Anda di halaman 1dari 41

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340395183

MEMBANGUN HARMONI MELALUI GULAT OKOL DI


DESA SETRO

Chapter · December 2015

CITATIONS READS

0 945

1 author:

Mustolehudin Mustolehudin
Ministry of Religious Affairs Indonesia
47 PUBLICATIONS   23 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Mustolehudin Mustolehudin on 03 April 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MEMBANGUN HARMONI MELALUI
GULAT OKOL DI DESA SETRO

Oleh
Mustolehudin

Pendahuluan
Di Jawa Timur, terdapat beberapa kearifan budaya lokal yang
mempunyai fungsi sebagai perekat kerukunan. Pemetaan budaya yang
dilakukan oleh Ayu Sutarto (2008) dan kawan-kawan, setidaknya dapat
memberikan gambaran bahwa, budaya lokal masih dijaga dengan baik
oleh sebagian besar masyarakat Jawa Timur. Sutarto (2008 : iv)
memetakan sepuluh wilayah kebudayaan yang masih eksis hingga saat
ini. Kesepuluh wilayah kebudayaan yang dimaksud adalah wilayah
kebudayaan Jawa Mataraman, Jawa Ponorogan, Arek, Samin (sedulur
sikep), Tengger, Osing (Using), Pandalangan, Madura Pulau, Madura
Bawean, dan Madura Kangean.
Termasuk dalam budaya Arek atau pesisiran timur adalah budaya
masyarakat Gresik. Di Kabupaten ini masih banyak terdapat tradisi
lokal yang masih lestari sampai saat ini. Tradisi-tradisi tersebut adalah;
tradisi pasar bandeng, jaran jinggo, haul, ziarah kubur makam wali,
maleman, malam 23 (sanggring), sedekah bumi, sedekah laut, pencak
silat, tilikan, buwuhan, bancaan tempeh, mitoni, ngobar, nyonjok, kupatan,

155
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

muludan, cinjon, bubur suro, kentrung, dan tradisi mocopatan (FGD 4 Juni
2014). Tradisi-tradisi tersebut, di satu sisi merupakan kekayaan
adiluhung bangsa Indonesia yang memiliki nilai sosial, keagamaan, dan
budaya yang amat dalam. Kemudian disisi lain budaya-budaya tersebut
dapat menjadi sarana untuk mempererat kerukunan di masyarakat.
Salah satu budaya yang masih dijaga oleh masyarakat Gresik adalah
tradisi gulat “okol”. Tradisi ini dilestarikan oleh masyarakat Desa Setro,
Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. Gulat “okol” awal mulanya
merupakan permainan yang dilakukan oleh beberapa cah angon
(penggembala) untuk menyambut datangnya musim hujan. Gulat
“okol” tersebut pada akhirnya berkembang dari masa ke masa dan
menjadi tradisi masyarakat Desa Setro. Tradisi ini dilakukan oleh warga
masyarakat sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan dengan
berakhirnya kemarau panjang yang mengakibatkan terjadinya paceklik
di desa tersebut pada masa lampau. Tradisi gulat “okol” yang dijaga
oleh masyarakat Desa Setro, sejatinya masyarakat desa tersebut sudah
membangun dan melestarikan komunitas budaya.
Budaya menurut Tylor dalam (Liliweri, 2007:107–110) merupakan
kompleksitas dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian,
hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain serta kebiasaan yang
dimiliki oleh manusia sebagai anggota suatu masyarakat. Lebih lanjut
Liliweri menjelaskan budaya adalah 1) keseluruhan (total) atau
pengorganisasian way of life termasuk nilai-nilai, norma-norma, institusi,
dan artifak yang dialihkan dari satu generasi kepada generasi berikutnya
melalui proses belajar. 2) Pola-pola perilaku yang dihasilkan oleh
interaksi sosial atau semua perilaku dan semua produk yang dihasilkan
oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat yang ditemukan
melalui interaksi simbolik, 3) Sesuatu yang terbentuk oleh
pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-
simbol tertentu.
Sementara itu, Williams sebagaimana dikutip Sutrisno dan Putranto
(2005:7) mendefinisikan budaya dengan “kultivasi” (cultivation) yakni
pemeliharaan ternak, hasil bumi, dan upacara-upacara religius (yang

156
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

darinya diturunkan istilah kultus atau “cult”). Sejak abad ke-16 hingga
19, istilah ini mulai diterapkan secara luas untuk pengembangan akal
budi manusia dan sikap-pribadi pribadi lewat pembelajaran.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, dapat ditarik benang
merah bahwa kebudayaan merupakan reka cipta atau hasil kreasi
manusia (masyarakat) yang diwujudkan dalam nilai-nilai, norma-norma,
simbol-simbol, yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat melalui
proses pembelajaran dari satu generasi kepada generasi berikutnya.
Kreatifitas masyarakat dalam melakukan reka cipta budaya telah
menjadi alat solidaritas sosial bagi masyarakat tersebut.
Solidaritas sosial sebagaimana dijelaskan Durkheim (dalam Jones,
2010: 56-57) bagi kelompok masyarakat Arunta merupakan “panji klen”
untuk hidup berkerabat. Solidaritas sosial menurut Durkheim
merupakan instrument penting bagi sistem sosial orang Arunta yang
berfungsi sebagai totem. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sistem sosial
mengintegrasikan bagian-bagian yang terpisah bersama-sama dan
menjadikannya sebagai suatu kesatuan.
Demikian pula bagi masyarakat Jawa, solidaritas sosial merupakan
sarana penting untuk membangun kerukunan. Solidaritas sosial yang
dibangun oleh masyarakat Jawa diwujudkan dengan praktik-praktik
ritual. Ritual dalam pandangan masyarakat Jawa, memiliki peran
penting dalam membangun harmoni di masyarakat. Masyarakat Jawa
dalam setiap aktifitasnya tidak terlepas dari aspek-aspek ritual. Upacara
ritual yang dilakukan oleh orang Jawa meliputi berbagai macam ritual,
dari upacara kelahiran bayi hingga upacara kematian (siklus hidup)
maupun nonsiklik, semuanya tidak terlepas dari upacara-upacara ritual.
Kemudian upacara ritual yang dipraktikkan masyarakat tidak dapat
lepas dari tradisi selametan.
Tradisi selametan, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga
bentuk yakni, 1) yang semata-mata menyangkut kepentingan
keagamaan, 2) yang menyangkut persoalan rumah tangga, 3) dan yang
menyangkut persoalan pertanian (Nasution dkk, 2002 : 1053). Slametan
seperti dijelaskan Geertz (2013 : 3 - 8) disebut sebagai pesta komunal

