AGAMA HINDU
Disusun oleh:
UNIVERSITAS UDAYANA
Februari
2021
KATA PENGANTAR
Om Swastiastu,
Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, sebagai
pencipta atas segala kehidupan yang senantiasa memberikan rahmat-Nya sehingga
saya dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan judul “MAKALAH
AGAMA”
Dalam kesempatan ini, saya juga ingin mengucapkan terima kasih dengan
hati yang tulus kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
makalah ini semoga Tuhan senantiasa membalas dengan kebaikan yang berlipat
ganda.
Penulis menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, Dengan kerendahan hati, penulis memohon maaf apabila ada
ketidaksesuaian kalimat dan kesalahan. Meskipun demikian, penulis terbuka pada
kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak guna perbaikan dan
kelengkapan penyusunan makalah ini. Harapan saya semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua .
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ..................................................................i
DAFTAR ISI .................................................................................ii
BAB I Pendahuluan.......................................................................1
1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................1
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................2
1.3 Metode penulisan ....................................................................2
1.4 Tujuan Penulisan .....................................................................2
BAB II Pembahasan.......................................................................
2.1 Pengertian Judul.....................................................................
2.2 Implementasi Judul................................................................
2.3 Sumber Sastra Agama Hindu Tentang Judul..........................
BAB III Penutup............................................................................
3.1 Kesimpulan............................................................................
3.2 Saran saran ............................................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bali sebagai pulau seribu pura dan pulau dewata, memberi kesan bahwa
Bali tidak pernah berhenti dari kegiatan upacara agama. Masyarakat Bali
mayoritas menganut agama Hindu dengan konsep dasar memanusiakan alam dan
lingkungan. Pelaksanaan konsep dasar tersebut dilakukan melalui aktifitas
upacara, karena melalui upacara, umat Hindu diharapkan tidak melupakan
lingkungan bahkan harus menyatu dengan lingkungan untuk mewujudkan
kebahagiaan hidup. Upacara merupakan bagian tiga kerangka dasar agama Hindu
yang bertujuan untuk mencapai kesempurnaan, kebahagiaan dan kesejahteraan
hidup serta kesucian lahir batin. Pelaksanaan upacara sangat berkaitan dengan
yadnya. Yadnya memiliki makna atau pesan kepada umat yaitu rasa takut,
ketundukan dan kesucian kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sesuai konsep Tri
Hita Karana, dan apabila diterapkan secara mantap, kreatif, dinamis akan
mewujudkan kehidupan harmonis meliputi pembangunan manusia seutuhnya,
“astiti bakti” terhadap Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan
serta rukun dan damai dengan sesamanya.
Persembahyangan di kalangan masyarakat Hindu Bali adalah sesuatu yang
sangat sakral, Canang adalah bentuk sesajen paling sederhana, dikategorikan
sebagai sarana yang cukup untuk melakukan persembahyangan dan bermakna
sesajenanang memiliki bentuk yang beranekaragam pada delapan kabupaten di
Bali. Namun, bentuk canang yang populer adalah canang segi empat,
komponennya terdiri dari; daun janur sebagai alas, porosan (sebentuk kecil daun
janur kering yang berisi kapur putih), seiris pisang, seiris tebu, boreh miik (sejenis
bubuk berbau wangi), kiping (sejenis kue dari ketan yang kecil dan tipis), di
atasnya diletakkan bunga beraneka ragam (umumnya berupa warna: putih, kuning,
merah, hijau). Komponen tersebut mengikuti aturan-aturan yang tertuang dalam
lontar
sehingga dulu bahan-bahan sesaji harus dibuat sendiri oleh kaum ibu atau
anggota keluarga. Tradisi itu mulai hilang, karena tidak sedikit masyarakat Hindu
yang membeli canang,disebabkan oleh aktivitas masyarakat sehari-hari dalam
bidang bisnis maupun perkantoran meningkat, mengakibatkan tidak adanya waktu
untuk membuat canang. Masyarakat cenderung membeli canang yang banyak di
jual di pasar maupun trotoar, dengan alasan lebih praktis, lebih irit biaya dan lebih
hemat waktu. Fenomena ini dimanfaatkan para pedagang canang yang bukan
beragama hindu untuk meraup rejeki karena adanya prospek menjanjikan dan
dapat menambah penghasilan keluarga
2
Judul dari makalah ini sendiri adalah “Canang sebagai sarana dan
prasarana Yadnya yang tidak hanya dijual oleh masyarakat Hindu” yang
dimana maksudnya masyarakat hindu terutama di Bali yang seharusnya
sudah menjadi tradisi masyarakat kita untuk membuat canang, yang
dimana canang ini sendiri salah satu bagian terpenting dalam kita sebagai
masyarakat Hindu di Bali untuk melaksanakan yadnya. Mengingat
pentingnya canang sebagai sarana dan prasana dalam melaksanakan
yadnya bukankah sudah baik kiranya kita beranggapan bahwa itu penting
bagi masyarakat kita kedepannya terutama di Bali untuk tetap melestarikan
budaya membuat canang ini sendiri. Karena itu lah makalah yang kami
buaat ini akan membahas permalahan tersebut yang dimana telah menjadi
permasalahan di lingkungan sosial kita.
