Anda di halaman 1dari 3

Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah (1): Integrasi Budaya dan Islam

Oleh: Lailatul Mukaromah

Integrasi budaya merupakan penyesuaian antara unsur kebudayaan yang saling berbeda agar
tercapai suatu keserasian fungsi dalam kehidupan masyarakat (KBBI Daring). Seperti halnya
Indonesia negara Bineka Tunggal Ika yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa; ras; dan
agama, sangat memungkinkan terjadinya proses integrasi kebudayaan di dalamnya. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor salah satunya adalah proses masuknya agama Islam.

Konsep Masuknya Islam di Nusantara

Terdapat tiga konsep masuknya Islam di Nusantara yaitu integratif, dialogis, dan gabungan
antar keduanya dialogis-integratif (Nurdin 2016: 46).

Pertama, yaitu integratif. Sebagian besar aspek kehidupan dan kebudayaan dalam masyarakat
diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam. Hal ini terjadi karena telah banyak masyarakat yang
memeluk Islam bahkan sebelum raja atau penguasa saat itu memeluk agama Islam.

Kedua, adalah dialogis. Islam dipaksa untuk berdialog dengan tradisi yang sudah hidup dalam
masyarakat, karena sistem kekuasaan masih mempertahankan sistem lama dan masyarakat
belum sepenuhnya memeluk agama Islam.

Ketiga, adalah pola gabungan yang terjadi karena raja dan bangsawan memeluk Islam lebih
dulu kemudian diikuti oleh masyarakat dengan budaya yang beragam (Nurdin 2016: 46).

Sebagian besar pola tersebut masih ada dalam tradisi dan ritual keagamaan masyarakat
Indonesia sampai saat ini. Salah satunya adalah warisan budaya leluhur tradisi Siraman Gong
Kyai Pradah oleh masyarakat Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.

Sejarah Gong Kyai Pradah

Gong Kyai Pradah sendiri merupakan salah satu pusaka leluhur di Kabupaten Blitar, yang
artinya tradisi penyiraman tersebut termasuk bentuk upacara penyucian pusaka dengan
menggunakan air kembang setaman (Gita & Ayundasari 2021: 744).

Adapun sejarah tradisi Siraman Gong Kyai Pradah sebagaimana penjelasan juru kunci yaitu
Bapak As’adi, bermula ketika Pangeran Prabu hendak meninggalkan desa beliau menitipkan
gong tersebut kepada penasihatnya yaitu Ki Eyang Tariman. Kemudian memberi pesan
kepadanya agar selalu menyiram pusaka tersebut setiap bulan Maulid dan bulan Syawal
(Devi & Hendriani 2021: 14).

Sedikit berbeda dengan pernyataan juru kunci, Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan,
Pemuda, dan Olahraga (DISPARBUDPORA) menjelaskan sejarah tradisi siraman bermula
ketika Pangeran Prabu bersama istri dan anaknya diasingkan ke hutan dan beliau membawa
senjata berupa gong.

Kemudian pusaka gong tersebut dititipkan kepada Nyi Rondho Patrosuto dan beliau berpesan
kepadanya untuk menyirami gong tersebut dua tahun sekali yaitu pada bulan Maulid dan
bulan Syawal. Dalam perjalanan pengasingan, setiap tempat persinggahan beliau nantinya
akan menjadi legenda dari nama-nama desa (Devi & Hendriani 2021: 15).

Berdasarkan penuturan tersebut, sejatinya penyiraman Gong Kyai Pradah bermaksud untuk
menghormati pesan dari Pangeran Prabu sekaligus untuk mengenang jasa-jasa beliau (Devi &
Hendriani 2021: 15).

Nilai Moral dalam Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah

Tradisi Siraman Gong Kyai Pradah cukup menarik banyak perhatian masyarakat dari
berbagai daerah. Inilah yang menjadikan tradisi tersebut sebagai identitas dari kabupaten
Blitar (Arianis 2018: 25).

Selain menjadi identitas suatu daerah, tradisi siraman Gong Kyai Pradah juga memberikan
banyak sekali nilai-nilai moral bagi masyarakat Blitar dan sekitarnya. Pelaksanaan siraman
pada bulan Maulid merupakan bentuk ekspresi kegembiraan memperingati hari kelahiran
Nabi Muhammad Saw. yang diiringi dengan berbagai acara keagamaan lainnya.

Begitu pula pelaksanaan siraman pada tanggal 1 Syawal bertujuan untuk meminta
permohonan kepada Allah Swt. dan juga sebagai bentuk upaya pembersihan diri dari dosa
(Gita & Ayundasari 2021: 747). Membunyikan Gong Kyai Pradah bertujuan untuk
mengumpulkan masyarakat agar saling memaafkan satu sama lain.

Adanya upacara siraman Gong Kyai Pradah memberikan berbagai dampak positif bagi
masyarakat Blitar. Salah satunya dari segi sosial, sikap saling menghargai; rasa kekeluargaan;
dan gotong royong terlihat saat prosesi upacara berlangsung. Seperti halnya ketika
menyiapkan sesajen; menghias seluruh sanggar; dan acara keagamaan lainnya yang
mengharuskan masyarakat melaksanakannya secara gotong royong.
Pelaksanaan kegiatan keagamaan dan selamatan sebelum hingga sesudah prosesi acara juga
memberikan dampak positif. Acara keagamaan bertujuan untuk menghilangkan perbedaan di
antara masyarakat, dan untuk mendoakan agar seluruh masyarakat terhindar dari gangguan
roh jahat yang membahayakan kehidupan mereka (Gita & Ayundasari 2021: 747).

DAFTAR RUJUKAN
Arianis, M. (2018) Ritual Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah: Studi Tentang Teatrikal
Kekuasaan, Jawa.

Devi, M. and Hendriani, D. (2021) ‘KALIPANG KECAMATAN SUTOJAYAN


KABUPATEN BLITAR Negara Indonesia adalah Negara’, Jurna Widya Citra, Vol.
2(2), p. Hlm. 14.

Gita, K.J. and Ayundasari, L. (2021) ‘Perspektif bagi masyarakat muslim tentang adanya
tradisi upacara adat Siraman Gong Kyai Pradah di Kecamatan Sutojayan, Kabupaten
Blitar, Jawa Timur’, Jurnal Integrasi dan Harmoni Inovatif Ilmu-Ilmu Sosial, Vol.
1(6), p. hlm. 744. Available at: https://doi.org/10.17977/um063v1i62021p741-749.

Moeljadi, D. et al. (no date) ‘Aplikasi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (KBBI V
0.2.1 Beta 21)’. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

Nurdin, A. (2016) ‘Integrasi Agama dan Budaya: Kajian Tentang Tradisi Maulod dalam
Masyarakat Aceh’, el-Harakah, Vol. 18(1), p. hlm. 46.

Anda mungkin juga menyukai