Anda di halaman 1dari 14

PROPOSAL

RISET AKUNTANSI MANAJEMEN


‘ACTIVITY BASED MANAGEMENT DALAM EXPENSE AND PRICE
“BELIS” WOMEN OF NTT (SIKKA)”

OLEH :
GRACELA PINKAN ANTOU
2081611010

PROGRAM STUDI MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
2021
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan Negara yang memiliki berbagai macam suku,agama,ras,dan
adat istiadat, dimana setiap daerahnya memiliki ciri khasnya tersendiri yang sampai saat
ini masih melekat. Dalam kaitannya dengan akuntansi, budaya merupakan faktor
lingkungan paling kuat yang mempengaruhi aktivitas akuntansi suatu negara. Salah
satunya yaitu budaya perkawinan. Pada umumnya, perkawinan di indonesia dipengaruhi
oleh bentuk budaya dan sistem adat setempat yang berkaitan dengan susunan masyarakat
atau keluarga yang mempertahankan tradisi tertentu. Proses perkawinan pada tiap-tiap
daerah selalu menjadi hal yang sangat menarik untuk dibahas, baik dari segi latar
belakang budaya perkawinan maupun dari segi kompleksitas perkawinan itu sendiri.
Flores merupakan salah satu pulau yang berada di Provinsi NTT yang meskipun
zaman telah berkembang, namun kebiasaan yang dianut masyarakat masih tetap terjalin,
salah satunya perkawinan adat yaitu tradisi antar “belis”. Adat sangat mendominasi dalam
sebuah proses perkawinan, salah satunya dalam hal pemberian “belis” di Pulau Flores
Kabupaten Sikka, Khususnya Kota Maumere. Dalam kehidupan keseharian pelapisan
sosial yang memandang wanita sebagai sentral kehidupan masyarakat dan tinggi nilainya.
Karena itu, meski masyarakat menilai seorang wanita tidak secara material, mereka tetap
mencari materi pembandingan dalam bentuk “belis”.
Belis (harga pengantin) atau lebih dikenal dengan “mas kawin” dalam pernikahan
masyarakat NTT, khususnya kabupaten Sikka merupakan suatu penghargaan kepada
kaum wanita. Penetapan penentuan belis di Sikka dimulai sejak zaman kerajaan sekitar
abad ke-16, saat Kerajaan sikka dipimpin oleh kedua Ratu yaitu Dona Maria dan Dona
Inez. Dalam adat budaya Sikka, ‘belis’ merupakan pemberian yang harus dilakukan pihak
pengantin pria kepada keluarga pengantin wanita dalam bentuk barang seperti uang,
emas, gading gajah, dan kuda yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan pembicaraan
kedua keluarga besar. Besarnya belis ditentukan oleh beberapa factor seperti jenjang
pendidikan, kedudukan dalam keluarga, latar belakang keluarga, dan pekerjaan. Namun,
belis yang ditentukan pihak perempuan tersebut bisa ditawar oleh pihal laki-laki yang
disebut sebagai delegasi adat hingga memperoleh suatu kesepakatan.
Adapun permasalahan dari “belis” tersebut, meski bertujuan mulia untuk
mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, namun “belis” dapat juga menjadi
sumber persoalan dalam rumah tangga yang pada akhirnya dapat melahirkan kekerasan
terhadap perempuan. Hal ini terjadi bila tuntutan belis yang terlampau tinggi melampaui
kemampuan finansial seorang laki-laki dan keluarganya. Selain itu, “belis” yang mahal
akan berdampak pada beban psikologis seorang laki-laki untuk menikahi perempuan dari
strata sosial yang tinggi sehingga banyak perempuan yang pada akhirnya tidak menikah
karena faktor “belis” yang terlalu tinggi, hamil diluar nikah, banyak yang menikah dengan
suku luar, belis juga telah menjadi penyebab seorang suami menelantarkan isteri dan
anak-anaknya, dan dapat membebani ekonomi keluarga. Jika sang calon suami belum
atau tidak sanggup membayar “belis” dengan lunas maka sang calon suami boleh
berhutang kepada calon istri sampai menjadi suami-istri yang sah hutang tersebut tetap
berlaku sampai suami bisa melunasinya. Apabila suami meninggal sebelum selesai
membayar “belis” tersebut maka belis tetap berlanjut dan yang menggantikan
pembayaran “belis” tersebut adalah keluarga si suami bisa juga keturunannya si suami.
Jika di tengah waktu pelunasan hutang belis si suami tidak bisa membayar atau tidak
sanggup membayar maka sang istri akan ditarik kembali oleh pihak keluarga istri.
Nilai seorang perempuan sangat penting sehingga seorang pria dituntut agar
memberikan barang dan jasa yang dapat bermanfaat dan berkualitas. Untuk memperbaiki
berbagai proses aktivitas terkait masalah diatas, perwujudan manajemen biaya
berdasarkan aktivitas dapat menjadi kunci kebehasilan dalam budaya lingkungan yang
berkelanjutan. Perwujudan dari aktivitas tersebut merupakan hal penting dalam perbaikan
perhitungan biaya dan pengendalian yang lebih baik yang mengarah pada pandangan baru
atas proses yang disebut juga dengan manajemen berdasarkan manajemen aktivitas.
1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, rumusan masalah dalam pernelitian ini sebagai berikut:

1. bagaimana penerapan akuntansi ( activity based manajemen ) dalam penentuan


harga belis perempuan NTT Khususnya Kabupaten Sikka.
2. Bagaimana analisis nilai proses serta perhitungan biaya berdasarkan aktivitas
tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur sosial, budaya, dan ekonomi
di NTT khususnya kabupaten Sikka dengan memasukkan penerapan konsep akuntansi dalam
kegiatan Belis dan untuk mengetahui aktivitas Belis yang dapat mempengaruhi adat kabupaten
Sikka serta nilai proses perhitungan biaya berdasarkan aktivitas yang terjadi dalam latar
belakang masalah.

1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teori
Manfaat dari penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi mengenai tradisi adat
istiadat perkawinan di Kabupaten Sikka yaitu ‘belis’ yang dihubungkan dengan
penerapan Activity Based Managemen
2. Manfaat Praktek
Dapat digunakan sebagai bahan referensi bagi pembaca dalam mencari informasi
tentang belis di kabupaten Sikka.
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori


Teori memegang peran yang sangat penting dalam penelitian. Menurut Scwandt
(2003) teori membimbing dan menolong para peneliti untuk memahami dan menganalisis
sebuah fenomena yang terjadi. Secara etimologis, istilah fenomena berasal dari kata
Yunani: phaenasthai, artinya memunculkan, meninggalkan, menunjukkan dirinya sendiri.
Objek yang muncul dalam kesadaran berbaur dengan objek yang ada secara alamiah,
sehingga makna diciptakan dan pengetahuan dikembangkan. Suatu hubungan berada
antara yang ada dalam kesadaran yang didasari dan apa yang berada didalam dunia.
Fenomena adalah suatu tampilan objek peristiwa dalam persepsi, bisa berupa hasil rekaman
atau kenyataan. Menurut Moustakes (1994:26), fenomena merupakan apa saja yang
muncul dalam kesadaran. Fenomena dalam konsepsi Huesserl, adalah realitas tampak,
tanpa selung atau tirai antara manusia dan realita itu sendiri kepada manusia. Sementara
itu, dalam mengahadapi fenomena itu manusia melibatkan kesadarannya, dan kesadaran
selalu berarti kesadaran akan sesuatu (realitas).
Berdasarkan berbagai pengalaman penampakan secara visual, audio dan beberapa
penuturan dari orang tua,saudara, kenalan, fenomena antar “Belis” di NTT khususnya
Kabupaten Sikka memiliki beberapa perilaku yang berkaitan erat dengan prinsip dasar
akuntansi secara umum, baik dalam perilaku pengeluaran biaya, penerimaan pendapatan,
dan perilaku hutang dan membayar hutang walaupun bukan sebagai organisasi untuk
mendapatkan laba atau keuntungan. Sebagai gejala dalam dunia sosial sehingga bisa
dijadikan sebuah tulisan yang sesuai dengan fakta dan data yang telah dikumpulkan dan
diolah kemudian di definisikan secara terstruktur sehingga dapat memudahkan pembaca
untuk memahami isi dan tujuan dari penelitian ini.

