Anda di halaman 1dari 24

10.

PENDIDIKAN AGAMA DAN MEMBANGUN KARAKTER


STUDI AGAMA HINDU

OLEH:
Made Dwi Hendra Sanjaya 1925111016

PENDIDIKAN AGAMA HINDU


PROGRAM PASCASARJANA
STAH NEGERI MPU KUTURAN
2019
Kata Penghantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai . Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari
pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.

Dan harapan saya semoga tulisan ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para
pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi tulisan agar
menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, penulis yakin masih banyak
kekurangan dalam tulisan ini, Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan tulisan ini.

Singaraja, 27 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR PUSTAKA

Kata Penghantar ............................................................................................................................ i

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1

1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2

1.3. Tujuan .................................................................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................................... 4

2.1. Pendidikan Agama Hindu .................................................................................................... 4

2.2. Karakteristik Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu ....................................................... 6

2.3. Tujuan Pendidikan Agama Hindu ........................................................................................ 7

2.4. Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu ................................................................................ 8

2.5. Pendidikan Karakter........................................................................................................... 10

2.6. Proses Pembentukan Karakter dan Strateginya ................................................................. 12

2.7. Peranan Pendidikan Agama Hindu Dalam Membentuk Karakter ..................................... 15

BAB III PENUTUP ..................................................................................................................... 19

3.1. Kesimpulan ........................................................................................................................ 19

3.2. Saran .................................................................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................. 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Pandangan bahwa agama adalah alat untuk mencapai kemuliaan manusia, dan
menjadikan manusia bersifat dewata atau menjadi manusia dewasa sudah sangat tegas dalam
Hindu. Dalam pelaksanaan keagamaan, tidak bisa terlepas dari Tri Kerangka Dasar Agama
Hindu meliputi (1) tattva (filsafat), susila (etika), dan acara agama (upacara dan upakara)
(Titib, 2007: 25; Sura 2006: 1). Apabila dipahami, dihayati dan dilaksanakan akan
menjadikan umat Hindu memiliki kepribadian yang baik dan mulia. Hal ini berarti bahwa
agama Hindu tidak saja mendidik secara fisik, visual semata, namun secara seimbang melalui
jasmani dan rohani. Secara sekala dan niskala untuk memperoleh keseimbangan. Sehingga
manusia Hindu memeiliki kepribadian yang mulia, atau mampu berkarakter dewa.
Konsep penting lainnya yang perlu ditekankan dalam pendidikan agama Hindu yang
menjadi salah satu penekanan dalam ajaran susila adalah Tri Kaya Parisudha, yaitu
manacika (berpikir yang baik dan suci), wacika (berbicara yang benar), dan kayika
(berlaksana yang baik dan jujur).
Agama adalah inner power atau tenaga dalam bagi pemeluknya dalam menghadapi
berbagai tantangan hidup. Agama dengan jelas telah memberikan hakikat hidup bagi
manusia, yang sesungguhnya merupakan persoalan paling mendasar bagi manusia. Hakikat
tujuan hidup dalam agama Hindu diformulasikan dengan kalimat Moksartham jagathitaya
ca iti dharma. Tujuan hidup adalah untuk mencapai jagathita dan moksa. Hal ini kemudian
lebih dijabarkan ke dalam apa yang disebut sebagai Catur Purusa Artha: dharma, artha,
kama, dan moksa. Tujuan hidup ini kemudian menjiwai tatanan sosial yang disebut catur
asrama (brahmacari, grhastha, vanaprastha dan sannyasa) dan catur varṇa (brahmanna,
ksatriya, vaisya dan sudra).
Pendidikan agama selalu mengajarkan tentang berbuat susila, dimana pada pembelajaran
tersebut, agama hindu selalu mengajarkan dan membentuk karakter setiap orangnya, agar
selalu berbuat yang baik dan bijak dalam berbuat ataupun melakukan sesuatu. Pendidikan
karakter merupakan sesuatu yang penting dalam pembelajaran, baik itu secara pendidikan
formal, non formal, maupun in formal, karena akan menentukan jalan hidup ataupun
pedoman hidup bagi seseorang tersebut.

1
Karakter merupakan nilai fundamental yang tidak dapat dilepaskan dalam pembentukan
kepribadian individu. Karakter yang terbentuk sempurna dapat mewujudkan kualitas sumber
daya manusia yang berpotensi dalam mencapai sebuah kemajuan. Itu berarti karakter harus
dipahami oleh seluruh masyarakat utamanya bagi generasi muda. Hal ini sejalan dengan isi
dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 3 yang mewajibkan
adanya pembentukan karakter sejak dini. Menurut Mustari (2011)terdapat lima komponen
sosial yang dapat digunakan sebagai media pembentukan karakter meliputi, keluarga, diri
sendiri, pemerintah, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Usaha dalam menciptakan generasi berkarakter belakangan ini sedang mengalami
gejolak. Hal ini dikarenakan peserta didik kurang memaknai pendidikan karakter yang
terkandung dalam setiap pembelajaran. Metode pembelajaran yang hanya terpaku pada aspek
konseptual menjadi indikasi rendahnya ketertarikan peserta didik mempelajari karakter. Hal
ini menjadi pemicu merosotnya karakter bangsa saat ini. Selain itu, kegiatan kegiatan
pembelajaran agama Hindu di sekolah selama ini dinilai belum optimal.
Dalam hal tersebut, pendidikan agama hindu sangat berperan dalam mengajarkan dan
membentuk karakter seseorang, dengan memberikan contoh nyata dalam kehidupan sehari-
hari. Agama hindu merupakan agama yang universal yang kepada manusia mengenai
berbagai aspek terutama pada karakter. Ajaran hindu menegaskan bahwa pendidikan
karakter merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi, demi mencapai
kesejagteraan dan kebahagian didunia. Dengan itu manusia akan mendapatkan banyak ilmu
pengetahuan yang berguna untuk bekal dalam kehidupan.

1.2.Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendidikan agama hindu?
2. Bagaimana tujuan pendidikan agama hindu?
3. Bagaimana revitalisasi pendidikan agama hindu disekolah?
4. Bagaimana pendidikan karakter diberikan kepada peserta didik?
5. Bagaimana peranan pendidikan agama hindu dalam membentuk karakter?