157
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

upacara inti. Slametan oleh masyarakat Mojokuto menjadi semacam


wadah bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek
kehidupan sosial masyarakat.
Penelitian atau kajian tentang agama dan masyarakat pada
umumnya dan budaya lokal (local wisdom) khususnya telah banyak
dilakukan oleh para ahli dalam perspektif yang berbeda-beda. Penelitian
yang dilakukan Nur Syam mengenai Islam pesisir setidaknya telah
memberi corak tersendiri tentang “tradisi Islam lokal pesisiran. Budaya
yang menonjol dari penelitian ini adalah tradisi ini menekankan pada
pentingnya budaya makam, sumur dan masjid. Dalam proses kontruksi
sosial, inti upacara pada hakikatnya adalah memperoleh berkah.
Bahwasanya terdapat hubungan antara makam, sumur, dan masjid yang
menghasilkan dialektika sakralisasi, mistifikasi, dan mitologi ke (arah)
desakralisasi, demistifikasi, dan resakralisasi, remitologi, dan
reimsitifikasi (Nur Syam, 2005: vi).
Bentuk tradisi lain yang dapat menjadi alat perekat sosial adalah
sambatan. Tradisi sambatan menurut Zakiah (2008 : 87) memiliki
dua fungsi utama yaitu fungsi manifes dan fungsi laten. Fungsi manifes
dari sambatan adalah bentuk tolong menolong untuk meringankan
beban kerja dari orang atau masyarakat yang mempunyai hajat. Adapun
fungsi laten dari tradisi ini adalah sebagai perekat sosial, penopang
agama, memperkokoh identitas kelompok dan sebagai modal sosial.
Tradisi ini juga dapat berfungsi sebagai perekat kerukunan hidup antar
umat beragama karena dalam bergotong royong orang tidak
mempersoalkan perbedaan agama.
Kajian yang dilakukan Hidayatullah (2013 : 1) tentang sedekah
bumi menunjukkan bahwa sedekah bumi menjadi perayaan adat sebagai
wujud rasa syukur masyarakat Dusun Cisampih kepada Pencipta bumi
karena mereka tinggal di bumi dengan anugerah-Nya. Mereka sangat
bergantung kepada bumi untuk bercocok tanam, mendapatkan
makanan dan minuman, serta melakukan aktifitas lainnya. Karena itu
mereka merasa perlu melakukan sedekah bumi sebagai bentuk rasa
terima kasih mereka kepada bumi.

158
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

Sementara itu, penelitian yang dilakukan Mustolehudin (2014:


22) menjelaskan bahwa tradisi haul dan tradisi sedekah bumi di Gresik
memiliki corak yang berbeda. Tradisi haul yang dilakukan masyarakat
pesisir Gresik, lebih menekankan pada aspek-aspek keislaman.
Sedangkan tradisi sedekah bumi yang dilakukan masyarakat pedalaman
tepatnya oleh warga masyarakat Desa Setro, Menganti, Gresik
cenderung bercorak kejawen.
Sepanjang pengetahuan penulis, penelitian yang mengkaji secara
khusus tentang tradisi gulat “okol” belum banyak dilakukan. Oleh
karena itu, penelitian ini penting dilakukan guna mengetahui konstruksi
budaya gulat “okol” dalam membangun kerukunan pada masyarakat
Desa Setro Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. Oleh karena itu
fokus masalah yang dibahas dalam peneltian ini adalah bagaimana
masyarakat Desa Setro Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik
mengkonstruksi dan melestarikan tradisi gulat “okol” dalam merajut
kerukunan.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan
sosiologis. Data-data dalam penelitian diperoleh melalui wawancara
mendalam, observasi, dan telaah dokumen. Informan kunci dalam
penelitian ini adalah tokoh masyarakat, tokoh agama, dan tokoh
pemerintah khususnya pemerintah Desa Setro Kecamatan Menganti
Kabupaten Gresik.

Sosiokultural dan Keagamaan Masyarakat Desa Setro


Desa Setro, secara umum memiliki kesamaan dengan desa-desa
lain pada umumnya di Jawa Timur. Masyarakat hidup rukun dengan
sesama warganya. Mayoritas penduduk desa ini adalah petani sebagai
mata pencahariannya. Akan tetapi di desa ini memiliki keunggulan
lain di banding 22 desa di Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik.
Menurut Saifurrahman (wawancara, 12-3-2014), di Kecamatan
Menganti hampir di setiap desa memiliki tradisi yaitu merayakan sedekah
bumi. Akan tetapi tidak setiap desa di Kecamatan Menganti memiliki

159
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

tradisi gulat “okol”. Tradisi sedekah bumi dan gulat “okol” telah
menjadi identitas Desa Setro tersebut yang memang unik. Keunikan
tersebut adalah bahwa masyarakat mampu menjaga tradisi budaya yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka dan bertahan ditengah gempuran
budaya modern.
Secara geografis desa ini berada di wilayah pinggiran bagian selatan
tepatnya berada di Kecamatan Menganti Kabupaten Gresik. Luas
wilayah desa ini adalah 328, 325 ha, yang terdiri dari 145,258 Ha
merupakan areal pertanian, 64,200 Ha pemukiman penduduk, 90,340
Ha tanah tegalan, dan 28,527 Ha lain-lain. Desa Setro di sebelah timur
berbatasan dengan Desa Laban, sebelah barat berbatasan dengan Desa
Sidowungu, sebelah selatan berbatasan dengan Desa Randegansari, dan
sebelah utara berbatasan dengan Desa Pengalangan (Profil Desa Setro
2014). Dalam hal transportasi desa ini lebih dekat ke Surabaya, karena
merupakan jalur alternatif menuju kota Surabaya. Namun demikian
kultur pedesaan masih sangat kental di desa ini.
Penduduk Desa Setro berjumlah 5624 jiwa yang terdiri dari 2805
berjenis kelamin laki-laki dan 2819 berjenis kelamin perempuan. Jumlah
penduduk tersebut tersebar di 7 wilayah rukun warga (RW) dan terdapat
14 rukun tetangga (RT). Berdasarkan data pendidikan, penduduk Desa
Setro dapat diketahui sebagai berikut: penduduk berpendidikan S1
berjumlah 169 orang, Diploma 88 orang, SLTA 1302 orang, SLTP 790
anak, SD 1265 anak, dan TDK 893 orang. Kemudian berdasakan jenis
pekerjaan, penduduk Desa Setro sebagian besar adalah swasta. Hal ini
dapat diketahui bahwa jumlah mereka adalah 1055 orang. adapun
pekerjaan penduduk lainnya adalah petani berjumlah 340 orang,
wiraswasta 467 orang, PNS 90 orang, dan lainnya 435 orang (Data
Desa Setro 2014).
Desa Setro memiliki visi yakni “Mewujudkan masyarakat bersatu
membangun desa, kuat berkeyakinan beragama, sejahtera, aman dan
tentram serta melestarikan kearifan budaya lokal. Sedangkan misinya
adalah sebagai berikut; 1) Mewujudkan masyarakat yang beriman,

160
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

bertaqwa dan berakhlaqul karima, 2) Meningkatkan peran serta dan


pemberdayaan masyarakat, 3) Mewujudkan pemerintah yang baik dan
berwibawa, 4) Mewujudkan kondisi desa yang aman, tertib, tentram
dan damai 5) Mewujudkan kondisi desa yang bebas dari polusi sampah,
6) Meningkatkan pembangunan ekonomi desa dengan titik berat
ekonomi kerakyatan, 7) Meningkatkan pembangunan sarana dan
prasarana desa, 8) Meingkatkan kualitas pelayanan publik, 9)
Meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai seni dan budaya, 10)
Melaksanakan kegiatan “selamatan desa/sedekah bumi sebagai warisan
nenek moyang masyarakat desa. (Sumber : Profil Desa Setro). Visi dan
misi tersebut menunjukkan penduduk Desa Setro memiliki semangat
yang kuat untuk melestarikan tradisi budaya lokal. Tradisi sedekah
bumi dan gulat “okol” merupakan bukti nyata bahwa masyarakat desa
ini menjadikan budaya sebagai ajang pertemuan massal sebagai perekat
sosial.
Sejarah sedekah bumi dan tradisi gulat “okol” ini, menurut Ahmad
Junaidi, (wawancara, 12-3-2014) telah dilakukan ratusan tahun yang
lalu sejak jaman penjajahan Belanda atau sekitar awal abad 19.
Mengenai hal ini, Bambang Supriyanto mantan Kepala Desa yang
menjabat selama dua periode sejak 1999 – 2013, menegaskan bahwa
tradisi sedekah bumi dan gulat “okol” telah dilaksanakan sejak lurah
yang pertama pada tahun 1939, dan dilestarikan sampai saat ini.
Masyarakat Desa Setro sebelum Islam berkembang di desa ini
sangat kuat kepercayaannya terhadap benda-benda magis. Menurut
Ahmad Junaidi (wawancara, 12-3-2014) bahwa masyarakat dahulu
percaya pada kekuatan gaib Kyai Bulu dan Nyai Bulu pada sebuah
pohon besar yang ada di Desa Setro. Dahulunya, pohon dibalut dengan
kain mori (kain kafan) untuk menjaga kesakralan pohon tersebut.
Namun sekarang pohon tersebut telah tidak ada lagi karena ulah dari
orang yang kurang bertanggungjawab membakar akar pohon tersebut
hingga akhirnya pohon tersebut tumbang. Oleh masyarakat ditempat
bekas pohon tersebut didirikan Madrasah Ibtidaiyah menandai Islam

161
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

semakin menguat di Desa Setro.

