Oleh:
Novi Andani
Tabel 5.2
Hubungan Semantik dalam Analisis Domain
No. Istilah Terliput Hubungan Semantik
1. Membeli Perlengkapan Sepatu, Make Up, Sundrang Nganten
Peralatan Mandi, Pakaian Dalam, dan Baju.
2. Menghias dan Menyiapkan Parcel
3. Membeli Ramuan Rempah-Rempah Rebus Ritual Metangas
4. Menyiapakan Tikar Pandan, Kamen, dan
Air Rebusan dalam Panci
5. Mandi Uap
6. Memainkan Gamelan Rudat Gamelan Rudat
7. Mengiringi Mempelai Pria ke tempat Akad Pengiringan Nganten Muani
Nikah
8. Memberikan Sumbangan Penampian Sumbangan
9. Menerima Buah-buahan, Kue Pernikahan, Nganten
Kue Kotak, dan Aqua Kardus
10. Mencoret Nama Bahan dari Daftar
Kebutuhan
11. Menyimpan Barang Sumbangan
12. Memberikan Uang untuk Pelaksanaan Uang Dapur
Acara
13. Menerima Uang untuk Pelaksanaan Acara
14. Mengelola Uang untuk Pelaksanaan Acara
15. Membawa Aba-abaan Penampian Aba-Abaan
16. Menerima Beras dan Gula
17. Menukar Isi Emblong dengan Jajanan
18. Menyimpan Beras dan Gula
19. Menyiapkan Makanan Berkatan Tradisi Ngejot ka
20. Membagikan Makanan Berkatan Lingkungane
21. Menerima Makanan Berkatan
22. Memasukkan Amplop ke dalam Kotak Uang dari Tamu Undangan
23. Menerima Amplop Uang
24. Menghitung Isi Amplop
25. Menyiapkan Berkas-Berkas untuk Menikah Keperluan KUA
26. Mengikuti Program Pendidikan Pranikah
27. Membayar Biaya Administrasi
28. Membeli Bahan-Bahan Masakan Ajengan Nyama Braya
29. Mengolah dan menyiapkan Ragam Sajian
Tradisional dan Jajanan Khas Bali
30. Makan Bersama
31. Menyewa Jasa Make up dan Gaun Pengangga Nganten
Pengantin
32. Menyewa Jasa Pacar Lukis Mahendi
33. Menyewa Peralatan dan Perlengkapan Dekorasi Ruang Acara
Dekorasi dan Panjer
34. Membeli Satu Set Sprei dan Bedcover
35. Menyewa Jasa Dekorasi Panggung Kuade
36. Membeli perlengkapan dekorasi tambahan
37. Memesan Jasa Catering Ajengan Tamu
38. Membeli peralatan makan tambahan
39. Mendesain Kartu Undangan Surat Undangan Nikah
40. Mencetak Kartu Undangan
41. Emas 50 Gram Mahar
42. Seperangkat Alat Shalat
43. Foto Dokumentasi Acara
44. Video Pernikahan
45. Pisau Buah Souvenir Pernikahan
46. Potongan kuku
47. Peralatan Rumah Tangga Kado Pernikahan
48. Pakaian dan Aksesoris
Tabel 5.3
Analisis Taksonomi
No Hubungan Semantik Istilah Pencakup
1. Keperluan KUA Biaya Tetap (Fixed Cost) Religius
2. Ngejot Ka Lingkungane Biaya Tetap (Fixed Cost) Tradisi
3. Ajengan Nyama Braya
4. Ritual Metangas
5. Pengiringan Nganten Muani
6. Sundrang Nganten Biaya Variabel (Variable Cost)
7. Kuade
8. Pengangga Nganten
9. Dekorasi Ruang Acara
10. Souvenir Pernikahan
11. Surat Undangan
12. Dokumentasi Acara
13. Keperluan Lain-Lain
14. Penampian Sumbangan Nganten Penerimaan
15. Uang Dapur
16. Uang dari Tamu Undangan
17. Kado Pernikahan
18. Penampian Aba-Abaan
19. Mahar
Tabel 5.4
Analisis Komponensial
No Hubungan Semantik Istilah Pencakup Kategori
1. Keperluan KUA Biaya Tetap (Fixed Praktik Akuntansi
