Anda di halaman 1dari 9

UNIVERSITAS MA’ARIF LAMPUNG (UMALA)

PROGRAM PASCASARJANA
Alamat : Jl. RA Kartini No.28, Purwosari, Kec. Metro Utara, Kota Metro, Lampung
Website : www.umala.ac.id / email : rektorat@umala.ac.id

Tradisi Punggahan dan Pudunan Dalam Menyambut Bulan Ramadhan

(Studi Kasus Desa Donomulyo Kec. Sekampung )

Balqis Yuni Artanti1


1,
Program Studi, Pascasarjana Universitas Ma’arif Lampung (UMALA), Indonesia

Email: balchisartanti@gmail.com

Abstrak

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi proses pelaksanaan, memahami hakikat dan
nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Punggahan dan Pudunan. Penelitian ini menggunakan Metode
Analisis Data Lapangan yang menggunakan teknik pengumpulan data berupa dokumentasi,
kepustakaan, dan wawancara. Temuan penelitian menunjukkan bahwa tradisi Pudunan dan
Punggahan merupakan tradisi yang sudah sangat lama dipraktikkan dan masih dipraktikkan hingga
saat ini. Masyarakat menjadikan tradisi Punggahan dan Pudunan sebagai pedoman memperingati
bulan suci ramadhan dengan mempersiapkan leluhur yang telah berkeliling dunia untuk menerima
pengampunan dosa dari Tuhan Yang Maha Esa. Seperti biasa, masyarakat akan terpesona dengan
hal-hal kecil seperti tahlil dan pembacaan Surah Yasin. Jenis bingkisan (berkat) yang digunakan
masyarakat Dusun Kenteng di Punggahan dan Pudunan bermacam-macam. Pemberian berkat ini
dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan sedekah atau bentuk rasa syukur kepada Allah.

Kata Kunci : Ramadhan, Pudunan, Punggahan, dan Tradisi.

Pendahuluan

Bangsa Indonesia merupakan sekelompok masyarakat yang memiliki warisan agama


dan budaya yang kuat. Dalam aliran pemikiran Koentjaraningrat, agama dibagi menjadi tiga
kategori: sistem budaya, sistem sosial, dan artefak. Oleh karena itu, kebudayaan berorientasi
pada beberapa komponen utama, yaitu komponen yang bersifat kognitif, normatif, dan
material. Adat istiadat Indonesia memang khas dan mempesona. Daya kelestarian dipengaruhi
oleh keinginan masyarakat untuk menegakkan daya yang mulai suram (Zaelani, 2019).

Penduduk Indonesia terdiri dari beberapa suku Suku dan Budaya. Mereka tinggal di
jantung nusantara dengan segala perbedaan adat dan hukum yang menentukan daerah asal
mereka (Azhari, 2018). Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat luas, khususnya masyarakat
pedesaan, selalu memiliki suatu kebudayaan, bahkan masyarakat Indonesia dikenal sebagai
masyarakat yang multikultural. Penduduk secara alami mengalami perubahan dari hari ke
hari, berkembang dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Masyarakat
tradisional dikenal dengan pola hidup yang relatif sederhana, mereka belajar dari alam dan
menerapkannya dalam kehidupan sosial.

Adat istiadat masyarakatnya beradaptasi dan berubah sesuai dengan lingkungan


sosialnya. Adat istiadat masyarakat sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, agama, dan
budaya. Tradisi masyarakat secara turun temurun dengan ciri-cirinya tumbuh dan berkembang
secara turun temurun. Aturan baku diterapkan, namun wujudnya dalam bentuk lisan, perilaku
dan kebiasaan tetap terjaga. Berbagai jenis tradisi telah dipelajari oleh para sosiolog dan
antropolog sehingga menghasilkan penafsiran yang mengatakan bahwa setiap masyarakat
mempunyai tradisi kepercayaan diri yang unik, dimana tradisi tersebut diturunkan dari
generasi ke generasi secara turun-temurun (Abdullah, 2020). ).

Suku jawa mempunyai sistem kepercayaan yang terdiri dari sistem pendukung
kehidupan manusia yang disebut dengan kejawen. Sebagai suatu sistem yang terdiri dari
penciptanya, alam semesta, dan alam supranatural, alam dipandang menurut pandangan
kejawen (Purnomo, 2013). Dalam bahasa Indonesia, "kejawaan" dan "jawanisme" mengacu
pada kejawen, atau kejawaan. Paragraf terakhir merupakan gambaran unsur-unsur Jawa
Kebudayaan yang saling terkait satu sama lain secara hakiki, dan ini diartikan sebagai suatu
kategori yang unik. Kejawen bukan hanya kategori keagamaan. Namun. Ia lebih erat
kaitannya dengan seperangkat nilai dan cara hidup yang diapresiasi oleh masyarakat luas
(Wahyu, 2020).