2.2 Akuntansi Manajemen /Manajerial


Dalam suatu wilayah Negara, Akuntansi dirancang dan dikembangkan dengan sengaja
untuk mencapai tujuan social tertentu. Akuntansi memiliki pengertian yang beraneka
ragam dari sudut pandang masing-masing ahli yang membedakan definisi dari akuntansi
tersebut. Akuntansi merupakan manajemen dasar dalam urusan ekonomi yang
memengaruhi pengembangan sistematis dan analisis informasi tentang ekonomi suatu
organisasi yaitu bagaimana bisnis mencatat, mengatur, dan memahami informasi
keuangannya.
Menurut Wikipedia, akuntansi manajemen merupakan sistem akuntansi yang berkaitan
dengan ketentuan dan penggunaan informasi akuntansi untuk manajemen dalam suatu
organisasi untuk memberikan dasar kepada manajemen dalam membuat keputusan.
Akuntansi manajemen berintikan akuntansi biaya yang dikembangkan di USA pada akhir
abad ke-19 dan permulaan abad ke-20. Pada tahun 1980an sampai1990an, praktik
akuntansi manajemen menyatakan bahwa system akuntansi manajemen yang ada sudah
using sehingga dibutuhkan pengembangan praktik informasi akuntansi manajemen yang
inovatif dan relevan. Oleh karena itu, system manajemen akuntansi memunculkan trend
yang menyebabkan prubahan dalam akuntansi manajemen, antara lain ;
a. Kemajuan Teknologi infomasi
b. Implementasi Just-in time (JIT) manufacturing
c. Meningkatnya tuntutan mutu
d. Meningkatnya diversifikasi dan kompleksitas produk
e. Diperkenalkannya Computer Integrated Manufacturing (CIM.

Lingkungan Ekonomi telah mensyaratkan pengembangan praktik akuntansi manajemen


yang inovatif dan relevan dengan konsekuensinya yaitu activity based manajement banyak
dikembangkan dengan diimplementasikan oleh organisasi agar memungkinkan dalam
melayani kebutuhan pelanggan.

2.3 Activity Based Management

2.3.1 Pengertian ABM

Activity Based Management (ABM) atau manajemen berdasarkan aktivitas adalah


pendekatan yang luas dan terpadu yang memfokuskan perhatian manajemen pada aktivitas
dengan tujuan perbaikan nilai pelanggan dan laba yang dicapai dengan menyediakan nilai ini
(Hansen dan Mowen, 2004 : 487). Menurut Mulyadi (2001; 614), manajemen berbasis aktivitas
adalah pendekatan pengelolaan terpadu dan bersistem terhadap aktivitas dengan tujuan untuk
meningkatkan customer value dan laba yang dicapai dari penyediaan value tersebut.

Sedangkan menurut Supriyono (1999; 354), manajemen berbasis aktivitas (MBA) adalah
suatu disiplin (sistem yang luas dan pendekatan yang terintegrasi) yang memusatkan perhatian
manajemen pada aktivitas – aktivitas dengan tujuan untuk meningkatkan nilai yang diterima
oleh konsumen dan laba yang diperoleh dari penyediaan nilai tersebut. Dari definisi – definisi
di atas, dapat diketahui bahwa ABM merupakan manajemen berbasis aktivitas yang berfokus
pada kepengelolaan secara terpadu dan bersistem pada aktivitas yang bertujuan untuk
peningkatan dan perbaikan nilai customer dan laba

ABM bertujuan untuk meningkatkan customer value secara berkelanjutan dan


penghilangan pemborosan. Dengan hilangnya pemborosan, biaya dapat berkurang, sehingga
laba akan meningkat. Pemborosan diakibatkan oleh adanya aktivitas bukan penambah nilai dan
aktivitas penambah nilai yang tidak dilaksanakan secara efisien. Dengan demikian, fokus ABM
adalah penyebab terjadinya biaya itu sendiri, yaitu dengan menghilangkan aktivitas bukan
penambah nilai dan memperbaiki aktivitas penambah nilai yang akibatnya adalah menurunkan
biaya dan meningkatkan laba.

2.3.2 Dimensi ABM

Manajemen berdasarkan aktivitas meliputi penghitungan biaya produk atau Activity Based
Costing (ABC) dan analisis nilai proses atau Process Value Analysis (PVA). Jadi, model
manajemen berdasarkan aktivitas memiliki dua dimensi: dimensi biaya dan dimensi proses.
Dimensi biaya memberikan informasi biaya mengenai sumber daya, aktivitas, produk dan
pelanggan (dan objek biaya lainnya yang diperlukan). Tujuan dimensi biaya untuk memperbaiki
keakuratan pembebanan biaya. Sebagaimana disebutkan pada model tersebut, sumber biaya
ditelusuri pada aktivitas, dan kemudian biaya aktivitas dibebankan pada produk dan pelanggan.
Dimensi penghitungan biaya berdasarkan aktivitas berguna untuk penghitungan biaya produk,
manajemen biaya strategis, dan analisis taktis. Dimensi kedua, dimensi proses, memberikan
informasi tentang aktivitas apa yang dikerjakan, mengapa dikerjakan, dan seberapa baik
dikerjakannya. Dimensi inilah yang memberikan kemampuan untuk berhubungan dan
mengukur perbaikan berkelanjutan (Hansen dan Moven, 2004: 487)
2.3.3 Tujuan dan Manfaat ABM

