Anda di halaman 1dari 6

Pengaruh era globalisasi tidak bisa dipungkiri akan menjadi suatu tantanggan yang begitu

kompleks bagi umat Hindu kedepannya. Hal ini berpotensi mengakibatkan terjadinya pergeseran
nilai, pergeseran pandangan, sehingga sampai terjadinya perubahan perilaku masyarakat.

Hal itu disampaikan Wakil Bupati Tabanan, I Komang Gede Sanjaya, saat memberikan
sambutan pada kegiatan pelatihan Pinandita Sanggraha Nusantara (PSN), sekaligus membuka
kegiatan tersebut, Jumat (28/6) di ruang rapat lantai III Kantor Bupati setempat.

Hadir dalam pelatihan ini, Ketua PHDI Tabanan, I Ketut Tontra, perwakilan Kementerian Agama,
Ida Bagus Rai D. Suhardika, dan perwakilan Pinandita Se-Kabupaten Tabanan.

Wabup yang akrab disapa Sanjaya tersebut juga sangat mengapresiasi dan menyambut baik
atas dilaksanakannya Pelatihan Pinandita di Tabanan. Sanjaya menjelaskan bahwa Pinandita
sebagai orang yang sangat disucikan  memiliki peran yang sangat penting demi
keberlangsungan pembangunan di Kabupaten Tabanan, baik pada aspek pembangunan fisik,
ataupun pada aspek pembangunan di bidang mental spriritual.

“Maka pada  bidang spiritual ini kami pandang perlu adanya kesatuan pandangan dan kesatuan
langkah dikalangan Pinandita, agar umat yang dilayani memiliki kesamaan dalam melaksanakan
upacara keagamaan,” tegas Sanjaya.

Sanjaya menambahkan, bahwa Pinandita merupakan salah satu tokoh sentral dalam upacara
keagamaan yang dilakukan umat Hindu.  Suatu upacara keagamaan dikatakan besar bukan
dilihat dari aspek materi semata, namun yang lebih penting adalah bagaimana agar upacara
tersebut berpengaruh positif pada kehidupan masyarakat dan sudah tentu selalu melibatkan
seorang atau beberapa Pinandita. Dengan demikian  Pinandita/Pemangku ikut memberi andil
pada sukses tidaknya suatu yadnya atau upacara keagamaan.

“Saya berharap agar kegiatan ini bisa meningkatkan wawasan kita di bidang keagamaan,
khususnya mengenai sesana kepemangkuan dan perayaan hari raya Galungan dan Kuningan di
era globalisasi. Yang lebih penting jangan terlalu mengharapkan hal-hal yang bersifat meteriil,
namun berupaya lebih meningkatkan spiritual sehingga menjadikan pribadi yang memiliki Iman
dan Taqwa yang berkualitas,” terang Sanjaya.

Sebelumnya, Jero Siwa Wijaya  selaku Ketua PSN Tabanan, mengatakan Pinandita merupakan
suatu kebutuhan bagi umat Hindu mengingat kapasitas dan fungsinya menjadi sangat penting
seperti halnya Pandita. Keberadaannya dan pikiran-pikirannya sangat di butuhkan tatkala umat
Hindu melaksanakan kehidupan keberagamaan, dalam tindakan ritual yang bersifat vertikal yang
hadir sebagai media perantara bagi umat untuk berkomunikasi dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa.

Dijelaskan juga, Pinandita sebagai pemimpin upacara atau manggala  upacara sesuai dengan
visi dan misi PSN adalah menjadikan Pinandita yang profesional dan memiliki integritas yang
tinggi, spiritual yang tangguh dan meningkatkan kualitas diri. Maka untuk mencapai hal tersebut,
Pinandita perlu terus menerus diberikan pengetahuan kepinanditaan.  

“Dengan dilaksanakannya pelatihan ini, apa yang menjadi tujuan pelatihan ini dapat terwujud
kedepannya. Dan dengan dilaksanakan pembinaan pinandita akan merubah pengetahuannya
dibidang kepemangkuan sehingga percaya diri untuk melayani umat,”
imbuhnya. @humastabanan.-

Minggu (11/6/2017) lalu, saya diundang untuk memberikan keynote


speech pada pembukaan World Hindu Wisdom Meet 2017 di
Denpasar, yang dihadiri para cendekiawan Hindu dari berbagai
negara di dunia. Pertemuan ini sangat penting dan strategis yang
turut menentukan perjalanan Hindu dalam percaturan global.
Penyelenggaraan pendidikan Hindu, serta peningkatan kualitas
sumber daya manusia Hindu akan sangat menentukan eksistensi
agama Hindu ke depan.