Asal-usul Tradisi Gulat “Okol”


Tradisi Gulat “Okol” sebagaimana telah disinggung di atas, tidak
dapat dipisahkan dari tradisi sedekah bumi yang dilestarikan
masyarakat Desa Setro. Tradisi sedekah bumi di desa Setro tidak
diketahui secara pasti sejak kapan tradisi ini di mulai. Menurut
sesepuh desa, awal mula adanya sedekah bumi telah ada sekitar akhir
abad 18 dan awal 19 Masehi. Sebelum Indonesia merdeka tradisi ini
telah lahir. Menurut keterangan tokoh desa setempat Ahmad Djunaidi
(wawancara 13-3-2014), dahulunya tradisi ini disebut tegal desa.
Tokoh masyarakat yang lain, Suhanandi (wawancara, 13-3-2014)
menjelaskan, bahwa dulunya tradisi ini disebut dengan nama ruwahan,
tegal desa, bersih desa yang bertujuan untuk memberikan
penghormatan kepada leluhur yang disebut dengan Dayang Gadang.
Desa ini dulunya hutan belantara dan belum ada penghuninya dan
kemudian dibuka oleh Kyai Bulu dan Nyai Bulu yang dianggap cikal
bakal lahirnya desa Setro.
Secara mitologis tradisi sedekah bumi dilakukan untuk memberi
penghormatan kepada danyang desa (Mustolehudin, 2014). Mengenai
hal ini Suhanandi sesepuh Desa Setro (wawancara, 13-3-2014)
mengemukakan bahwa tradisi ini selain sebagai wujud syukur kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa, juga sebagai rasa penghormatan kepada
dayang Gadang kyai Bulu dan Nyai Bulu. Mitologi ini dibenarkan oleh
Ahmad Junaidi (wawancara, 12-3-2014) bahwa tujuan dari pelaksanaan
sedekah bumi adalah untuk memohon keselamatan desa dari segala
malapetaka.
Menurut Ahmad Junaidi dan Suhanandi (wawancara, 12 & 13
– 3 - 2014), bahwa dahulu kala di desa ini mengalami pagebluk,
terjadi kemarau yang sangat panjang dan warga desa tidak dapat
menanam padi maupun tanaman lainnya. Pada suatu ketika

162
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

sekelompok penggembala kambing (cah angon) memohon kepada


Tuhan agar diturunkan hujan. Ternyata doa anak-anak penggembala
tadi dikabulkan oleh Tuhan dan turun hujan dengan lebat. Seketika
itu anak-anak penggembala kambing (cah angon) tadi berjingkrak-
jingkrak sangat gembira. Mereka (anak-anak/cah angon) bermain-
main air, hujan-hujanan, saling berpasangan membentuk permainan
gulat. Mereka saling banting-membanting, berangkulan diringi tawa
ceria, menyambut datangnya hujan. Maka sejak saat itulah penduduk
Desa Setro mengadakan tegal desa selamatan desa untuk merayakan
syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak saat itu pula tradisi
gulat “okol” lahir dan diabadikan untuk melengkapi tradisi sedekah
bumi.

Persiapan Tradisi Gulat “Okol”


Rangkaian ritual tradisi ini oleh masyarakat Desa Setro telah
direncanakan 3 bulan dengan sangat matang. Sebagai tradisi
unggulan Kabupaten Gresik, kepanitian dalam kegiatan tradisi ini
melibatkan seluruh komponen masyarakat. Tidak terkecuali Camat
Menganti Kabupaten Gresik yang terlibat secara langsung sebagai
pelindung kegiatan. Selain itu, penasehat dalam kegiatan ini
melibatkan tokoh desa yang terdiri dari ketua Badan Pembangunan
Desa, ketua Lembaga Pembangunan Masyarakat Desa, dan tokoh
masyarakat (sesepuh desa). Setidaknya seperti yang ditulis dalam
proyek proposal sedekah bumi Desa Setro tahun 2011, kepanitian
yang terlibat dalam perayaan sedekah bumi dan gulat “okol”
melibatkan 122 panitia yang sebagian besar adalah penduduk Desa
Setro.
Penanggung jawab dalam kegiatan tradisi ini adalah Kepala Desa
Setro, yang dilaksanakan oleh panitia yang terdiri dari berbagai unsur
baik ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris, dan bendahara.
Seksi-seksi yang tersusun dalam kepanitian tradisi ini adalah; seksi

163
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

upacara, seksi gulat, seksi publikasi, seksi kesenian, seksi dekorasi dan
dekomentasi, seksi perlengkapan, seksi keamanan, seksi logistik, seksi
pembantu umum, seksi tenaga umum, dan seksi penggalian dana. Seksi
penggalian dana dibagi menjadi dua yaitu seksi penggali dana intern
(dalam desa) dan seksi penggali dana ekstern (luar desa). Seksi
penggalian dana dari dalam desa dikoordinasi oleh masing-masing ketua
RT, yaitu dari RT 01 hingga RT 08. Sedangkan seksi penggali dana
untuk luar desa dikoordinasi oleh satu orang koordinator yang dibantu
oleh 7 (tujuh) orang anggota.
Di lihat dari cara kerja dan susunan panitia yang sangat detail serta
melibatkan semua komponen masyarakat dalam pelaksanaan tradisi
gulat okol dan tradisi sedekah bumi, dapat dinilai bahwa masyarakat
telah membentuk komunitas interaksi sosial yang kuat yang
menyuguhkan kerukunan dan solidaritas sosial. Kerukunan dan
solidaritas sosial yang dibangun masyarakat Desa Setro, sejatinya
masyarakat desa tersebut telah membangun integrasi sosial. Integrasi
sosial seperti dijelaskan Parsons dalam (Goodman dan Ritzer, 2011:
121) bahwa sistem yang dibangun masyarakat Desa Setro merupakan
sistem yang mengatur antarhubungan bagian-bagian yang menjadi
komponennya. Masyarakat Desa Setro telah melakukan adaptasi,
pencapaian tujuan, integrasi, dan memelihara serta memperbaiki
komunitas sosial dalam penyelenggaraan tradisi gulat okol dan sedekah
bumi.
Persiapan lain yang dilakukan warga masyarakat Desa Setro
adalah mendirikan arena atau gelanggang gulat okol. Panggung gulat
okol dibuat dengan ukuran 6 meter x 8 meter. Arena ini mirip ring
tinju yang di sekeliling panggung diberi tali tambang besar. Alas
yang digunakan pada arena ini adalah tumpukan jerami yang dilapisi
dengan kain goni. Sehingga ketika seorang pegulat jatuh terbanting
tidak cidera. Pekerjaan membuat panggung gelanggang gulat okol
ini dilakukan oleh bapak-bapak dan pemuda yang dilaksanakan
secara bergotong-royong. Anggota panitia juga memasang pamlet,

164
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

spanduk, umbul-umbul, dan bersama penduduk desa Setro lainnya.


Pamlet-pamlet acara ini biasanya ditempel di daerah gerbang
Kertosusilo, Kota Surabaya, Mojokerto, Gresik, dan Lamongan.
Sementara umbul-umbul dipasang di sepanjang jalan Kecamatan
Menganti umumnya dan Desa Setro khususnya dua minggu sebelum
pesta budaya digelar.