Tujuan ABM adalah untuk meningkatkan nilai produk atau jasa yang diserahkan ke
konsumen. Oleh karena itu, dapat digunakan untuk mencapai laba ekstra dengan menyediakan
nilai tambah bagi konsumennya. ABM memusatkan pada akuntabilitas aktivitas – aktivitas dan
bukan pada biaya, ABM menekankan pada maksimalisasi kinerja secara luas daripada kinerja
individual. Manfaat ABM menurut Supriyono (Supriyono, 1999: 356) adalah :

a. Mengukur kinerja keuangan dan pengoperasian (non keuangan) organisasi dan aktivitas
b. Menentukan biaya – biaya dan profitabilitas yang benar untuk setiap tipe produk dan
jasa.
c. Mengidentifikasikan aktivitas – aktivitas bernilai tambah dan tidak bernilai tambah.
d. Mengelompokkan aktivitas dan mengendalikannya.
e. Mengefisiensikan aktivitas bernilai tambah dan mengeliminasi aktivitas-aktivitas tak
bernilai tambah.
f. Menjamin bahwa pembuatan keputusan, perencanaan, dan pengendalian didasarkan
pada isu – isu bisnis yang luar dan tidak semata berdasarkan pada informasi keuangan.
g. Menilai penciptaan rangkaian nilai tambah untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasaan
konsumen

2.4 Akuntansi dan Biaya

Pelaporan keuangan yang berlaku disuatu Negara biasanya ditentukan melalui aturan
pemerintah, atau badan swasta lain yang berwenang. Aturan pelaporan keuangan tersebut adalah
standar akuntansi dan di Indonesia adalah Standar Akuntasi Keuangan (SAK) yang ditetapkan oleh
organisasi profesi akuntansi yaitu Ikatan Akuntan Indonesia (IAI). Dalam sebuah penelitian yang
telah dilakukan akuntansi merupakan bagian yang lebih besar, dan dikelilingi oleh sistem sosial,
yang lain seperti hukum, sistem keuangan, yang berinteraksi juga dengan sistem akuntansi. Budaya
juga tidak dianggap sebagai system terpisah yang mempengaruhi system akuntansi, melainkan
sistem akuntansi merupakan bagian dari budaya (Risqy Fadlihina Putri:2019)

Kemunculan akuntansi yang dipraktikan disuatu wilayah selalu dikembangkan secara


sengaja untuk mencapai tujuan social tertentu. Dalam kenyataanya faktor lingkungan selalu
membentuk prakmatis akuntansi yang dijalankan, sehingga praktik akuntansi akan mengalami
perkembangan dan sejarah yang unik seiring dengan perkembangan social, budaya, ekonomi, dan
politik. Salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk fisik praktik akuntansi yang
jarang dipikirkan oleh kita adalah factor budaya lokal dan agama. Budaya lokal dan agama suatu
wilayah akan memberikan gaya praktik akuntansi yang sedang berjalan. Gagasan yang muncul
dibalik praktik akuntansi yang dipengaruhi oleh budaya lokal suatu wilayah jelas akan berbeda
dengan praktik akuntansi yang dipengaruhi oleh budaya local wilayah lain (Zulfikar, 2008 : 7).

2.5 Biaya ( Cost )

Biaya dalam arti luas adalah pengorbanan sumber ekonomis, yang diukur dalam satuan
uang, telah terjadi atau kemungkinan akan terjadi untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam
melaksanakan tanggung jawab perencanaan dan pengendalian manajemen membutuhkan
pemahaman akan arti biaya terminology yang berkaitan dengan biaya.