Cost) Religius Pengeluaran
2. Ngejot Ka Lingkungane Biaya Tetap (Fixed
3. Ajengan Nyama Braya Cost) Tradisi
4. Ritual Metangas
5. Pengiringan Nganten Muani
6. Sundrang Nganten Biaya Variabel
7. Kuade (Variable Cost)
8. Pengangga Nganten
9. Dekorasi Ruang Acara
10. Souvenir Pernikahan
11. Surat Undangan
12. Dokumentasi Acara
13. Keperluan Lain-Lain
14. Penampian Sumbangan Penerimaan Praktik Akuntansi
Nganten Penerimaan
15. Uang Dapur
16. Uang dari Tamu Undangan
17. Kado Pernikahan
18. Penampian Aba-Abaan
19. Mahar
Tabel 5.5
Rangkaian Kontras
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Membawa Aba-abaan Tidak Tidak Ya Tidak
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Memberikan Sumbangan Tidak Tidak Tidak Tidak
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Memberikan Uang untuk Tidak Tidak Tidak Tidak
Pelaksanaan Acara
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Menyiapkan Makanan Berkatan Tidak Tidak Ya Tidak
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Memasukkan Amvlop ke Tidak Tidak Ya Ya
Dalam Kotak
Menerima Amvlop Uang Ya Tidak Tidak Tidak
Menghitung Isi Amvlop Ya Tidak Tidak Tidak
Dimensi Kontras
Cultural Domains Evi Fika Ita Busron
Membeli Bahan-Bahan Ya Tidak Tidak Tidak
Masakan
Mengolah dan menyiapkan Tidak Tidak Ya Tidak
Ragam Sajian Tradisional dan
Jajanan Khas Bali
Makan Bersama Ya Ya Tidak Tidak
Bagan Alur 6.1
Susunan Proses Acara Pernikahan
Proses KUA
Metangas
Akad Nikah
Ngejot ka Lingkungane
Aba-Abaan
Mahar
Kado Pernikahan
Akuntansi
Keperluan KUA
Pengangga Nganten
Kuade
Souvenir Pernikahan
Dokumentasi Acara
Keperluan-keperluan lainnya
Uang dapur
Keberadaan uang dapur ini sangat kental dengan budaya pernikahan di Bali.
Uang dapur merupakan uang yang diberikan oleh pihak keluarga pria kepada
pihak keluarga wanita. Uang dapur merupakan penerimaan bagi pihak keluarga
wanita yang akan digunakan untuk membiayai seluruh keperluan acara
pernikahan. Jumlah yang diberikan berdasarkan pada kesepakatan antar kedua
belah pihak keluarga pada saat acara lamaran pertama.
Jumlah tersebut merupakan taksiran jumlah keseluruhan dari pihak keluarga
wanita, bergantung pada seberapa besar acara tersebut akan dirayakan. Namun,
mereka tetap mempertimbangkan kemampuan pihak keluarga pria dan tidak
memaksa. Uang dapur ini biasanya diberikan pada saat acara lamaran kedua atau
madik ping pinde, bersamaan dengan diberikannya sundrang nganten dan jajan-
jajanan.
Disini terlihat pula perbedaan tugas, dimana keluarga pria sebagai pihak yang
memberikan dana untuk acara pernikahan, sedangkan keluarga wanita sebagai
pihak yang mengelola uang dapur tersebut. Seluruh persiapan acara termasuk
pelaksanaan kegiatan ritual dan adat pernikahan akan diatur oleh keluarga wanita.
Penggunaan uang dapur tersebut dicatat, walaupun tidak sangat detail untuk
ditunjukkan sebagai pertanggungjawaban ke pria.
