Anda di halaman 1dari 10

LOMBA ESAI VIDHAFEST 2021

HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM AJARAN TRI HITA KARANA


(Kajian Sederhana dalam Konteks Kearifan Lokal Jawa)

Disusun Oleh :
Yonna Aparacitta

Universitas Gadjah Mada


Tahun 2021
HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM AJARAN TRI HITA KARANA
(Kajian Sederhana dalam Konteks Kearifan Lokal Jawa)
Oleh: Yonna Aparacitta

Keberagaman yang ada di Indonesia salah satunya tercermin dari kondisi


masyarakatnya yang multikultural. Kondisi tersebut selaras dengan Bangsa
Indonesia yang terdiri dari bermacam suku, agama, ras, etnis, dan budaya, dimana
masing-masing menganut kebudayaan yang telah diwariskan kepadanya.
Diakuinya enam agama di Indonesia, yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu,
Buddha, dan Kong Hu Cu, yang semakin memperkaya adanya keberagaman dalam
kehidupan beragama. Kehidupan beragama yang berlangsung sekarang dapat
dikatakan belum berjalan dengan baik. Masih banyak dijumpai sikap-sikap
intoleran dan diskriminasi kepada sesama manusia. Adanya perang agama
sepertinya sudah tidak asing lagi karena kini agama telah menjadi senjata tak hanya
senjata politik, tetapi juga sendi-sendi kehidupan lainnya, atau dengan kata lain,
agama telah menjadi tameng untuk suatu perbuatan yang merugikan. Apalagi di era
global yang semakin canggih dengan adanya perkembangan teknologi, perang
agama juga sudah merambah melalui media sosial. Banyak dijumpai kasus saling
hina antar agama di media sosial, seperti facebook, twitter, instagram, dan Tiktok.
Bahkan, dalam Konferensi Pers Imparsial tahun 2019, disebutkan bahwa terdapat
31 Kasus Intoleransi terhadap hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bila
sikap-sikap intoleran tetap dipelihara maka akan berdampak kepada kehidupan
yang tidak harmonis. Maka dari itu, diperlukan adanya moderasi dalam kehidupan
beragama. Moderasi dalam kehidupan beragama intinya merupakan cara beragama
yang sesuai dan tidak berlebihan, tidak condong ke kiri maupun ke kanan. Sikap ini
merupakan salah satu pendidikan karakter dalam kehidupan beragama.
Dalam sudut pandang agama Hindu, mengenal adanya konsep Tri Hita
Karana. Tri berarti tiga, Hita memiliki makna kebahagiaan dan karana berasal dari
kata Sang Hyang Jagat Karana sebagai penyebab adanya kehidupan di dunia ini.
Sehingga Tri Hita Karana berarti tiga penyebab dari terciptanya kebahagiaan.
Terciptanya kebahagiaan tersebut diselaraskan dengan harmoni (Sutedja, 2012:10).
Konsep Tri Hita Karana mengajarkan sebuah keharmonisan. Ajaran
keharmonisan tersebut dapat mengantarkan kita menuju kebahagiaan hidup dengan
menyelaraskan hubungan yang baik antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan),
manusia dengan manusia (pawongan), dan manusia dengan alam (Palemahan).
Tujuan dari ajaran tersebut untuk senantiasa bersyukur atas apa yang telah kita
dapatkan dalam kehidupan ini. Tri Hita Karana penting diterapkan khususnya di
kondisi saat ini, yakni dimana masih banyak dijumpai sikap-sikap intoleran dalam
memperoleh kehidupan beragama yang moderat.
Selanjutnya, hubungan yang terjadi antara manusia dengan Tuhan, sudah
tidak dilandasi dengan bhakti. Banyak orang yang ketika bersembahyang hanya
untuk pencitraan saja, atau dengan kata lain lebih mementingkan update di sosial
media mengenai persembahyangan yang dilakukan daripada mengutamakan rasa
bhakti kepada Hyang Widhi Wasa.
Akhir-akhir ini, hubungan antar sesama manusia dapat dikatakan terjadi
distorsi terhadap nilai-nilai yang berkembang, seperti nilai kemanusiaan salah
satunya (Parmajaya, 2018: 1). Jika dilihat dari kisah Pewayangan Mahabarata, nilai
kemanusiaan tersebut dapat dilihat dari perbuatan tokoh Bhima. Bhima ditugaskan
oleh gurunya, yaitu Rsi Drona, untuk mencari Tirta Prawidi yang terletak di
Gunung Chandramuka. Perjalanan mencari tirta tersebut tidaklah mudah. Bhima
harus melawan dua raksasa untuk menuju tempat tersedianya Tirta Prawidi. Akan
tetapi, setelah sampai di Gunung Chandramuka, tidak ditemukan kebeeradaan tirta
tersebut. Rupanya, hal itu dilakukan Rsi Drona hanya untuk menguji kesetiaan
Bhima sebagai murid. Walaupun saat itu Bhima sudah mengetahui bahwa
sebenarnya tirta yang dicari itu tidak ada, tetapi ia tetap tulus ikhlas dalam
melakukan tugas yang diperintahkan oleh gurunya sebagai wujud bhakti.
Di zaman Kaliyuga ini, rasanya perbuatan Bhima tersebut jarang ditemui
lantaran ketulusan manusia untuk berbuat baik mulai berkurang. Seseorang mulai
berbuat baik apabila ia dihadapkan dengan sesuatu yang menguntungkannya.
Akibatnya, tak jarang terjadi perselisihan antara sesama manusia.
Salah satu filosofi Jawa dari R.M. Panji Sosrokartono dalam Kompasiana,
Sulistyo (2019) yang dikenal istilah Menang Tanpa Ngasorake, artinya seseorang
dapat menang tanpa mempermalukan orang lain, rasanya sudah tidak relevan di era
global ini. Banyak dijumpai manusia yang dengan sengaja mempermalukan orang
lain di depan umum agar ia dinilai lebih baik oleh orang lain. Hubungan antara
manusia dengan alam pun juga demikian. Kebakaran hutan di Kalimantan
merupakan salah satu contoh ketidakharmonisan hubungan manusia dengan alam.
Selain itu, masih sering dijumpai adanya ketidaktertiban dalam membersihkan
sarana prasarana sehabis persembahyangan, contohnya ketika melasti, banyak
canang berserakan di dekat pantai yang tidak segera dibersihkan dimana canang
tersebut dapat ikut hanyut oleh air pantai. Padahal, alam telah menyediakan sumber
dayanya kepada kita sebagai tempat untuk berpijak dan berlindung yang harus kita
jaga dan lestarikan.
Agama Hindu merupakan agama yang universal dan flexible. Artinya,
Agama Hindu mengikuti perkembangan zaman tanpa mengubah inti dari Agama
Hindu. Umat Hindu tersebar dari Sabang sampai dengan Merauke yang memiliki
budaya yang berbeda-beda. Hal itu dikarenakan setiap daerah memiliki adat istiadat
tersendiri yang diluhurkan. Antar satu daerah dengan daerah yang lain, memiliki
budaya yang berbeda dan hal tersebut tidak dapat disamaratakan. Dalam Bhagawad
Gita Adhyaya 7 sloka 21 berbunyi:
Yo yo yam yam tanum bhaktah. Sraddhayarcitum icchati.
Tasya tasya chalam sraddham. Tam eva vidadhamy
aham.