Menurut Hansen dan Mowen (1999), yang diterjemahkan oleh Hermawan, A.A. Biaya dalah kas
atau equivalen kas yang dikorbankan untuk mendapat barang atau jasa yang diharapkan memberi
manfaat saat ini atau yang akan datang bagi organisasi (www.dictio.id). Biaya merupakan lawan
atau pengurang pendapatan (Belakaoui 20006; suwardjono 2010). Biaya juga merupakan
pengorbanan yang diukur dalam bentuk moneter, penurunan aset atau penurunan manfaat ekonomi
yang mengakibatkan penurunan ekuitas periode tertentu (Grady 1965, Suwardjono 2010).

2.6 Belis

2.6.1 Belis dalam Perspektif Normatif

Belis dalam istilah yang paling sederhana diartikan sebagai mahar, yaitu sejumlah uang,
hewan, dan barang yang diberikan oleh keluarga mempelai pria kepada pihak mempelai wanita
sebagai syarat pengesahan perkawinan. Pesta adat yang mewajibkan belis didasarkan pada alasan
karena pengantin wanita akan menjadi bagian dari suami suku atau klan. Pengantin wanita benar-
benar meninggalkan orang tua dan keluarganya untuk masuk ke dalam bagian dari suku suaminya.
Karena perpindahan suku, mempelai laki-laki adalah diharuskan membayar sejumlah hewan atau
uang atau barang (gading, kain adat, perkakas dari emas dan lain-lain) kepada keluarga pengantin
wanita. Setiap daerah di NTT memiliki bentuk belis yang bervariasi, mulai dari uang, ternak,
hingga barang-barang lain yang dianggap layak untuk menghormati gadis itu.
Belis pada dasarnya mencerminkan nilai simbolis. Prioritasnya bukanlah jumlah nominal
uang, barang dan hewan yang diberikan, tetapi interaksi keluarga dan penghargaan timbal balik
antara pengantin pria keluarga dan pengantin dan pernikahan antara keduanya. Dalam masyarakat
NTT, pernikahan bukan hanya sekedar masalah dua pasangan. Ini urusan keluarga besar (extended
family). Perkawinan tidak hanya mengikat hubungan seseorang dengan pasangannya tetapi juga
hubungan antara satu keluarga dan suku dengan yang lain.

Dalam masyarakat daerah Sikka ada Ungkapan yang sangat jelas menggambarkan
kesatuan antara dua keluarga pengantin yaitu, “ Ea Daa Ribang, Nopok, Tinu daa koli tokar ” yang
artinya “hubungan kekerabatan kedua belah pihak akan langgeng selamanya dengan saling
memberi dan menerima secara turun temurun”. Dengan demikian, Belis adalah simbol persatuan
antara dua suku dan keluarga yang berbeda. Tidak hanya persatuan antara suami dan istri tetapi
juga antara dua keluarga besar, dua suku atau klan. Dengan serah terima memberi dan menerima
belis , kedua keluarga suku dan keluarga resmi memiliki hubungan kekerabatan.

2.6.2 Belis dalam Realitas Praktis

Setelah dideskripsikan secara singkat sisi normatif dari adat yang mempraktekkan belis ,
bagaimana norma belis tampaknya lahir dalam situasi kekinian masyarakat NTT yang akan
dihadirkan. Seiring waktu berubah dan kesadaran masyarakat berkembang, ada distorsi mendasar
di dalam adat kebiasaan mengamalkan mahar berdasarkan nilai dan makna luhur. Sisi diskriminatif
tampaknya semakin radikal. “Teori” menegaskan bahwa belis adalah bentuk penghormatan
terhadap perempuan dan hubungan keluarga dan nilai-nilai keluhuran perkawinan; namun, dalam
kenyataannya terjadi berbeda. secara tidak langsung menyiratkan kontestasi harga diri pria karena
komodifikasi perempuan. Akibatnya, perempuan dan hak-hak mereka di negara-negara baru
didirikan keluarga mengalami pelecehan bertingkat.

Budaya patriarki yang dianut masyarakat NTT memandang perempuan dan belis sebagai
objek kontestasi mutlak untuk harga diri pria. Substansi sebenarnya adalah pola pikir dan
mentalitas yang telah ditanamkan begitu lama menciptakan perasaan konsekuensial bahwa jika
seseorang tidak mampu membayar dengan jumlah bahan sebagai belis maka secara sosial mereka
akan merasakan harga diri mereka turun dan pada tingkat tertentu tingkat praktek bisa adat
dikucilkan. Keluarga malah akan merasa kurang bermartabat ketika belis untuk putri mereka,
saudara perempuan atau keponakan tidak sesuai dengan yang diharapkan atau ditentukan oleh
keluarga pengantin pria. Standar itu bukan hanya tentang martabat perempuan, tetapi juga
keluarga.