Dalam budaya pernikahan mereka, keberadaan uang dapur ini berbeda beda
menyesuaikan dengan jenis pernikahannya. Apakah pernikahan tersebut
merupakan pernikahan dua pengantin asli Bali yang satu daerah, pasangan asli
Bali yang beda daerah, ataukah merupakan pernikahan campuran. Berdasarkan
hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan informan, pada jenis pernikahan
campuran biasanya acara pernikahan akan diselenggarakan dua kali, yaitu di Bali
dan di daerah asal pasangannya.
Acara pertama biasanya diselenggarakan di rumah keluarga wanita, baik
keluarga wanitanya yang asli Bali maupun tidak. Pihak keluarga pria akan
memberikan uang dapur, kemudian pihak keluarga wanitalah yang mengurus dan
mengatur pelaksanaan acara pernikahan tersebut. Keluarga pria akan datang
beberapa hari sebelum hari pernikahan dan hadir sebagai tamu bagi keluarga
wanita. Acara kedua yang diselenggarakan di tempat keluarga pria, biayanya
ditanggung oleh keluarga pria itu sendiri.
Dalam jenis acara pernikahan yang lain, misalnya salah satu pengantin
merupakan orang perantauan yang telah lama menetap di Bali, maka acara
pernikahan pertama juga akan diselenggarakan di rumah pihak keluarga wanita.
Uang dapur juga tetap akan diberikan oleh pihak keluarga pria, begitu juga yang
mengurus dan mengatur segala keperluan acara pernikahan tersebut adalah
keluarga wanita.
Terkadang, pada pernikahan campuran seperti ini, walaupun pada umumya
acara pernikahan dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu di Bali dan di daerah asal
pasangannya, tetapi ada juga yang hanya menyelenggarakannya sekali saja.
Biasanya, jika prianya yang asli Bali, menyelenggarakan pernikahan sekali saja di
daerah asal wanita sudah dianggap cukup. Namun, hal ini cukup jarang ditemui.
Adapun acara pernikahan yang lebih dulu diselenggarakan di tempat si wanita
karena membawa kebiasaan dari orang jawa dahulu yang merantau ke Bali.
Keluarga wanita sering kali sebagai pihak yang melaksanakan acara, sehingga
pada jenis pernikahan campuran acara pernikahan selalu dilaksanakan di tempat
asal si wanita dan sampai saat ini telah menjadi kebiasaan masyarakat tersebut.
Apabila kedua pengantin adalah orang asli Bali satu daerah, acaranya
diselenggarakan sekali saja dan bertempat di rumah pihak keluarga pria. Seluruh
biaya dan acara pernikahan diatur oleh pihak keluarga pria. Berbeda jika kedua
pengantin adalah orang asli Bali beda daerah, pada umumnya acara pernikahan
diselenggarakan dua kali. Acara pertama diselenggarakan di daerah asal pria dan
yang kedua di daerah asal wanita. Biayanya ditanggung oleh masing-masing
pihak, tetapi pihak keluarga pria biasanya tetap memberikan uang untuk acara
yang dirayakan di daerah asal wanita, walaupun tidak dimintai. Hal tersebut
seolah telah menjadi sebuah kesadaran tersendiri bagi pihak keluarga pria.
Acara pernikahan di Bali biasa dilaksanakan di rumah si pria. Kebudayaan
patriarki ini bersumber dari adanya konsep purusha dan predana. Konsep ini
menjadi landasan yang membedakan antara status dan peran perempuan dengan
laki-laki (Wiasti, Dalam Widayani dan Hartati, 2014). Filsafat agama Hindu ini
lah yang menjadi ideologi dalam budaya Bali, yang berkembang menjadi sistem
nilai, norma-norma dan aturan-aturan di dalam hukum adat bercorak patrilineal
yang berfungsi sebagai kontrol sosial (Astiti, dalam Wiasti, dalam Widayani dan
Hartiti, 2014).