Pada era globalisasi saat ini, dengan kemajuan ilmu pengetahuan


dan teknologi, fenomena sosial yang mendegradasi keluhuran
ajaran agama mulai merebak, mulai dari konflik antarumat, sampai
pada gerakan radikalisme. Kita harus melakukan langkah nyata
untuk menyelamatkan Hindu, serta turut menjaga harmoni
keberagaman di muka bumi.

Saya menyampaikan “kerisauan” saya atas kondisi Hindu saat ini.


Bukan untuk menggurui para cedikiawan atau bahkan rohaniwan
yang hadir, tetapi semata-mata “membangunkan dan
menyadarkan” kita semua bahwa Hindu berada dalam tantangan
global yang sangat kompleks.

Saya memulai dari gambaran sering terjadinya konflik antarumat


Hindu, tidak hanya di Bali, tetapi juga di luar Bali, bahkan hampir di
seluruh dunia. Hal ini terjadi karena umat Hindu masih memahami
agama pada tingkat ritual atau upacara. Umat belum memahami
betul unsur susila (etika) dan tatwa (filsafat), apalagi mampu
melaksanakannya. Padahal agama terdiri atas tiga unsur sebagai
satu kesatuan, tidak dapat dipisah-pisahkan,
yaitu: tatwa (filsafat), susila (etika), dan upacara(ritual).

Pada tataran tatwa (filsafat), sumber tatwa agama Hindu adalah


Weda. Weda adalah sumber ilmu pengetahuan, ilmu pengetahuan
material (aparavidya) dan spiritual (paravidya) yang juga
merupakan penjabaran natural law meliputi seluruh aspek
kehidupan, yang tidak dapat dibantah kebenarannya. Weda adalah
sebuah ajaran dharma, kebenaran yang universal, sekaligus abadi
(sanatana dharma). Hanya dalam proses internalisasi kepada umat,
metode yang diterapkan mungkin kurang tepat, sehingga belum
mengarah pada terbangunnya kemauan dan kemampuan umat
untuk mempraktikkan ajaran Hindu dalam kehidupan nyata, apalagi
mampu membuatnya menjadi Hindu.
Dalam tatwa, secara universal semua manusia di muka bumi
percaya adanya Tuhan, adanya atman, adanya hukum karma,
adanya kelahiran kembali, dan percaya moksa.  Dengan
demikian, tatwa bagi agama Hindu adalah nilai-nilai kebenaran
universal.

Pembelajaran agama Hindu secara berjenjang harus diarahkan


agar umat mengetahui (to know), kemudian mampu mempraktikkan
dalam hidup (to do), setelah itu barulah untuk menjadi Hindu (to
be). Semua praktik konsepsi Hindu juga mengarah pada tiga
tahapan tersebut, seperti: catur asrama: mulai dari Brahmacari,
Grahasta, Wanaprasta, sampai pada Bhiksuka.

Pada tataran susila (etika), Hindu sudah mengajarkan tata susila


dalam berbagai konsep seperti: Tri kaya parisudha, Tri hita karana,
Vasudewa kutumbakam, Tat wam asi, serta desa, kala, patra. Di
samping konsep tersebut, tentu masih banyak konsep yang sudah
diimplementasikan sebagai nilai etika Hindu.

Pada tingkat upacara, “kulit luar” dari agama, sangat tergantung


pada desa, kala, patra. Inilah yang membedakan Hindu di Bali
dengan Hindu di luar Bali, bahkan Hindu di seluruh dunia.

Pada akhir 2016 silam, saat Konferensi Nasional Forum Kerukunan


Umat Beragama di Bali, seorang pemuka agama Islam dari Medan
bertanya kepada saya: “Apakah berbeda agama Hindu di Medan
dengan agama Hindu di Bali?” Saya menjawab “berbeda, karena
unsur upacaranya itu”. Bahkan di Bali saja, ada paling sedikit
“1.488 agama Hindu” yang berbeda,  karena ada 1.488 desa
pakraman, yang dengan otonominya masing-masing memiliki
konsep upacara walaupun tetap mengacu pada tatwa Weda.