Mari kita bahas pokok bahasan dari makalah ini yaitu apa yang
menyebabkan terjadinya permasalah sosial ini dikalangan masyarakat
Hindu di Bali. Pertama berkurangnya Tradisi membuat canang dilingkup
keluarga, Hidup di dunia modern ini tidak lepas dari adanya teknologi,
teknologi ini sendiri telah besar pengaruhnya terhadap kehidupan di
masyarakat dunia bahkan juga di Bali, anak-anak muda sekarang mungkin
lebih cenderung untuk menatap layer hp dibandingkan untuk belajar
melestarikan budayanya sendiri dan untuk kalanngan masyarakat
dewasanya sendiri selalu sibuk dengan perkerjaan mereka dan tidak
memiliki waktu untuk membuat canang. Meski seperti itu, bukan berarti
itu dapat dijadikan alasan untuk membeli canang dan sama sekali tidak
repot untuk sesekali membuatnya sendiri.
Mungkin masih bukan masalah besar yang perlu dibicarakan
tentang masyarakat kita yang cenderung lebih suka membeli canang dari
pada membuatnya sendiri, namun ini akan mulai menjadi permasalahan
yang patut kita perhatikan jika ada kaalangan yang bisa dibilang bukan
“Hindu Bali” yang menjual canang untuk kita yang merupakan masyarakat
Hindu. Miris sekali jika kita melihatnya, kita masyarakat Hindu di Bali
yang dimana sangat menjaga tradisi leluhur kita malah dibuatkaan canang
oleh agama lain. Tidak disini tidak ada yang melarang saudara non Hindu
kita untuk mencari nafkah dari menjual canang, tapi kita tidak dapat
memastikan bahwa pembuat canangnya sudah dalam kata hal baik untuk
dipersembahkan ke Tuhan atau tidak sudah sesuai aturaan pembuatnya kita
juga tidak tau. Ini bukanlah masalah sepele jika kita mengingat pentingnya
canang bagi umat kita, ini dapat dilihat betapa hebohnya masyarakat kita
6
Guru. Artinya, bahwa agama namanya apa yang dinyatakan oleh pustaka
suci yang diajarkan oleh Pandita Guru.
Saya mengutip dari Bali Express, Jawa Pos Group. Ida Pandita
Jaya Acarya Nanda mengakui bahwa pola masyarakat Bali (Hindu)
bergeser dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern yang
praktis. Menurutnya, profesi masyarakat bali saat ini sudah tidak seperti
dulu karena berkembangnya sektor pariwisata dan industri di bali. “ya
tidak bisa disalahkan juga, mengingat gaya hidup masyarakat Bali saat ini
mulai bergeser. Dulu wanita Bali banyak memiliki waktu luang di rumah.
Nah, saat ini banyak wanita Bali yang memiliki karir cemerlang, jadi tidak
heran mereka cari yang praktis,” ujarnya. Hal ini membuat masyarakat
beralih ke cara yang lebih praktis yaitu membeli canang sari yang sudah
jadi. Beliau juga menegaskan, tidak apa membeli canang secara instan,
asalkan sesuai dengan aturan dan awig-awignya. Pembuatan canang itu
bukan soal keindahannya saja, tetapi juga kelengkapan dan sarat
maknanya, tambahnya. Karena mereka yang non hindu bisa saja tidak
tahu, membuat canang itu sesungguhnya seperti apa, dan kelengkapannya
apa saja. Bisa saja mereka meniru pembuatan canang hanya dari penataan
dan bentuknya seperti apa, tanpa tahu kelengkapan lain seperti porosan,
tebu, dan beras. Karena inti dari canang itu ada pada porosannya. Namun
diakui, ada rasa yang agak berbeda ketika banten dibuat sendiri dengan
dibeli dalam bentuk jadi. Masyarakat kurang meresapi makna dari
bebantenan tersebut. Apalagi dengan makin menjamurnya pedagang
Canangsari di tepian jalan. Penjualan Canangsari yang cukup
menguntungkan secara ekonomis, lanjutnya, kini banyak juga dilirik oleh
masyarakat non Hindu di Bali yang belum tentu paham konsep dasar dari
Hindu.