Bagi masyarakat muslim Bali di Kampung Lebah, uang dapur disini memiliki
makna yang lebih dalam. Selain membawa budaya pernikahan Bali, uang dapur
ini juga mengandung makna bahwa laki-laki merupakan sosok yang memiliki
tanggung jawab untuk menafkahi pasangannya dalam berumah tangga. Pemberian
uang dapur tersebut menunjukkan bahwa laki-laki tersebut berusaha dan siap
menjalani kewajiban serta tanggungjawabnya sebagai pemimpin di dalam rumah
tangga.
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Al-Atsari (2010) melalui sebuah hadist.
Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam menjelaskan dalam khutbah beliau pada saat
haji wada‟ sebagai berikut :
Mahar
Mahar atau mas kawin merupakan penerimaan bagi pengantin wanita. Mahar
diberikan oleh pengantin pria pada saat melakukan ijab kabul. Besarnya mahar
tersebut tergantung pada permintaan si wanita. Mahar ini tidak termasuk ke dalam
uang dapur yang khusus digunakan untuk membiayai acara pernikahan. Mahar
dalam pernikahan merupakan pertanda dibelinya sebuah cinta yang suci.
Pemberian mahar ini juga disertai dengan rasa ikhlas dan tulus serta benar-benar
dengan niat untuk menghormati dan memuliakan si wanita.
Mahar memang merupakan hal yang sangat penting dalam pernikahan, karena
mahar itu sendiri merupakan bagian dari agar syahnya pernikahan di dalam Islam.
Dahulu, Rasulullah selalu menanyakan sahabat-sahabatnya tentang mahar apa
yang akan diberikan kepada si calon pengantin wanita. Mahar itu sendiri memiliki
makna yang cukup dalam. Dianjurkannya pemberian mahar ini sebagai tanda
bahwa di dalam Islam, seorang wanita merupakan mahluk yang mulia dan
dihormati. sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-qur‟an surat An-Nisa ayat 4 :
„‟Telah sampai pada kami bahwa do‟a seorang hamba tertahan di langit karena
sebab makanan jelek (haram) yang ia konsumsi.”
“Hai rasul-rasul, makanlah dari makanan yang thoyyib (yang baik), dan
kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (QS. Al Mu‟minun: 51).
‟‟Siapa yang dagingnya tumbuh dari pekerjaan yang tidak halal, maka neraka
pantas untuknya.” (HR. Ibnu Hibban 11: 315, Al Hakim dalam mustadroknya 4:
141. Hadits ini shahih kata Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jaami‟ no. 4519)
Biasanya keluarga dan tetangga dekat bergotong-royong memasak bersama
untuk seluruh hidangan pernikahan, namun, karena kendala tenaga dan waktu,
mereka memutuskan untuk memesan jasa catering pernikahan. Makanan catering
tersebut selain untuk hidangan tamu, juga dibagikan saat acara ngejot yang telah
peneliti ceritakan di atas. Dalam acara ngejot yang dilakukan oleh masyarakat
Hindhu, makanan yang diberikan pada umumnya berupa buah-buahan, nasi berisi
lawar, sate, dan lauk-pauk lainnya. Sedangkan, makanan jotan yang diberikan
oleh masyarakat muslim tidak menyertakan lawar, daging babi, dan lain-lain.
Mereka menyesuaikan tradisi dengan syariat Islam. Hal tersebut tidak menjadi
masalah, karena makna dari dilakukannya ngejot oleh masyarakat Bali itu sendiri
adalah untuk saling berbagi terhadap sesama.