Pelaksanaan Tradisi Gulat “Okol”


Menjelang pelaksanaan ritual sedekah bumi dan gulat okol
masyarakat Desa Setro yang merantau di luar daerah menyempatkan
pulang untuk merayakan tradisi tersebut. Menurut Jam’an tokoh agama
(wawancara, 14-3-2014) Desa Setro, menjelaskan bahwa kemeriahan
tradisi sedekah bumi dan gulat okol melebihi hari raya idul fitri. Orang-
orang yang merantau di Kalimantan, Jakarta dan daerah-daerah lain
biasanya satu minggu menjelang perayaan pesta budaya pulang ke
kampong halaman untuk ikut menyaksikan kegiatan tersebut. Lebih
lanjut Jam’an menjelaskan malam hari sebelum perayaan masyarakat
sibuk menyiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan upacara ritual
seperti membuat kue dan menyiapkan tumpeng untuk diarak keliling
desa pada pagi hari.
Awal mulanya tradisi sedekah bumi dan gulat okol dilakukan di
sekitar pohon Kyai Bulu. Pada waktu itu penduduk desa membawa
berbagai macam makanan khususnya (tela pendem) hasil bumi untuk
didoakan dibawah pohon kyai Bulu dan Nyai Bulu dan selanjutnya
dimakan bersama. Pohon yang oleh penduduk desa dikeramatkan kini
telah tumbang dan dibangun Madrasah. Sekarang ini acara tradisi
sedekah bumi dilaksanakan di Balai Desa Setro dan gulat okol
dilaksanakan di lapangan desa yang dimulai sejak 1996.
Pada tahun 2005 warga masyarakat mengadakan kreasi dan inovasi
dengan mengarak tumpeng raksasa keliling desa dan berakhir di balai
desa. Menurut Bambang Supriyanto (wawancara, 14-3-2014) bahwa

165
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

penentuan waktu prosesi sedekah bumi dan gulat okol setiap tahunnya
selalu berbeda-beda. Namun umumnya tradisi ini dilaksanakan setelah
panen raya biasanya dilakukan pada sekitar bulan Juli – September.
Setelah tradisi sedekah bumi dilakukan di Balai Desa Setro, dapat
dipastikan prosesi ritual dilaksanakan pada hari Minggu. Sebelum
acara inti ritual sedekah bumi, berbagai tradisi kesenian ditampilkan
untuk mengiringi kemeriahan tradisi ini. Jenis seni yang kadang tampil
adalah wayang, ludruk, orkes dan lain-lain. Acara ini diadakan pada
malam hari sebelum sedekah bumi atau tepatnya malam Minggu. Pada
sepuluh tahun terakhir ini, pada malam Jum’at diadakan pula
pengajian.
Sarana prasarana (ubo rampe) pelaksanaan sedekah bumi dibuat oleh
semua warga masyarakat penduduk desa Setro. Sebelum acara perayaan
ritual sedekah bumi, malamnya ibu-ibu dan remaja putri menyiapkan
berbagai masakan, seperti membuat tumpeng (menurut masyarakat desa
Setro istilahnya membuat asahan), memasak berbagai macam hasil bumi
(tela pendem) dan buah-buahan untuk di arak pada Minggu pagi. Selain
itu ibu-ibu menyiapkan kembang kaulan. Bahan-bahan yang disediakan
untuk membuat tumpeng yaitu beras, minyak goreng, ayam, bumbu
dan sayuran. Adapun bahan untuk menghias tumpeng adalah lobak,
peterslay, wortel, tomat dan sawi putih. Sedangkan lauk-pauk tumpeng
adalah daging, ayam, bandeng, telor, telur puyuh, tahu dan tempe.
Untuk buah-buahan yang disediakan adalah nanas, apel merah, apel
manalagi, jeruk, salak, tomat, pisang, pir, wortel dan blimbing. Adapun
bahan polo pendem untuk tumpeng adalah bengkuang, telo, tales,
gembili, pohong, uwi, dan mbothe (Sumber: Proposal Sedekah Bumi
Tahun 2011).
Segala sarana dan prasarana pada prosesi ritual sedekah bumi
dibebankan kepada semua warga desa yang dikoordinasi oleh panitia
desa Setro. Selain iuran warga sebesar Rp. 25.000 per-KK, kegiatan
Sedekah Bumi Desa Setro (SBDS) juga dibantu oleh berbagai sumber
donator maupun sponsor, baik donator di wilayah Gresik maupun dari

166
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

luar wilayah Gresik, baik pejabat di lingkungan Gresik, warga Desa


Setro yang telah sukses di perantauan, maupun perusahaan yang ada
di sekitar wilayah Gresik dan Surabaya.
Prosesi ritual SBDS biasanya telah disusun secara rinci, mulai dari
kirab tumpeng, prosesi upacara, gulat tardisional (okol) dan sandiwara
Ludruk. Prosesi ritual dimulai pada pukul 07.00 sampai selesai.
Selanjutnya pada pukul 08.00 – 10.00 tumpeng dikirab keliling desa
dan berakhir di balai desa. Kemudian pada pukul 10.00 – 12.00 WIB
ritual upacara SBDS dimulai. Dengan dipandu oleh pembaca acara,
upacara diawali dengan membaca basmalah, selanjutnya sambutan oleh
ketua panitia, sambutan kepala desa, sambutan Bupati Gresik jika hadir
atau yang mewakili dan diakhiri dengan doa yang dipimpin oleh modin
desa atau kyai.
Doa yang dipanjatkan oleh modin desa atau kyai adalah
memohon keselamatan agar warga masyarakat desa Setro dijauhkan
dari segala malapetaka, dimudahkan rezekinya, dan agar diberikan
kebajikan-kebajikan untuk semua warga desa. Setelah pembacaan
doa selesai dilanjutkan dengan acara tandakan yang dipandu oleh
dua orang wanita penari tandak. Dalam tandaan ini, warga yang
mempunyai hajat atau istilahnya “kaulan” memberikan rezeki berupa
uang baik uang receh maupun uang kertas ribuan dan diberikan
kepada tandak. Uang receh tersebut disebar dan diperebutkan oleh
warga baik anak-anak, remaja, maupun orang tua. Kaulan ini
dilaksanakan ketika seseorang sembuh dari penyakit kemudian
nadzar akan di-”kauli” pada ritual SBDS atau karena berhasil dalam
meraih cita-cita. Kembang kaulan yang disediakan panitia
jumlahnya cukup banyak, hal ini dapat diketahui pada laporan
keuangan SBDS tahun 2007, bahwa untuk belanja kembang kaulan
menghabiskan biaya Rp. 720.000. Setiap warga masyarakat yang
melaksanakan kaul (hajat) maka akan mendapat sejumput kembang
dan dibawah pulang. Kembang “kaulan” dipercaya masyarakat
memiliki kekuatan supranatural.

167
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

Gambar 1.
Warga Berebut Uang Receh yang Disebar Tandak

Sumber : dokumen panitia tahun 2011.

Setelah ritual “kaulan” selesai dilanjutkan dengan gulat tradisional


(okol) yang dilakukan dilapangan desa. Di lapangan desa tersebut telah
dibuat ring seperti ring tinju. Akan tetapi matras yang digunakan pada
gulat okol adalah tumpukan jerami yang dilapisi dengan karung goni.
Gulat okol dipimpin oleh dua wasit yang disebut pelandang. Meskipun
sejarah awalnya gulat okol ini dilakukan anak-anak, peserta yang boleh
mengikuti gulat okol adalah kategori anak-anak, pemuda/dewasa, dan
kategori peserta ibu-ibu. Hal ini sebagaimana dijelaskan Karimun dan
Anang (wawancara, 12-3-2014).