Artinya, Apapun bentuk kepercayaan yang ingin dipeluk oleh penganut


agama, aku perlakukan kepercayaan mereka sama, supaya tetap teguh dan sejahtera.
Agama Hindu tidak membedakan umatnya, walaupun memiliki latar belakang,
budaya, serta cara yang berbeda dalam mempersembahkan yadnya, tetap dianggap
sama. Ibaratnya sebuah bola karet yang digelindingkan di atas bermacam varian
tanah. Tanah-tanah yang berbeda, akan turut menyelimuti permukaan bola tersebut.
Lama-lama, bola karet itu diselimuti oleh lapisan-lapisan tanah yang berbeda-beda.
Akan tetapi, ketika dibelah, inti dari bola itu tetaplah sama dan tidak berubah,
walaupun permukaan bola tersebut telah diselimuti oleh tanah yang berbeda-beda.
Ajaran Tri Hita Karana mengajarkan umat Hindu untuk hidup harmonis
dengan Tuhan, alam termasuk tumbuhan dan binatang, dan sesama manusia.
Keselarasan hubungan tersebut, bila dijaga dengan baik akan menimbulkan
kedamaian dan meningkatkan rasa syukur kita kepada Sang Hyang Widhi.
Parahyangan, mengajarkan kita untuk selalu menjaga hubungan yang
harmonis antara manusia dengan Tuhan. Sebagai umat Hindu, kita dapat
melaksanakannya dengan rajin bersembahyang. Sembahyang yang dilakukan pun
hendaknya dilandasi hati yang tulus dan memiliki tujuan untuk berbakti kepada
Hyang Widhi Wasa. Ketulusan hati merupakan yang utama dalam hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Seperti tercantum dalam Kitab Suci Bhagawad Gita
Adhyaya XI Sloka 9:
patraṃ puṣpaṃ phalaṃ toyaṃ yo me bhaktyā prayacchati,
tadahaṃ bhaktyupahṛtamaśnāmi prayatātmanaḥ.