Islam dan Hindhu memang memiliki konsep halal yang berbeda. Dalam
Islam, halal dijelaskan sebagai berikut:
Tabel 6.1
Catatan Penggunaan Dana Uang Dapur
Biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost) dalam akuntansi
pengeluaran
Budaya pernikahan masyarakat muslim Bali, khususnya di kampung Lebah,
tidak hanya mengikuti adat istiadat Bali itu sendiri sebagai daerah tempat mereka
tinggal, tetapi juga membawa nilai agama Islam sebagai kepercayaan yang mereka
anut. Selain itu, mereka juga bersifat terbuka dengan budaya moderen yang ada
pada saat ini. Ketiganya, nilai agama, nilai adat istiadat, serta budaya moderen
mempengaruhi praktik-praktik akuntansi yang dilakukan dalam upacara adat
pernikahan mereka, seperti yang telah peneliti jelaskan di bagian sebelumnya.
Nilai agama tercermin di dalam akuntansi pengeluaran pengurusan akad
nikah. Sebagai kelompok yang menganut agama Islam, mereka harus mematuhi
syarat dan rukun nikah yang terdapat dalam syariat Islam, agar pernikahan mereka
menjadi syah. Sehingga, proses akad nikah dalam budaya pernikahan mereka
menjadi berbeda dengan masyarakat Bali pada umumnya sebagai masyarakat
yang mayoritas menganut agama Hindhu.
Dalam Islam, ketika melaksanakan akad nikah diharuskan adanya ijab kabul
sebagai salah satu dari rukun nikah. Selain itu, juga dibutuhkan seorang penghulu,
wali, beserta dua orang saksi laki-laki, yang oleh karena itu tata cara untuk
menjadikan pernikahan tersebut syah menjadi berbeda dengan pernikahan adat
Bali, yang mana berpedoman pada kitab suci Weda dan adat yang berlaku secara
turun-temurun.
Mereka mengurus segala kebutuhan tersebut di Kantor Urusan Agama
(KUA), mulai dari mendaftarkan pernikahan, menyerahkan berkas-berkas,
membayar administrasi, mendapat penghulu, mengikuti pendidikan pranikah,
sampai apa yang akan diucapkan ketika acara akad nikah. Sedangkan,
Kemudian, Nilai adat-istiadat tercermin di dalam tradisi ngejot ka
lingkungane, ajengan nyama braya, pengiringan nganten muani, dan ritual
metangas, yang mana telah mengalami penyesuaian, sehingga, dapat dilakukan
tanpa melanggar nilai agama. Selanjutnya, kebudayaan moderen tercermin di
dalam perayaan pesta pernikahan tersebut, seperti model dekorasi ruang acara
pernikahan, dekorasi kuade, model gaun dan gaya make up yang dipakai oleh
pengantin, isi dan hiasan sundrang nganten, souvenir pernikahan, dan lain-lain.
Dari akuntansi pengeluaran dalam budaya pernikahan tersebut yang telah
peneliti jelaskan di atas, peneliti menemukan bahwa terdapat suatu konsep yang
serupa dengan biaya tetap (fixed cost) dan biaya variabel (variable cost). Peneliti
menyajikannya di dalam bagan aliur di bawah ini.
Carter (2009) menjelaskan, biaya tetap (fixed cost) merupakan suatu biaya
yang tidak berubah secara total pada saat aktivitas bisnis meningkat atau menurun.
Biaya tetap (fixed cost) dalam akuntansi biaya dikatakan sebagai biaya yang
dianggap untuk tetap berada dalam bisnis (being in business). Seperti misalnya,
Gaji eksekutif produksi, sewa, pemeliharaan dan perbaikan gedung, dan lain-lain.
Sedangkan, biaya variabel (variabel cost) merupakan biaya yang berubah
menyesuaikan dengan aktivitas produksi. Jumlah dari biaya varibel ini berubah
secara proporsional terhadap peningkatan dalam aktivitas dan juga menurun
secara proporsional terhadap penurunan dalam aktivitas. Biaya variabel (variable
cost) dapat dikatakan sebagai biaya dari melakukan bisnis (doing business).
Seperti misalnya, truk yang disewa dengan tarif per mil, perlengkapan, bahan
bakar, upah lembur, peralatan kecil, biaya komunikasi, dan lain-lain (Carter,
2009).