1.3.Tujuan
1. Mengakaji tentang pendidikan agama hindu;
2. Mengkaji tujuan pendidikan agama hindu;
3. Mengkaji revitalisasi pendidikan agama hindu;
2
4. Mengkaji pendidikan karakter diberikan kepada peserta didik;
5. Mengkaji peranan pendidikan agama hindu dalam membentuk karakter.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1.Pendidikan Agama Hindu


Undang-Undang No. 20 tahun 2003 menyatakan bahwa isi kurikulum semua jenjang
pendidikan wajib memuat pendidikan agama. Di tingkat pendidikan dasar dan menengah,
maupun pendidikan tinggi pendidikan agama merupakan salah satu mata pelajaran pokok
yang wajib sebagai bagian dari kurikulum. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Pemerintah No.
55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Pendidikan agama
pada jenis pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, dan khusus disebut
“Pendidikan Agama”.
Pendidikan tidak semata-mata bertujuan hanya untuk mengajar mata pelajaran, tetapi
mendidik, membesarkan dan mengembangkan kepribadian anak. Pendidikan adalah perwujudan
kesempurnaan yang telah ada pada diri manusia. Jadi ia merupakan pengembangan yang terpadu
dan harmonis pada kepribadian manusia. Pendidikan yang dimaksudkan adalah menggali potensi-
potensi kepribadian yang secara kodrati telah berada dalam diri manusia. Pendidikan seumur
hidup bukan untuk sekedar hidup. Pendidikan semestinya merupakan proses perkembangan
kepribadian manusia secara menyeluruh, dengan kata lain mekarnya nilai-nilai kemanusiaan yang
luhur menuju kesempurnaan dan terwujudlah nilai-nilai yang baik. Pendidikan kemanusiaan
bukan merupakan pelajaran terpisah melainkan harus menjadi inti sari dari semua mata pelajaran,
kurikulum dan kegiatan ekstra-kurikuler.
Pendidikan itu mengajarkan kepada kita bahasa dan pengetahuan tetapi tidak ada pelajaran
tentang bagaimana kita hidup tenang, bahagia atau dalam kedamaian di antara kita sendiri maupun
dengan orang lain. Oleh karena itu Mahatma Gandhi berujar (dalam Santya Pratiwi, 2018)
“Pendidikan tanpa karakter adalah sia-sia” (education without character is useless) bahkan
sangat membahayakan. Bahkan beliau menyatakan bahwa pendidikan seharusnya mengarahkan
kepada kemanusiaan. Pendidikan haruslah membentuk dan mengembangkan karakter ke arah
yang lebih baik. Pendeknya pendidikan seutuhnya harus manusiawi, tidak hanya menyangkut
pendidikan intelek tetapi juga kehalusan budi dan disiplin batin.
UU Sisdiknas 2003 juga mengamanatkan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan
pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajar
oleh pendidik yang seagama. Ketentuan ini setidaknya mempunyai 3 tujuan, yaitu: (1) untuk
menjaga keutuhan dan kemurnian ajaran agama; (2) guru agama yang seagama dan memenuhi

4
syarat kelayakan mengajar akan dapat menjaga kerukunan hidup beragama bagi peserta didik
yang berbeda agama tetapi belajar pada satuan pendidikan yang sama; (3) pendidikan agama
yang diajarkan oleh pendidik yang seagama menunjukan profesionalitas dalam
penyelenggaraan proses pembelajaran pendidikan agama.
Pendidikan Agama Hindu merupakan suatu pendidikan yang sangat penting, Pendidikan
Agama Hindu ini bertujuan memberikan pengajaran mental dan Spiritual bagi si anak.
Pendidikan Agama Hindu telah diajarkan pada setiap sektor pendidikan, dimulai dari tingkat
dasar sampai pada tingkat perguruan tinggi . Sesuai dengan UUD 1945 pada pasal 29 ayat 1
dan 2 serta Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia, maka pendidikan agama
merupakan segi pendidikan yang utama yang menjadi dasar semua segi pendidikan lainnya.
Pendidikan Agama Hindu diberikan pada peserta didik diharapkan agar menjadi orang yang
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Dengan Pendidikan Agama Hindu dapat
menjalankan dan mengamalkan ajaran Agama Hindu sehingga terbentuknya budhi pekerti
yang luhur dan berakhlak yang mulia.
Pendidikan agama Hindu juga sebagai sub dari pendidikan agama. Menurut Swami Sathya
Narayana (dalam Titib, 2003: 7) pendidikan agama Hindu adalah pembentukan karakter
manusia (character building), dimana hal inilah yang dimaksudkan sebagai tujuan pendidikan
yang sangat penting atau bahkan yang terpenting, karena pendidikan tersebut sangat terkait
dengan keluaran (output) anak didik atau anak-anak yang suputra seperti yang diharapkan
oleh orang tua, guru, dan masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan agama Hindu pada
hakikatnya merupakan suatu upaya untuk membina pertumbuhan jiwa manusia dengan
menanamkan ajaran-ajaran agama Hindu menjadi keyakinan serta sebagai landasan segenap
kegiatan umat dalam semua perikehidupannya serta membentuk manusia yang memiliki
śraddhā dan bhakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga memiliki karakter yang
humanis dan religius. Pendidikan Agama senantiasa diarahkan untuk mewujudkan Tujuan
Pendidikan Nasional, dan pada akhirnya untuk mewujudkan tujuan nasional negaraRI
sebagaimana tercantum pada alinea IV Pembukaan UUD 1945 yaitu :
1) Mencerdaskan kehidupan bangsa,
2) Memajukan kesejahteraan umum,
3) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,
4) Ikutmelaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.

5
2.2.Karakteristik Pembelajaran Pendidikan Agama Hindu
Praksita (1986:23) dalam Sudarsana (2018) menyatakan bahwa agama adalah petunjuk
hidup yang berisi sejumlah ide nilai dan norma yang seharusnya menjadi pedoman dalam
berpikir berbicara dan bertingkah laku guna terwujudnya keharmonisan umatnya dalam
segala dimensi yakni keharmonisan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia
dengan manusia serta manusia dengan lingkungan alam. Dalam konsep Hindu suasana damai
yang diwarnai oleh terciptanya harmonisasi dalam berbagai dimensi atas pembiasaan ber tri
kaya parisudha tidak dapat dilepaskan dengan berbagai simbul-simbul sebagai media yang
berguna sebagai alat bantu untuk mempermudah menghayati dan menghalkan nilai dan
norma-norma agama atau perintah dan larangan Tuhan. Beragama berarti berbakti kepada
Tuhan.

