PROGRAM PASCASARJANA
Alamat : Jl. RA Kartini No.28, Purwosari, Kec. Metro Utara, Kota Metro, Lampung
Website : www.umala.ac.id / email : rektorat@umala.ac.id
Email: balchisartanti@gmail.com
Abstrak
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi proses pelaksanaan, memahami hakikat dan
nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Punggahan dan Pudunan. Penelitian ini menggunakan Metode
Analisis Data Lapangan yang menggunakan teknik pengumpulan data berupa dokumentasi,
kepustakaan, dan wawancara. Temuan penelitian menunjukkan bahwa tradisi Pudunan dan
Punggahan merupakan tradisi yang sudah sangat lama dipraktikkan dan masih dipraktikkan hingga
saat ini. Masyarakat menjadikan tradisi Punggahan dan Pudunan sebagai pedoman memperingati
bulan suci ramadhan dengan mempersiapkan leluhur yang telah berkeliling dunia untuk menerima
pengampunan dosa dari Tuhan Yang Maha Esa. Seperti biasa, masyarakat akan terpesona dengan
hal-hal kecil seperti tahlil dan pembacaan Surah Yasin. Jenis bingkisan (berkat) yang digunakan
masyarakat Dusun Kenteng di Punggahan dan Pudunan bermacam-macam. Pemberian berkat ini
dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan sedekah atau bentuk rasa syukur kepada Allah.
Pendahuluan
Penduduk Indonesia terdiri dari beberapa suku Suku dan Budaya. Mereka tinggal di
jantung nusantara dengan segala perbedaan adat dan hukum yang menentukan daerah asal
mereka (Azhari, 2018). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat luas, khususnya masyarakat
pedesaan, selalu memiliki suatu kebudayaan, bahkan masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang multikultural. Penduduk secara alami mengalami perubahan dari hari ke
hari, berkembang dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Masyarakat
tradisional dikenal dengan pola hidup yang relatif sederhana, mereka belajar dari alam dan
menerapkannya dalam kehidupan sosial.
Suku jawa mempunyai sistem kepercayaan yang terdiri dari sistem pendukung
kehidupan manusia yang disebut dengan kejawen. Sebagai suatu sistem yang terdiri dari
penciptanya, alam semesta, dan alam supranatural, alam dipandang menurut pandangan
kejawen (Purnomo, 2013). Dalam bahasa Indonesia, "kejawaan" dan "jawanisme" mengacu
pada kejawen, atau kejawaan. Paragraf terakhir merupakan gambaran unsur-unsur Jawa
Kebudayaan yang saling terkait satu sama lain secara hakiki, dan ini diartikan sebagai suatu
kategori yang unik. Kejawen bukan hanya kategori keagamaan. Namun. Ia lebih erat
kaitannya dengan seperangkat nilai dan cara hidup yang diapresiasi oleh masyarakat luas
(Wahyu, 2020).
Ramadhan adalah bulan yang dirayakan oleh seluruh umat Islam. Masyarakat Jawa
memiliki berbagai tradisi yang masih dilaksanakan dan dilestarikan dalam penyambutan bulan
Ramadhan (Nurjannah & Haziza, 2019), yaitu Punggahan dan Pudunan. Terdapat bias
tertentu di kalangan masyarakat Dusun Kenteng di Bandungan Kabupaten Semarang yang
sebagian besar fokus pada promosi Bulan Suci Ramadhan. Masyarakat Jawa yang menganut
bias seperti ini biasanya melakukannya pada hari Jumat pertama Ramadhan. Tradisi-tradisi
inilah yang menjadi penentu kemajuan masyarakat Dusun Kenteng, terutama bagi mereka
yang masih mampu menjalankan adat-istiadat tersebut dan seringkali menjunjung tinggi adat-
istiadat yang dilakukan secara turun temurun. Ada tradisi yang dilakukan sebelum ritual
Puasa, seperti tradisi Punggahan (berasal dari bahasa Jawa yang dianggap sakral) yang
dilakukan sebelum ritual Puasa. Menyusul kemudian ada tradisi prasangka Pudunan (turunan)
yang dilaksanakan pada Malam Selikuran (21), Malam lailatul qodar.
Punggahan, yang termolknya "Munggah" atau "naik," selama tahun terakhir hidup
didunia ini, masyarakat desa kenteng memaknai dengan menaikkannya catatan umat islam
(catatan amal baik dan buruknya manusia). Menurut Turoto (2021) punggahan dipahami
sebagai pengingatan kembali kepada manusia yang hidup, yaitu amal-amalnya yang sedang
dilaporkan kepada Allah. Sebaliknya, Pudunan dalam bahasa Jawa berarti “mudun” atau
“turun”. Masyarakat desa Kenteng memaknai dengan diturunkannya kertas putih yang
nantinya diisi oleh malaikat berupa amal baik dan buruknya umat Islam di dunia, kurang lebih
satu tahun ke depan sampai menjelang Ramadhan dekat inisial (Yatiman, 2021).