Keperluan KUA yang merupakan praktik akuntansi pengurusan akad nikah
membentuk suatu konsep yang serupa dengan biaya tetap, karena merupakan hal
yang paling utama untuk melaksanakan suatu upacara pernikahan, agar
pernikahan tersebut dapat dikatakan syah secara hukum dan agama. Biaya
pengurusan akad nikah ini merupakan biaya yang jumlahnya selalu sama dalam se
buah upacara pernikahan. Biaya tersebut tidak dipengaruhi oleh seberapa kecil
atau besar suatu acara pernikahan diselenggarakan, sehingga biaya pengurusan
akad nikah ini serupa dengan konsep biaya tetap yang terdapat di dalam
akuntansi. Dan peneliti menyebutnya sebagai biaya tetap religius, yang mana
dalam praktik akuntansinya didasarkan pada nilai agama.
Begitu pula dengan tradisi ngejot ka lingkungane, tradisi ajengan nyama
braya, pengiringan nganten muani, dan ritual metangas yang menjadi bagian
dalam proses upacara pernikahan mereka. Sehingga, biaya-biaya untuk
menyelenggarakan tradisi-tradisi tersebut menjadi selalu ada. Saat pengiringan
nganten muani, mereka mengundang kelompok gamelan rudat dari bapak-bapak
Masjid Al-Hikmah untuk mengiringi mempelai pria ke tampat acara akad nikah.
Dalam acara ritual metangas , ritual tersebut dilakukan oleh calon pengantin
wanita seorang. Begitu pula dengan tradisi ajengan nyama braya yang
diperuntukkan bagi anggota keluarga besar dan tradisi ngejot ka lingkungane yang
diperuntukkan untuk tetangga-tetangga dekat saja. Sehingga, biaya yang
dikeluarkan untuk tradisi tersebut tidak begitu berbeda di tiap-tiap upacara
pernikahan, baik dirayakan dengan mewah maupun tidak. Dari sana, terbentuk
pula suatu konsep yang serupa dengan biaya tetap yang peneliti sebut sebagai
biaya tetap tradisi, karena terdapat nilai-nilai adat istiadat di dalam praktik
akuntansinya.
Kebudayaan moderen yang tercermin di dalam dekorasi ruang acara, souvenir
pernikahan, panggung pengantin atau kuade, gaun pengantin, make up pengantin,
sundrang nganten, surat undangan, dokumentasi acara, serta keperluan-keperluan
lainnya membentuk suatu konsep serupa dengan biaya variabel (variable cost),
sebab biaya-biaya yang dikeluarkan tersebut bersifat umum yang jumlahnya
berubah menyesuaikan dengan bagaimana pesta pernikahan tersebut dirayakan.
Begitu banyak hal-hal lainnya yang terdapat di dalam budaya masyarakat,
sehingga peneliti mengakui adanya keterbatasan peneliti mengenai hal tersebut.
Namun, peneliti tetap berusaha untuk melakukan penelitian ini sebaik mungkin
yang dapat peneliti lakukan dan berusaha menyampaikan semua yang peneliti
peroleh dari penelitian ini.
KESIMPULAN
Budaya pernikahan masyarakat muslim Bali, khususnya di Kampung Lebah
memang berbeda dari pernikahan adat Bali pada umumnya. Selain mengikuti adat
Bali, budaya pernikahan mereka juga mengikuti budaya moderen yang ada pada
saat ini, namun tetap dilaksanakan tanpa melanggar nilai agama Islam sebagai
agama yang mereka anut melalui penyesuaian yang dilakukan.
Dari budaya pernikahan tersebut, peneliti menemui bentuk akuntansi yang
sangat unik dan menarik. Bentuk akuntansinya memang berbeda dengan akuntansi
yang pada umumnya terdapat dalam dunia bisnis. Selama penelitian ini, peneliti
memperoleh makna akuntansi berdasarkan sudut pandang informan, bagaimana
informan memahami akuntansi yang terdapat di dalam budaya pernikahan
mereka.