168
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

Gambar 2.
Tradisi Gulat Okol

Sumber: Dokumen Panitia tahun 2011.

Peserta gulat okol harus dalam keadaan sehat, tidak dalam


keadaan mabuk, kuku jari tangan harus dipotong agar tidak melukai
tubuh pemain gulat. Pertandingan gulat okol dipimpin oleh dua orang
wasit yang disebut pelandang. Pelandang bertugas untuk memeriksa
dua orang pegulat yang akan bertanding. Demkian dijelaskan oleh
Karimun seorang pelandang generasi ke tujuh (wawancara, 12-3-
2014).
Pegulat yang mengikuti gulat ini harus mengikuti ketentuan yang
berlaku. Pegulat memakai ikat kepala yang berbeda yakni ikat
berwarna merah dan hitam. Begitu pula pegulat harus memakai
selendang yang sesuai dengan ikat kepalanya. Selendang ini diikatkan
dipinggang kedua pegulat. Fungsi dari selendang ini adalah sebagai
pegangan bagi kedua pegulat untuk saling menjatuhkan satu sama
lain. Menurut Suhanandi (wawancara, 13-3-2014) pemenang dari dua
pegulat yang bertarung adalah mereka yang dapat menjatuhkan
lawannya dua kali berturut-turut dalam dua ronde. Apabila kedua
pegulat jatuh bersamaan selama dua ronde maka dinyatakan draw
atau imbang.

169
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

Tradisi gulat okol yang kurang lebih berusia satu abad telah
melahirkan tokoh-tokoh gulat okol di Desa Setro. Berikut adalah tokoh-
tokoh gulat okol sekaligus pelandang yang lahir dari Desa Setro dan
melestarikan tradisi ini seperti Salam, Sujiatno, Suhardi, Fauzi,
Karimun, Anang Aceh, dan Hari Cakil (Suhanandi, 13-3-2014).
Tradisi sedekah bumi dan gulat okol ini menurut keterangan tokoh
masyarakat Desa Setro, (Ahmad Junaidi, 14-3-2014) tidak hanya
dihadiri oleh warga desa Setro saja, akan tetapi juga diikuti oleh warga
Kecamatan Menganti, wilayah Gresik, bahkan orang-orang diluar
Gresik juga mengikuti tradisi ini. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tradisi
ini lebih meriah ketimbang perayaan idul fitri yang juga diadakan setiap
tahun oleh umat Islam. Pada hari dilaksanakan SBDS panitia telah
menyediakan girik atau kupon masuk ke desa Setro. Setiap gang yang
menuju arah desa Setro dijaga oleh panitia yang dibantu Polsek
Kecamatan Menganti.
Berdasarkan paparan di atas tentang tradisi ritual sedekah bumi
dan gulat okol, baik dilihat dari perspektif slametan maupun dilihat
dari konteks kerukunan beragama maupun kemasyarakatan, bahwa
tradisi SBDS memuat nilai-nilai filosis. Nilai filosofis yang dapat
ditangkap adalah nilai kebersamaan, nilai kekerabatan, nilai social, nilai
gotong royong, nilai kerja sama, nilai ekonomi, dan nilai estetika atau
seni budaya.

Tujuan Tradisi Sedekah Bumi dan Gulat “Okol”


Tradisi sedekah bumi dan gulat okol di Desa Setro Kecamatan
Menganti kabupaten Gresik, secara sosiologis menunjukkan bahwa rasa
solidaritas sosial dan kegotong-royongan warga dalam melestarikan
tradisi sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari persiapan pembentukan
kepanitian, kerja bakti sebelum pelaksanaan tradisi tersebut yang
dipersiapkan secara matang.
Dalam perayaan tradisi sedekah bumi dan gulat okol yang
diselenggarakan secara rutin setiap tahun, tentu dalam pelaksanaannya

170
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

memiliki tujuan. Demikian pula pada upacara tradisi sedekah bumi


dan gulat okol yang diselenggarakan di Desa Setro Kecamatan Menganti
Kabuapten Gresik juga mempunyai tujuan tertentu. Sebagaimana
disebutkan dalam (Profil Desa Setro, 2013) tujuan dari tradisi sedekah
bumi dan gulat okol adalah: 1) Meningkatkan Ketaqwaan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, 2) Melestarikan kebudayaan yang sudah menjadi adat-
istiadat, 3) Menjalin tali persahabatan dan kesatuan masyarakat se-
Gerbang Kertosusila, dan 4) Memberikan hiburan segar kepada
masyarakat umum.
Berdasarkan tujuan yang tertulis dalam profil Desa Setro tersebut,
sesungguhnya upacara sedekah bumi memiliki tujuan yang mulia. Di
samping sebagai sarana wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa,
tradisi ini juga memiliki potensi untuk menjalin kerukunan masyarakat.
Sejak pembentukan panitia hingga pelaksanaan upacara tradisi
tersebut, masyarakat secara bersama-sama telah membentuk persatuan
antar keluarga, antarwarga dan antar masyarakat desa dengan
pemerintah.
Gotong royong yang ditunjukkan masyarakat Desa Setro, sejatinya
warga masyarakat yang menjadi panitia telah memposisikan dirinya
secara tepat baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Demikian pula pemerintah desa, dalam hal ini pemerintah Desa Setro
secara kultural telah membangun masyarakatnya untuk sadar budaya.
Karena dari budaya inilah bentuk-bentuk kerukunan terajut dengan
sangat indah. Tanpa gotong royong dan kerjasama antar warga tidak
mungkin tradisi dapat diselenggarakan secara kontinyu. Gotong royong
menurut (Kee, 2014 : 100) merupakan suatu sistem tolong menolong
yang mencakup konsep kerjasama tingkat lokal, saling tolong menolong
mengumpulkan sumber daya, melakukan kerja bergilir dan dalam
beberapa kasus melakukan pertukaran kerja.
Kerja sama yang dilakukan masyarakat Desa Setro dalam perayaan
sedekah bumi dan gulat okol, hampir semua anggota masyarakat
terlibat. Sebelum perayaan bapak-bapak dan pemuda terlibat dalam

171
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

merencanaan kegiatan mulai dari pembuatan kaos panitia, pamlet, dan


pemasangan umbul-umbul serta spanduk. Dari segi keamanan selain
melibatkan Linmas Desa Setro, juga melibatkan Polsek Menganti dan
Koramil Menganti. Demikian juga dalam hal logistik. Logistik perayaan
sedekah bumi dan gulat okol sumber dananya dipikul semua warga
dan dibantu donator dari luar. Ibu-ibu PKK Desa Setro juga terlibat
secara langsung dalam kepanitiaan. Merekalah yang menyiapkan segala
sarana prasarana (uba rampe) baik menyiapkan tumpeng maupun
berbagai bentuk aneka penganan yang disajikan dalam perayaan
tersebut.
Sebagaimana telah disebutkan dibagian awal tulisan ini, tradisi
sedekah bumi dan gulat okol di Desa Setro dalam teori tradisi budaya
lokal, tradisi yang dilestarikan masyarakat tersebut adalah
menyangkut persoalan pertanian. Desa Setro yang pada waktu
sebelum lahirnya tradisi sedekah bumi dilanda kemarau yang sangat
panjang, mengakibatkan petani tidak dapat melakukan pola tanam
pada lahan pertanian mereka. Oleh karena itu, setelah Tuhan
menurunkan hujan warga masyarakat setempat dengan suka cita
menyambutnya dengan menyelenggarakan gulat okol yang semula
merupakan permainan anak gembala. Setelah hujan menyirami areal
pertanian penduduk, warga masyarakat dapat melakukan cocok tanam
dan memperoleh hasil yang memuaskan. Sebagai bentuk rasa syukur
kepada Tuhan, sejak saat itu masyarakat secara suka rela merayakan
sedekah bumi dan gulat okol sebagai bentuk perwujudan ketundukan
mereka kepada Tuhan. Selametan sedekah bumi dan suka cita dengan
gulat okol mer upakan ruang pertemuan masyarakat untuk
menunjukkan identitas kerukunan mereka. Slametan seperti
dijelaskan (Geertz, 2013 : 3 - 8) disebut sebagai pesta komunal upacara
inti. Slametan oleh masyarakat Mojokuto menjadi semacam wadah
bersama masyarakat yang mempertemukan berbagai aspek kehidupan
sosial masyarakat.
Demikian pula selametan yang diwujudkan dengan sedekah bumi
di Desa Setro, upacara tersebut menurut Koentjaraningrat dalam

172
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

(Kodiran, 1990 : 348) termasuk salah satu bentuk ritual slametan.