Saling salah satu masyarakat yang berbagai kebudayaan dan tradisi Jawa. Dalam tradisi
Jawa, terdapat adat istiadat dan kepercayaan lokal yang telah menjadi bagian dari budaya dan
identitas masyarakat. Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa mempunyai filosofi, mendalam,
dan luhur tersendiri. Oleh karena itu, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman dahulu, ketika
masyarakat Jawa sebagian besar masih ananismedinanisme. Seiring berjalannya waktu, tradisi
tersebut mengalami perubahan dan berkembang (Yuhana dan Syamsul Bahri, 2016:4).
Pembahasan
Punggahan merupakan adat istiadat berpuasa dan berkurban yang dilakukan masyarakat
sepanjang bulan Ramadhan, sedangkan Pudunan merupakan adat istiadat yang dilaksanakan
masyarakat pada hari raya Idul Fitri (Hidayat, 2018). Tradisi Punggahan dan Pudunan yang
dilakukan di Desa Donomulyo mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menghormati bulan
suci ramadhan dengan cara membagikan ritual seperti pembacaan surah ikhlas dan tahlil
kepada kerabat yang telah meninggal. Menurut tradisi Punggahan dan Pudunan yang
merupakan pemimpin tradisi ini, kegiatan ini dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat tanpa
memperhitungkan strata sosial. Peristiwa ini dilaporkan oleh seorang kyai atau orang biasa
yang mempunyai peristiwa tersebut di atas. Dalam hal ini, hubungan kedua istilah tersebut
hanya mengacu pada jangka waktu penyelenggaraan dan pemeliharaan Bingkisan atau
komunitas Donomulyo, dan dinyatakan dalam berkat (Sumarno, 2021).
Punggahan
Punggahan, juga dikenal sebagai naik dalam bahasa Jawa, berarti "Munggah." Selama
satu tahun terakhir hidup didunia ini, punggahan oleh masyarakat desa Donomulyo
dimaknaikkan catatan umat islam (catatan amal baik dan buruknya manusia). Punggahan
dianggap sebagai seruan agar umat manusia kembali ke keadaan semula, yakni menyerahkan
segala sesuatunya kepada Allah.
Masyarakat Donomulyo selalu melaksanakan tradisi ini setiap tahunnya pada hari ketiga
atau kedua sebelum merayakan Hari Raya Suci Ramadhan, atau lebih tepatnya pada hari
kelima belas Sya'ban. Dikenal juga dengan sebutan Ruwah Bulan yang dirayakan oleh
masyarakat Jawa dengan ritual yang dilakukan di setiap rumah tangga yang biasa dilakukan
puasa dan bersih-bersih guna memberikan sedekah kepada sanak saudara yang telah
meninggal. Amalan ini dilakukan dalam bentuk kenduri atau berkelompok dengan saling
membantu makan dan minum sesuai menu yang ada. Pada umumnya relawan acara
memberikan informasi atau nasehat kepada kerabat dan tetangga selama proses perencanaan.
Diantaranya adalah: beras, mie instan, gula, telur, teh, dan jajanan ringan (Turoto, 2021).
Berdasarkan penjelasan Bapak Sumarno beberapa tahun sebelum diadakannya pesta
adat punggahan yang terdiri dari nasi dan luk pauk. Namun karena kurun waktu yang dimulai
pada tahun 2000, ditandai dengan adanya penurunan (Sumarno, 2021). Penduduk saat ini
lebih mahir dalam melaksanakan tugas dengan bermartabat; mereka tidak mudah terintimidasi
atau jengkel ketika menyelenggarakan suatu acara, karena menyadari masih banyak pekerjaan
lain yang harus diselesaikan (Azhari, 2018). Akibatnya, masyarakat Desa Donomulyo kini
lebih mengandalkan sembako yang hanya bisa dibeli di warung tanpa memerlukan uang
(Sumarno, 2021).
Pudunan
Dalam Bahasa Jawa, mudunan atau turun adalah kata untuk pusdunan. Masyarakat desa
Donomulyo memaknai dengan diturunkannya kertas putih yang harus diisi oleh malaikat
berupa amal baik dan buruknya umat islam di dunia, kurang lebih satu tahun ke depan sampai
menjelang ramadhan berikutnya. Berbeda dengan penggahan, pudunan dilaksanakan pada hari
ke 21 (Selikuran) pada bulan Ramadhan. Waktu yang digunakan untuk pudunan adat biasanya
dari subuh (pukul 16.30) hingga magrib sebelum sembahyang. Bengkisan (berkat) yang
dipersembahkan antara lain Ketan, Apem, dan Pasung. Pokok-pokok setiap Bingkisan adalah:
Ketan: mempunyai keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
(misalnya mengawali Puasa Lima Hari, Sunnah Tarawih, Sholat Puasa, I'tikaf di Masjid, Al-
Qur'an, dll); Sebagai pasang yang memiliki makna gambaran yang diterapkan untuk
melindungi manusia di dunia dan akhirat; Pisang: mempunyai kekuatan yang tidak berkurang
dari visi kenabian Allah SWT (Yatiman, 2021).