Rakmen - UAS - Gracela Pinkan Antou - 10
Rakmen - UAS - Gracela Pinkan Antou - 10
OLEH :
GRACELA PINKAN ANTOU
2081611010
Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam pernelitian ini sebagai berikut:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur sosial, budaya, dan ekonomi
di NTT khususnya kabupaten Sikka dengan memasukkan penerapan konsep akuntansi dalam
kegiatan Belis dan untuk mengetahui aktivitas Belis yang dapat mempengaruhi adat kabupaten
Sikka serta nilai proses perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang terjadi dalam latar
belakang masalah.
1. Manfaat Teori
Manfaat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi mengenai tradisi adat
istiadat perkawinan di Kabupaten Sikka yaitu ‘belis’ yang dihubungkan dengan
penerapan Activity Based Managemen
2. Manfaat Praktek
Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca dalam mencari informasi
tentang belis di kabupaten Sikka.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
Sedangkan menurut Supriyono (1999; 354), manajemen berbasis aktivitas (MBA) adalah
suatu disiplin (sistem yang luas dan pendekatan yang terintegrasi) yang memusatkan perhatian
manajemen pada aktivitas – aktivitas dengan tujuan untuk meningkatkan nilai yang diterima
oleh konsumen dan laba yang diperoleh dari penyediaan nilai tersebut. Dari definisi – definisi
di atas, dapat diketahui bahwa ABM merupakan manajemen berbasis aktivitas yang berfokus
pada kepengelolaan secara terpadu dan bersistem pada aktivitas yang bertujuan untuk
peningkatan dan perbaikan nilai customer dan laba
Manajemen berdasarkan aktivitas meliputi penghitungan biaya produk atau Activity Based
Costing (ABC) dan analisis nilai proses atau Process Value Analysis (PVA). Jadi, model
manajemen berdasarkan aktivitas memiliki dua dimensi: dimensi biaya dan dimensi proses.
Dimensi biaya memberikan informasi biaya mengenai sumber daya, aktivitas, produk dan
pelanggan (dan objek biaya lainnya yang diperlukan). Tujuan dimensi biaya untuk memperbaiki
keakuratan pembebanan biaya. Sebagaimana disebutkan pada model tersebut, sumber biaya
ditelusuri pada aktivitas, dan kemudian biaya aktivitas dibebankan pada produk dan pelanggan.
Dimensi penghitungan biaya berdasarkan aktivitas berguna untuk penghitungan biaya produk,
manajemen biaya strategis, dan analisis taktis. Dimensi kedua, dimensi proses, memberikan
informasi tentang aktivitas apa yang dikerjakan, mengapa dikerjakan, dan seberapa baik
dikerjakannya. Dimensi inilah yang memberikan kemampuan untuk berhubungan dan
mengukur perbaikan berkelanjutan (Hansen dan Moven, 2004: 487)
2.3.3 Tujuan dan Manfaat ABM
Tujuan ABM adalah untuk meningkatkan nilai produk atau jasa yang diserahkan ke
konsumen. Oleh karena itu, dapat digunakan untuk mencapai laba ekstra dengan menyediakan
nilai tambah bagi konsumennya. ABM memusatkan pada akuntabilitas aktivitas – aktivitas dan
bukan pada biaya, ABM menekankan pada maksimalisasi kinerja secara luas daripada kinerja
individual. Manfaat ABM menurut Supriyono (Supriyono, 1999: 356) adalah :
a. Mengukur kinerja keuangan dan pengoperasian (non keuangan) organisasi dan aktivitas
b. Menentukan biaya – biaya dan profitabilitas yang benar untuk setiap tipe produk dan
jasa.
c. Mengidentifikasikan aktivitas – aktivitas bernilai tambah dan tidak bernilai tambah.
d. Mengelompokkan aktivitas dan mengendalikannya.
e. Mengefisiensikan aktivitas bernilai tambah dan mengeliminasi aktivitas-aktivitas tak
bernilai tambah.
f. Menjamin bahwa pembuatan keputusan, perencanaan, dan pengendalian didasarkan
pada isu – isu bisnis yang luar dan tidak semata berdasarkan pada informasi keuangan.