Slametan setidak-tidaknya dapat digolongkan menjadi empat macam
sesuai dengan peritiwa dalam kehidupan manusia sehari-hari. Keempat
macam slametan tersebut adalah; 1) slametan lingkaran hidup, 2) slametan
yang berkaitan dengan bersih desa, penggarapan tanah pertanian, dan
setelah panen padi, 3) slametan berhubungan dengan hari-hari serta
bulan-bulan besar Islam, dan 4) slametan pada saat-saat yang tidak
tertentu, berkenaan dengan kejadian-kejadian, seperti melakukan
perjalanan jauh, menempati rumah baru, menolak bahaya (ngruwat),
janji kalau sembuh dari sakit (kaul) dan lain-lain.

Fungsi Tradisi Sedekah Bumi dan Gulat “Okol”


Tradisi sedekah bumi dan gulat okol di Desa Setro dalam
perayaannya, tentu mempunyai fungsi tertentu. Hal ini sebagaimana
dijelaskan Mustolehudin (2014) dalam fungsi tradisi haul di Kelurahan
Lumpur, pada tradisi sedekah bumi juga memiliki fungsi dalam perayaan
tersebut. Terdapat beberapa fungsi dalam perayaan sedekah bumi dan
gulat okol. Diantara fungsi tersebut adalah: pertama fungsi ibadah,
kedua sebagai alat perekat sosial, dan ketiga berfungsi sebagai hiburan
bagi masyarakat.
1) Fungsi Ibadah
Manusia adalah makhluk yang mempunyai kebergantungan kepada
hal yang gaib. Dalam hidup keseharian manusia selalu mengharapkan
keselamatan, keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa. Demikian halnya
dengan masyarakat Desa Setro. Untuk memperoleh keselamatan,
keamanan, kedamaian, ketentraman, dan keberkahan dalam kehidupan
mereka, masyarakat mengadakan selamatan desa melalui sedekah bumi.
Sedekah bumi merupakan bentuk syukur warga masyarakat terhadap
hasil panen mereka. Karena atas anugerah dari tuhanlah lahan pertanian
mereka dapat hdiup subur, akibat campur tangan tuhan yang
menurunkan air dari langit berupa hujan.

173
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

Ungkapan syukur dengan melaksanakan sedekah bumi termasuk


salah satu bentuk ibadah kepada Allah. Ibadah yang dimaksud adalah
ibadah sosial, yang berujung pada kesalehan sosial masyarakat. Hal ini
dikarenakan, bahwa ibadah tidak hanya ibadah mahdloh saja, akan tetapi
terdapat pula ibadah ghoiru mahdloh yaitu ibadah yang berkaitan langsung
dengan praktik sosial di masyarakat. Praktik hidup rukun di masyarakat
dengan tidak lupa kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan bentuk
ketaatan manusia kepada Tuhan.
2) Fungsi Perekat Sosial
Manusia merupakan makhluk sosial. Ia tidak dapat hidup sendirian.
Dalam hidupnya manusia membutuhkan bantuan orang lain. Dalam
memenuhi kebutuhan hajat hidupnya, manusia tidak memenuhi sendiri
melainkan perangkat-perangkat kehidupan dipenuhi atau dipasok oleh
orang lain. Termasuk dalam upacara tradisi sedekah bumi dan gulat
okol. Dalam perayaan upacara tradisi sedekah bumi dan gulat okol,
tidak mungkin pelaksanaannya hanya dilakukan oleh beberapa orang
saja, melainkan perlu adanya sumbangan dari sekelompok masyarakat.
Baik mereka yang memberikan sumbangan berupa ide atau pikiran,
tenaga, materi maupun sumbangan lainnya.
Dalam perayaan sedekah bumi dan gulat okol di Desa Setro,
upacara ini melibatkan semua warga dengan iuran, donator dari luar,
dan dukungan pemerintah Kabupaten Gresik. Selain itu juga, tradisi
ini mendapat dukungan sponsor dari media, baik media massa maupun
media elektronik. Semua bentuk dukungan tersebut merupakan modal
sosial bagi kerukunan masyarakat. Karena masyarakat dan semua
komponennya saling bahu membahu, bersatu, tolong menolong,
meghargai, dan menghormati untuk mencapai tujuan tertentu yaitu
terselenggaranya tradisi sedekah bumi dan gulat okol.
3) Fungsi hiburan
Upacara tradisi sedekah bumi di Desa Setro merupakan
pertunjukan seni budaya yang dapat menjadi sumber hiburan bagi
masyarakat desa Setro dan desa-desa di sekitar wilayah itu. Sebagaimana

174
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

dijelaskan (Bambang Supriyatno, Suhanandi, dan Ahmad Junaidi, 14-


3-2014) bahwa tradisi sedekah bumi dan gulat okol di Desa Setro ini
sudah menjadi tradisi tahunan. Tradisi ini menjadi salah satu asset wisata
Kabupaten Gresik di tingkat nasional.
Seni budaya yang ditampilkan dalam tradisi sedekah bumi
adalah wayang, ludruk, orkes, dan gulat okol serta olah raga lain
seperti pertandingan bola voli. Ketika kegiatan tradisi berlangsung,
warga masyarakat Desa Setro yang merantau di daerah lain pulang
ke kampung halaman untuk melestarikan tradisi ini. Bahkan seperti
yang diutarakan oleh beberapa tokoh di Desa Setro, suasana perayaan
upacara tradisi sedekah bumi melebihi kemeriahan saat perayaan
hari raya Idul Fitri. Hal ini disampaikan oleh Saifurrahman bahwa
upacara sedekah bumi dan gulat okol sangat meriah. Masyarakat
berbondong-bondong mengikuti tradisi ini. Desa-desa di sekitar
wilayah Desa Setro, bahkan dari Surabaya juga datang untuk
menyaksikan seni gulat okol. Karena memang tradisi seni ini
menjadi daya tarik tersendiri dan menjadi hiburan tahunan bagi
masyarakat Gresik dan sekitarnya.
Menurut keterangan Bambang Suprayitno, mantan kepala desa
Setro yang menjabat selama 14 tahun, menjelaskan bahwa pada tanggal
13 Juli 2008 acara Sedekah Bumi tampil di anjungan Jawa Timur
(Taman Mini Indonesia Indah) sebagai duta wisata dari Kabupaten
Gresik, sehingga oleh Pemerintah Kabupaten Gresik dijadikan salah
satu kalender Wisata Kabupaten.
Mengenai hal ini, Parsons dalam (Turner, 2013 : 137 – 138)
menjelaskan bahwa tradisi budaya di masyarakat memiliki empat fungsi
yaitu; pelestarian pola, integrasi, pencapaian tujuan, dan fungsi adaptasi.
Aplikasi keempat fungsi tersebut sebagaimana dijabarkan berikut ini.
1) ekonomi (adaptasi) melibatkan produksi dan alokasi sumber dasar
untuk dimanfaatkan oleh individu dan masyarakat. 2) masyarakat
pencapai tujuan mengkoordinasikan pencapaian tujuan-tujuan kolektif
masyarakat. 3) Komunitas kemasyarakatan (integrasi) menaungi kelas-

175
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

kelas sosial, kelompok status, kelompok gaya hidup, dan kelompok


etnik, 4) system kepercayaan (pelestarian pola) merangsang
pengembangan, keberlangsungan, dan transmisi nilai-nilai dan kultur
masyarakat.