Yadnya adalah wujud bhakti kepada Tuhan, beryadnya pada hakekatnya berpikir dan
berbicara dan bertingkah laku atau tri kaya parisudha dengan ber tri kaya parisudha maka
keharmonisan dalam berbagai dimensi terwujud secara nyata dan dalam kondisi harmonis
seperti inilah kehidupan terasa berada dalam suasana damai. Dengan demikian upacara dan
upakara adalah alat bantu dalam mewujudkan tujuan agama yang hakiki yakni kedamaian.
Bahwa yang hakiki dan beragama adalah beryadnya, yadnya yang utama adalah tri kaya
parisudha dan dengan tri kaya parisudha terwujud keharmonisan dan dalam keharmonisanlah
terdapat kedamaian.

Pendidikan agama Hindu tidak saja berorientasi mewujudkan kecerdasan intelektual tetapi
justru yang lebih itu adalah menanamkan kecerdasan emosional dan kecerdasan sosial pada
peserta didik sebagai manusia yang secara kodrat merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa
yang terdiri dari jasmani dan rohani dengan kedudukan sebagai makhluk individu dan sosial.
Pendidikan agama Hindu sebagai kelompok mata pelajaran ahlak mulia dan kewargangaraan
senantiasa menyasar tiga ranah dalam pembelajaran yakni: ranah kognitif, ranah afektif dan
ranah psikomotor. Titib 2006:45) menyatakan bahwa pendidikan budi pekerti memiliki
kesamaan orientasi dengan pendidikan agama yakni mewujudkan sumber daya manusia yang
cerdas dan terampil atas dasar ahlak mulia yang kuat. Dengan demikian pendidikan agama
dan pendidikan budi pekerti sangat penting menumbuhkan kemampuan siswa secara
intelektual tetapi jauh lebih penting adalah mewujudkan kemampuan peserta didik dalam hal
bersikap dan bertingkah laku mulia sesuai dengan norma-norma yang ada.

6
2.3.Tujuan Pendidikan Agama Hindu
Arah dan tujuan pendidikan adalah mentransformasi nilai-nilai pendidikan agar anak didik
memiliki kepribadian yang seutuhnya. Komitmen pendidikan pada dasarnya membawa anak
agar menyadari akan kesejatian dirinya (self realizing). Apa yang dikatakan sebagai
pendidikan dewasa ini adalah apa yang masih tertinggal pada diri kita setelah semuanya
terlupakan. Jadi apa yang masih tertinggal setelah semuanya terlupakan? Watak yang baik.
Tujuan Agama Hindu sesungguhnya terkandung dalam ajaran Catur Purusa Artha yaitu empat
tujuan hidup umat Hindu. Antara lain Dharma, Artha, Kama dan Moksa. Untuk mencapai
artha dan kama maka hendaknya dharmalah yang dicari terlebih dahulu sebagai landasan
untuk meraih artha dan kama. Setelah semua itu tercapai barulah menapaki ke jenjang
Wanaprastha untuk melepaskan diri dari ikatan duniawi dan akhirnya mencapai tujuan akhir
yaitu moksartham jagadhita ya ca iti dharma.
Tujuan pendidikan agama Hindu telah dirumuskan oleh Parisada Hindu Dharma Indonesia
Pusat melalui seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu sebagai berikut :
1. Menanamkan ajaran agama Hindu menjadi keyakinan dan landasan segenap kegiatan
umat Hindu dalam semua perikehidupannya.
2. Ajaran agama Hindu mengarahkan pertumbuhan tata kemasyarakatan umat Hindu
hingga serasi dengan Pancasila, dasar negara Republik Indonesia.
3. Menyerasikan dan menyeimbangkan pelaksanaan bagian-bagian ajaran agama Hindu
dalam masyarakat antara tatwa , susila dan upacara.
4. Untuk mengembangkan hidup rukun antar umat berbagai agama.
Menurut peraturan menteri pendidikan nasional Indonesia nomor 22 tahun 2006 tentang
Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah menyatakan bahwa tujuan
pendidikan agama Hindu adalah untuk menumbuh kembangkan dan meningkatkan kualitas
sradha dan bhakti peserta didik melalui pemberian, pemupukan, penghayatan, dan
pengamalan ajaran agama serta membangun insan Hindu yang dapat mewujudkan nilai-nilai
moksartham jagaditha dalam kehidupannya.

Presiden RI. Ir. Soekarno memahami pemikiran Swami Vivekananda bahwa tujuan
pendidikan itu adalah pembentukan karakter anak didik atau anak-anak yang suputra seperti
diharapkan oleh orang tua, guru, dan masyarakat. Bung Karno juga memahami tentang Tat
Twam Asi, Advaita, Vedanta dan sebagainya dan beliau berujar ”Saya sangat memahami

7
ucapan Vivekananda” kata Bung Karno. Gurunya Vivekananda namanya Ramakrishna duduk
dirumahnya, diserambi muka, sedang hujan. Duduk di dalam rumahnya tidak akan kena air
hujan. Dia melihat orang berjalan kehujanan. Ramakrishna yang duduk di dalam rumah
menggigil kedinginan. Orang lain yang kena air hujan dia yang kedinginan. Oleh karena itu,
Advaita berkata, paham kesatuan berkata : Tat Twam Asi, dia adalah aku, aku adalah dia.
Bung Karno kemudian menggagas ide cemerlang dengan mengemukakan pendidikan sebagai
”nation and character building”.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tujuan pendidikan agama Hindu adalah
membentuk kepribadian sikap, mental dan budi pekerti dalam diri siswa. Agar peserta didik
tersebut mampu memahami yang suputra, susila dan subiartha serta astiti bhakti dalam
kehidupan sosial religius.

2.4.Revitalisasi Pendidikan Agama Hindu


Pendidikan agama sudah menjadi bagian terpenting dalam kurikulum pendidikan nasional
dan sudah dilaksanakan mulai dari jenjang pendidikan paling rendah (tingkat dasar) hingga
jenjang pendidikan tinggi. Menurut Putu Sudira (2013: 6) mengemukakan ada enam upaya
dalam merevitalisasi pendidikan agama Hindu sebagai berikut:
1. Upaya untuk mendapatkan model pembelajaran PAH dengan pendekatan dimensi
konsekuensial yaitu pola pendekatan pembelajaran yang menekankan pada peranan dan
fungsi agama Hindu sebagai motivator dan sumber inspirasi dalam berperilaku keseharian
sesuai dengan svadharma peserta didik sebagai anak bangsa. Peserta didik dilatih dan
dibiasakan mempraktekkan dan merasakan manfaat pengamalan ajaran agama Hindu
dalam kehidupan sehari-hari.
2. Upaya untuk mendapatkan model pembelajaran PAH dengan pendekatan dimensi
imperensial yaitu pola pendekatan pembelajaran menyangkut penumbuhan dan
pengembangan intensitas perasaan-perasaan dan pengalaman religius peserta didik dalam
bentuk upaya-upaya menghadirkan Tuhan dalam kesadaran peserta didik disetiap saat dan
disetiap tempat. Peserta didik dilatih untuk merasakan Tuhan Maha Ada, Maha
Mengetahui, Maha Kuasa, dan Maha Pencipta. Dengan demikian peserta didik terlatih
berbuat jujur, tidak sombong, tidak penakut, tidak rendah diri, tidak cemas, dan
berkeyakinan Tuhan memberi perlindungan pada dirinya.