g. Menilai penciptaan rangkaian nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasaan
konsumen
Pelaporan keuangan yang berlaku disuatu Negara biasanya ditentukan melalui aturan
pemerintah, atau badan swasta lain yang berwenang. Aturan pelaporan keuangan tersebut adalah
standar akuntansi dan di Indonesia adalah Standar Akuntasi Keuangan (SAK) yang ditetapkan oleh
organisasi profesi akuntansi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam sebuah penelitian yang
telah dilakukan akuntansi merupakan bagian yang lebih besar, dan dikelilingi oleh sistem sosial,
yang lain seperti hukum, sistem keuangan, yang berinteraksi juga dengan sistem akuntansi. Budaya
juga tidak dianggap sebagai system terpisah yang mempengaruhi system akuntansi, melainkan
sistem akuntansi merupakan bagian dari budaya (Risqy Fadlihina Putri:2019)
Biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomis, yang diukur dalam satuan
uang, telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
melaksanakan tanggung jawab perencanaan dan pengendalian manajemen membutuhkan
pemahaman akan arti biaya terminology yang berkaitan dengan biaya.
Menurut Hansen dan Mowen (1999), yang diterjemahkan oleh Hermawan, A.A. Biaya dalah kas
atau equivalen kas yang dikorbankan untuk mendapat barang atau jasa yang diharapkan memberi
manfaat saat ini atau yang akan datang bagi organisasi (www.dictio.id). Biaya merupakan lawan
atau pengurang pendapatan (Belakaoui 20006; suwardjono 2010). Biaya juga merupakan
pengorbanan yang diukur dalam bentuk moneter, penurunan aset atau penurunan manfaat ekonomi
yang mengakibatkan penurunan ekuitas periode tertentu (Grady 1965, Suwardjono 2010).
2.6 Belis
Belis dalam istilah yang paling sederhana diartikan sebagai mahar, yaitu sejumlah uang,
hewan, dan barang yang diberikan oleh keluarga mempelai pria kepada pihak mempelai wanita
sebagai syarat pengesahan perkawinan. Pesta adat yang mewajibkan belis didasarkan pada alasan
karena pengantin wanita akan menjadi bagian dari suami suku atau klan. Pengantin wanita benar-
benar meninggalkan orang tua dan keluarganya untuk masuk ke dalam bagian dari suku suaminya.
Karena perpindahan suku, mempelai laki-laki adalah diharuskan membayar sejumlah hewan atau
uang atau barang (gading, kain adat, perkakas dari emas dan lain-lain) kepada keluarga pengantin
wanita. Setiap daerah di NTT memiliki bentuk belis yang bervariasi, mulai dari uang, ternak,
hingga barang-barang lain yang dianggap layak untuk menghormati gadis itu.
Belis pada dasarnya mencerminkan nilai simbolis. Prioritasnya bukanlah jumlah nominal
uang, barang dan hewan yang diberikan, tetapi interaksi keluarga dan penghargaan timbal balik
antara pengantin pria keluarga dan pengantin dan pernikahan antara keduanya. Dalam masyarakat
NTT, pernikahan bukan hanya sekedar masalah dua pasangan. Ini urusan keluarga besar (extended
family). Perkawinan tidak hanya mengikat hubungan seseorang dengan pasangannya tetapi juga
hubungan antara satu keluarga dan suku dengan yang lain.
Dalam masyarakat daerah Sikka ada Ungkapan yang sangat jelas menggambarkan
kesatuan antara dua keluarga pengantin yaitu, “ Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar ” yang
artinya “hubungan kekerabatan kedua belah pihak akan langgeng selamanya dengan saling
memberi dan menerima secara turun temurun”. Dengan demikian, Belis adalah simbol persatuan
antara dua suku dan keluarga yang berbeda. Tidak hanya persatuan antara suami dan istri tetapi
juga antara dua keluarga besar, dua suku atau klan. Dengan serah terima memberi dan menerima
belis , kedua keluarga suku dan keluarga resmi memiliki hubungan kekerabatan.
Setelah dideskripsikan secara singkat sisi normatif dari adat yang mempraktekkan belis ,
bagaimana norma belis tampaknya lahir dalam situasi kekinian masyarakat NTT yang akan
dihadirkan. Seiring waktu berubah dan kesadaran masyarakat berkembang, ada distorsi mendasar
di dalam adat kebiasaan mengamalkan mahar berdasarkan nilai dan makna luhur. Sisi diskriminatif
tampaknya semakin radikal. “Teori” menegaskan bahwa belis adalah bentuk penghormatan
terhadap perempuan dan hubungan keluarga dan nilai-nilai keluhuran perkawinan; namun, dalam
kenyataannya terjadi berbeda. secara tidak langsung menyiratkan kontestasi harga diri pria karena
komodifikasi perempuan. Akibatnya, perempuan dan hak-hak mereka di negara-negara baru
didirikan keluarga mengalami pelecehan bertingkat.