Ramadhan adalah bulan yang dirayakan oleh seluruh umat Islam. Masyarakat Jawa
memiliki berbagai tradisi yang masih dilaksanakan dan dilestarikan dalam penyambutan bulan
Ramadhan (Nurjannah & Haziza, 2019), yaitu Punggahan dan Pudunan. Terdapat bias
tertentu di kalangan masyarakat Dusun Kenteng di Bandungan Kabupaten Semarang yang
sebagian besar fokus pada promosi Bulan Suci Ramadhan. Masyarakat Jawa yang menganut
bias seperti ini biasanya melakukannya pada hari Jumat pertama Ramadhan. Tradisi-tradisi
inilah yang menjadi penentu kemajuan masyarakat Dusun Kenteng, terutama bagi mereka
yang masih mampu menjalankan adat-istiadat tersebut dan seringkali menjunjung tinggi adat-
istiadat yang dilakukan secara turun temurun. Ada tradisi yang dilakukan sebelum ritual
Puasa, seperti tradisi Punggahan (berasal dari bahasa Jawa yang dianggap sakral) yang
dilakukan sebelum ritual Puasa. Menyusul kemudian ada tradisi prasangka Pudunan (turunan)
yang dilaksanakan pada Malam Selikuran (21), Malam lailatul qodar.

Punggahan, yang termolknya "Munggah" atau "naik," selama tahun terakhir hidup
didunia ini, masyarakat desa kenteng memaknai dengan menaikkannya catatan umat islam
(catatan amal baik dan buruknya manusia). Menurut Turoto (2021) punggahan dipahami
sebagai pengingatan kembali kepada manusia yang hidup, yaitu amal-amalnya yang sedang
dilaporkan kepada Allah. Sebaliknya, Pudunan dalam bahasa Jawa berarti “mudun” atau
“turun”. Masyarakat desa Kenteng memaknai dengan diturunkannya kertas putih yang
nantinya diisi oleh malaikat berupa amal baik dan buruknya umat Islam di dunia, kurang lebih
satu tahun ke depan sampai menjelang Ramadhan dekat inisial (Yatiman, 2021).

Saling salah satu masyarakat yang berbagai kebudayaan dan tradisi Jawa. Dalam tradisi
Jawa, terdapat adat istiadat dan kepercayaan lokal yang telah menjadi bagian dari budaya dan
identitas masyarakat. Setiap tradisi dalam masyarakat Jawa mempunyai filosofi, mendalam,
dan luhur tersendiri. Oleh karena itu, tradisi tersebut sudah ada sejak zaman dahulu, ketika
masyarakat Jawa sebagian besar masih ananismedinanisme. Seiring berjalannya waktu, tradisi
tersebut mengalami perubahan dan berkembang (Yuhana dan Syamsul Bahri, 2016:4).

Pembahasan

a. Pelaksanaan Punggahan dan Pudunan di desa Donomulyo

Punggahan merupakan adat istiadat berpuasa dan berkurban yang dilakukan masyarakat
sepanjang bulan Ramadhan, sedangkan Pudunan merupakan adat istiadat yang dilaksanakan
masyarakat pada hari raya Idul Fitri (Hidayat, 2018). Tradisi Punggahan dan Pudunan yang
dilakukan di Desa Donomulyo mempunyai tujuan yang sama, yaitu untuk menghormati bulan
suci ramadhan dengan cara membagikan ritual seperti pembacaan surah ikhlas dan tahlil
kepada kerabat yang telah meninggal. Menurut tradisi Punggahan dan Pudunan yang
merupakan pemimpin tradisi ini, kegiatan ini dilakukan oleh setiap lapisan masyarakat tanpa
memperhitungkan strata sosial. Peristiwa ini dilaporkan oleh seorang kyai atau orang biasa
yang mempunyai peristiwa tersebut di atas. Dalam hal ini, hubungan kedua istilah tersebut
hanya mengacu pada jangka waktu penyelenggaraan dan pemeliharaan Bingkisan atau
komunitas Donomulyo, dan dinyatakan dalam berkat (Sumarno, 2021).