Yang memiliki arti Siapapun yang sujud mempersembahkan daun, bunga,


buah, atau air sepenuh bhakti kepada-KU, persembahan cinta, persembahan dari
hati yang suci murni itu akan AKU terima.
Berdasarkan dua sloka suci di atas, dapat diambil inti sarinya bahwa umat
Hindu dalam melakukan hubungan yang harmonis dengan Sang Hyang Widhi
diperlukan jiwa yang tulus. Ketulusan merupakan elemen utama untuk
mewujudkan keharmonisan tersebut. Bila dilakukan dengan tulus dan
memfokuskan tujuan untuk berbhakti, walaupun dilakukan dengan cara yang
berbeda di setiap daerah yang disesuaikan dengan budayanya, maka akan diterima
oleh Sang Hyang Widhi.
Pengimplementasian dalam mewujudkan hubungan yang harmonis dengan
Tuhan, antara satu daerah dengan daerah yang lain bisa saja berbeda. Ungkapan
“Dengan Budaya, agama memperoleh bentuk dan dengan agama, budaya
memperoleh makna” tepat menggambarkan kondisi tersebut. Agama selalu berjalan
selaras dengan budaya setempat. Seperti adanya perbedaan bentuk persembahaan
(Banten) antara Pulau Jawa dan Pulau Bali. Bentuk banten di Pulau Jawa dan Pulau
Bali berbeda. Namun, bentuk persembahan tersebut tidak bisa disamakan karena
berjalan beriringan dengan budaya masing-masing. Hal tersebut tidaklah menjadi
masalah, karena yang diutamakan adalah kondisi hati kita ketika
mempersembahkan persembahan tersebut. Bahkan, di Pura Banguntapan,
Yogyakarta, sebagai wujud menghargai budaya Jawa dan juga banyaknya
pendatang dari luar Jawa yang berada di Yogyakarta, khususnya dari Pulau Bali,
kedua bentuk persembahan yang berbeda tersebut, sama-sama dihaturkan, tetapi
tanpa mengubah bentuk asli dari daerahnya. Hal tersebut merupakan teladan bahwa
sudah seharusnya kita tidak melupakan budaya kita sendiri dimana tempat kita
berpijak.
Hal tersebut juga selaras dengan Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV
dalam pupuh Gambuh sebagai berikut:
Rasaning urip iku
Krana momor pamoring sawujud
Wujuddullah sumrambah ngalam sakalir
Lir manis kalawan madu
Endi arane ing kono

Yang artinya, dalam hidup itu terdapat rasa hidup yang dilakukan dengan
cara manunggal dalam satu wujud Tuhan meliputi alam semesta, seperti rasa manis
yang melekat pada madu.
Penerapan dari konsep Pawongan, selanjutnya dapat dimulai dari hal yang
sederhana. Antara manusia yang satu dengan yang lain adalah sama, tidak ada yang
lebih tinggi derajatnya, ataupun sebaliknya. Istilah “Tat Twam Asi” yang berarti
aku adalah kamu, kamu adalah aku, mempertegas hal tersebut. Dewasa ini, sikap-
sikap Adigang, Adigung, Adiguna, kerap terjadi. Yakni sikap yang merasa dirinya
paling kuat, paling besar, dan paling pintar daripada orang lain, dimana sangat
bertentangan dengan konsep Pawongan. Hal tersebut selaras dengan pupuh
Gambuh sebagai berikut:
Ana pocapan ipun
Adiguna adigang adigung
Pan adigang kidang adigung pan hesti
Adiguna ula iku
Telu pisan mati samyoh