Peneliti menemukan akuntansi yang tergolong ke dalam akuntansi
penerimaan dan pengeluaran. Terdapat nilai-nilai yang mempengaruhi akuntansi
yang mereka lakukan, yaitu nilai agama Islam sebagai agama yang dianut oleh
kelompok masyarakat minoritas tersebut, juga nilai adat istiadat Bali yang mana
kental dengan agama Hindhu. Tidak hanya itu, keterbukaan terhadap budaya
moderen pun ikut mempengaruhi keunikan praktik-praktik akuntansinya.
Selanjutnya, peneliti juga melihat bahwa terdapat akuntabilitas di dalam
penggunaan uang dapur. Selain itu, peneliti juga menemukan, bahwa pada
akuntansi pengeluaran, terlihat konsep yang serupa dengan biaya tetap (fixed cost)
dan biaya variabel (variable cost).
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, M. M., dan E. Susanto. (2012). Tradisi Ngunya Muslim Pegayaman Bali.
Karsa 20(2).
Al-Qur’an dan terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia, Penerbit
Al-Huda 2005.
Atmadja, A. T. (2013). Pergulatan Metodologi dan Penelitian Kualitatif dalam
Ranah Ilmu Akuntansi. Jurnal Akuntansi Profesi 3(2).
Anggraini, Rini. (2016). Bulan Sabit Di Kota Semarapura (Studi Tentang Latar
Belakang Masuknya Islam Di Kampung Lebah, Klungkung, Bali Dan
Pemanfaatannya Sebagai Sumber Belajar Sejarah Lokal Di Sma).
Bekti, S. (2015). Pancaran Agung Busana Pengantin
Bali.https://www.weddingku.com/blog/pancaran-agung-busana-pengantin-
bali. (Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Budiasih, I.G.A.N. (2014). Fenomena Akuntabilitas Perpajakan pada Jaman Bali
Kuno: Suatu Studi Interpretif. Jurnal Akuntansi Multiparadigma 5(3): 409-
420.
Butar, S.B. (2011). Memahami Akuntansi dari Perspektif Historis. Dinamika
Sosial Ekonomi 7(2).
Certeau, M., D. (1984). The Practice of Everyday Life. University of California
Press, Berkeley.
Cresswell, J.W. (2014). Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed
Methods Approaches. (Edisi 4). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications,
Inc.
Diana, Nina. (2016). Islam Masuk Ke Bali dan Dampaknya Terhadap
Perkembangan Islam di Bali. Tamaddun 4(2).
Dwijendra, N.K.A. (2003). Perumahan dan Pemukiman Tradisional Bali. Jurnal
Pemukiman Natah 1(1).
Effendi S., A. (2011). Implementasi Kearifan Lingkungan Dalam Budaya
Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran Ips :Studi
Etnografi Pada Masyarakat Adat Kampung Kuta dan Kajian PTK di SMP
Negeri 1 Tambaksari Kabupaten Ciamis. Tesis. Universitas Pendidikan
Indonesia.
Elo, S., dan H. Kyngas. (2008). The qualitative content analysis process. Journal
of Advanced Nursing 62(1): 107–115.
Galanou, E., Georgios. G., Ioannis, S., dan Vasilopoulos, D. (2010). The Effect of
Reward System on Job Satisfaction in an Organizational Chart of Four
Hierarchical Levels: A Qualitative Study. Canadian Social Science 6(5)
pp.102-103.
Gray, S.J. (1988). Towards a Theory of Cultural Influence on The Development of
Accounting Systems Internationally. University of Glasgow. Scotland.
Gulo, A.N. (2012). Degradasi Budaya Dalam Upacara Perkawinan Masyarakat
Nias Di Denpasar. E-jurnal Kajian Budaya Universitas Udayana 1(1).
Harsha, T. P., N. Adib, dan A. Zaky. (n.d). Minat Mahasiswa Akuntansi dalam
Memilih Konsentrasi Akuntansi dan Keuangan Syariah. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma.