Punggahan
Punggahan, juga dikenal sebagai naik dalam bahasa Jawa, berarti "Munggah." Selama
satu tahun terakhir hidup didunia ini, punggahan oleh masyarakat desa Donomulyo
dimaknaikkan catatan umat islam (catatan amal baik dan buruknya manusia). Punggahan
dianggap sebagai seruan agar umat manusia kembali ke keadaan semula, yakni menyerahkan
segala sesuatunya kepada Allah.
Masyarakat Donomulyo selalu melaksanakan tradisi ini setiap tahunnya pada hari ketiga
atau kedua sebelum merayakan Hari Raya Suci Ramadhan, atau lebih tepatnya pada hari
kelima belas Sya'ban. Dikenal juga dengan sebutan Ruwah Bulan yang dirayakan oleh
masyarakat Jawa dengan ritual yang dilakukan di setiap rumah tangga yang biasa dilakukan
puasa dan bersih-bersih guna memberikan sedekah kepada sanak saudara yang telah
meninggal. Amalan ini dilakukan dalam bentuk kenduri atau berkelompok dengan saling
membantu makan dan minum sesuai menu yang ada. Pada umumnya relawan acara
memberikan informasi atau nasehat kepada kerabat dan tetangga selama proses perencanaan.
Diantaranya adalah: beras, mie instan, gula, telur, teh, dan jajanan ringan (Turoto, 2021).
Berdasarkan penjelasan Bapak Sumarno beberapa tahun sebelum diadakannya pesta
adat punggahan yang terdiri dari nasi dan luk pauk. Namun karena kurun waktu yang dimulai
pada tahun 2000, ditandai dengan adanya penurunan (Sumarno, 2021). Penduduk saat ini
lebih mahir dalam melaksanakan tugas dengan bermartabat; mereka tidak mudah terintimidasi
atau jengkel ketika menyelenggarakan suatu acara, karena menyadari masih banyak pekerjaan
lain yang harus diselesaikan (Azhari, 2018). Akibatnya, masyarakat Desa Donomulyo kini
lebih mengandalkan sembako yang hanya bisa dibeli di warung tanpa memerlukan uang
(Sumarno, 2021).
Pudunan
Dalam Bahasa Jawa, mudunan atau turun adalah kata untuk pusdunan. Masyarakat desa
Donomulyo memaknai dengan diturunkannya kertas putih yang harus diisi oleh malaikat
berupa amal baik dan buruknya umat islam di dunia, kurang lebih satu tahun ke depan sampai
menjelang ramadhan berikutnya. Berbeda dengan penggahan, pudunan dilaksanakan pada hari
ke 21 (Selikuran) pada bulan Ramadhan. Waktu yang digunakan untuk pudunan adat biasanya
dari subuh (pukul 16.30) hingga magrib sebelum sembahyang. Bengkisan (berkat) yang
dipersembahkan antara lain Ketan, Apem, dan Pasung. Pokok-pokok setiap Bingkisan adalah:
Ketan: mempunyai keinginan yang kuat untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT
(misalnya mengawali Puasa Lima Hari, Sunnah Tarawih, Sholat Puasa, I'tikaf di Masjid, Al-
Qur'an, dll); Sebagai pasang yang memiliki makna gambaran yang diterapkan untuk
melindungi manusia di dunia dan akhirat; Pisang: mempunyai kekuatan yang tidak berkurang
dari visi kenabian Allah SWT (Yatiman, 2021).