Termasuk dalam menjalani kehidupan beragama, dapat diimplementasikan


dengan saling menghormati umat yang beragama dan berkeyakinan lain. Sebab, tak
jarang masih ditemukan rasa intoleran, terutama terhadap para penghayat
keyakinan atau kepercayaan. Dalam kehidupan sosial masyarakat, mereka masih
kerap disudutkan karena tidak memeluk agama resmi yang diakui, melainkan lebih
memilih menghayat suatu keyakinan atau kepercayaan. Padahal, dalam konstitusi
tertulis negara kita, Pasal 29 Ayat (2) UUD 1945, disebutkan bahwa setiap orang
diberikan keemrdekaan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat
menurut agama dan kepercayaannya. Terlebih lagi, bila dilihat dari sudut pandang
Pawongan, mereka juga sama dengan kita, sama-sama manusia dimana seharusnya
diperlakukan dengan adil.
Selanjutnya, pelaksanaan dari konsep palemahan. Palemahan berarti
hubungan antara manusia dengan alam sekitarnya. Pada Tahun 2019, Kawasan
Candi Gedongsongo terbakar sebanyak 2,5 hektar akibat dari dupa yang setelah
dipakai tidak disimpan di tempat yang semestinya. Hal ini sungguh berbahaya
karena dapat merugikan Kawasan lain di sekitaranya. Sebaiknya, setelah selesai
melakukan persembahyangan, dupa yang telah selesai dipakai kemudian segera
disimpan di tempat yang seharusnya agar tidak menimbulkan hal-hal yang tidak
diinginkan. Tidak hanya dupa saja, bunga-bunga sisa persembahyangan juga
dibuang pada tempatnya. Ditinjau dari kearifan lokal Jawa dijumpai banyak tradisi
yang bertujuan untuk melestarikan hubungan antara manusia dengan alam, tradisi
nyadran salah satunya. Kata nyadran berakar dari Bahasa Sansekerta, yaitu sraddha
yang berarti keyakinan. Kata sraddha tersebut mengalami perubahan bunyi menjadi
sadran yang kemudian mendapat awalan “-ny” sehingga menjadi nyadran. Tradisi
nyadran bertujuan untuk memberikan penghormatan kepada para leluhur atau
tempat-tempat yang dikeramatkan. Mendekati hari-hari suci Hindu, terutama saat
Galungan dan Kuningan, umat Hindu di Jawa melaksanakan tradisi nyadran ini
(Miswanto, 2018). Tradisi tersebut sejalan dengan pengimplementasian konsep
palemahan dimana bertujuan untuk menyelaraskan hubungan manusia dengan alam
sekitar, sebab alam yang bersih akan memberikan energi positif bagi manusia di
sekitarnya.
Penerapan ajaran Tri Hita Karana sebagai konsep harmonisasi hubungan
antara Tuhan, manusia, dan alam sesungguhnya perlu disesuaikan dengan konsep
desa, kala, dan patra. Tentunya kearifan lokal masing-masing daerah menjadi salah
satu upaya membangun harmonisasi kehidupan Hindu di nusantara menjadi lebih
bermakna. Penjiwaan terhadap harmonisasi yang dilakukan akan menimbulkan
sebuah kebiasaan. Kebiasaan tersebut akan menuntun kita untuk menjalani
kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan beragama. Karena Tri Hita Karana
ibaratnya sebuah pendidikan karakter. Bila terus-menerus dilakukan, lama-
kelamaan akan bersatu dengan jiwa kita dan menjadi sebuah kebiasaan yang dapat
meningkatkan rasa syukur terhadap Sang Maha Wikan.
DAFTAR PUSTAKA

Mangkunegara IV. 1975. Wedhatama (terjemahan), Surakarta:Yayasan Mangadeg.

Miswanto. 2018. Nyadran Menurut Hindu. Malang: Tidak diterbitkan.

Maswinara, I Wayan. 2008. Srimad Bhagawad Gita dalam Bahasa Sanskrta,


Inggris, dan Indonesia. Surabaya: Paramita.

Parmajaya, I Putu Gede. 2018. Implementasi Konsep Tri Hita Karana dalam
Perspektif Kehidupan Global: Berpikir Global Berperilaku Lokal. Jurnal
Purwadita, Vol.2, No.2, September 2018, pp.1.

Sulistyo. 2019. Menang Tanpa “Ngasorake”, Sikap Satria Jokowi dan Prabowo.
https://www.google.co.id/amp/s/www.kompasiana.com/amp/listyo/5db6eca0
097f36103665cbd2/menang-tanpa-ngasorake-sikap-satria-jokowi-dan-
prabowo. Unduh 19 Juli 2021.

Sutedja, Mertha. 2012. Tri Hita Karana and World Peace. Surabaya: Paramita.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ESAI

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya :


Nama : Yonna Aparacitta
Alamat Email : yonnacitta12@gmail.com

Nomor HP : 082137794127
Judul Essay : HARMONISASI KEHIDUPAN DALAM AJARAN TRI
HITA KARANA (Kajian Sederhana dalam Konteks
Kearifan Lokal Jawa)

Dengan ini saya menyatakan bahwa naskah esai yang saya sertakan
dalam Lomba Esai Vidhafest 2021 yang diselenggarakan oleh KMH ITB,
adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan hasil
plagiarisme karya milik orang lain. Belum pernah diikutkan dalam segala
bentuk perlombaan dan belum pernah dimuat di manapun, serta saya bersedia
karya saya digunakan untuk kegiatan/publikasi KMH ITB.
Apabila di kemudian hari ternyata karya saya tidak sesuai dengan
pernyataan ini, maka secara otomatis karya saya dianggap gugur dalam
perlombaan ini.
Demikian pernyataan ini dibuat dengan sebenarnya.

Semarang, 24 Juli 2021


Yang Menyatakan,

Yonna Aparacitta

Anda mungkin juga menyukai