendorong kerukunan beragama.
5. Pemerintah dan masyarakat perlu bermitra untuk mendorong terjaganya
kearifan lokal masyarakat melalui program-program pengelolaan yang
dilengkapi dengan pemberian apresiasi.
6. Pemerintah perlu memberikan insentif dana bagi para penutur, pemilik tradisi
dan proses pewarisannya kepada generasi muda sebelum tokoh yang
bersangkutan menutup mata selamanya.
7. Pemerintah dan masyarakat (melalui lembaga-lembaga Pemerintah dan swasta)
perlu mensosialisasikan dan mempopulerkan nilai-nilai Pancasila melalui

Sebagai contoh, memberi peluang bagi penduduk untuk melakukan upacara petik laut, yang intinya
dilandasi oleh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas anugerah panen yang diperoleh pada
tahun itu, keselamatan dan konservasi alam (tidak melaut selama tiga hari agar laut dapat menetralisir
limbah BBM perahu motor), serta mengaktifkan hubungan-hubungan sosial dan kedekatan antara
penduduk nelayan yang multikultural untuk dapat menghargai kebersamaan dan menghindari konflik
dalam kegiatan mencari nafkah di laut yang sama.
kesenian rakyat dan dalam bidang pendidikan khususnya untuk pendidikan
karakter bangsa, yang dikemas sebagai cerita rakyat, ungkapan, pantun,
upacara adat, tarian, khususnya mengenai nilai-nilai yang berkaitan dengan
ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, musyawarah mufakat dan keadilan
sosial.

6. Penutup

Dari uraian di atas dapat dikemukakan beberapa hal:


1. Pemerintah harus membangun kebudayaan nasional yang mengedepankan ke-
Indonesia-an dengan bertumpu pada kekuatan budaya bangsa kita sendiri, yang
digali dari kebudayaan sukubangsa (yang menunjukkan ciri multietnis dan
multikulturalisme Indonesia) dan kebudayaan nasional (yang merupakan
pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara).
2. Upaya ini perlu dirancang melalui pembentukan Strategi Kebudayaan Nasional
Indonesia
3. Pengelola kebudayaan dalam pemerintahan di seluruh Indonesia harus
menguasai pengetahuan dan anggaran yang dirancang serius untuk selalu
merawat aset-aset sosial-budaya bangsa yang tersebar di seluruh penjuru tanah
air, termasuk di daerah-daerah mereka.
4. Pembangunan budaya meliputi kebudayaan yang bersifat takbenda (intangible)
dan benda (tangible) yang harus dlihat sebagai saling terikat dan saling
melengkapi.
5. Sistem pendidikan nasional perlu menjadi wadah yang penting bagi pendidikan
budaya dan pembangunan kebudayaan, agar menghasilkan anak bangsa
Indonesia memiliki karakter bangsa yang mampu membuat bangsa Indonesia
menjadi tangguh, tidak rendah diri, mandiri dan mampu untuk ikut mengukir
peradaban dunia.

--0--

Anda mungkin juga menyukai