b. Makna tradisi punggahan dan pudunan


Menaikkan katatan umat islam selama tahun terakhir dengan penggahan oleh
masyarakat desa Donomulyo. Hikmah yang dipaparkan di sini adalah pentingnya kebaikan
dan toleransi manusia, khususnya di kalangan umat Islam sepanjang sejarah (Turoto, 2021).
Punggahan dipahami sebagai upaya untuk mengingatkan orang-orang yang masih hidup
bahwa hanya Allah SWT yang benar-benar mengetahui segalanya saat ini. Hal ini terkait
dengan kesadaran umum akan serangan asteroid yang akan datang berdasarkan informasi
yang sangat akurat (Sholihin, 2009). Upacara “punggahan” juga diadakan untuk mengenang
dan sesekali “nyrateni” umat manusia dengan dua cara. Pertama, arwah “munggah” (naik)
dari barzah ke dunia, kemudian kembali ke rumah waris untuk “nyadong” kiriman waris dan
melihat kemiripannya. Dalam hal ini tujuan mereka adalah untuk menghormati ampunan.
Punggahan, atau ketekunan, adalah proses membuat sesuatu berhasil dan mencapai
tujuannya. Amalan ini dilakukan dalam bentuk kenduri atau berkelompok dengan saling
membantu makan dan minum sesuai menu yang ada. Terdapat perubahan pada layanan
bingkisan (berkat) yang diberikan pada acara punggahan, dimana nenek moyang yang
dulunya terdiri dari nasi dan lauk pauk, namun kini digantikan dengan sembako (Sumarno,
2021).
Suatu kelompok masyarakat memang bisa dipungkiri, karena suatu adat atau tradisi bisa
mengalami perubahan oleh banyak hal. Sifat pebahan itu sendiri dapat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, baik dari dalam masyarakat setempat maupun dari luar masyarakat, yang
mungkin berdampak negatif terhadap pelaksanaan suatu praktik tradisional tertentu (Azhari,
2018). Namun perubahan tersebut tidak begitu signifikan dengan apa yang terdapat dalam
tradisi tersebut karena masyarakat memahami bahwa amalan tersebut dilakukan dengan niat
ridha Allah karena telah diberikan nikmat kecukupan dalam kelompoknya (Sumarno, 2021).
Kata "sedekahan" berasal dari kata Arab "shidq" yang berarti "jujur". Oleh karena itu,
komitmen atau fitrah kemanusiaan ini adalah menaati aturan secara konsisten. Jika seseorang
terlibat dalam aktivitas yang mengancam jiwa, ia bisa menjadi kafir, munafik, atau fasik.
Meski demikian, orientasi terbalik ini cenderung mengingatkan individu untuk selalu berada
di bawah bayang-bayang Nabi Muhammad SAW. Salah satu wujud komitmen pada
kebenaran ini adalah memberikan derma secara ikhlas, semata-mata didasari rasa pengabdian
kepada Allah, yang diberikan kepada kaum fakir miskin, anak-anak yatim, orangorang yang
terbelenggu kemiskinan (finansial maupun struktural), atau orang yang lalu menggunakan
hidupnya untuk sudah membela agama.
Dalam Bahasa Jawa, mudunan atau turun adalah kata untuk pusdunan. Masyarakat desa
Donomulyo memaknai dengan diturunkannya kertas putih yang harus diisi oleh malaikat
berupa amal baik dan buruknya umat islam di dunia, kurang lebih satu tahun ke depan sampai
menjelang ramadhan berikutnya. Berbeda dengan pudunan, pudunan dilaksanakan pada hari
ke-21 Ramadhan atau lebih dikenal dengan sebutan Selikuran. Tradisi pudunan dilaksanakan
sesuai dengan nama Malam Selikuran yang oleh masyarakat Islam disebut sebagai Malam
Lailatul Qodar (Yatiman, 2021). Malam Lailatul Qodar ini diartikan sebagai malam seribu
bulan yang dapat memperoleh keutamaan dan kemuliaan yang luar biasa oleh seseorang yang
tidur pada malam ganjil bulan puasa. Bingkisan (berkat) yang tersedia adalah ketan, apem,
pasung, dan pisang.
Kelompok biji-bijian serelia yang ukurannya agak besar, bulat dan lonjong serta warna
ketan yang putih susu, beras yang mirip dengan kelompok ketan. (Salma Al Zahra Ramadhani
dan Nor Mohammad Abdoeh, 2020:58) Teks yang sedikit lebih panjang ini memiliki tingkat
ketaqwaan yang lebih tinggi kepada Allah SWT (seperti memulai shalat lima waktu, sunnah