Budaya patriarki yang dianut masyarakat NTT memandang perempuan dan belis sebagai
objek kontestasi mutlak untuk harga diri pria. Substansi sebenarnya adalah pola pikir dan
mentalitas yang telah ditanamkan begitu lama menciptakan perasaan konsekuensial bahwa jika
seseorang tidak mampu membayar dengan jumlah bahan sebagai belis maka secara sosial mereka
akan merasakan harga diri mereka turun dan pada tingkat tertentu tingkat praktek bisa adat
dikucilkan. Keluarga malah akan merasa kurang bermartabat ketika belis untuk putri mereka,
saudara perempuan atau keponakan tidak sesuai dengan yang diharapkan atau ditentukan oleh
keluarga pengantin pria. Standar itu bukan hanya tentang martabat perempuan, tetapi juga
keluarga.
Dalam hal memberi dan menerima belis , masyarakat NTT biasanya sangat sensitif. Jika
keluarga mempelai wanita yaitu tidak menunjukkan kerendahan hati saat berunding, belis senilai
puluhan bahkan ratusan jutaan tidak akan turun. Belis seolah-olah menjadi kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang laki-laki dan istrinya keluarga. Semakin tinggi status sosial keluarga seorang
wanita maka belis yang dibayar pasti semakin mahal juga. Namun, semahal harga belis,pihak
keluarga mempelai pria rela menyediakannya (bahkan entah bagaimana mereka harus berhutang)
demi menghadirkannya untuk keluarga pengantin wanita.
Dalam kehidupan sehari-hari, belis dimanfaatkan untuk urusan adat istiadat yang dapat
dinyatakan sebagai berikut: Pertama, hewan yang diberikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan
keluarga besarnya. Misalnya, kuda yang dibawa dan dipelihara ataupun dijual. Kenyataan juga
memperlihatkan bahwa tak jarang, hewan yang dibawa jual untuk memenuhi kebutuhan keuangan
dari acara perkawinan. Kedua, uangnya dipakai untuk menyelesaikan urusan perkawinan yakni
seremoni adat dan perayaan persta perkawinan (konsumsi, tenaga kerja, gedung, dekorasi, music,
dll).
Fenomena yang sangat menarik yaitu muncul anggapan dalam diri kaum muda bahwa belis
ini muncul akibat dari kesepakatan penentuan harga. Budaya belis ini bersifat sangat transaksional
antara keluarga pria dan keluarga wanita (Rahayu & Yudi, 2015). Pemahaman masyarakat
Kabupaten Sikka dalam tradisi penetapan harga belis menciptakan cara pandang yang berbeda
dalam memaknai biaya dan melakukan penetapan harga yang dibayarkan dalam belis, karena
terdapat beberapa unsur self-esteem yang berarti sesuai dengan akuntansi, harga merupakan suatu
interaksi masyarakat antara penjual dan konsumen (Ebere, 2016), (Hardesty et al., 2012),
(Malinowski, 2016), dan (Zuryani, 2016), tetapi fenomena yang terjadi, belis memiliki proses
penetapan harga sendiri yang sangat berbeda dengan proses penetapan harga di akuntansi, karena
terdapat berbagai unsur-unsur yang tidak bisa di nilai dengan angka. Sesuai dengan fenomena
tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis fenomena proses penetapan harga belis budaya
perkawinan di kab Sikka
Analisis Data
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang merupakan suatu cara yang
digunakan untuk menjawab masalah penelitian yang berkaitan dengan data berupa narasi yang
bersumber dari aktiviras wawancara, pengamatan berupa dokumentasi tidak tertulis (gambar, foto,
video) maupun dokumen yang tertulis. Selain itu dalam penelitian kualitatif tidak memiliki aturan
abslout dalam mengelolah data yang telah diperoleh tersebut. Hal ini merupakan motivasi peneliti
untuk memperoleh jawaban agar dapat dianalisis.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah sudut pandang aktivitas manajemen akuntansi
terhadap upacara adat belis apakah dalam upacara tersebut terdapat unsur-unsur atau peran
akuntansi yang berkembang dalam sebuah kebudayaan lokal. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan informan dari masyarakat Kabupaten Sikka. Informan tersebut merupakan pelaku
yang sudah pernah mengikuti upacara tersebut ataupun yang belum mengikuti atau menjadi bagian
dari tradisi tersebut