Penutup
Berpijak dari fenomena budaya dan tradisi sedekah bumi dan gulat
okol yang dirayakan dan dilestarikan masyarakat Desa Setro Kecamatan
Menganti Kabupaten Gresik tersebut dapat disimpulkan sebagai
berikut. Pertama: bahwa masyarakat Desa Setro telah berhasil menjalan
visi misi yang tertuang dalam program desa. Hal ini sebagaimana
tertuang dalam misi nomor Sembilan dan nomor sepuluh yaitu
meningkatkan dan melestarikan nilai-nilai seni dan budaya, serta
melaksanakan kegiatan “selamatan desa/sedekah bumi sebagai warisan
nenek moyang masyarakat desa. Kedua, dengan semangat gotong
royong, kerja sama antar semua warga, pemerintah desa, kecamatan,
dan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Gresik, tradisi gulat okol
dan sedekah bumi dapat terus dilestarikan. Hal tersebut adalah karena
adanya kesadaran dari semua pihak untuk menjaga kearifan lokal dalam
mewujudkan desa yang rukun, damai, aman yang dibalut dengan tradisi
budaya.

176
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi. 2007. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan


Nusantara Abad XVII dan XVIII Akar Pembaruan Islam
Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Badan Pusat Statistik. 2013. Gresik Dalam Angka 2013. Gresik : Badan
Perencanaan Pembangunan, Penelitian dan Pengembangan
Daerah Kabupaten Gresik.
Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group.
Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonnna S. 2009. Handbook of
Qualitatif Research. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Geertz, Clifford. 1983. Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta : PT Pustaka Jaya.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta : Kanisius.
Geettz, Hildred. 1981. Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia. Jakarta
: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial dan FIS – Universitas Indonesia.
Hidayatullah, Furqon Syarif. 2013. Sedekah Bumi Dusun Cisampih
Cilacap, dalam Jurnal El Harakah Volume 15 No 1 2013 UIN
Malang.
Ismail, Arifuddin. 2012. Agama Nelayan Pergumulan Islam dengan Budaya
Lokal. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
……………….. 2013. Ziarah ke Makam Wali: Fenomena Tradisional
di Zaman Modern. Makassar : Jurnal Al Qalam Jurnal
Penelitian Agama Filosofi dan Sistem Volume 19 Nomor 2
November 2013.
Kee, Ling How. 2014. Pribumisasi Pekerjaan Sosial: Penelitian dan
Praktek di Serawak. Yogyakarta : Samudra Biru.
Koentjaraningrat. 1975. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta :
Djambatan

177
Belajar Kearifan Budaya Membangun Kerukunan Beragama

………………... 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian


Rakyat.
Lombard, Denys. 2008. Nusa Jawa : Silang Budaya Jaringan Asia 2. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. 2000. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Rosda
Karya
Muqoyiddin, Andik Wahyun. 2013. Dialektika Islam dan Budaya Lokal
Jawa. Purwokerto : Ibda’ Jurnal Kebudayaan Islam, Volume 11 No.1
Januari-Juni 2013 STAIN Purwokerto.
Mustakim. 2010. Gresik dalam Lintasan Lima Zaman : Kajian Sejarah
Ekonomi, Politik, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta : Pustaka
Eureka.
Mustolehudin. 2014. Agama dan Kearifan Lokal dalam Konteks
Kekinian: Model Pembinaan Kerukunan Beragama Berbasis
Komunitas di Jawa Timur (Studi terhadap Tradisi Haul dan
Sedekah Bumi di Gresik). Semarang : Balai Litbang Agama
Semarang
………………. 2014. Merawat Tradisi Membangun Harmoni:
Tinjauan Sosiologis Tradisi Haul dan Sedekah Bumi di
Gresik. Jurnal Harmoni Volume 13 No. 3 Puslitbang
Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kemenag
RI.
Newberry, Jan. 2013. Back Door Java : Negara, Rumah Tangga, dan Kampung
di Keluarga Jawa. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia
dan KITLV.
Nur Syam. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta : LKiS.
Purwadi. 2007. Pranata Sosial Jawa. Yogyakarta : Cipta Pustaka.
Ricklefs, M.C. 2013. Mengislamkan Jawa : Sejarah Islamisasi di Jawa dan
Penentangnya dari 1930 sampai sekarang. Jakarta : PT. Serambi
Ilmu Semesta.
Soekarman. 1990. Babad Gresik. Surakarta : Museum Radya Pustaka.

178
Membangun Harmoni Melalui Gulat Okol di Desa Setro Gresik

Solikhin, Mat. 2013. Kesalehan Sosial Ritual Nyadran. Semarang : Jurnal


Dewaruci Jurnal Dinamika Islam dan Budaya Jawa, edisi 21,
Juli-Desember 2013.
Supandhi, Ucok [et.all]. 2005. Wacan Sindujoyo Babad Kroman Gresik.
Gresik : Pimpinan Cabang Lesbumi NU.
Thohir, Mudjahirin. 2005. Kekerasan Sosial di Pesisir Utara Jawa: Kajian
Berdasarkan Paradigma Kualitatif. Semarang : Lengkongcilik
Press bekerja sama dengan Pusat Penelitian Sosial Budaya
Lembaga Penelitian Undip.
……………………. 2013. Metodologi Penelitian Sosial Budaya
Berdasarkan Pendekatan Kualitatif. Semarang : Fasindo Press
Widodo, Dukut Imam. 2004. Grissee Tempo Doeloe. Gresik : Pemerintah
Kabupaten Gresik.

179
BIODATA PENULIS

Drs. H. Sulaiman, M.Ag. : Peneliti pada jenjang Ahli Peneliti Utama


(APU) di Balai Litbang Agama Semarang. Pendidikan S.1 dan
S.2 ditempuhnya di IAIN Walisongo Semarang. Selain aktivitas
penelitian, ia juga menjadi pemimpin redaksi Jurnal Analisa.
Beberapa hasil penelitian yang telah dihasilkan antara lain:
Antara mistik Jawa dan tasawuf dalam sebuah sebuah kajian
filosofis; Upacara keagamaan dalam perspektif budaya local;
Upacara Ngaben dalam perspektif budaya Bali; Konflik dan
integrasi di kalangan masyarakat Gemolong Sragen, Sikap
umat beragama terhadap kebijakan pemerintah, Hubungan
antar umat beragama di Bali (studi kasus di Desa Petang,
Badung), Pemberdayaan golongan miskin; studi peran
organisasi MWC NU Limpung Batang, Lembaga pendidikan
dalam perspektif sejarah peradaban Islam, Agama Khonghucu:
sejarah, ajaran dan keorganisasiannya di Pontianak,
Problematika pelayanan KUA Anamuban Timur NTT,
Dominasi tradisi dalam perkawinan di bawah umur, Islam

227
Aboge : pelestarian nilai-nilai lama di tengah perubahan social,
dan kepuasan jamaah haji terhadap pelayanan KBH di Jepara.

Lilam Kadarin Nuriyanto, S.E., M.Si. : Peneliti pertama pada Balai


Litbang Agama Semarang. Studi S-2 ditempuh di Universitas
Batik Surakarta dengan konsentrasi Magister Manajemen
(2011). Pengalaman penelitian yang pernah dilakukan adalah
Kearifan Lokal Berbasis Agama di Kabupaten Tengger, Peran
Agama dalam Menanggulangi KDRT, Pendirian Rumah Ibadah
di Kota Surakarta, Bimbingan Manasik Haji oleh Kementerian
Agama di Kota Banjarmasin, dan Indeks Modal Sosial dalam
Membingkai Kerukunan Umat Beragama di Surakarta. Salah
karyanya yang diterbitkan di jurnal ilmiah adalah Integrasi
Sosial Pengelolaan Rumah Ibadah Islam dan Kristen di
Surakarta.