tawarih, shalat puasa, I'tikaf di masjid, Al-Qur'an, dll) (Adzani, 2021).
Apem dan Pasung: telur, gula, santan, tape, dan garam terdiri dari tepung beras ini
(Ramadhani & Abdoeh, 2020). serupa payung ini memiliki gambaran dengan membentuk
melindungi manusia di dunia dan akhirat (Adzani, 2021). Pisang: terdiri dari lonjong dan
kuning warna hijau untuk yang belum matang dan ketika matang. Bayi dengan biji lembut
seperti ini baik untuk kesehatannya (Ramadhani & Abdoeh, 2020) dan memiliki rasa
tanggung jawab yang kuat untuk menaati Allah SWT (Adzani, 2021).
Ada beberapa variasi dalam amalan tradisional ini, terkait dengan punggahan yang
dilakukan sesuai dengan titah Nabi Muhammad SAW. Lalu, sampai penghujung hari. Ketika
barulah selesai memperbaiki sedekah yang ada, biasanya berkat atau bawa pulang oleh
jamaah. Namun keduanya selalu sangat dekat dengan Nabi Muhammad dan nenek moyang
nenek (Riswanto, 2007).
c. Nilai Nilai yang terkandung di tradisi punggahan dan pudunan
Tradisi sepanjang Ramadhan ini memiliki standar yang sangat tinggi. Bukan hanya
sebagai sarana ekspresi diri kepada Allah SWT, namun juga sebagai salah satu cara umat
manusia beradaptasi dalam kehidupan bermasyarakat. Akibat dari semua ini, masyarakat
memiliki nilai-nilai yang sangat penting bagi mereka untuk hidup bermasyarakat. Antara lain:
Bahri dan Yuhana (2016).
1. Nilai Rukun dan Kemasyarakatan.
Bidang kemasyarakatan ini mengubah undang-undang yang mengatur kehidupan
manusia di bawah ikat pinggang, seperti undang-undang yang berkaitan dengan gender,
ketatanegaraan, hubungan antarmanusia dalam konteks sosial, dan undang-undang terkait
lainnya. Hal ini dapat membuat masyarakat seolah-olah mempunyai perasaan gotong royong,
rukun, dan persatuan dan kesatuan (Qudsiyah, 2019). Masyarakat Jawa berpegang teguh
bahwa rukun merupakan sistem untuk meningkatkan kondisi masyarakat yang aman, tanpa
gangguan dan keselarasan. Masyarakat Jawa dipandang mampu membawa ketentraman,
kenyamanan, dan ketenangan hidup dengan kerukunan dengan alam dan lingkungan
masyarakat. Prinsip dasar kerukunan adalah mewaspadai tindakan apa pun yang dapat
mengakibatkan konflik kekerasan. Hal ini akan mampu menumbuhkan rasa kebersamaan
dalam dinamika kehidupan sehari-hari.
2. Hormat Nilai Rasa
Prinsip hormat mempunyai hubungan yang kuat dengan masyarakat yang umumnya
bersifat hirarkis, seperti hubungan antara orang tua dan anak, serta hubungan antar saudara
kandung. Langkah pertama yang perlu dilakukan masyarakat Indonesia untuk memperkuat
kesatuan keluarga ini adalah dengan memiliki rasa tanggung jawab sosial yang kuat. Sejak
dahulu kala, masyarakat Jawa telah menekankan pentingnya tugas sosial ini kepada anak-
anak. Kesadaran tersebut dihadirkan secara lugas dalam tiga bentuk: Wedi, Isin, dan Sungkan.
Merupakan undang-undang yang paling banyak diterima oleh masyarakat, khususnya
masyarakat jawa, demi menjunjung tinggi setiap individu masyarakat. Hal ini terlihat dari
strata sosial atau bahkan kekerabatan. Namun, sebagian besar masyarakat Jawa memandang
hal ini sebagai tanda bahwa seseorang adalah kerabatan atau umur (Yuhana & Bahri, 2016).
3. Nilai Kepercayaan
Dalam praktik adat punggahan dan pudunan, masyarakat Desa Donomulyo
menunjukkan rasa kerendahan hati yang kuat dengan mengakui bahwa Allah SWT adalah
tujuan akhir mereka dalam memberi dan menerima. Segala sesuatu akan menderita jika hanya
dipersembahkan kepada Allah, terutama shalat, puasa, dan puasa (Qudsiyah, 2019).
4. Lokal Nilai Kearifan
Kearifan lokal dari tradisi punggahan dan pudunan ini adalah masyarakat pada
umumnya menghormati setiap tradisi yang ada dan diikuti oleh para sesepuh, karena dalam
tradisi tersebut terdapat nilai-nilai positif yang bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.