8
3. Upaya untuk mendapatkan model pembelajaran PAH dengan pendekatan dimensi
ideologis yaitu pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat keyakinan atau
sraddha peserta didik pada kebenaran ajaran agama Hindu. Peserta didik dibangun
kesadarannya agar menghayati Panca Sraddha yaitu keyakinan terhadap adanya Brahman
atau Tuhan Ida Sang Hyang Widhi, percaya dengan adanya Atman, Karmaphala,
Punarbhawa, dan Mokṣa.
4. Upaya untuk mendapatkan model pembelajaran PAH dengan pendekatan dimensi
Ritualistik yaitu pola pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat kepatuhan
peserta didik dalam menjalankan ritual-ritual Agama Hindu. Peserta didik dilatih untuk
menjalankan ritual Puja Tri Sandya setiap hari, meditasi, melakukan yadnya sesa dan aktif
mengikuti setiap kegiatan upacara seperti persembahyangan purnama tilem, hari raya
Galungan Kuningan, Nyepi, Pagerwesi, Saraswai, Siwaratri, dan piodalan lainnya.
5. Upaya untuk mendapatkan model pembelajaran PAH dengan pendekatan dimensi
intelektual yaitu pola pendekatan pembelajaran yang berkaitan dengan tingkat
pengetahuan dan pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agama Hindu
berkaitan dengan Sraddha, Susila, Yajna, Kitab Suci, Alam Semesta, Budaya, dan Sejarah
Perkembangan Agama Hindu.
6. Upaya untuk mendapatkan model penilaian pencapaian belajar mengajar yang
menggambarkan tingkat kompetensi siswa berkarakter Hinduis.
Banyak hal yang dapat dianalisis terkait dengan ketidakefektifan pendidikan agama Hindu
di sekolah. Secara umum dapat dikatakan bahwa pendidikan agama Hindu di sekolah harus
direvitalisasi agar benar-benar memiliki daya vital yang dapat menghasilkan lulusan sekolah
seperti diuraikan di atas. Dalam Pasal 28 PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan ditegaskan bahwa semua pendidik, termasuk guru agama, harus memiliki empat
kompetensi pokok, yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi
profesional, dan kompetensi sosial. Permendiknas RI No. 16 Tahun 2007 tentang Standar
Kompetensi Akademik dan Kompetensi Guru kemudian memerinci empat kompetensi guru
tersebut dengan detail melalui lampirannya.
Jadi, revitalisasi pendidikan agama Hindu di sekolah harus dimulai dari penyediaan guru
agama Hindu yang kompeten, yaitu yang memiliki empat kompetensi pokok seperti di atas.
Untuk keberhasilan pembelajaran pendidikan agama Hindu, guru agama Hindu juga harus

9
menguasai metodologi pembelajaran yang baik dan komprehensif didukung oleh sarana dan
prasarana pembelajaran yang memadai. Keberhasilan program pembelajaran di sekolah,
terutama membangun karakter peserta didik, harus ditanggung bersama oleh semua warga
sekolah mulai dari pimpinan sekolah, para guru, para karyawan, serta keterlibatan peserta
didik secara aktif. Di samping itu, sekolah harus juga melibatkan orang tua peserta didik dan
seluruh masyarakat di sekitar sekolah agar ikut serta mendukung keberhasilan sekolah dalam
membangun karakter peserta didiknya.
Pendidikan agama Hindu memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk
karakter manusia. Dalam pelaksanaan keagamaan, tidak bisa terlepas dari Tiga Kerangka
Dasar Agama Hindu, yaitu tattva, susila, dan acara, apabila dipahami, dihayati dan
dilaksanakan akan menjadikan umat Hindu memiliki kepribadian yang baik dan mulia. Selain
itu, banyak ajaran dari agama Hindu yang dapat membentuk karakter manusia diantarnya Tri
Kaya Parisudha, Catur Marga, Catur Vidya, dan Catur Asrama. Revitalisasi pendidikan
agama di sekolah harus diupayakan demi tujuan yang diharapkan. Untuk membenahi karakter
harus dimulai dari penanaman nilai-nilai etika dan moral yang bersumber dari agama.
Penyelenggaraan pendidikan karakter melalui pendidikan agama Hindu akan berjalan
maksimal apabila ada sinergi antara guru, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dengan
begitu nilai-nilai yang ada dapat diterima karena pembelajaran tidak terpaku pada pendalaman
materi, namun lebih bersifat aktif, menjadi sebuah kebiasaan baik dan benar sehingga menjadi
kebudayaan, dari kebudayaan ini akan memunculkan peradaban.

2.5.Pendidikan Karakter
Karakter menurut Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan Nasional (Kemdiknas)
mempunyai pengertian “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak”. Sedangkan pengertian berkarakter adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, bertabiat, dan berwatak”. Dalam pengertian lain, karakter mengacu pada
serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan
(skills). Kata “karakter” berasal dari bahasa Yunani yang berarti “to mark” atau menandai
dan memfokuskan pada bagaimana mengaplikasikan nilai kebaikan dalam bentuk tindakan
atau tingkah laku, sehingga orang yang tidak jujur, kejam, rakus dan perilaku jelek lainnya
dikatakan orang berkarakter jelek. Sebaliknya, orang yang perilakunya sesuai dengan kaidah
moral disebut dengan berkarakter mulia.