Ketiga unsur ini, tatwa, etika dan upacara, harus diajarkan dan


diterapkan seluruh umat secara utuh dalam kehidupan beragama.
Orang belum beragama, kalau hanya memahami dan
melaksanakan satu atau dua unsur tersebut. Oleh karena itu, Hindu
mengajarkan umat untuk menempuh jalan sesuai dengan
kemampuan menuju atau menyembah Tuhan, melalui catur marga,
yaitu bhakti marga melalui upacara, karma marga melalui etika,
serta jnana dan raja marga melalui tatwa. 
Menghadapi zaman global, yang menurut Prof. Rhenald Kasali,
bercirikan 3S, yaitu speed, surprise, and suddenshift, ada
pertanyaan besar: “Apa yang sedang terjadi?” dan  “Mengapa
Hindu kelihatannya berangsur-angsur menghilang?”

Di zaman global ini, umat Hindu harus dapat hidup, memenuhi


kebutuhan hidupnya dan mewujudkan kesejahteraan hidup,
berlandaskan ajaran agama. Ajaran agama dan ilmu harus mampu
membuat umat untuk “hidup”. Tanpa mampu untuk itu, agama akan
ditinggalkan. Kita harus berhenti berdebat dan berhenti berkonflik.
Mari kita buat agama menjadi praktis,

Mari kita jabarkan ajaran Weda untuk dipedomani umat, sekaligus


mampu mewujudkan kehidupan umat menjadi lebih baik. Ajaran
Hindu adalah bersifat universal, sehingga harus mampu menjadi
jembatan, baik jembatan antaragama atau keyakinan, maupun
jembatan antargenerasi Hindu. Kita harus hindari Hindu yang
menjadi sekat, yang mengkotak-kotakkan dan memisahkan antar
umatnya, atau bahkan memisahkan umatnya dengan umat lain di
muka bumi. 

Tantangan bagi para guru-guru, para rohaniwan, dan para


cendikiawan Hindu saat ini adalah: “Bagaimana mengajarkan
kepada umat Hindu  agar tidak hanya tahu dan paham ajaran
Hindu, tetapi juga dapat mempraktikkan, dan pada akhirnya dapat
menjadi Hindu yang sesungguhnya?”

Diperlukan pola pendidikan yang tepat, serta diperlukan tauladan


dari para rohaniwan, dari para cendikiawan, serta dari semua yang
sudah merasa Hindu.

Penyelenggaraan pendidikan yang terintegrasi, antara penguasaan


ilmu pengetahuan dan teknologi dengan pembinaan karakter dan
budi pekerti berdasar nilai-nilai Hinduism, harus mulai
dikembangkan. Sekolah-sekolah atau perguruan tinggi Hindu harus
memiliki pola pendidikan yang mampu meningkatkan kualitas
sumber daya umat, serta mampu menerapkan ajaran Hinduism,
sehingga akan melahirkan lulusan yang tidak hanya pintar
menyebarkan ajaran Hindu dan memberikan pencerahan kepada
sesama, tetapi juga mampu membuat lulusannya “menjadi Hindu”,
dan pada akhirnya mampu membuat umat hidup dan sejahtera,
serta mampu bersaing dalam zaman globalisasi ini. Pola
pendidikan pasraman, sangat tepat dikembangkan pada semua
jenjang sekolah, sebagaimana yang saya terapkan pada SMAN
dan SMKN Bali Mandara di Buleleng.   

Agama ditinggalkan  juga karena masih dipandang sebagai dogma


atau doktrin, belum dipahami sebagai sumber ilmu, dan sumber
kehidupan. Hindu akan ditinggalkan umatnya apabila tidak
memberikan manfaat nyata bagi kehidupan umatnya. Sebagaimana
ilmu marketing, produk akan diterima konsumen apabila produk
itu good, useful, reliable, applicable, practical, dan easy, compact,
pretty serta attractive. Inilah sebetulnya penjabaran filosofi satyam,
shivam, sundaram dalam kekinian.

Memang, agama bukan produk, tetapi dengan mengemas ritualnya


sebagai sesuatu yang tidak memberatkan dan dapat dicintai
umatnya, maka Hindu akan semakin berkembang dan memberikan
manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan umatnya dan bagi
perdamaian dunia.  Semoga!

Tantangan terberat bagi pemimpin umat Hindu di Bali adalah dampak


negatif globalisasi. Terutama berkembangnya paham hedonisme yang
menonjolkan kepuasan material belaka. Mantan Direktur Urusan Agama
Hindu Ditjen Bimas Hindu dan Budha I MADE Titib menyatakan hal itu
dalam sarasehan “Pemimpin, Gagasan dan Karya Nyata untuk Rakyat”
yang digelar Koalisi Rakyat untuk Demokrasi (Kordem) di Denpasar,
Sabtu (8/12). “Sentuhan budaya global dapat menimbulkan hilangnya
orientasi dan konflik muncul dimana-mana,” tegasnya. Uang dijadikan
sebagai tolok ukur dan masyarakat semakin sekuler serta komersial. Bagi
dia, keadaan pada jaman ini sudah sangat mirip dengan gambaran jaman
Kaliyuga yang telah diramalkan oleh sejumlah kitab suci umat Hindu,
yakni suatu jaman dimana nafsu duniawi telah menjadi tujuan. Globalisasi
juga telah menghilangkan batas-batas budaya barat yang dengan mudah
menulari budaya timur, meski budaya timur pada dasarnya lebih memiliki
orientasi spiritual. Karenanya, kata Titib, dibutuhkan kepemimpinan yang
mampu memberikan teladan dan kebijaksanaan. Khususnya, agar ada
peningkatan kualitas SDM yang akan mampu secara selektif mengambil
keunggulan budaya barat dan meninggalkan sisi negatifnya. Ia
mencontohkan kepemimpinan di India yang saat ini telah berhasil
membawa bangsa itu memiliki keunggulan dalam penguasaan teknologi.
Menanggapi pernyatan itu, Walikota Denpasar AA Puspayoga
menegaskan, kualitas SDM memang menjadi prioritasnya namun kualitas
lingkungan juga harus mendapat perhatian. Selama masa
kepemimpinannya, sejumlah proyek pengelolaan limbah dan sampah
telah dilakukan dengan biaya ratusan milyar dari hibah sejumlah negara.
Selain itu, perbaikan kualitas SDM juga ditentukan oleh keberhasilan
untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui sektor ekonomi.
”Karena itu kami menggulirkan kredit tanpa agunan kepada pengusaha
kecil,” tegasnya. Sementara itu Anggota DPD asal Bali I Wayan Sudhirta
menilai, masyarakat Bali harus tetap optimistis melihat pengaruh
globalisasi. Kuncinya, kata dia, adalah ketelitian dalam memilih pemimpin
yang memiliki wawasan dan keberanian untuk bersikap. Hal itu bisa
diukur dari sikap dan karya nyata yang telah dilakukannya. Terutama
dalam komitmen untuk mengatasi kemiskinan, korupsi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Rofiqi Hasan
Di tengah arus globalisasi yang terjadi dewasa ini yang ditandai oleh proses modernisasi

yang merambah ke berbagai bidang seperti sosial, budaya dan ekonomi , berdampak pada cara

berpikir, mental dan moral umat dalam menyikapi spirit keagamaannya dalam praktek

kehidupannya. Bagi parisada tentu saja ini merupakan tantangan yang harus dihadapi . Di tengah

masyarakat yang serba pluralistik yang bergerak terus ke arah perkembangan secara vertikal,

memerlukan sikap kehati-hatian untuk mengontrol diri dari derasnya desakan pengaruh

keduniawian yang serba materialistis. Keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan

penyimpangan dan pelanggran terhadap aturan ,etika dan norma hubungan antar manusia,

manusia dengan alam/lingkungan serta manusia dengan Tuhannya. Di sisi lain dinamika

mobilitas vertical pada masyarakat sekarang ini harus diantisipasi dengan antara lain

peningkatan kualitas pendidikan, kesejahteraan dan keimanan. Untuk itu parisada merealisasi

program-program kerja yang dirancang sesuai dengan dinamisasi kehidupan yang melingkupi

umat Hindu di wilayah Indonesia.Relevansi dan kompetensi beberapa bidang yang saling terkait

dalam satu sistem lembaga umat Hindu,parisada yang dimunculkan, untuk menjawab tantangan

pada masa kini dan masa depan. Dalam perjalanan sejarahnya

Anda mungkin juga menyukai