Rosidin, S.E., M.M.: Peneliti Muda pada bidang Kehidupan Keagaman


Balai Litbang Agama Semarang. Studi S2-nya di Magister
Manajemen USM Semarang selesai tahun 2011. Penelitian
yang pernah dilakukan adalah Keluarga sakinah di Lombok
Tengah, Peran penyuluh dalam membina kehidupan umat
beragama di Kalimantan Tengah, Peran agama dalam
menanggulangi KDRT di Brebes, Bimbingan manasik haji di
Lombok Utara, indeks modal sosial di Bumiayu Brebes.
Karyanya ilmiah di jurnal antara lain: sufisme perkotaan dan
nalar beragama inklusif di Surakarta terbit di jurnal Analisa,
Relasi mayoritas pengalaman masyarakat Tegal dalam
pendirian rumah ibadah kong Miao di jurnal Penamas, dan
nilai-nilai kerukunan masyarakat Bawean Gresik terbit di jurnal
Al Qalam Makassar.

Dra. Hj. Marmiati Mawardi, M.Hum., : Peneliti Madya di Balai


Litbang Agama Semarang. Pendidikan S2-nya ditempuh di
Universitas Soegijapranata Semarang lulus tahun 2011. Hasil

228
penelitian yang dilakukannya antara lain: Corak Kerukunan
Umat Kristen dan Umat Islam di Kelurahan Naikolan, Tradisi
Upacara Kematian Umat Khonghucu dalam Perspektif
Psikologis, Problematika Perkawinan di Bawah Umur,
Pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA) Terhadap Masyarakat
Di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan D.I. Yogyakarta
(Studi Kasus KUA Kecamatan Pemalang Kabupaten
Pemalang Jawa Tengah), Pemberdayaan Zakat, Infaq, dan
Sodaqoh (ZIS) Di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa
Tenggara Barat (Studi Kasus BAZDA Kota Surakarta Jawa
Tengah), Studi Tentang Pemberdayaan Perempuan Islam Pada
Organisasi Nasyiyatul Aisyiyah Di Kota Yogyakarta D.I.
Yogyakarta, Kehidupan Beragama di Kalangan Golongan
Miskin DI Kota Kecil Di Jawa Tengah, Bimbingan Manasik
Haji di Gresik, dan Indeks modal Sosial dalam membingkai
kerukunan umat beragama di Surakarta.

Joko Tri Haryanto, S.Ag, M.S.I. : Peneliti pada jenjang peneliti madya
di Balai Litbang Agama Semarang. Menyelesaikan pendidikan
S1 dan S2 di IAIN Walisongo Semarang. Sekarang juga
menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnal SMaRT (Studi
Masyarakat Religi dan Tradisi) di Balai LItbang Agama. Hasil
penelitian yang diterbitkan sebagai karya ilmiah antara lain :
Norma Sosial Nyama Braya bagi Kerukunan Umat Beragama
(Studi terhadap Masyarakat Angantiga Bali), Interaksi dan
Harmoni Umat Beragama di Singkawang Kalimantan Barat,
Pola Kerukunan Umat Beragama (Studi terhadap Interaksi
Sosial Antarumat Beragama di Kota Singkawang), Pelayanan
KUA Terhadap Persoalan Keagamaan di Kabupaten Belu
NTT, Dakwah Sufistik (Kajian Sistem Dakwah dalam
Perkembangan Tasawuf Modern), Kearifan Lokal Memelihara
Harmoni di Kampung Islam Angantiga Bali, Dinamika Kristen
Kalimantan Barat dalam Upaya Mempertemukan Dogma

229
Kristen dengan Tradisi Tionghoa, Dinamika Kerukunan Intern
Umat Islam dalam Relasi Etnisitas dan Agama di Kalteng.

Arnis Rachmadhani, S.S., M.S.I., : Peneliti Muda di Balai Litbang


Agama Semarang. Pendidikan S2 ditempuhnya di IAIN
Walisongo Semarang. Penelitian yang pernah dilakukan adalah
Pelayanan Kantor Urusan Agama (KUA) Terhadap Masyarakat
di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Dan D.I. Yogyakarta
(Studi Kasus KUA Kecamatan Jepon Kabupaten Blora Jawa
Tengah), Pemberdayaan Zakat, Infaq, dan Sodaqoh (ZIS) Di
Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Barat (Studi
Kasus BAZDA Kabupaten Sragen Jawa Tengah), Studi
Tentang Pemberdayaan Perempuan Islam Pada Pimpinan
Wilayah ‘Aisyiyah di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat,
Studi Kasus Potensi Ahmadiyah Qodian Purwokerto -Jawa
Tengah, Religi Etnis Cina Di Jawa Pada Era Global, Dnamika
kehidupan umat beragama di Surakarta, Bimbingan manasik
ibadah haji di NTB, dan indeks modal sosial dalam membingkai
kehidupan umat beragama di Surakarta, perkawinan wektu
telu masyarakat Bayan Lombak Utara, dan Analisis terhadap
Konflik Sampang II.

Mustolehudin, S.Ag., S.IPI., M.S.I. : Peneliti pertama di Balai Litbang


Agama Semarang. Pendidikan S1 dan S2 diselesaikan dari IAIN
Walisongo Semarang. Beberapa artikel yang telah terpublikasi
diberbagai Jurnal Ilmiah adalah: Etika Jawa dalam Perspektif
Islam :Kajian terhadap Serat Wirid Hidayat Jati”(Jurnal Analisa
No.18. Tahun IX Oktober 2004 Balai Litbang Agama
Semarang), Dimesi Moral dalam Kidung Mantra Wedha:Kajian
Filosofis terhadap Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga” (Jurnal
Analisa No.19 Tahun X April 2005 Balai Litbang Agama
Semarang). Hasil penelitian lainnya: Nilai moral dalam lirik
dangdut Rhoma Irama, Mengenal Ajaran Gerakan Syiah,
Pandangan Ideologis-Teologis Muhammadiyah dan Majelis

230
Tafsir Al-Qur’an (Studi Gerakan Purifikasi Islam di Surakarta),
Pendekatan Sosiologis dalam Penanganan Potensi Konflik
Pendirian Rumah Ibadah (Kasus Vihara Prajna Maitreya
Purwokerto), Melacak Nilai-Nilai Perdamaian melalui Teks
Keagamaan Interpretasi terhadap Wacan Sindujoyo Babad
Kroman Gresik, dan Geneologi ulama Banjar abad 15 – 20.

Setyo Boedi Oetomo, S.Pd. : Peneliti Pertama pada Balai Litbang


Agama Semarang. Saat ini sedang menempuh pendidikan S2
di Universitas Negeri Semarang. Penelitian yang pernah
dilakukan adalah : Kearifan lokal dalam membingkai
kerukunan umat beragama di Tengger, Peran tokoh agama
dalam menjaga kerukunan umat beragama di Gresik, Pendirian
rumah ibadat pasca diberlakukannya PBM No 8 dan 9 tahun
2006 di Kabupaten Semarang, Bimbingan manasik haji di Kota
Surabaya, dan penelitian Indeks modal social dalam
membingkai kerukunan umat beragama di Brebes. Kemudian
karya ilmiahnya yang diterbitkan dalam bentuk jurnal yaitu ;
Peran Gate Keepers dalam membangun jaringan tokoh lintas
agama berbasis kearifan lokal di Gresik.

231
View publication stats

Anda mungkin juga menyukai