Nofianti, Leny. (2012). Kajian Filosofis Akuntansi: Seni, Ilmu, atau Teknologi.
Pekbis Jurnal, 4(3): 203-210.
Odongo, I. (2016). The Influence of Culture on Judgment and Decision Making.
International Journal of Advanced Legal Studies and Governance, 6(1).
Pratiwi, G.A.M.F., A.T. Atmadja., dan N.T. Herawati. (2015). Eksistensi
Pelaporan Keuangan pada Upacara Ngaben Masal di Banjar Pakraman
Banyuning Tengah dan Banyuning Barat, Desa Pakraman Banyuning,
Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng, Provinsi Bali. E-Journal S1 Ak
Universitas Pendidikan Ganesha, 3(1).
Putri, Anisa. (2010). Perkembangan Akuntansi di Indonesia. Jrak, 2: 38-49.
Prihatinah, T.L. ( 2008). Tinjauan Filosofis Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974. Jurnal Dinamika Hukum 8(2).
Raden, S. (2011). Pelaksanaan Upacara Mematu dan Mandiu (Suatu Tinjauan
Hukum Islam dan Hukum Adat). Hunafa: Jurnal Studia Islamika 8(2): 363-
396.
Ragawino, B. (2008). Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia.
Universitas Padjadjaran, Bandung.
Rahmi, A. (2015). Penulusuran Akuntansi dalam Kehidupan Sehari-hari
Mahasiswa Universitas Brawijaya. Skripsi. Universitas Brawijaya. Malang.
Redaksi. (2014). Hukum Hadiah dalam Islam. Sumber:
http://sunnah.or.id/buletin-assunnah/hukum-hadiah-dalam-islam.html.
(Diakses pada tanggal 10 Juni 2017).
Saefullah, Asep. (2013). Masjid Ampel di Amlapura Karangasem: Salah Satu
Bukti Peninggalan Sejarah Islam di Bali.
Salle, Ilham Z. (2015). Akuntabilitas Manuntungi: Memaknai Nilai Kalambusang
pada Lembaga Amil Zakat Kawasan Adat Ammatoa. Jurnal Akuntansi
Multiparadigma 6(1):1-174.
Santoso, S. (n.d.) Pengembangan Pendidikan Akuntansi dan Keuangan
Berkelanjutan. Seminar Nasional Pendidikan Akuntansi dan Keuangan.
Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Santya, M.D. (2015). Mengapa Orang Hindhu Tidak Memakan Daging
Sapi?.http://www.kulkulbali.co/post.php?a=373&t=mengapa_orang_hindu
_tidak_memakan_daging_sapi#.WTPKhMYQ_IU. (Diakses pada tanggal 10
Juni 2017).
Sekaran, Uma dan Bougie, Roger. (2013). Research Methods for Business. United
Kingdom: Jhon Wiley & Sons Ltd.
Selian, R., S. (n.d.). Upacara Perkawinan „‟Ngerje‟‟: Kajian Estetika Tradisional
Suku Gayo di Kabupaten Aceh Tengah. FKIP Universitas Syiah Kuala
Darussalam Banda Aceh.
Siregar, L. (2002). Antropologi dan Konsep Kebudayaan. Antropologi Papua,
1(1).
Sitorus, J.H.E., I. Triyuwono. (n.d.). Akuntansi Sinamot (Studi Etnografi dalam
Pernikahan Adat Batak Toba). Jurnal Akuntansi Multiparadigma.
Sukoharsono, Eko Ganis. (2009). Refleksi Ethnografi Kritis: Pilihan Lain Teknik
Riset Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Bisnis, 4(1) pp 91-109.
Suparlan, P. (2003). Bhineka Tunggal Ika: Keanekaragaman Suku Bangsa atau
Kebudayaan?. Antropologi Indonesia, 72.
Suryana, C. (2007). Pengolahan dan Analisis Data Penelitian. Materi Diklat
Kompetensi Pengawas. Jakarta.