10
Individu yang memiliki karakter mulia yaitu individu yang memiliki potensi diri seperti
yang ditandai dengan nilai-nilai seperti percaya diri, rasional, logis, kreatif dan inovatif,
mandiri, bertanggung jawab, sabar, rela berkorban, berpikir positif, disiplin, bersemangat,
dinamis, produktif. Individu tersebut juga memiliki kesadaran untuk berbuat yang terbaik atau
unggul, dan individu juga mampu bertindak sesuai potensi dan kesadarannya tersebut.
Karakteristik adalah realisasi perkembangan positif sebagai individu (intelektual, emosional,
sosial, etika, dan perilaku).
Individu yang berkarakter baik akan selalu berusaha melakukan hal-hal yang terbaik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan negara serta dunia
internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi (pengetahuan) dirinya dan
disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya).
Menurut T. Ramli (2003), pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama
dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak
supaya menjadi manusia yang baik, baik di lingkungan keluarga, masyarakat dan bangsa serta
dalam kehidupan bernegara. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks
pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya
bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use
of all dimensions of school life to foster optimal character development”. Dalam pendidikan
karakter di sekolah, semua komponen atau penyelenggaraan pendidikan harus dilibatkan,
termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi, kurikulum, proses
pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pembelajaran, pengelolaan
sekolah, pelaksanaan aktivitas, atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana dan
prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah serta lingkungan. Di samping
itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dimana dalam
menyelenggarakan pendidikannya harus berkarakter.
Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah seorang yang berusaha melakukan hal-
hal yang terbaik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dirinya, sesama, lingkungan, bangsa dan
negara serta dunia internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi

11
(pengetahuan) dirinya dan disertai kesadaran, emosi dan motivasinya (perasaannya)
(kemdiknas, 2010). Pendidikan karakter berfungsi: (1) mengembangkan potensi dasar agar
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku
bangsa yang multikultur; dan (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia (Gunawan, 2012: 30).

2.6.Proses Pembentukan Karakter dan Strateginya


Pembentukan karakter siswa merupakan sesuatu yang sangat penting tetapi tidak mudah
dilakukan, karena perlu dilakukan dalam proses yang lama dan berlangsung seumur hidup.
Apalagi karakter itu tidak langsung dimiliki oleh anak sejak ia lahir akan tetapi karakter
diperoleh melalui berbagai macam pengalaman di dalam hidupnya.
Pembentukan karakter merupakan suatu usaha yang melibatkan semua pihak, baik orang
tua, sekolah, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas. Oleh karena itu, pembentukan
karakter tidak akan berhasil apabila semua lingkungan pendidikan tidak ada
kesinambungan, kerjasama dan keharmonisan. Pembentukan karakter merupakan bagian
penting dalam proses pendidikan dalam keluarga. Pada umumnya setiap orang tua berharap
anaknya berkompeten dibidangnya dan berkarakter baik.
Walgito (2004:79) berpendapat bahwa pembentukan perilaku hingga menjadi karakter
dibagi menjadi tiga cara yaitu: (1) kondisioning atau pembiasaan, dengan membiasakan
diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan, akhirnya akan terbentuklah perilaku
tersebut; (2) pengertian (insight), cara ini mementingkan pengertian, dengan adanya
pengertian mengenai perilaku akan terbentuklah perilaku; (3) model, dalam hal ini perilaku
terbentuk karena adanya model atau teladan yang ditiru.
Menurut Arismantoro (2008:124) secara teori pembentukan karakter anak dimulai dari
usia 0-8 tahun. Artinya di masa usia tersebut karakter anak masih dapat berubah-ubah
tergantung dari pengalaman hidupnya. Oleh karena itu membentuk karakter anak harus
dimulai sedini mungkin bahkan sejak anak itu dilahirkan, karena berbagai pengalaman
yang dilalui oleh anak semenjak perkembangan pertamanya, mempunyai pengaruh yang
besar. Berbagai pengalaman ini berpengaruh dalam mewujudkan apa yang dinamakan
dengan pembentukan karakter diri secara utuh. Pembentukan karakter pada diri anak
memerlukan suatu tahapan yang dirancang secara sistematis dan berkelanjutan. Sebagai
individu yang sedang berkembang, anak memiliki sifat suka meniru tanpa

12
mempertimbangkan baik atau buruk. Hal ini didorong oleh rasa ingin tahu dan ingin
mencoba sesuatu yang diminati, yang kadang muncul secara spontan. Sikap jujur yang
menunjukkan kepolosan seorang anak merupakan ciri yang juga dimiliki anak. Akhirnya
sifat unik menunjukkan bahwa anak merupakan sosok individu yang kompleks yang
memiliki perbedaan dengan individu lainnya.

Pembentukan karakter yang dilakukan di sekolah mempunyai fungsi untuk


menumbuhkan kesadaran diri. Kesadaran diri merupakan proses internalisasi dari
informasi yang diterima yang pada saatnya menjadi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya
dan diwujudkan menjadi perilaku keseharian. Oleh karena itu, walaupun kesadaran diri
lebih merupakan sikap, namun diperlukan kecakapan untuk menginternalisasi informasi
menjadi nilai-nilai dan kemudian mewujudkan menjadi perilaku keseharian. Kecakapan
kesadaran diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai hamba Tuhan Yang
Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, sebagai bagian dari lingkungan,
serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimilki, sekaligus
menjadikannya sebagai modal untuk meningkatkan diri sebagai individu yang bermanfaat
bagi diri sendiri maupun lingkungannya. Dengan kesadaran diri sebagai hamba Tuhan,
seseorang akan terdorong untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya, serta
mengamalkan ajaran agama yang diyakininya. Pendidikan agama bukan dimaknai sebagai
pengetahuan semata, tetapi sebagai tuntunan bertindak, berperilaku, baik dalam hubungan
antara dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan antara manusia dengan
alam lingkungannya. Kecakapan kesadaran diri dijabarkan menjadi :

1. Kesadaran diri sebagai hamba Tuhan diharapkan mendorong peserta didik untuk
beribadah sesuai dengan tuntutan agama yang dianut, berlaku jujur, bekerja keras,
disiplin dan amanah terhadap kepercayaan yang dianutnya. Bukankah ini termasuk
prinsip bagian dari akhlak yang diajarkan oleh semua agama?

2. Kesadaran diri bahwa manusia sebagai makhluk sosial akan mendorong peserta didik untuk
berlaku toleran kepada sesama, suka menolong dan menghindari tindakan yang menyakiti
orang lain. Bukankah Tuhan YME menciptakan manusia bersuku-suku untuk saling
menghormati dan saling membantu? Bukankah heteroginitas itu harmoni kehidupan yang
seharusnya disinergikan?

13
3. Kesadaran diri sebagai makhluk lingkungan merupakan kesadaran bahwa manusia
diciptakan Tuhan YME sebagai kholifah di muka bumi dengan amanah memelihara
lingkungan. Dengan kesadaran ini, pemeliharaan lingkungan bukan sebagai beban tetapi
sebagai kewajiban ibadah kepada Tuhan YME, sehingga setiap orang akan terdorong
untuk melaksanakannya.

4. Kesadaran diri akan potensi yang dikaruniakan Tuhan kepada kita sebenarnya
merupakan bentuk syukur kepada Tuhan. Dengan kesadaran ini peserta didik akan
terdorong untuk menggali, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan potensi
yang dikaruniakan oleh Tuhan, baik berupa fisik maupun psikis. Oleh karena itu, sejak
dini siswa perlu diajak mengenal apa
kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dan kemudian mengoptimalkan kelebihan yang
dimiliki dan memperbaiki kekurangannya. Adhin (2006:272) menjelaskan bahwa karakter
yang kuat dibentuk oleh penanaman nilai yang menekankan tentang baik dan buruk. Nilai
itu dibangun melalui penghayatan dan pengalaman, membangkitkan rasa ingin tahu yang
sangat kuat dan bukan menyibukkan diri dengan pengetahuan. Karakter yang kuat
cenderung hidup secara berakar pada diri anak bila semenjak awal anak telah dibangkitkan
keinginan untuk mewujudkannya. Karena itu jika sejak kecil anak sudah dibiasakan untuk
mengenal karakter positif, maka anak akan tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, percaya
diri dan empati, sehingga anak akan merasa kehilangan jika anak tidak melakukan
kebiasaan baiknya tersebut.
Strategi pendidikan karakter dapat dilakukan melalui multiple talent approach (multiple
intelligent). Strategi pendidikan karakter ini memiliki tujuan yaitu untuk mengembangkan
seluruh potensi anak didik yang manifestasi pengembangan potensi akan membangun self
concept yang menunjang kesehatan mental. Konsep ini menyediakan kesempatan bagi anak
didik untuk mengembangkan bakat emasnya sesuai dengan kebutuhan dan minat yang
dimilikinya. Ada banyak cara untuk menjadi cerdas, dan cara ini biasanya ditandai dengan
prestasi akademik yang diperoleh di sekolahnya dan anak didik tersebut mengikuti tes
intelengensi. Cara tersebut misalnya melalui kata-kata, angka, musik, gambar, kegiatan
fisik atau kemamuan motorik atau lewat cara sosial-emosional.
Menurut Gardner (dalam Megawangi, 2004:128-129), manusia itu sedikitnya memiliki
8 kecerdasan yaitu: linguistict intelligent, logical-mathematical intelligent, spatial

14
intelligent, bodily kinesthetic intelligent, musical intelligent, interpersonal intelligent,
intrapersonal intelligent, dan naturalist intelligent. Kecerdasan manusia, saat ini tak hanya
dapat diukur dari kepandaiannya menguasai matematika atau menggunakan bahasa.
Konsep multiple intelligence mengajarkan kepada anak bahwa mereka bisa belajar apapun
yang mereka ingin ketahui. Bagi orang tua atau guru, yang dibutuhkan adalah kreativitas
dan kepekaan untuk mengasah anak tersebut. Baik guru atau orang tua juga harus berpikir
terbuka, keluar dari paradigma tradisional. Kecerdasan bukanlah sesuatu yang bersifat
tetap. Kecerdasan bagaikan sekumpulan keterampilan yang dapat ditumbuhkan dan
dikembangkan. Kecerdasan adalah kemampuan untuk memecahkan masalah, kemampuan
untuk menciptakan masalah baru untuk dipecahkan, kemampuan untuk menciptakan
sesuatu yang berharga dalam suatu kebudayaan masyarakat.
Hidayatullah (2010:39) menjelakan bahwa strategi dalam pendidikan karakter dapat
dilakukan melalui sikap-sikap sebagai berikut: (1) keteladanan, (2) penanaman
kedisiplinan, (3) pembiasaan, (4) menciptakan suasana yang konduksif, dan (5) integrasi
dan internalisasi.

2.7. Peranan Pendidikan Agama Hindu Dalam Membentuk Karakter


Pandangan bahwa agama adalah alat untuk mencapai kemuliaan manusia, dan menjadikan
manusia bersifat dewata atau menjadi manusia dewasa sudah sangat tegas dalam Hindu.
Dalam pelaksanaan keagamaan, tidak bisa terlepas dari Tri Kerangka Dasar Agama Hindu
meliputi (1) tattva (filsafat), susila (etika), dan acara agama (upacara dan upakara) (Titib,
2007: 25; Sura 2006: 1). Apabila dipahami, dihayati dan dilaksanakan akan menjadikan umat
Hindu memiliki kepribadian yang baik dan mulia. Hal ini berarti bahwa agama Hindu tidak
saja mendidik secara fisik, visual semata, namun secara seimbang melalui jasmani dan rohani.
Secara sekala dan niskala untuk memperoleh keseimbangan. Sehingga manusia Hindu
memeiliki kepribadian yang mulia, atau mampu berkarakter dewa. Konsep penting lainnya
yang perlu ditekankan dalam pendidikan agama Hindu yang menjadi salah satu penekanan
dalam ajaran suśīla adalah Tri Kaya Parisudha, yaitu manacika (berpikir yang baik dan suci),
wacika (berbicara yang benar), dan kayika (berlaksana yang baik dan jujur). Lebih lanjut
menurut agama Hindu juga telah banyak diuraikan bagaimana membentuk pribadi yang
berkarakter yang bisa diacu oleh guru pendidikan agama Hindu, sebagaimana diuraikan oleh
Soebardjo (1992: 75) yang disebut catur vidya meliputi: (1) anwisaki, memiliki wawasan dan

15
kadar keimanan yang kualitatif; (2) wedatrayi, menghayati dan mengamalakan nilai-nilai
religius Hindu secara utuh dan segar; (3) vartha, senantiasa mengembangkan diri dengan
melalui peningkatan budaya kerja. Berkarya penuh kreatif dan inovatif; (4) dandha,
berpartisipasi secara aktif demi terciptanya stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.
Hidup sebagai manusia pada hakekatnya sangat utama, dalam kitab Sārasamuccaya, sloka
4 dijelaskan “Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wênang ya
tumulung awaknya sangkeng sengsara, makasādhanang śubhakarma, hinganing kottamaning
dadi wwang ika” yang artinya sesungguhnya menjelma sebagai manusia ini adalah suatu hal
yang utama, karena hanya manusialah yang dapat menolong dirinya sendiri dari kesengsaraan,
yaitu dengan jalan berbuat baik. Itulah keuntungan menjelma menjadi manusia (Sudharta,
2009: 5).
Agama adalah inner power atau tenaga dalam bagi pemeluknya dalam menghadapi
berbagai tantangan hidup. Agama dengan jelas telah memberikan hakikat hidup bagi manusia,
yang sesungguhnya merupakan persoalan paling mendasar bagi manusia. Hakikat tujuan
hidup dalam agama Hindu diformulasikan dengan kalimat Mokṣartham jagathitaya ca iti
dharma. Tujuan hidup adalah untuk mencapai jagathita dan mokṣa. Hal ini kemudian lebih
dijabarkan ke dalam apa yang disebut sebagai Catur Purusa Artha: dharma, artha, kāma, dan
mokṣa. Tujuan hidup ini kemudian menjiwai tatanan sosial yang disebut catur āśrama
(brahmacari, gṛhastha, vānaprastha dan saṅnyāsa) dan catur varṇa (brāhmaṇa, kṣatriya,
vaisya dan sudra).
Inti ajaran agama Hindu terdiri dari bagian yang disebut dengan Tri Kerangka Agama Hindu.
Tri Kerangka Agama Hindu itu sendiri dibagi menjadi 3 bagian antara lain : Tattwa (filsafat)
Susila (etika) Upacara (ritual). Dari ketiga kerangka tersebut, dapat dikembangkan menjadi
beberapa ajaran agama Hindu yang kemudian diaplikasikan kedalam sebuah praktek upakara
atau simbol-simbol yang mencerminkan makna dari ajaran agama tersebut.
Jika diibaratkan tattwa itu adalah kepala, susila adalah hati, upacara adalah tangan dan kaki
agama. Dapat juga diandaikan sebagai sebuah telor, sarinya adalah tatwa, putih telornya adalah
susila dan kulitnya adalah upacara. Telor ini akan busuk jika satu dari bagian ini tidak sempurna.
Maka dari itu, ketiga kerangka ini haruslah seimbang.
Banyak tattwa yang mampu membuat seseorang menjadi berubah kearah yang lebih positif
bila saja seseorang itu mampu memaknai tattwa tersebut dan mampu disesuaikan dengan

16
kehidupan yang sekarang. Contoh yang sehari-hari kita dengar yaitu ucapan Om Swastyastu.
Andai saja ucapan ini dapat dipahami dan dimaknai oleh seorang siswa, pastinya akan ada suatu
anugrah, berkah dan timbulnya aura positif dari ucapan yang sangat dalam tattwanya (filsafatnya).
Kata Om merupakan aksara suci untuk Sang Hyang Widhi Wasa, Swastyastu berasal dari bahasa
Sansekerta yang artinya semoga selalu berada dalam keadaan yang baik atas karunia Hyang
Widhi. Sungguh luar biasa makna dibalik kata yang sederhana di atas. Tapi seakan-akan orang-
orang atau khususnya para siswa, hanya sekedar mengucapkannya sebagai salam saja tanpa
mengetahui makna dibalik kata-kata tersebut.
Dengan kepercayaan dan kepahaman akan adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa, maka akan
timbul pemikiran positif yang akhirnya mampu diterapkan oleh para siswa kedalam sebuah
tindakan konkret pastinya tindakan konkret tersebut haruslah bersifat positif. Dalam agama Hindu
tingkah laku yang baik disebut dengan susila. Agama merupakan dasar tata susila yang kokoh dan
kekal. Ibarat bangunan jika landasan/pondasinya tidak kokoh maka niscaya bangunan tersebut
akan mudah roboh. Hal inilah yang harus diresapi oleh semua orang khususnya para siswa sebagai
generasi bangsa. Banyak kejadian-kejadian yang terjadi akibat dari perbuatan yang melanggar
dari ajaran tata susila.
Banyak siswa yang melanggar norma-norma sehingga bertindak diluar dari ajaran agama.
Misal saja adanya genk motor yang ujung-ujungnya terjadi perkelahian. Adanya tawuran
antar pelajar, siswa yang memakai narkoba, memperkosa, membunuh dan yang sering terjadi
adalah kasus pencurian dengan berbagai macam alasan. Mengapa siswa tersebut melakukan
hal seperti itu? Dari berbagai kejahatan tersebut, tentu dapat dipastikan salah satu faktornya
adalah semakin terdegradasinya moral serta etika di dalam diri para siswa.
Disinilah peran pendidikan agama Hindu yang notabene dibagi menjadi 2 yaitu pendidikan
formal dan non formal. Pendidikan formal tentu saja didapat dari proses pembelajaran agama
Hindu oleh guru. Pendidikan yang dari sekolah tersebut, pada umumnya hanya bersifat teoritis
yang dalam mekanisme pembelajarannya adalah menyampaikan pesan moral, budi pekerti, tata
susila, dan makna-makna ajaran agama Hindu yang diharapkan mampu mendoktrin pikiran para
siswa agar tidak melanggar dari apa yang diajarkan oleh agama Hindu. Contoh, adanya ajaran Tat
Twam Asi, Ahimsa yang mengajarkan para siswa untuk memiliki sifat welas asih dan tidak
menyakiti atau pun membunuh makhluk lainnya. Diajarkan pula dalam agama Hindu agar para
siswa berbuat, berbicara dan berpikir yang baik yang disebut dengan Tri Kaya Parisudha. Banyak
ajaran agama Hindu yang seharusnya mampu mendoktrin pemikiran para siswa.