Atribut positif yang disebutkan di atas antara lain persahabatan, persatuan, dan rasa tujuan
serta kegembiraan bersama (Qudsiyah, 2019).
Kesimpulan
Setiap tahunnya di hari yang sama, masyarakat Dusun Donomulyo, Desa Donomulyo,
Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, melaksanakan tradisi Punggahan dan Pudunan.
Punggahan dilakukan tiga atau dua hari sebelum awal bulan Ramadhan, sedangkan Pudunan
dilakukan pada malam hari ke 21 (Selikuran) di hari Ramadhan.
Saat ini masyarakat disosialisasikan dengan mengirimkan pesan-pesan seperti kartu
ucapan dan surat ikhlas kepada kerabat almarhum. Dalam pengoperasiannya, diperlukan
beberapa hal yang berbeda, antara lain sembako (beras, mie instan, gula, minyak goring, teh
kemasan, telur, dan ringan sejenis roti). Makanan pokok yang harus disediakan adalah Ketan,
Apem, Pasung, dan Pisang, beserta makna yang disertakan dalam setiap makanan tersebut.
Punggahan dipahami sebagai seruan kepada umat manusia bahwa pada saat ini, seluruh hak
asasi manusia diserahkan kepada Allah, dan penderitaan ditandai dengan transformasi umat
manusia menjadi komunitas Islam sedunia yang lebih sempurna dan bersatu, mungkin lebih
dari pada masa mendatang. beberapa tahun. Berkat kemampuan masyarakat untuk selalu
bersikap baik terhadap satu sama lain dan terhadap diri sendiri, tradisi ini berpotensi
memperkuat sekaligus mengangkat konsep silaturahmi. Alhasil, saat masyarakat memulai
puasa Ramadhan, tak akan ada perbedaan pendapat. Tradisi Punggahan dan Pudunan dalam
Islam tidak ada; nyatanya Rasullah SAW tidak melakukan hal tersebut. Namun tradisi ini
tidak akan menimbulkan masalah apabila dilakukan sesuai dengan aspek positif dan tidak
melanggar nilai-nilai syariah Islam. Tradisi sepanjang Ramadhan ini memiliki standar yang
sangat tinggi. Bukan hanya sebagai sarana ekspresi diri kepada Allah SWT, namun juga
sebagai salah satu cara umat manusia beradaptasi dalam kehidupan bermasyarakat.
Daftar Pustaka
M. Q. Abdullah (2020). Riset Budaya: Strengthening Traditions during the Tengah
Moralitas Crisis. Selatan, Sulawesi: IAIN Parepare Press.
Setiawan, J.; Anggito, A. (2018). Methods for qualitative research. Barat Jawa: Jejak
CV (Jejak Publishing).
Edi, F. R. S. Metode Psikodiagnostik Wawancara Fitrianita, E., Widyasari, dan Pratiwi,
W. I. (2018). Leutika Prio, Yogyakarta.
Studi Kasus Tembalang Semarang: Membangun Etos dan Kearifan Lokal melalui
Foklor Endogami: Journal of Scientific Research on Anthropology, 2(1), 71-79.
Gunawan, I. Metode Penelitian yang Bersifat Kualitatif Bumi Aksara, Jakarta.
Hidayat, A. Rekonstruksi Pendidikan Islam Membantu Masyarakat Gunung Kemukus
Berubah Pikiran Edukasia: Journal of Islamic Education Research, 13(2), 379
Muhammad, N. pada tahun 2018. Mengambil Keutamaan Ramadhan dengan Ilmu.
Jakarta: Lentera Ship.
Nurjannah dan Haziza, S. Di Dusun VII Desa Laut Dendang, Arti Pemasangat Pitan
(Sajen) Untuk Menyambut Dan Mengakhiri Bulan Ramadhan Menurut Orang Jawa Jurnal
Antropologi Sumatera, Volume 17, Nomor 2, Tahun 1998.
Pawito, 2007 Studi Komunikasi Kualitatif PT LKIS Pelangi Aksa di Yogyakarta oleh
Purnomo.Buku "Tanaman Kultural Dalam Perspektif Adat Jawa" diterbitkan di Malang oleh
Brawijaya Press di Universitas.
Qudsiyah, R. Nilai-nilai Pendidikan Islam di Dusun Klesem Desa Selomirah Kecamatan
Ngablak Kabupaten Magelang. Studi ini ditulis di IAIN Salatiga.
Ramadhani dan Abdoeh (2020).
Adat Menjelang Ramadhan Al-Mada: Journal of Islamic, Social, and Cultural Studies,
3(1), 51–65.
Ristanto, A.M. Mukjizat Lailatul Qadar: Mendapat Berkah Pada Malam Seribu Bulan
Bandung: Penerbit Mizan.
Sholikhin, M. Perspektif Islam Jawa: Mitos Bulan Suro. Yogyakarta: Narasi. Sholikhin,
M. (2013). Tempatkan diri Anda di Sidratulmuntaha. Penerbitan: Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai