Anda di halaman 1dari 31

ABSTRAK

AKUNTANSI PERNIKAHAN MUSLIM BALI


(STUDI ETNOGRAFI DI KAMPUNG LEBAH)

Oleh:
Novi Andani

Dosen Pembimbing : Dr. Aji Dedi Mulawarman, SP., MSA

Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri bagaimana masyarakat muslim Bali di


Kampung Lebah memahami akuntansi di dalam budaya pernikahan mereka. Situs
penelitian ini berlokasi di Kampung Lebah, Kecamatan Klungkung, Kabupaten
Klungkung, Bali. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
Etnografi. Wawancara dilakukan terhadap empat informan, yaitu pengantin
wanita, ibu pengantin wanita, seorang tetangga dekat, dan seorang yang
memahami adat pernikahan di Kampung Lebah. Penelitian ini berupaya
memperhatikan praktik-praktik akuntansi, sehingga menghasilkan makna
akuntansi berdasarkan sudut pandang subjek penelitian. Hasil penelitian
memperkuat teori dan penelitian sebelumnya bahwa akuntansi tidak selalu
berputar pada dunia bisnis, tetapi juga hadir di dalam ruang lingkup kehidupan
yang lebih kecil, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat masyarakat
Kata kunci : akuntansi dalam budaya pernikahan, muslim Bali di kampung
Lebah, Etnografi.
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Selama ini, akuntansi sering dipandang sebagai media untuk mengelola
keuangan dalam dunia usaha yang kental dengan aktivitas input, proses, dan
output. Akuntansi cenderung dikaitkan dengan hal yang bersifat objektif dimana
keobjektifannya didasarkan pada bukti-bukti transaksi dan kesesuaian dengan
standar akuntansi yang berlaku. Penelitian tentang akuntansi seolah dipandang
tidak valid ketika tidak berkaitan dengan dunia bisnis. Banyak hal-hal menarik
dalam dunia akuntansi yang seharusnya dapat digali lebih dalam menjadi
terkesampingkan.
Apabila dipandang secara lebih spesifik dari fenomena realitas sosial yang
ada, akuntansi itu sendiri sebenarnya tidaklah hanya berputar pada soal bisnis.
Akuntansi tidak selalu dihubungkan dengan alat dari proses aktivitas perusahaan
yang segala peristiwanya dicatat dengan nilai moneter (Mulawarman, 2013). Pada
kenyataannya, Akuntansi banyak ditemui di ruang lingkup yang lebih kecil,
seperti dalam kehidupan sehari-hari (Hopwood, 1994). Ya, akuntansi selalu hadir
di dalam kehidupan sehari-hari kita, baik dalam aktivitas sehari-hari yang bersifat
umum sampai dalam pelaksanaan ritual upacara adat dalam masyarakat. Banyak
penelitian yang telah memaparkan tentang akuntansi di luar dunia bisnis.
Jeacle (2009) menjelaskan tentang keberadaan akuntansi dalam kehidupan
sehari-hari, bahwa akuntansi juga diterapkan dalam aktivitas berbelanja, rumah
tangga, dan hiburan. Bahkan, ritual sederhana dalam kehidupan sehari-hari seperti
makan dan minum pun juga terlibat di dalamnya (de Carteau, 1985). Begitu pula
penelitian yang dilakukan Annisa (2015) tentang budaya pop dalam masyarakat
yang berfokus pada kegiatan belanja dan hiburan, seperti ngafe, ngemall, nge-
gym, dan dugem.
Banyak pula penelitian menarik lainnya yang membuktikan keberadaan
akuntansi yang hadir dalam pelaksanaan kegiatan adat istiadat dalam kehidupan
masyarakat yang membawa nilai-nilai khusus di dalamnya. Seperti penelitian
akuntansi dalam Sima Masa Jawa Kuno yang dilakukan oleh Lutfillah (2014).
Dalam penelitian tersebut dijelaskan bahwa akuntansi dan peran akuntan atau
yang disebut dengan Citralekha, dapat ditemui pada ritual upacara penetapan
Sĩma.
Akuntansi juga dapat ditemui pada pelaksanaan upacara ngaben masal
atau ngaben bersama yang dilakukan oleh Krama Desa Pakraman Banyuning di
Bali (Pratiwi, Atmaja, dan Herawati, 2015). Penelitian lainnya, yaitu penelitian
yang dilakukan oleh Kamayanti tentang akuntansi selametan yang lebih berfokus
pada selamaten dalam acara pernikahan dan sunatan. Geertz dalam kamayanti
(n.d.) dahulu juga mengadakan penelitian di Pare pada tahun 1953-1959 tentang
biaya upacara selametan.
Akuntansi dalam pelaksaan upacara adat membawa nilai-nilai tertentu
seperti nilai kasih sayang, nilai spirituil, nilai kemanusiaan, nilai altruistik, nilai
estetika, dan nilai-nilai lain di dalamnya. Seperti halnya yang dijelaskan di dalam
penelitian Triyuwono dan Sitorus (n.d.), dimana bentuk akuntansi dalam
pernikahan adat batak toba menunjukkan bahwa ada nilai-nilai kehidupan yang
hadir di dalamnya dan juga tidak memperioritaskan keuntungan financial
sebagaimana akuntansi dalam dunia bisnis pada umumnya yang dianggap sebagai
satu-satunya bentuk akuntansi.
Tulisan-tulisan lain yang mengatakan bahwa budaya mempengaruhi
akuntansi itu sendiri secara lebih luas dijelaskan oleh beberapa tokoh seperti
Violet, Harrison dan McKinnon, Doupnik dan Salter, dan Nobes. Hofstede dan
Gray (Dalam Zaitul, n.d.) juga menjelaskan, bahwa budaya menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi perkembangan akuntansi. Perbedaan budaya pada
negara yang satu dengan negara yang lain menghasilkan akuntansi yang berbeda.
Seperti kita ketahui, bahwa budaya merupakan cerminan dari suatu
bangsa, sehingga penting untuk menggali kebutuhan dan nilai-nilai lokal melalui
budaya. Norma dan budaya lokal akan terkikis oleh globalisasi, dengan mengikuti
standar yang berlaku secara internasional. Norma dan budaya lokal akan terkikis
karena globalisasi itu sendiri mengarah kepada homogenisitas, globalisasi akan
menghasilkan “culture alienation’‟ dan bangsa akan kehilangan identitasnya,
sehingga meneliti kebudayaan diperlukan untuk melestarikan peradaban bangsa
(kamayanti, n.d.).
Di Indonesia, adat istiadat menjadi aturan dan norma yang harus dipatuhi
dan juga memiliki sanksi hukum tersendiri dalam kehidupan sosial masyarakat,
sehingga adat menjadi sesuatu yang pentingSeperti misalnya, di Sulawesi Tengah,
orang To-Kaili (Suku Kaili) memiliki adat tersendiri dalam penyelenggaraan
upacara perkawinan (no-Rago, no-Raego, kesenian berpantun muda-mudi).
Orang To-Kaili berpandangan bahwa perkawinan merupakan proses
memasuki kehidupan yang sangat sakral, dimana prosesnya bukan tentang unsur
jasmaniah saja tetapi juga memiliki hubungan yang erat sekali dengan
kerohaniaan. Orang To-Kaili berkeyakinan bahwa perkawinan yang diawali
dengan suatu adat yang baik maka akan memberikan kebaikan pula kepada
pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangganya, sehingga proses
perkawinan tersebut dilakukan dengan adat istiadat.
Selain adat khusus daerah, akulturasi budaya traditional dengan budaya
moderen melalui pernikahan di era urbanisasi dewasa ini juga banyak kita jumpai.
Namun, perpaduan antara keduanya pun tetap memelihara adat melekat pada
masyarakat Indonesia. Seperti misalnya di Bali. Bali sebagai kawasan wisatawan
menjadikan banyak sekali pendatang dari dalam dan luar negeri yang masuk dan
terjadi akulturasi budaya melalui pernikahan. Walaupun begitu, masyarakat Bali
sangat menjaga dan menjunjung tinggi budayanya dan banyak perayaan upacara
pernikahan masyarakat yang masih sangat kuat terikat dengan adat bali.
Adat pernikahan di Bali sangat erat dengan agama hindhu, melihat
masyarakat Bali sendiri merupakan masyarakat mayoritas beragama Hindhu,
sehingga pada umumnya pernikahan di bali kebanyakan mesti mengikutkan
tradisi bali. Walaupun begitu, adat pernikahan di Bali juga kuat melekat pada
masyarakatnya yang beragama Islam, seperti tradisi ngunya pada muslim
pegayaman Bali di kabupaten Buleleng (Abadi dan Susanto, 2012).
Yang menarik, terdapat pada budaya pernikahan masyarakat Muslim Bali
di kampung Lebah, Kabupaten Klungkung. Mereka mengikuti adat Bali yang
mana identik dengan nilai-nilai agama Hindhu, tetapi juga bersifat terbuka
terhadap budaya moderen saat ini, namun, mereka tetap melaksanakannya tanpa
melanggar aturan di dalam agama mereka melalui penyesuaian-penyesuaian
tertentu, sehingga membentuk suatu budaya pernikahan yang unik.
Adanya penyesuaian antara adat Bali, budaya moderen, dengan hukum
agama ini menyebabkan terdapat perbedaan kebutuhan akan serangkain upacara
pernikahan secara keseluruhan dan oleh karena itu juga terjadi perbedaan dalam
pelaksanaan upacara pernikahan itu sendiri. Sebagai contoh, kebutuhan akan
makanan halal, kebutuhan akan pelaksanaan akad nikah sesuai syariat Islam, dan
lain-lain.
Inilah yang menjadi menarik dalam penelitian ini. Sebagaimana yang telah
dijelaskan di awal, bahwa akuntansi merupakan konstruksi sosial oleh kelompok
sosial tertentu. Di tengah budaya Bali yang menjunjung tinggi adat Bali dan
pernikahan pada umumnya mesti mengikuti tradisi Bali, ternyata terdapat
klompok kecil yang berbeda, sehingga akuntansi dalam budaya pernikahan
klompok kecil tersebut pun akan berbeda pula.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan di atas, peneliti
tertarik untuk mengetahui bagaimanakah masyarakat muslim Bali di Kampung
Lebah memahami akuntansi di dalam budaya pernikahan mereka?

1.3 Tujuan Penelitian


Hal menarik yang ingin peneliti peroleh berangkat dari fenomena di atas
adalah munculnya keinginan untuk mengetahui makna akuntansi di dalam budaya
pernikahan bagi masyarakat muslim Bali di Kampung Lebah.

1.4 Manfaat Penelitian


1.Manfaat Teoritis
Manfaat dari dilakukannya penelitian ini secara teoritis yaitu sekurang-
kurangnya dapat berguna sebagai sumbangan informasi dan pemikiran bagi dunia
pendidikan khususnya tentang akuntansi di dalam budaya pernikahan.
1.4.1 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah :
a. Bagi peneliti
Penelitian ini menambah wawasan bagi pihak peneliti sendiri dalam
memahami akuntansi di dalam budaya pernikahan masyarakat muslim Bali di
Kampung Lebah.
b. Bagi Jurusan Akuntansi
Sebagai bahan pertimbangan untuk menarik minat bagi penelitian
selanjutnya untuk menggali akuntansi yang terdapat di dalam budaya masyarakat
Indonesia.
c. Bagi Penelitian Berikutnya
Penelitian ini juga bermanfaat sebagai bahan referensi bagi penelitian
berikutnya yang ingin mengkaji masalah yang serupa di kemudian waktu.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan
pendekatan etnografi. Data yang digunakan adalah data primer. Situs penelitian
yaitu di Kampung Lebah, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Bali.
Jumlah informan adalah empat orang. Adapun tahap-tahap penelitian etnografi
adalah sebagai berikut :
1. Memilih Situs Penelitian
2. Melakukan Observasi Partisipasi
3. Membuat Catatan Etnografis
4. Membuat Observasi Deskriptif
5. Membuat Analisis Domain
6. Membuat Observasi Terfokus
7. Membuat Analisis Taksonomi
8. Membuat Observasi Terseleksi (Mencari Kontras)
9. Membuat Analisis Kompensional
10. Mengungkapkan Tema Budaya (Cultural Themes)
11. Menulis Etnografi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 5.1
Analisis Domain
Analisis Domain
1. Membeli Perlengkapan Sepatu, 25. Menyiapkan Berkas-Berkas untuk
Make Up, Peralatan Mandi, Menikah
Pakaian Dalam, dan Baju.
2. Menghias dan Menyiapkan Parcel 26. Mengikuti Program Pendidikan
Pranikah
3. Membeli Ramuan Rempah- 27. Membayar Biaya Administrasi
Rempah Rebus
4. Menyiapakan Tikar Pandan, 28. Membeli Bahan-Bahan Masakan
Kamen, dan Air Rebusan dalam
Panci
5. Mandi Uap 29. Mengolah dan menyiapkan
Ragam Sajian Tradisional dan
Jajanan Khas Bali
6. Memainkan Gamelan Rudat 30. Makan Bersama
7. Mengiringi Mempelai Pria ke 31. Menyewa Jasa Make up dan
tempat Akad Nikah Gaun Pengantin
8. Memberikan Sumbangan 32. Menyewa Jasa Pacar Lukis
Mahendi
9. Menerima Buah-buahan, Kue 33. Menyewa Peralatan dan
Pernikahan, Kue Kotak, dan Aqua Perlengkapan Dekorasi dan Panjer
Kardus
10. Mencoret Nama Bahan dari 34. Membeli Satu Set Sprei dan
Daftar Kebutuhan Bedcover
11. Menyimpan Barang Sumbangan 35. Menyewa Jasa Dekorasi
Panggung
12. Memberikan Uang untuk 36. Membeli perlengkapan dekorasi
Pelaksanaan Acara tambahan
13. Menerima Uang untuk 37. Memesan Jasa Catering
Pelaksanaan Acara
14. Mengelola Uang untuk 38. Membeli peralatan makan
Pelaksanaan Acara tambahan
15. Membawa Aba-abaan 39. Mendesain Kartu Undangan
16. Menerima Beras dan Gula 40. Mencetak Kartu Undangan
17. Menukar Isi Emblong dengan 41. Emas 50 Gram
Jajanan Kering
18. Menyiapkan Makanan Berkatan 42. Seperangkat Alat Shalat
19. Membagikan Makanan Berkatan 43. Foto
20. Menerima Makanan Berkatan 44. Video
21. Memasukkan Amvlop ke dalam 45. Pisau Buah
Kotak
22. Menerima Amvlop Uang 46. Potongan kuku
23. Menghitung Isi Amvlop 47. Peralatan Rumah Tangga
24. Pakaian dan Aksesoris 48. Menyimpan Beras dan Gula

Tabel 5.2
Hubungan Semantik dalam Analisis Domain
No. Istilah Terliput Hubungan Semantik
1. Membeli Perlengkapan Sepatu, Make Up, Sundrang Nganten
Peralatan Mandi, Pakaian Dalam, dan Baju.
2. Menghias dan Menyiapkan Parcel
3. Membeli Ramuan Rempah-Rempah Rebus Ritual Metangas
4. Menyiapakan Tikar Pandan, Kamen, dan
Air Rebusan dalam Panci
5. Mandi Uap
6. Memainkan Gamelan Rudat Gamelan Rudat
7. Mengiringi Mempelai Pria ke tempat Akad Pengiringan Nganten Muani
Nikah
8. Memberikan Sumbangan Penampian Sumbangan
9. Menerima Buah-buahan, Kue Pernikahan, Nganten
Kue Kotak, dan Aqua Kardus
10. Mencoret Nama Bahan dari Daftar
Kebutuhan
11. Menyimpan Barang Sumbangan
12. Memberikan Uang untuk Pelaksanaan Uang Dapur
Acara
13. Menerima Uang untuk Pelaksanaan Acara
14. Mengelola Uang untuk Pelaksanaan Acara
15. Membawa Aba-abaan Penampian Aba-Abaan
16. Menerima Beras dan Gula
17. Menukar Isi Emblong dengan Jajanan
18. Menyimpan Beras dan Gula
19. Menyiapkan Makanan Berkatan Tradisi Ngejot ka
20. Membagikan Makanan Berkatan Lingkungane
21. Menerima Makanan Berkatan
22. Memasukkan Amplop ke dalam Kotak Uang dari Tamu Undangan
23. Menerima Amplop Uang
24. Menghitung Isi Amplop
25. Menyiapkan Berkas-Berkas untuk Menikah Keperluan KUA
26. Mengikuti Program Pendidikan Pranikah
27. Membayar Biaya Administrasi
28. Membeli Bahan-Bahan Masakan Ajengan Nyama Braya
29. Mengolah dan menyiapkan Ragam Sajian
Tradisional dan Jajanan Khas Bali
30. Makan Bersama
31. Menyewa Jasa Make up dan Gaun Pengangga Nganten
Pengantin
32. Menyewa Jasa Pacar Lukis Mahendi
33. Menyewa Peralatan dan Perlengkapan Dekorasi Ruang Acara
Dekorasi dan Panjer
34. Membeli Satu Set Sprei dan Bedcover
35. Menyewa Jasa Dekorasi Panggung Kuade
36. Membeli perlengkapan dekorasi tambahan
37. Memesan Jasa Catering Ajengan Tamu
38. Membeli peralatan makan tambahan
39. Mendesain Kartu Undangan Surat Undangan Nikah
40. Mencetak Kartu Undangan
41. Emas 50 Gram Mahar
42. Seperangkat Alat Shalat
43. Foto Dokumentasi Acara
44. Video Pernikahan
45. Pisau Buah Souvenir Pernikahan
46. Potongan kuku
47. Peralatan Rumah Tangga Kado Pernikahan
48. Pakaian dan Aksesoris

Tabel 5.3
Analisis Taksonomi
No Hubungan Semantik Istilah Pencakup
1. Keperluan KUA Biaya Tetap (Fixed Cost) Religius
2. Ngejot Ka Lingkungane Biaya Tetap (Fixed Cost) Tradisi
3. Ajengan Nyama Braya
4. Ritual Metangas
5. Pengiringan Nganten Muani
6. Sundrang Nganten Biaya Variabel (Variable Cost)
7. Kuade
8. Pengangga Nganten
9. Dekorasi Ruang Acara
10. Souvenir Pernikahan
11. Surat Undangan
12. Dokumentasi Acara
13. Keperluan Lain-Lain
14. Penampian Sumbangan Nganten Penerimaan
15. Uang Dapur
16. Uang dari Tamu Undangan
17. Kado Pernikahan
18. Penampian Aba-Abaan
19. Mahar
Tabel 5.4
Analisis Komponensial
No Hubungan Semantik Istilah Pencakup Kategori
1. Keperluan KUA Biaya Tetap (Fixed Praktik Akuntansi
Cost) Religius Pengeluaran
2. Ngejot Ka Lingkungane Biaya Tetap (Fixed
3. Ajengan Nyama Braya Cost) Tradisi
4. Ritual Metangas
5. Pengiringan Nganten Muani
6. Sundrang Nganten Biaya Variabel
7. Kuade (Variable Cost)
8. Pengangga Nganten
9. Dekorasi Ruang Acara
10. Souvenir Pernikahan
11. Surat Undangan
12. Dokumentasi Acara
13. Keperluan Lain-Lain
14. Penampian Sumbangan Penerimaan Praktik Akuntansi
Nganten Penerimaan
15. Uang Dapur
16. Uang dari Tamu Undangan
17. Kado Pernikahan
18. Penampian Aba-Abaan
19. Mahar

Tabel 5.5
Rangkaian Kontras
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Membawa Aba-abaan Tidak Tidak Ya Tidak

Menerima Beras dan Gula Ya Ya Tidak Tidak


Menukar Isi Emblong dengan Ya Ya Tidak Tidak
Jajanan
Menyimpan Beras dan Gula Ya Ya Tidak Tidak

Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Memberikan Sumbangan Tidak Tidak Tidak Tidak

Menerima Buah-buahan, Kue Ya Ya Tidak Tidak


Pernikahan, Kue Kotak, dan
Aqua Kardus
Mencoret Nama Bahan dari Ya Ya Tidak Tidak
Daftar Kebutuhan
Menyimpan Barang Sumbangan Ya Ya Tidak Tidak

Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Memberikan Uang untuk Tidak Tidak Tidak Tidak

Pelaksanaan Acara

Menerima Uang untuk Tidak Ya Tidak Tidak


Pelaksanaan Acara
Mengelola Uang untuk Ya Ya Tidak Tidak
Pelaksanaan Acara

Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Menyiapkan Makanan Berkatan Tidak Tidak Ya Tidak

Membagikan Makanan Ya Ya Tidak Tidak


Berkatan
Menerima Makanan Berkatan Tidak Tidak Ya Tidak

Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Memasukkan Amvlop ke Tidak Tidak Ya Ya
Dalam Kotak
Menerima Amvlop Uang Ya Tidak Tidak Tidak
Menghitung Isi Amvlop Ya Tidak Tidak Tidak

Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Membeli Bahan-Bahan Ya Tidak Tidak Tidak
Masakan
Mengolah dan menyiapkan Tidak Tidak Ya Tidak
Ragam Sajian Tradisional dan
Jajanan Khas Bali
Makan Bersama Ya Ya Tidak Tidak
Bagan Alur 6.1
Susunan Proses Acara Pernikahan

Ngidih nak luh


Uang Dapur
Musyawarah keluarga

Proses KUA

Penampian Sumbangan Mengurus Keperluan Penampian Aba-


Nganten Acara abaan

Ajengan Nyama Braya

Metangas

Pengiringan Nganten Muani

Akad Nikah

Perayaan Acara Pernikahan

Ngejot ka Lingkungane

Bagan Alur 6.2


Praktik Akuntansi Pernikahan

Penerimaan Uang Dapur


Sumbangan Nganten

Aba-Abaan

Mahar

Uang dari Tamu Undangan

Kado Pernikahan
Akuntansi

Pengeluaran Sundrang Nganten

Keperluan KUA

Ajengan Nyama Braya

Bahan-Bahan Ritual Metangas

Pengiringan Nganten Muani

Catering dan makanan untuk Ngejot


ka Lingkungane

Dekorasi Ruang Acara

Pengangga Nganten

Kuade

Souvenir Pernikahan

Surat Undangan Nikah

Dokumentasi Acara

Keperluan-keperluan lainnya
Uang dapur
Keberadaan uang dapur ini sangat kental dengan budaya pernikahan di Bali.
Uang dapur merupakan uang yang diberikan oleh pihak keluarga pria kepada
pihak keluarga wanita. Uang dapur merupakan penerimaan bagi pihak keluarga
wanita yang akan digunakan untuk membiayai seluruh keperluan acara
pernikahan. Jumlah yang diberikan berdasarkan pada kesepakatan antar kedua
belah pihak keluarga pada saat acara lamaran pertama.
Jumlah tersebut merupakan taksiran jumlah keseluruhan dari pihak keluarga
wanita, bergantung pada seberapa besar acara tersebut akan dirayakan. Namun,
mereka tetap mempertimbangkan kemampuan pihak keluarga pria dan tidak
memaksa. Uang dapur ini biasanya diberikan pada saat acara lamaran kedua atau
madik ping pinde, bersamaan dengan diberikannya sundrang nganten dan jajan-
jajanan.
Disini terlihat pula perbedaan tugas, dimana keluarga pria sebagai pihak yang
memberikan dana untuk acara pernikahan, sedangkan keluarga wanita sebagai
pihak yang mengelola uang dapur tersebut. Seluruh persiapan acara termasuk
pelaksanaan kegiatan ritual dan adat pernikahan akan diatur oleh keluarga wanita.
Penggunaan uang dapur tersebut dicatat, walaupun tidak sangat detail untuk
ditunjukkan sebagai pertanggungjawaban ke pria.
Dalam budaya pernikahan mereka, keberadaan uang dapur ini berbeda beda
menyesuaikan dengan jenis pernikahannya. Apakah pernikahan tersebut
merupakan pernikahan dua pengantin asli Bali yang satu daerah, pasangan asli
Bali yang beda daerah, ataukah merupakan pernikahan campuran. Berdasarkan
hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan informan, pada jenis pernikahan
campuran biasanya acara pernikahan akan diselenggarakan dua kali, yaitu di Bali
dan di daerah asal pasangannya.
Acara pertama biasanya diselenggarakan di rumah keluarga wanita, baik
keluarga wanitanya yang asli Bali maupun tidak. Pihak keluarga pria akan
memberikan uang dapur, kemudian pihak keluarga wanitalah yang mengurus dan
mengatur pelaksanaan acara pernikahan tersebut. Keluarga pria akan datang
beberapa hari sebelum hari pernikahan dan hadir sebagai tamu bagi keluarga
wanita. Acara kedua yang diselenggarakan di tempat keluarga pria, biayanya
ditanggung oleh keluarga pria itu sendiri.
Dalam jenis acara pernikahan yang lain, misalnya salah satu pengantin
merupakan orang perantauan yang telah lama menetap di Bali, maka acara
pernikahan pertama juga akan diselenggarakan di rumah pihak keluarga wanita.
Uang dapur juga tetap akan diberikan oleh pihak keluarga pria, begitu juga yang
mengurus dan mengatur segala keperluan acara pernikahan tersebut adalah
keluarga wanita.
Terkadang, pada pernikahan campuran seperti ini, walaupun pada umumya
acara pernikahan dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu di Bali dan di daerah asal
pasangannya, tetapi ada juga yang hanya menyelenggarakannya sekali saja.
Biasanya, jika prianya yang asli Bali, menyelenggarakan pernikahan sekali saja di
daerah asal wanita sudah dianggap cukup. Namun, hal ini cukup jarang ditemui.
Adapun acara pernikahan yang lebih dulu diselenggarakan di tempat si wanita
karena membawa kebiasaan dari orang jawa dahulu yang merantau ke Bali.
Keluarga wanita sering kali sebagai pihak yang melaksanakan acara, sehingga
pada jenis pernikahan campuran acara pernikahan selalu dilaksanakan di tempat
asal si wanita dan sampai saat ini telah menjadi kebiasaan masyarakat tersebut.
Apabila kedua pengantin adalah orang asli Bali satu daerah, acaranya
diselenggarakan sekali saja dan bertempat di rumah pihak keluarga pria. Seluruh
biaya dan acara pernikahan diatur oleh pihak keluarga pria. Berbeda jika kedua
pengantin adalah orang asli Bali beda daerah, pada umumnya acara pernikahan
diselenggarakan dua kali. Acara pertama diselenggarakan di daerah asal pria dan
yang kedua di daerah asal wanita. Biayanya ditanggung oleh masing-masing
pihak, tetapi pihak keluarga pria biasanya tetap memberikan uang untuk acara
yang dirayakan di daerah asal wanita, walaupun tidak dimintai. Hal tersebut
seolah telah menjadi sebuah kesadaran tersendiri bagi pihak keluarga pria.
Acara pernikahan di Bali biasa dilaksanakan di rumah si pria. Kebudayaan
patriarki ini bersumber dari adanya konsep purusha dan predana. Konsep ini
menjadi landasan yang membedakan antara status dan peran perempuan dengan
laki-laki (Wiasti, Dalam Widayani dan Hartati, 2014). Filsafat agama Hindu ini
lah yang menjadi ideologi dalam budaya Bali, yang berkembang menjadi sistem
nilai, norma-norma dan aturan-aturan di dalam hukum adat bercorak patrilineal
yang berfungsi sebagai kontrol sosial (Astiti, dalam Wiasti, dalam Widayani dan
Hartiti, 2014).
Bagi masyarakat muslim Bali di Kampung Lebah, uang dapur disini memiliki
makna yang lebih dalam. Selain membawa budaya pernikahan Bali, uang dapur
ini juga mengandung makna bahwa laki-laki merupakan sosok yang memiliki
tanggung jawab untuk menafkahi pasangannya dalam berumah tangga. Pemberian
uang dapur tersebut menunjukkan bahwa laki-laki tersebut berusaha dan siap
menjalani kewajiban serta tanggungjawabnya sebagai pemimpin di dalam rumah
tangga.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Atsari (2010) melalui sebuah hadist.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjelaskan dalam khutbah beliau pada saat
haji wada‟ sebagai berikut :

“Bertakwalah kalian kepada Allah (dalam menangani) istri-istri.


Sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan rasa aman dari Allah,
menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian atas mereka,
(ialah) mereka tidak boleh memasukkan ke ranjang kalian seseorang yang kalian
benci. Jika mereka melakukannya, maka pukullah mereka dengan pukulan yang
tidak menyakitkan. Bagi mereka (yang menjadi kewajiban) atas kalian memberi
rezki dan sandang bagi mereka dengan sepantasnya”. (HR Muslim, 1218).
Sumbangan nganten dan barang aba-abaan
Sumbangan nganten dan barang aba-abaan juga sangat kental dengan
karakter masyarakat Bali. Sumbangan nganten dan barang aba-abaan ini sama-
sama merupakan penerimaan bagi pihak keluarga yang mengadakan acara, namun
terdapat perbedaan makna di dalamnya. Sumbangan nganten merupakan
sumbangan yang diberikan oleh keluarga besar atau teman dekat dengan tujuan
membantu meringankan pengeluaran untuk menyelenggarakan acara pernikahan
tersebut. Sedangkan, barang aba-abaan merupakan pemberian dari tetangga-
tetangga dekat sebagai bentuk partisipasi mereka, sebagai orang-orang yang
berada di lingkung terdekat.
Di Kampung Lebah terdapat tradisi yang disebut medelokan nak nganten,
yaitu para ibu-ibu tetangga datang berkunjung ke rumah keluarga yang
mengadakan acara beramai-ramai beberapa hari sebelum hari acara pernikahan.
Pada saat itulah mereka sambil membawa barang aba-abaan tersebut. Isinya
berupa bahan-bahan makanan pokok seperti beras, gula, dan lain-lain, yang
diletakkan di dalam emblong dilapisi kain. terdapat nilai ajaran agama Islam yang
mendorong mereka, yaitu anjuran untuk bersilaturahmi. Dalam melakukan tradisi
ini, mereka berniat bersilaturahmi untuk mempererat tali persaudaraan sesama
masyarakat muslim Bali.
Besar sumbangan nganten bergantung pada keihkhlasan dari penyumbang.
Walaupun begitu, jenis barang yang diberikan sebagai sumbangan nganten sudah
dibicarakan sebelumnya pada acara musyawarah keluarga. Dalam acara tersebut,
pihak keluarga yang mengadakan acara menyampaikan apa saja jenis barang yang
menjadi kebutuhan acara pernikahan, sehingga keluarga besar yang ingin
menyumbang dapat memberikan barang sesuai kebutuhan untuk meringankan
pengeluaran.
Sumbangan nganten tersebut langsung saja diterima tanpa melakukan
pencatatan atas siapa-siapa saja orang yang menyumbang. Pencatatan yang
dilakukan dalam sumbangan nganten biasanya dalam bentuk mencentang bahan-
bahan yang telah terpenuhi dari daftar kebutuhan acara, sehingga mereka tidak
perlu lagi membeli bahan-bahan tersebut.
Berbeda dengan barang aba-abaan. Ketika menerima barang aba-abaan
tersebut, mereka menukarkan isinya dengan jajan-jajanan khusus. Banyaknya
barang aba-abaan yang diberikan bergantung pada keihklasan si pemberi, begitu
juga dengan banyaknya jajan-jajanan yang digunakan sebagai penukar, biasanya
jumlahnya sama untuk tiap-tiap orang. Tidak terdapat hal yang dianggap kerugian
di dalam tradisi ini.
Tradisi pemberian ini telah dilakukan turun temurun oleh masyarakat di
Kampung Lebah. Tradisi tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa saling tolong-
menolong dan berbagi terhadap sesama, sangat kental dengan karakter masyarakat
Bali. Makna dari kebiasaan ini juga mirip seperti yang terdapat dalam acara
ngejot. Selain itu, terselip juga niat untuk bersadaqah di dalam diri mereka,
sebagai suatu ibadah dengan manfaat yang begitu besar. Manfaat shadaqah itu
sendiri dapat menghindari umat muslim dari api neraka sebagaimana yang
dijelaskan oleh hadist berikut :

Artinya : “ Dari Anas bin Malik berkata, Rosuluallah SAW bersabda:


bersedekahlah, karna sesungguhnya sedekah itu bisa mencegah dari api neraka”.

Mahar
Mahar atau mas kawin merupakan penerimaan bagi pengantin wanita. Mahar
diberikan oleh pengantin pria pada saat melakukan ijab kabul. Besarnya mahar
tersebut tergantung pada permintaan si wanita. Mahar ini tidak termasuk ke dalam
uang dapur yang khusus digunakan untuk membiayai acara pernikahan. Mahar
dalam pernikahan merupakan pertanda dibelinya sebuah cinta yang suci.
Pemberian mahar ini juga disertai dengan rasa ikhlas dan tulus serta benar-benar
dengan niat untuk menghormati dan memuliakan si wanita.
Mahar memang merupakan hal yang sangat penting dalam pernikahan, karena
mahar itu sendiri merupakan bagian dari agar syahnya pernikahan di dalam Islam.
Dahulu, Rasulullah selalu menanyakan sahabat-sahabatnya tentang mahar apa
yang akan diberikan kepada si calon pengantin wanita. Mahar itu sendiri memiliki
makna yang cukup dalam. Dianjurkannya pemberian mahar ini sebagai tanda
bahwa di dalam Islam, seorang wanita merupakan mahluk yang mulia dan
dihormati. sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-qur‟an surat An-Nisa ayat 4 :

„„Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai


pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada
kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah)
pemberian itu (sebagai makanan) dengan penuh kelahapan lagi baik akibatnya‟‟.

Uang dari tamu undangan dan kado pernikaan


Uang dari tamu undangan merupakan penerimaan bagi orang tua pengantin
wanita. Uang tersebut merupakan pemberian dari tamu undangan ibu-ibu, dilapisi
dengan amvlop dan dimasukkan ke dalam kotak yang telah disediakan ketika
mereka masuk ke tempat acara pernikahan. Dahulu, ketika masyarakat datang
menghadiri undangan pernikahan, mereka biasanya membawa emblong yang diisi
dengan bahan makanan berupa telur, gula, beras, dan lain-lain. Namun, semakin
berubahnya jaman, para tamu undangan saat ini hanya membawa amvlop uang
saja.
Para tamu undangan membawa amvlop uang karena dianggap lebih praktis,
sehingga orang-orang yang mengadakan acara pernikahan akan menyesuaikan
perbuahan budaya tersebut dengan menyediakan kotak khusus untuk amvlop-
amvlop dari tamu undangan. Pemberian amvlop uang ini secara umum merupakan
bentuk rasa terima kasih karena telah diundang sebagai tamu, ikut merasakan
moment bahagia pengantin dan keluarganya.
Uang tersebut diterima oleh orang tua wanita. Sebelumnya telah dijelaskan
bahwa biaya acara pernikahan adalah berasal dari uang dapur yang diberikan
keluarga pria, namun terdapat tradisi-tradisi tertentu di dalam upacara pernikahan
yang dibiayai oleh keluarga wanita. Uang dari tamu undangan ini akan digunakan
untuk mengganti pengeluaran-pengeluaran tersebut, dengan harapan dapat
mengurangi atau tidak ada hutang yang ditanggung oleh keluarga wanita seuai
perayaan acara pernikahan, apabila keluarganya menggunakan uang pinjaman.
Keluarga pengantin tidak berpikir bahwa jumlah uang yang diterima dari
tamu undangan harus setara atau melebihi besarnya biaya acara pernikahan.
Jumlahnya bergantung pada keihklasan dari si pemberi. Memberikan amvlop uang
sudah menjadi hal yang umum dilakukan oleh para tamu saat ini, seolah telah
menjadi hal yang otomatis dilakukan. Para tamu undangan juga berpikir untuk
memberikan lebih selagi mereka mampu dan selagi ada kesempatan untuk
memberi orang tersebut.
Bagi mereka, memberi dalam hal ini tentu berbeda dengan bermurah hati
yang tidak melibatkan Allah. Mereka percaya pada suatu hal, yaitu pada
hakikatnya harta adalah milik Allah dan manusia tidak memiliki apa-apa selain
yang diridhai Allah. Mereka percaya menginfakkan harta di jalan-NYA akan
memperoleh pahala yang melimpah dan amat banyak. Hal tersebut dijelaskan oleh
tafsir Al Qurthubi dari QS: Al Hadiid ayat 7:

„‟Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian


dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-
orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya
memperoleh pahala yang besar.” (QS: Al Hadiid: 7)
Selain uang dari tamu, pengantin juga menerima kado pernikahan. Kado
pernikahan ini merupakan hadiah di hari yang berbahagia dan juga sebagai ucapan
selamat menempuh hidup baru. Adapula yang memberikannya sebagai kenang-
kenangan perpisahan dari masa-masa muda yang mereka lalui bersama. Sebagian
dari mereka mengikuti budaya moderen tersebut dengan memberikan berbagai
macam jenis kado pernikahan kepada Fika dan Rifqi.
Bagi masyarakat tersebut oke-oke saja mengikuti trend masa kini selama
dibolehkan oleh syariat. Memberikan hadiah hukumnya mubah. Ditambah lagi,
hadiah memiliki pengaruh yang positif bagi jiwa manusia dan dapat menguatkan
rasa cinta dan kasih sayang antar sesama, serta dapat memperkuat hubungan
sosial. Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam pun menerima hadiah dan
menganjurkan umatnya untuk saling memberi dan menerima hadiah. Beliau
menjelaskan dalam sabdanya: “Hendaklah kalian saling memberi hadiah, agar
kalian saling mencintai.” (HR. al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, Shahih al-
Jami 3004, al-Irwa 1601).
Sundrang nganten
Seserahan atau yang biasa disebut dengan sundrang oleh masyarakat Bali
adalah pemberian dari si pria untuk wanita. Sundrang ini diberikan pada saat
acara lamaran kedua atau madik ping pinde. Isinya berupa perlengkapan-
perlengkapan khusus untuk si calon pengantin wanita yang biasa digunakan
sehari-hari, seperti pakaian, perlengkapan make up, perlengkapan perawatan
tubuh, aksesoris, dan lain-lain yang dihias dan dibungkus dalam parcel.
Sundrang tersebut dibeli sendiri secara khusus oleh si pria terpisah dengan
uang dapur, namun dalam acara pernikahan ini, kebetulan sundrang tersebut tidak
dibeli oleh si pria. Mereka hanya melaksanakan acara lamaran pertama saja
dikarenakan kendala tertentu, sehingga keduanya bersepakat untuk menggunakan
sebagian dari uang dapur tersebut untuk membeli sundrang.
Model sundrang atau seserahan dalam budaya pernikahan masyarakat muslim
Bali cenderung mengikuti budaya pernikahan moderen, sama seperti gaun
pengantin, kuade, dan dekorasi ruang acara pernikahan. Dimulai dari hiasan pastel
beserta isi-isinya. Seserahan oleh masyarakat Hindhu memiliki istilah yang
berbeda, yaitu pagemelan atau rarapan. Isinya pun yang secara khusus terdiri dari
pakaian dan alat-alat sembahyang yang biasa digunakan oleh umat Hindhu beserta
jajan-jajanan khas Bali. Sedangkan sundrang dalam pernikahan masyarakat Bali
yang Muslim tidak memiliki ketentuan-ketentuan khusus, bergantung pada apa
yang diminta oleh si calon pengantin wanita.
Memberikan seserahan bukanlah hal bersifat wajib di dalam agama Islam,
namun hal tersebut diperbolehkan karena tidak melanggar aturan syari‟at. Adapun
pemberian sundrang dalam pernikahan ini memang dianjurkan dalam hal etika
dengan tujuan untuk mempererat hubungan tali silaturahmi antara kedua belah
pihak keluarga.
Keperluan KUA
Keperluan KUA ini maksudnya adalah keperluan-keperluan untuk acara akad
nikah. Bagi mereka ini merupakan pengeluaran yang paling inti di atas
pengeluaran-pengeluaran yang lainnya ketika mengadakan pernikahan. Dalam
pernikahan Islam terdapat syarat dan rukun nikah yang harus ditepati, agar
pernikahan tersebut menjadi syah. Adapun rukun nikah terdiri dari adanya calon
suami dan istri, ijab dan qabul. Salah satunya yaitu dibutuhkan peran seorang
penghulu ketika melangsungkan ijab dan qabul tersebut.
Pengeluaran untuk acara akad nikah ini berupa biaya administrasi sebesar Rp
600.000 untuk mengundang penghulu datang ke tempat acara akad nikah. Hal ini
tentu berbeda dengan pernikahan oleh masyarakat yang beragama Hindhu.
Mereka mendaftarkan pernikahannya di pura dengan kelian adat. Tata cara
pernikahan mereka pun tentu berbeda, karena mereka berpedoman pada Kitab
Weda dan adat turun temurun.
Ajengan Nyama Braya
Acara ajengan nyama braya merupakan acara makan-makan bersama
keluarga besar pihak keluarga wanita dan pihak keluarga pria. Untuk
melaksanakan tradisi ini, mereka juga perlu melakukan pengeluaran berupa
pembelian berbagai macam bahan masakan yang akan menjadi hidangan dalam
acara makan-makan tersebut. Tradisi ini dibiayain oleh orang tua si pengantin
wanita, karena makna dari dilakukannya tradisi ini adalah sebagai sambutan
terhadap pihak keluarga pria dan juga untuk menjalin hubungan yang lebih akrab
antar seluruh anggota keluarga besar kedua belah pihak.
Biasanya, acara makan bersama di Bali disebut megibung. Megibung oleh
masyarakat Bali biasa dilakukan baik dalam upacara keagamaan, adat,
pernikahan, dan lain-lain. Bedanya, megibung dilakukan dengan cara menikmati
lauk bersama dalam satu wadah. Kegiatan ini juga biasa diisi dengan saling
berbagi cerita satu sama lain untuk menjalin hubungan yang lebih akrab
Ritual metangas
Ritual metangas merupakan ritual pembersihan badan. Ritual ini dilakukan
dengan cara mandi uap dari rempah-rempah yang di rebus dalam panci. Metangas
biasa dilakukan oleh calon pengantin dua hari atau sehari sebelum hari
pernikahan. Kegiatan ini dilakukan pengantin untuk meluruhkan racun-racun di
dalam tubuh dan agar kulit menjadi bersih, halus dan wangi.
Pengeluaran untuk melakukan ritual ini berupa pembelian bahan rempah-
rempah seperti serai, akar restu atau akar wangi, daun nilam, cengkeh, daun
pandan, adas manis, kayu manis, daun jeruk purut, kulit jeruk purut, garam mandi,
lulur manjakani, dan lain-lain. Pada budaya pernikahan Bali, terdapat upacara
ngekeb yang bertujuan untuk mempersiapkan pengantin wanita beranjak dari
kehidupan remajanya untuk menjadi seorang istri dan ibu rumah tangga.
Caranya yaitu pada sore hari, sehari sebelum acara boyongan atau
penjemputan penganten wanita, si calon pengantin wanita akan diluluri dengan
lulur yang terbuat dari daun merak, kunyit, bunga kenanga, dan beras. Dilanjutkan
dengan upacara di dalam kamar pengantin yang di dalamnya telah disiapkan
sesajen. Calon pengantin wanita akan tetap diam di kamar sampai calon suaminya
menjemputnya (Mudiarcana, 2013).
Saat acara penjemputan, seluruh tubuh pengantin wanita akan ditutupi dengan
selembar kain kuning tipis dari ujung kaki sampai kepala sebagai perlambang
bahwa pengantin wanita tersebut telah bersedia mengubur masa lalunya sebagai
remaja dan siap untuk menjalani kehidupan baru sebagai seorang istri
(Mudiarcana, 2013).
Ritual pembersihan badan pada pernikahan masyarakat bali yang muslim
memang berbeda. Ritual ini menggunakan bahan rempah-rempah di atas, di rebus
dalam sebuah wadah panci, kemudian pengantin duduk di dekat air rebusan
rempah-rempah dan disekelilingnya ditutupi tikar pandan dengan rapat
membentuk lingkaran dan bagian atas tikar ditutupi kain selama tiga puluh sampai
empat puluh menit.
Pengiringan nganten muani
Pengirngan nganten muani yaitu sebuah tradisi di Kampung Lebah dimana
pengantin pria diiring dari rumah menuju ke tempat acara akad nikah. Mereka
perlu menyewa kelompok pemain gamelan rudat sebagai pengiring pengantin
pria. Para pemain gamelan rudat ini merupakan bapak-bapak yang menjadi
anggota pemain musik Tari Rudat di Kampung Lebah.
Makanan catering dan Ngejot ka lingkungane
Masayarakat muslim Kampung Islam Lebah juga memiliki tradisi yang
disebut ngejot ka lingkungane. Tradisi ini biasa dilakukan pada waktu acara
pernikahan hendak selesai. Ngejot ke lingkungane merupakan tradisi membagikan
makanan ke rumah-rumah tetangga yang berada di lingkungan terdekat. Makanan
tersebut berupa nasi dan jajan-jajanan yang ditempati ranjang dan diluarnya
dibungkus dengan plastik.
Makanan tersebut disediakan secara khusus oleh keluarga yang mengadakan
acara untuk orang-orang yang tinggal di lingkungan dekat rumah, karena mereka
telah meluangkan waktu dan tenaga untuk membantu berbagai persiapan acara
pernikahan. Dalam budaya Bali, tradisi ngejot dilakukan ketika seseorang sedang
melakukan hajatan, seperti acara pernikahan, potong gigi, tiga bulanan, dan lain-
lain. Tradisi ini juga dilakukan pada hari raya tertentu dalam agama Hindhu,
misalnya beberapa hari sebelum hari raya Galungan dan Kuningan.
Terdapat penyesuaian-penyesuaian dalam tradisi ngejot yang dilakukan oleh
masyarakat Muslim, seperti jenis makanan jotan, kemudian pakaian yang
dikenakan oleh orang yang mengantar jotan tersebut juga berbeda. Orang Hindhu
biasanya mengenakan pakaian adat Bali, sedangkan yang muslim tidak.
Masyarakat muslim melakukan tradisi ngejot sebagai rasa syukur kepada Allah
SWT, karena telah diberikan rezeki, sehingga dapat menyelenggarakan acara
pernikahan tersebut.
Pengeluaran tradisi ngejot ini jadi satu dengan makanan catering.
Pengeluaran tersebut berupa pengeluaran untuk membayar jasa catering sebagai
hidangan tamu undangan. Peneliti menemui bahwa ketika informan memilih jasa
catering ,informan tersebut mempertimbangkan kehalalan dari makanan-makanan
yang ditawarkan jasa catering tersebut. Bagi informan yang merupakan seorang
muslim, kehalalan dari suatu makanan yang dimakan merupakan hal yang sangat
penting, begitu juga bagi seluruh tamu undangannya.
Mereka memastikan masakan catering yang dipesan dimasak oleh orang
muslim dan daging-dagingnya dipotong secara halal, mencucinya tidak
menyisakan darah, perabotan yang digunakan juga khusus untuk memasak
makanan-makanan yang halal. Tidak hanya makanan catering, bahan-bahan
makanan yang dibeli sendiri untuk acara ajengan nyama braya pun juga
diperhatikan kehalalannya. Betapa pentingnya makanan halal tersebut karena
mereka memikirkan bahwa dampak dari makanan haram sangatlah buruk, sebab
berkaitan dengan terkabulnya do‟a, kesehatan, amalan soleh, dan ancaman siksa
diakhirat.
Muhammad Abduh Tuasikal (2012) menjelaskan tentang makanan haram
melalui beberapa hadist dan ayat al-qur‟an sebagai berikut:
Yusuf bin Asbath berkata,

„‟Telah sampai pada kami bahwa do‟a seorang hamba tertahan di langit karena
sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”

“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al Mu‟minun: 51).

‟‟Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka
pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4:
141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami‟ no. 4519)
Biasanya keluarga dan tetangga dekat bergotong-royong memasak bersama
untuk seluruh hidangan pernikahan, namun, karena kendala tenaga dan waktu,
mereka memutuskan untuk memesan jasa catering pernikahan. Makanan catering
tersebut selain untuk hidangan tamu, juga dibagikan saat acara ngejot yang telah
peneliti ceritakan di atas. Dalam acara ngejot yang dilakukan oleh masyarakat
Hindhu, makanan yang diberikan pada umumnya berupa buah-buahan, nasi berisi
lawar, sate, dan lauk-pauk lainnya. Sedangkan, makanan jotan yang diberikan
oleh masyarakat muslim tidak menyertakan lawar, daging babi, dan lain-lain.
Mereka menyesuaikan tradisi dengan syariat Islam. Hal tersebut tidak menjadi
masalah, karena makna dari dilakukannya ngejot oleh masyarakat Bali itu sendiri
adalah untuk saling berbagi terhadap sesama.
Islam dan Hindhu memang memiliki konsep halal yang berbeda. Dalam
Islam, halal dijelaskan sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging


babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi
barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al Baqarah:
173)
Dalam surah Al-An‟am: 145 dan al Maidah: 3 juga menjelaskan larangan
seperti yang terkandung dalam ayat di atas.
Dalam agama Hindhu, Mupu (2015) menjelaskan bahwa terdapat konsep Tri
Guna atau tiga sifat alam, dimana makanan tergolong ke dalam tiga jenis, yaitu
makan satwika (makanan bersifat kebaikan), yaitu makanan Vegatarian. Kedua,
makanan Rajasika (makanan bersifat nafsu), adalah makanan yang umum
dimakan di masyarakat, seperti daging, hewan berkuku lima (panca naka), keras,
mengandung pewarna buatan, pemanis buatan, dan lain-lain. Yang ketiga,
makanan Tamasika ( makanan bersifat kegelapan), seperti daging babi, daging
anjing, dan lain-lain. Namun, terdapat larangan bagi orang-orang yang berada di
bidang kerohanian, seperti pemangku, pendeta, biksu, sulinggih untuk memakan
makanan tamasika dan rajasika.
Lebih lanjut, terdapat pula hewan yang bagi masyarakat muslim yang mana
halal untuk dikonsumsi, tetapi tidak untuk masyarakat yang beragama Hindhu,
yaitu sapi. Dalam agama Hindhu, sapi merupakan hewan yang suci dan mulia.
Santya (2015) menjelaskan, sebagaimana yang tertulis di dalam kitab Niti Sastra
pada bagian Hitopadesa Sloka 39, dijelaskan bahwa di dalam tradisi Hindu
terdapat beberapa entitas yang dapat disebut sebagai ibu yang harus dihormati.
Adau-mata guroh patni
Brahmana raja-patnika
Dhenur dhatri tatha prthivi
Saptaita matarah smrtah
Adapun artinya adalah :
“Ketujuh ini dikenal sebagai ibu yaitu: ibu kandung, istri guru (guru kerohanian),
istri brahmana (varna-brahmana), istri raja, sapi, perawat dan ibu pertiwi (bumi)‟‟.
Orang Hindu diminta untuk menghormati tujuh macam ibu, di mana salah
satunya adalah sapi. Adapun dasar pemikiran adalah bahwa sapi merupakan
hewan yang telah memberikan air susunya sebagaimana seorang ibu yang
memberikan air susunya. Namun, Santya (2015) juga merangkum berbagai
macam versi alasan yang lain yang menjelaskan tentang mengapa sapi tidak
dimakan oleh orang Hindhu, yaitu karena sapi merupakan hewan yang berjasa
besar kepada manusia. hewan tersebut telah memberikan air susunya dan sering
dimanfaatkan untuk membajak sawah. Kulitnya juga dapat digunakan untuk
membuat pakaian dan alat-alat kesenian.
Kemudian alasan yang lainnya adalah karena sapi tidak memakan apa yang
dimakan manusia. Secara sederhana dapat bermakna jangan mengganggu
makhluk yang tidak mengganggumu. Alasan yang lainnya yaitu, sebagian dari
mereka mengatakan setelah memakan daging sapi mereka menjadi sakit. Ada juga
yang beralasan bahwa hewan sapi digunakan sebagai bentuk janji
seseoragterhadap sesuatu hal, seperti misalnya jika seseorag tersebut selamat dari
sebuah kecelakaan atau bencana, ia berjanji tidak akan memakan daging sapi
(Santya, 2015)
Alasan yang lain yaitu, karena di dalam ajaran agama Hindu terdapat Ahimsa,
yang berarti tidak membunuh atau menyakiti dan ada juga yag beralasan bahwa
orang yang membunuh sapi atau memakan dagingnya, akan menderita di neraka
selama ratusan tahun untuk satu bulu sapi yang dimakan. Itu berarti kalau
seseorang makan daging sapi yang memiliki seratus ribu bulu, maka akan berada
di neraka selama 100.000 dikali 100tahun. Alasan yang terakhir yaitu, bahwa sapi
merupakan kendaraan Dewa Siwa (Santya. 2015).
Dekorasi ruang acara, pengangga nganten, kuade, souvenir pernikahan, surat
undangan nikah, dokumentasi acara, keperluan lain-lain.
Untuk peryaan acara pernikahan tersebut terdapat berbagai macam
pengeluaran, seperti pengeluaran untuk menyewa gaun dan make up pengantin,
pengeluaran untuk menyewa kuade, dekorasi ruang acara, surat undangan nikah,
dokumentasi acara, dan lain-lain. Bagi informan, pengeluran ini merupakan
pengeluaran yang fleksibel menyesuaikan dengan besar atau kecilnya perayaan
acara pernikahan mereka. Pengeluaran ini tidak seperti pengeluaran yang lainnya,
dimana tidak terdapat syarat-syarat khusus yang harus diikuti. Informan banyak
mempertimbangan untuk tidak bermegah-megahan dalam mengadakan sebuah
pesta. Informan lebih mengutamakan hal-hal pokok di dalam pernikahan itu
sendiri, yang terpenting adalah agar pernikahan tersebut sah sesuai dengan syariat
Islam.
Hal tersebut terlihat dari keputusan keluarga besar Fika dan Rifqi untuk tidak
membuat baju seragam khusus keluarga seperti yang saat ini sedang trend di
dalam budaya pernikahan moderen. Mereka bersepakat untuk mengenakan baju
yang mereka punya dengan menyerasikan warna agar senada di hari pernikahan
tersebut, yaitu hijau tosca. Dekorasi, gaun pengantin, dan make up pengantin,
sampai kuade dalam budaya pernikahan masyarakat muslim Bali memang sangat
update mengikuti model pernikahan moderen.
Busana pengantin masyarakat muslim Bali cenderung mengikuti trend busana
pengantin moderen yang berupa gaun untuk wanita dan jaz untuk pria. Namun,
gaun tersebut dibuat panjang menutupi seluruh tubuh dan mereka memberikan
tambahan berupa jilbab untuk menutupi bagian kepala. Sedangkan, untuk pria
ditambah songkok. Mereka menyesuaikan model busana pengantin moderen agar
dapat dikenakan oleh pengantin muslim. Tidak hanya model busana pengantin
moderen, terkadang mereka juga mengambil model busana kebaya jawa sebagai
busana pengangtin seperti yang dikenakan oleh pasangan Fika dan Rifqi ini.
Busana pengantin mereka memang tidak mengikuti busana pengantin pada
pernikahan adat Bali. Dalam pernikahan adat Bali, busana yang dikenakan bagi
kedua pasangan pengantin sangatlah khas. Seperti misalnya, busana pengantin
payas agung / bali agung merupakan salah satu ikon yang paling sering
dikenakan. Busana pengantin yang merupakan warisan dari kerajaan badung ini
dahulu dikenakan oleh anggota keluarga kerajaan yang akhirnya dipakai oleh
kalangan umum dalam hari-hari besar seperti acara pernikahan (Bekti, 2015).
Ciri khas dari busana ini ialah tapih yang dililitkan di tubuh dari bagian dada
sampai menutupi kaki, kemben untuk menutup bagian dada, kamen prada, srinata
untuk riasan dahi yang kemudian di atasnya disematkan petitis dan tajug emas,
dan juga bunga sandat dan bunga kap emas untuk riasan atas kepala. Sedangkan,
untuk pria menggunakan gelung garuda mungkur sebagai mahkota. Untuk cerik
prada, pending emas, gelang kana, gelang naga satru, dan badong (Bekti, 2015).
Begitu juga dengan kuade dan dekorasi dalam adat pernikahan Bali pun
sangatlah khas, sedangkan, dalam budaya pernikahan muslim Bali, mereka
mengikuti desain moderen yang sedang trend di masa kini. Untuk memenuhi
kebutuhan yang berbeda tersebut, terdapat berbagai macam jasa dekorasi dan gaun
pengantin yang menawarkan keperluan pengantin muslim. Seperti yang informan
Fika pesan, ia memesan kuade, gaun dan make up pengantin di tempat yang
menyediakan keperluan pengantin muslim.
Proses akuntabilitas dana uang dapur
Sebagaimana yang telah peneliti ceritakan di atas, bahwa uang dapur
merupakan uang yang diberikan oleh keluarga pria kepada keluarga wanita yang
digunakan untuk membiayai seluruh keperluan acara pernikahan. Uang dapur ini
menjadi penerimaan bagi pihak wanita. Besar jumlahnya ditentukan oleh pihak
wanita dengan ekspektasi yang didasarkan pada seberapa besar perayaan acara
pernikahan tersebut akan dilaksanakan beserta biaya yang dibutuhkan untuk
tradisi-tradisi yang terdapat di dalam adat pernikahannya.
Besaranya jumlah uang dapur yang diminta juga tetap mempertimbangakan
kemampuan finansial pihak pria. Disini terlihat pula perbedaan tugas dimana
pihak pria sebagai pemberi dana pernikahan, sedangkan pihak wanita sebagai
pengelola dana tersebut dan pengatur seluruh rangkaian acara pernikahan.
Dalam penggunaan uang dapur tersebut, informan melakukan pencatatan
sederhana pada lembaran kertas. Walaupun pencatatan tersebut tidak dilakukan
secara detail, namun bermanfaat sebagai kontrol pengeluaran dan sebagai bukti
penggunaan uang dapur tersebut secara bijak. Kertas catatan tersebut ditunjukkan
kepada pihak pria untuk memberitahukan pengeluaran apa saja yang dilakukan
selama mempersiapkan acara pernikahan tersebut.
Pertanggungjawaban ini memang tidak dituntut oleh pihak pria, meskipun
telah diberikan kepercayaan yang penuh, pihak wanita tetap berusaha
menunjukkan bahwa dana tersebut benar-benar dikelola secara hati-hati. Pihak
wanita memahami dalam penggunaan dana uang dapur tersebut, tentunya
membutuhkan pengelolaan yang benar, agar acara pernikahan mereka dapat
tercapai sesuai rencana dan berjalan dengan lancar. Adanya pencatatan yang
mereka lakukan serta penyimpanan bukti belanja berupa struk menunjukkan
penglolaan yang akuntabel.

Tabel 6.1
Catatan Penggunaan Dana Uang Dapur

No Jenis Pengeluaran Total


1. Surat undangan 800 1.000.000
2. Administrasi KUA 600.000
3. 5 Kotak sundrang 150.000
4. Perlengkapan sundrang 960.000
5. 100 potongan kuku 100.000
6. 100 pisau buah 120.000
7. Tas souvenir 130.000
8. Make up dan gaun pengantin 7.000.000
9. Kaude 6.000.000
10. seprei 350.000
11. Foto grafer 1.800.000
12. catering 7.600.000
13. Bahan-bahan ritual metangas 500.000
14. Penutupan jalan raya 150.000
15. Rudat 500.000
16. Bahan-bahan masakan 1.990.000
17. Terob dan kursi 500.000
18. Kue-kuean 622.000 30.782.000

Biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) dalam akuntansi
pengeluaran
Budaya pernikahan masyarakat muslim Bali, khususnya di kampung Lebah,
tidak hanya mengikuti adat istiadat Bali itu sendiri sebagai daerah tempat mereka
tinggal, tetapi juga membawa nilai agama Islam sebagai kepercayaan yang mereka
anut. Selain itu, mereka juga bersifat terbuka dengan budaya moderen yang ada
pada saat ini. Ketiganya, nilai agama, nilai adat istiadat, serta budaya moderen
mempengaruhi praktik-praktik akuntansi yang dilakukan dalam upacara adat
pernikahan mereka, seperti yang telah peneliti jelaskan di bagian sebelumnya.
Nilai agama tercermin di dalam akuntansi pengeluaran pengurusan akad
nikah. Sebagai kelompok yang menganut agama Islam, mereka harus mematuhi
syarat dan rukun nikah yang terdapat dalam syariat Islam, agar pernikahan mereka
menjadi syah. Sehingga, proses akad nikah dalam budaya pernikahan mereka
menjadi berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya sebagai masyarakat
yang mayoritas menganut agama Hindhu.
Dalam Islam, ketika melaksanakan akad nikah diharuskan adanya ijab kabul
sebagai salah satu dari rukun nikah. Selain itu, juga dibutuhkan seorang penghulu,
wali, beserta dua orang saksi laki-laki, yang oleh karena itu tata cara untuk
menjadikan pernikahan tersebut syah menjadi berbeda dengan pernikahan adat
Bali, yang mana berpedoman pada kitab suci Weda dan adat yang berlaku secara
turun-temurun.
Mereka mengurus segala kebutuhan tersebut di Kantor Urusan Agama
(KUA), mulai dari mendaftarkan pernikahan, menyerahkan berkas-berkas,
membayar administrasi, mendapat penghulu, mengikuti pendidikan pranikah,
sampai apa yang akan diucapkan ketika acara akad nikah. Sedangkan,
Kemudian, Nilai adat-istiadat tercermin di dalam tradisi ngejot ka
lingkungane, ajengan nyama braya, pengiringan nganten muani, dan ritual
metangas, yang mana telah mengalami penyesuaian, sehingga, dapat dilakukan
tanpa melanggar nilai agama. Selanjutnya, kebudayaan moderen tercermin di
dalam perayaan pesta pernikahan tersebut, seperti model dekorasi ruang acara
pernikahan, dekorasi kuade, model gaun dan gaya make up yang dipakai oleh
pengantin, isi dan hiasan sundrang nganten, souvenir pernikahan, dan lain-lain.
Dari akuntansi pengeluaran dalam budaya pernikahan tersebut yang telah
peneliti jelaskan di atas, peneliti menemukan bahwa terdapat suatu konsep yang
serupa dengan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Peneliti
menyajikannya di dalam bagan aliur di bawah ini.

Carter (2009) menjelaskan, biaya tetap (fixed cost) merupakan suatu biaya
yang tidak berubah secara total pada saat aktivitas bisnis meningkat atau menurun.
Biaya tetap (fixed cost) dalam akuntansi biaya dikatakan sebagai biaya yang
dianggap untuk tetap berada dalam bisnis (being in business). Seperti misalnya,
Gaji eksekutif produksi, sewa, pemeliharaan dan perbaikan gedung, dan lain-lain.
Sedangkan, biaya variabel (variabel cost) merupakan biaya yang berubah
menyesuaikan dengan aktivitas produksi. Jumlah dari biaya varibel ini berubah
secara proporsional terhadap peningkatan dalam aktivitas dan juga menurun
secara proporsional terhadap penurunan dalam aktivitas. Biaya variabel (variable
cost) dapat dikatakan sebagai biaya dari melakukan bisnis (doing business).
Seperti misalnya, truk yang disewa dengan tarif per mil, perlengkapan, bahan
bakar, upah lembur, peralatan kecil, biaya komunikasi, dan lain-lain (Carter,
2009).
Keperluan KUA yang merupakan praktik akuntansi pengurusan akad nikah
membentuk suatu konsep yang serupa dengan biaya tetap, karena merupakan hal
yang paling utama untuk melaksanakan suatu upacara pernikahan, agar
pernikahan tersebut dapat dikatakan syah secara hukum dan agama. Biaya
pengurusan akad nikah ini merupakan biaya yang jumlahnya selalu sama dalam se
buah upacara pernikahan. Biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh seberapa kecil
atau besar suatu acara pernikahan diselenggarakan, sehingga biaya pengurusan
akad nikah ini serupa dengan konsep biaya tetap yang terdapat di dalam
akuntansi. Dan peneliti menyebutnya sebagai biaya tetap religius, yang mana
dalam praktik akuntansinya didasarkan pada nilai agama.
Begitu pula dengan tradisi ngejot ka lingkungane, tradisi ajengan nyama
braya, pengiringan nganten muani, dan ritual metangas yang menjadi bagian
dalam proses upacara pernikahan mereka. Sehingga, biaya-biaya untuk
menyelenggarakan tradisi-tradisi tersebut menjadi selalu ada. Saat pengiringan
nganten muani, mereka mengundang kelompok gamelan rudat dari bapak-bapak
Masjid Al-Hikmah untuk mengiringi mempelai pria ke tampat acara akad nikah.
Dalam acara ritual metangas , ritual tersebut dilakukan oleh calon pengantin
wanita seorang. Begitu pula dengan tradisi ajengan nyama braya yang
diperuntukkan bagi anggota keluarga besar dan tradisi ngejot ka lingkungane yang
diperuntukkan untuk tetangga-tetangga dekat saja. Sehingga, biaya yang
dikeluarkan untuk tradisi tersebut tidak begitu berbeda di tiap-tiap upacara
pernikahan, baik dirayakan dengan mewah maupun tidak. Dari sana, terbentuk
pula suatu konsep yang serupa dengan biaya tetap yang peneliti sebut sebagai
biaya tetap tradisi, karena terdapat nilai-nilai adat istiadat di dalam praktik
akuntansinya.
Kebudayaan moderen yang tercermin di dalam dekorasi ruang acara, souvenir
pernikahan, panggung pengantin atau kuade, gaun pengantin, make up pengantin,
sundrang nganten, surat undangan, dokumentasi acara, serta keperluan-keperluan
lainnya membentuk suatu konsep serupa dengan biaya variabel (variable cost),
sebab biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut bersifat umum yang jumlahnya
berubah menyesuaikan dengan bagaimana pesta pernikahan tersebut dirayakan.
Begitu banyak hal-hal lainnya yang terdapat di dalam budaya masyarakat,
sehingga peneliti mengakui adanya keterbatasan peneliti mengenai hal tersebut.
Namun, peneliti tetap berusaha untuk melakukan penelitian ini sebaik mungkin
yang dapat peneliti lakukan dan berusaha menyampaikan semua yang peneliti
peroleh dari penelitian ini.
KESIMPULAN
Budaya pernikahan masyarakat muslim Bali, khususnya di Kampung Lebah
memang berbeda dari pernikahan adat Bali pada umumnya. Selain mengikuti adat
Bali, budaya pernikahan mereka juga mengikuti budaya moderen yang ada pada
saat ini, namun tetap dilaksanakan tanpa melanggar nilai agama Islam sebagai
agama yang mereka anut melalui penyesuaian yang dilakukan.
Dari budaya pernikahan tersebut, peneliti menemui bentuk akuntansi yang
sangat unik dan menarik. Bentuk akuntansinya memang berbeda dengan akuntansi
yang pada umumnya terdapat dalam dunia bisnis. Selama penelitian ini, peneliti
memperoleh makna akuntansi berdasarkan sudut pandang informan, bagaimana
informan memahami akuntansi yang terdapat di dalam budaya pernikahan
mereka.
Peneliti menemukan akuntansi yang tergolong ke dalam akuntansi
penerimaan dan pengeluaran. Terdapat nilai-nilai yang mempengaruhi akuntansi
yang mereka lakukan, yaitu nilai agama Islam sebagai agama yang dianut oleh
kelompok masyarakat minoritas tersebut, juga nilai adat istiadat Bali yang mana
kental dengan agama Hindhu. Tidak hanya itu, keterbukaan terhadap budaya
moderen pun ikut mempengaruhi keunikan praktik-praktik akuntansinya.
Selanjutnya, peneliti juga melihat bahwa terdapat akuntabilitas di dalam
penggunaan uang dapur. Selain itu, peneliti juga menemukan, bahwa pada
akuntansi pengeluaran, terlihat konsep yang serupa dengan biaya tetap (fixed cost)
dan biaya variabel (variable cost).
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, M. M., dan E. Susanto. (2012). Tradisi Ngunya Muslim Pegayaman Bali.
Karsa 20(2).
Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Penerbit
Al-Huda 2005.
Atmadja, A. T. (2013). Pergulatan Metodologi dan Penelitian Kualitatif dalam
Ranah Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Profesi 3(2).
Anggraini, Rini. (2016). Bulan Sabit Di Kota Semarapura (Studi Tentang Latar
Belakang Masuknya Islam Di Kampung Lebah, Klungkung, Bali Dan
Pemanfaatannya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal Di Sma).
Bekti, S. (2015). Pancaran Agung Busana Pengantin
Bali.https://www.weddingku.com/blog/pancaran-agung-busana-pengantin-
bali. (Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Budiasih, I.G.A.N. (2014). Fenomena Akuntabilitas Perpajakan pada Jaman Bali
Kuno: Suatu Studi Interpretif. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 5(3): 409-
420.
Butar, S.B. (2011). Memahami Akuntansi dari Perspektif Historis. Dinamika
Sosial Ekonomi 7(2).
Certeau, M., D. (1984). The Practice of Everyday Life. University of California
Press, Berkeley.
Cresswell, J.W. (2014). Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. (Edisi 4). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications,
Inc.
Diana, Nina. (2016). Islam Masuk Ke Bali dan Dampaknya Terhadap
Perkembangan Islam di Bali. Tamaddun 4(2).
Dwijendra, N.K.A. (2003). Perumahan dan Pemukiman Tradisional Bali. Jurnal
Pemukiman Natah 1(1).
Effendi S., A. (2011). Implementasi Kearifan Lingkungan Dalam Budaya
Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran Ips :Studi
Etnografi Pada Masyarakat Adat Kampung Kuta dan Kajian PTK di SMP
Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis. Tesis. Universitas Pendidikan
Indonesia.
Elo, S., dan H. Kyngas. (2008). The qualitative content analysis process. Journal
of Advanced Nursing 62(1): 107–115.
Galanou, E., Georgios. G., Ioannis, S., dan Vasilopoulos, D. (2010). The Effect of
Reward System on Job Satisfaction in an Organizational Chart of Four
Hierarchical Levels: A Qualitative Study. Canadian Social Science 6(5)
pp.102-103.
Gray, S.J. (1988). Towards a Theory of Cultural Influence on The Development of
Accounting Systems Internationally. University of Glasgow. Scotland.
Gulo, A.N. (2012). Degradasi Budaya Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat
Nias Di Denpasar. E-jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana 1(1).
Harsha, T. P., N. Adib, dan A. Zaky. (n.d). Minat Mahasiswa Akuntansi dalam
Memilih Konsentrasi Akuntansi dan Keuangan Syariah. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma.

Hopwood, A. (2011). The Accounts Behind The Story: Inspired by Hopwood‟s


Vision.https://elsevier.conferenceservices.net/resources/247/2182/pdf/CPA
C2011_0096_paper.pdf. (Diakses pada tanggal 26 oktober 2016).
House, R., M. Javidan., P. Hanges., dan P. Dorfman. (2002). Understanding
Cultures and Implicit Leadership Theories Across The Glob: An
Introduction to Project The Globe. Jurnal of World Bussiness 3-10.
Fang, T. (2003). A Critique of Hofstede‟s Fifth National Culture Dimention.
International Journal of Cross Culture Management (3)3: 347-368.
Jeacle, Ingrid. (2009). Accounting and Everyday life: towards a cultural context
for accounting research. Qualitative Research in Accounting and
Management, 6(3).
Jones, M. L., George, K. K., dan Michael, Z. (2005).Grounded Theory: A
theoretical and practical application in the Australian Film Industry. In A.
Hafidz Bin Hj (Eds.), Proceedings of International Qualitative Research
Convention 2005 (QRC05). Malaysia: Qualitative Research Association of
Malaysia.
Kartini, Indriana. (2011). Dinamika Kehidupan Minoritas Muslim Di Bali. Edisi
XXXVII. No.2
Kamayanti, Ari. (2016). Metodologi Penelitian Kualitatif Akuntansi: Pengantar
Religiositas Keilmuan.Yayasan Rumah Peneleh (Seri Media & Lestari) :
Jakarta Selatan.
Saefulah, A. (2013). Keberadaan Islam di Pulau Dewata. Jurnal Lektur
Keagamaan. 11(2) 339 – 370.
Kuntjojo. (2009). Metodologi Penelitian (Diktat). Kediri: Tidak diterbitkan.
Lutfillah, N., Q. (2014). Akuntansi dalam Penetapan Sima Masa Jawa Kuno.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma, 5(1): 170-344.
Lutfillah, N.Q., E.G. Sukoharsono., A.D. Mulawarman., dan Y.W. Prihatiningtias.
(2015). The Existence of Accounting on Local Trade Activity in The
Majapahit Kingdom. 2nd Global Conference on Bussiness and Social
Science, Bali, Indonesia. Social and Behavioral Sciences 211: 783-789.
Mulawarman A.D. (2013). Nyanyian Metodologi Akuntansi Ala Nataatmaja:
Melampaui Derridian Mengembangkan Pemikiran Bangsa „‟Sendiri‟‟.
Jurnal Akuntansi Multiparadigma 4 (1).
Mulawarman, A.D., A. Kamayanti. (n.d.) Islamic Accounting Anthropology: an
Alternative Solution to Solve An Modernity Problems. 9th International
Conferenceon Islamic Economics and Finance. Universitas Brawijaya.
Multazam, A. (2013).Hadist Tentang Sedekah Dan Tanggung Jawab Sosial.
Sumber: http://multazam-einstein.blogspot.co.id/2013/03/hadis-tentang-
sedekah-dan-tanggung.html. (Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Musianto, Lukas S. 2002. Perbedaan Pendekatan Kuantitatif dengan Pendekatan
Kualitatif dalam Metode Penelitian. Jurnal Manajemen & Kewirausahaan
4(2): 123 – 136.
Myers, M. D. (1997). Qualitative Research in Information Systems. MIS
Quarterly 21(2) pp. 241-242
Myers, M.D., dan F.B. Tan. (2002). Beyond Models of National Culture in
Information System Researchs. Journal of Global Information Management
10(2).
Myers, M. D. (2009). Qualitative Research in Business and Management. Sage
Publication Asia-Pasific Pte Ltd. Singapore. Terjemahan. Priyono, M. S. I.
(2014). Penelitian Kualitatif dalam Bisnis dan Manajemen. (Cetakan 1).
Penerbit Zifatama Publisher. Sidoarjo.

Nofianti, Leny. (2012). Kajian Filosofis Akuntansi: Seni, Ilmu, atau Teknologi.
Pekbis Jurnal, 4(3): 203-210.
Odongo, I. (2016). The Influence of Culture on Judgment and Decision Making.
International Journal of Advanced Legal Studies and Governance, 6(1).
Pratiwi, G.A.M.F., A.T. Atmadja., dan N.T. Herawati. (2015). Eksistensi
Pelaporan Keuangan pada Upacara Ngaben Masal di Banjar Pakraman
Banyuning Tengah dan Banyuning Barat, Desa Pakraman Banyuning,
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. E-Journal S1 Ak
Universitas Pendidikan Ganesha, 3(1).
Putri, Anisa. (2010). Perkembangan Akuntansi di Indonesia. Jrak, 2: 38-49.
Prihatinah, T.L. ( 2008). Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Jurnal Dinamika Hukum 8(2).
Raden, S. (2011). Pelaksanaan Upacara Mematu dan Mandiu (Suatu Tinjauan
Hukum Islam dan Hukum Adat). Hunafa: Jurnal Studia Islamika 8(2): 363-
396.
Ragawino, B. (2008). Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Rahmi, A. (2015). Penulusuran Akuntansi dalam Kehidupan Sehari-hari
Mahasiswa Universitas Brawijaya. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Redaksi. (2014). Hukum Hadiah dalam Islam. Sumber:
http://sunnah.or.id/buletin-assunnah/hukum-hadiah-dalam-islam.html.
(Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Saefullah, Asep. (2013). Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah Satu
Bukti Peninggalan Sejarah Islam di Bali.
Salle, Ilham Z. (2015). Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang
pada Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma 6(1):1-174.
Santoso, S. (n.d.) Pengembangan Pendidikan Akuntansi dan Keuangan
Berkelanjutan. Seminar Nasional Pendidikan Akuntansi dan Keuangan.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Santya, M.D. (2015). Mengapa Orang Hindhu Tidak Memakan Daging
Sapi?.http://www.kulkulbali.co/post.php?a=373&t=mengapa_orang_hindu
_tidak_memakan_daging_sapi#.WTPKhMYQ_IU. (Diakses pada tanggal 10
Juni 2017).
Sekaran, Uma dan Bougie, Roger. (2013). Research Methods for Business. United
Kingdom: Jhon Wiley & Sons Ltd.
Selian, R., S. (n.d.). Upacara Perkawinan „‟Ngerje‟‟: Kajian Estetika Tradisional
Suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. FKIP Universitas Syiah Kuala
Darussalam Banda Aceh.
Siregar, L. (2002). Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Antropologi Papua,
1(1).
Sitorus, J.H.E., I. Triyuwono. (n.d.). Akuntansi Sinamot (Studi Etnografi dalam
Pernikahan Adat Batak Toba). Jurnal Akuntansi Multiparadigma.
Sukoharsono, Eko Ganis. (2009). Refleksi Ethnografi Kritis: Pilihan Lain Teknik
Riset Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, 4(1) pp 91-109.
Suparlan, P. (2003). Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Suku Bangsa atau
Kebudayaan?. Antropologi Indonesia, 72.
Suryana, C. (2007). Pengolahan dan Analisis Data Penelitian. Materi Diklat
Kompetensi Pengawas. Jakarta.

Suyatmini, Y. Sarjono, T. Asmawati, dan W. Rohmah. (2015). Accounting


Learning Management on Curriculum 2013 Based on Lesson Study at
Vocational School Surakarta. International Journal of Education, 7(4):89.
Thomas, D. R. (2006). A General Inductive Approach for Analyzing Qualitative
Evaluation Data. American Journal of Evolution 27:237.
Tuasikal, M.A. (2012). Panduan Makanan (1): Pengaruh Makanan Haram.
Sumber: https://muslim.or.id/10842-panduan-makanan-1-pengaruh-
makanan-haram.html. (Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Ustadz Abu Ismail Muslim Al-Atsari, A.I.M. (2010). Jika Suami Tidak Memberi
Nafkah. Sumber: https://almanhaj.or.id/2623-jika-suami-tidak-memberi-
nafkah.html (Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Widayani, N., M., D., dan Hartati, S. (2014). Kesetaraan Dan Keadilan Gender
Dalam Pandangan Perempuan Bali: Studi Fenomenologis Terhadap Penulis
Perempuan Bali. Jurnal Psikologi Undip. 13(2) 149-162.
Zaitul (n.d.). Tinjauan Kritis tentang Pengaruh Budaya terhadap Sistem
Akuntansi. Fakultas Ekonomi Universitas Bung Hatta.

Anda mungkin juga menyukai