17
Jikalau pendidikan formal belum mampu untuk mendoktrin pikiran siswa agar tidak
menyimpang dari ajaran agama, ada hal lain yang dapat digunakan sebagai penunjang dari
pendidikan formal tersebut yaitu pendidikan non formal. Dalam pendidikan ini yang pertama
perlu disorot adalah bagaimana caranya suatu keluarga (orang tua) menanamkan ajaran-ajaran
agama Hindu kepada anaknya sejak dini.
Bila sejak dini sudah diajarkan, pastinya kita berharap agar ketika anak itu dewasa, akan
muncul karakter yang baik. Kegiatan-kegiatan yang bersifat sosioreligius harusnya mampu untuk
membentuk kepribadian siswa agar menjadi lebih baik. Contohnya seperti kegiatan ngayah di
Pura. Disamping kita dapat bersosialisasi dengan orang lain, dapat beradaptasi dengan keadaan
dan lingkungan, serta dapat pula meningkatkan ketrampilan dalam membuat sarana upakara
seperti membuat penjor, tipat, membuat canang, banten dan lain sebagainya. Dengan kegiatan-
kegiatan positif ini, disamping pembentukan karakter yang baik, tetapi juga mampu untuk
mengisi waktu luang siswa agar tidak terisi oleh kegiatan-kegiatan negatif. Disekolah pun
harus meningkatkan ekstrakurikuler keagamaan sebut saja Dharma Gita, Dharma Wacana,
praktek upakara mejejaitan. Dan sekolah harus membuat program-program yang bersifat
sosioreligius. Dengan berbagai hal yang dipersepsikan di atas mengenai ajaran agama Hindu,
diharapkan agar mampu membentuk kepribadian yang baik dan mempu mengikis sedikit demi
sedikit krisis moral yang terjadi selama ini terutama dikalangan siswa. Karena kembali ke
awal tujuan pendidikan adalah disamping cerdas secara intelektual, tapi juga harus
membentuk karakter yang positif.
Dengan demikian agama Hindu dengan jelas dan tegas telah menetapkan hakekat tujuan
hidup serta jalan atau cara mencapainya, termasuk tatanan masyarakat sebagai sarana untuk
mencapainya demi mewujudkan manusia yang berkarakter dewa, baik dan mulia. Maka
agama Hindu tidak saja dapat memberi wawasan dan visi yang jelas bagi umat dalam
menghadapi kehidupan, tetapi juga akan membangun integritas diri bagi pemeluknya. Dengan
kata lain pendidikan agama Hindu memiliki manfaat baik dalam upaya menciptakan
individu berkarakter sehingga terciptalah generasi muda yang berkarakter dan berkualitas
tinggi untuk membangun bangsa yang beradab.

18
BAB III

PENUTUP

3.1.Kesimpulan
Tujuan pendidikan agama Hindu adalah membentuk kepribadian sikap, mental dan budi
pekerti dalam diri siswa. Agar peserta didik tersebut mampu memahami yang suputra, susila
dan subiartha serta astiti bhakti dalam kehidupan sosial religius.
Pembentukan karakter merupakan suatu usaha yang melibatkan semua pihak, baik orang
tua, sekolah, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas. Oleh karena itu, pembentukan karakter
tidak akan berhasil apabila semua lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan, kerjasama
dan keharmonisan. Pembentukan karakter merupakan bagian penting dalam proses pendidikan
dalam keluarga. Pada umumnya setiap orang tua berharap anaknya berkompeten dibidangnya
dan berkarakter baik.
Pendidikan agama Hindu memiliki peranan yang sangat penting dalam membentuk
karakter manusia. Dalam pelaksanaan keagamaan, tidak bisa terlepas dari Tri Kerangka Dasar
Agama Hindu, yaitu tattva, susila, dan acara, apabila dipahami, dihayati dan dilaksanakan
akan menjadikan umat Hindu memiliki kepribadian yang baik dan mulia. Selain itu, banyak
ajaran dari agama Hindu yang dapat membentuk karakter manusia diantarnya Tri Kaya
Parisudha, Catur Marga, Catur Vidya, dan Catur Asrama. Revitalisasi pendidikan agama di
sekolah harus diupayakan demi tujuan yang diharapkan. Untuk membenahi karakter harus
dimulai dari penanaman nilai-nilai etika dan moral yang bersumber dari agama.
Penyelenggaraan pendidikan karakter melalui pendidikan agama Hindu akan berjalan
maksimal apabila ada sinergi antara guru, keluarga, masyarakat dan pemerintah. Dengan
begitu nilai-nilai yang ada dapat diterima karena pembelajaran tidak terpaku pada pendalaman
materi, namun lebih bersifat aktif, menjadi sebuah kebiasaan baik dan benar sehingga menjadi
kebudayaan, dari kebudayaan ini akan memunculkan peradaban.

3.2.Saran
Pendidikan karakter haruslah selalu diberikan kepada para peserta didik baik dilingkungan
sekolah maupun dilingkungan keluarga, ini bertujuan untuk membentuk membangun karakter
para peserta didik sesuai dengan Tri Kaya Parisudha. Peranan lingkungan sangat berpengeruh,
baik itu dari orang tua, guru, maupun masyarakat disekitar. Maka dari itu peranan orang tua

19
haruslah memberikan contoh yang baik kepada para peserta didik, agar peserta didik dapat
berkelakuan baik dilingkungan masyarakat.

20
DAFTAR PUSTAKA
Agastia,IBG. 2006. Cokorda Mantuk Ring Rana: Pemimpin yang Nyastra. Denpasar: yayasan
Dharma Sastra.
Arismantoro. 2008. Character Building. Yogyakarta. Tiara Wacana.
Bimo, Walgito. 2004.Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset.
Gunawan, Heri. 2012. Pendidikan Karakter, Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.
Kemendiknas. 2010. Panduan Pendidikan Karakter di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta :
Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan dan Menengah.
Mustari, Mohamad. 2011. Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yogyakarta:
LaksBang PRESSindo.
Santya Pratiwi, Ni Kadek, 2018. Peran Pendidikan Agama Hindu Dalam Membentuk
Kepribadian Siswa. Yayasan Pengembangan Anak Indonesia.
Ramli, T.2003. Pendidikan Moral dalam Keluarga. Grasindo; Jakarta
Ramini Santika, Ni Wayan. 2018. Pendidikan Agama Hindu Sebagai Dasar Dalam Pembentukan
Karakter. Institut Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya
Ratna Megawangi.2004. Pendidikan karakter: Solusi yang tepat untuk Membangun
Bangsa.Jakarta: Star Energy (Kakap) Ltd.Susuhunan pakubuana IV, serat Wulangreh (1968
-1920).
Sudarsana, I Ketut. 2018. Pengantar Pendidikan Agama Hindu. Institut Hindu Dharma Denpasar.
Sudira, Putu. 2013. Revitalisasi Pembelajaran Agama Hindu. Makalah: UNY
Sura, I Gede. 2006. Siwa Tattwa. Denpasar : Pemerintah Propinsi Bali.
Titib, I Made. 2003. Menumbuhkembangkan Pendidikan Budhi Pekerti Pada Anak Dalam
Perspektif Agama Hindu. Jakarta: Ganeca Exact.
Titib, I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali terhadap Svarga, Naraka, Moksa dalam
Svargarohanaparva. Surabaya: Paramita.
Titib, I Made. 2007. Studi Agama Hindu (Masalah dan Solusi). IHDN Denpasar.

21

Anda mungkin juga menyukai