Dalam hal memberi dan menerima belis , masyarakat NTT biasanya sangat sensitif. Jika
keluarga mempelai wanita yaitu tidak menunjukkan kerendahan hati saat berunding, belis senilai
puluhan bahkan ratusan jutaan tidak akan turun. Belis seolah-olah menjadi kewajiban yang harus
dipenuhi oleh seorang laki-laki dan istrinya keluarga. Semakin tinggi status sosial keluarga seorang
wanita maka belis yang dibayar pasti semakin mahal juga. Namun, semahal harga belis,pihak
keluarga mempelai pria rela menyediakannya (bahkan entah bagaimana mereka harus berhutang)
demi menghadirkannya untuk keluarga pengantin wanita.

Dalam kehidupan sehari-hari, belis dimanfaatkan untuk urusan adat istiadat yang dapat
dinyatakan sebagai berikut: Pertama, hewan yang diberikan dipakai untuk memenuhi kebutuhan
keluarga besarnya. Misalnya, kuda yang dibawa dan dipelihara ataupun dijual. Kenyataan juga
memperlihatkan bahwa tak jarang, hewan yang dibawa jual untuk memenuhi kebutuhan keuangan
dari acara perkawinan. Kedua, uangnya dipakai untuk menyelesaikan urusan perkawinan yakni
seremoni adat dan perayaan persta perkawinan (konsumsi, tenaga kerja, gedung, dekorasi, music,
dll).

2.7 Kerangka Berpikir

Fenomena yang sangat menarik yaitu muncul anggapan dalam diri kaum muda bahwa belis
ini muncul akibat dari kesepakatan penentuan harga. Budaya belis ini bersifat sangat transaksional
antara keluarga pria dan keluarga wanita (Rahayu & Yudi, 2015). Pemahaman masyarakat
Kabupaten Sikka dalam tradisi penetapan harga belis menciptakan cara pandang yang berbeda
dalam memaknai biaya dan melakukan penetapan harga yang dibayarkan dalam belis, karena
terdapat beberapa unsur self-esteem yang berarti sesuai dengan akuntansi, harga merupakan suatu
interaksi masyarakat antara penjual dan konsumen (Ebere, 2016), (Hardesty et al., 2012),
(Malinowski, 2016), dan (Zuryani, 2016), tetapi fenomena yang terjadi, belis memiliki proses
penetapan harga sendiri yang sangat berbeda dengan proses penetapan harga di akuntansi, karena
terdapat berbagai unsur-unsur yang tidak bisa di nilai dengan angka. Sesuai dengan fenomena
tersebut, peneliti tertarik untuk menganalisis fenomena proses penetapan harga belis budaya
perkawinan di kab Sikka

Teori Fenomenology Mengidentifikasi Mengembangkan dan


(mengumpulkan norma ( masyarakat menjelaskan bagaimana
semua data ) Kab. Sikka ) fenomena itu terjadi

Analisis Data

Kesimpulan Hasil Penelitian


BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Rancangan Penelitian
Dalam penelitian ini didasarkan pada teori fenomologi yang merupakan penelitian yang
berfokus pada pengalaman praktis, pengalaman subjektif, serta kondisi-kondisi social dari
pengelaman tersebut. Penelitian ini meliputi tentang fenomena yang ada di lingkungan sekitar dan
pengumpulan data dilakukan dengan wawancara kepada informan yang telah ditentukan yaitu
masyarakat adat kabupaten Sikka. Lingkungan riset dari penelitian ini adalah lingkungan rill
dengan menentukan unit analisisnya yaitu individu dari setiap infroman yang akan diteliti.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang merupakan suatu cara yang
digunakan untuk menjawab masalah penelitian yang berkaitan dengan data berupa narasi yang
bersumber dari aktiviras wawancara, pengamatan berupa dokumentasi tidak tertulis (gambar, foto,
video) maupun dokumen yang tertulis. Selain itu dalam penelitian kualitatif tidak memiliki aturan
abslout dalam mengelolah data yang telah diperoleh tersebut. Hal ini merupakan motivasi peneliti
untuk memperoleh jawaban agar dapat dianalisis.

3.2 Metode Pengumpulan Data


Dalam penelitian jenis data yang digunakan adalah data primer. Data primer yang
merupakan data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dan data tersebut didapatkan dari
setiap individu tertentu yang telah ditentukan sesuai dengan kriteria peneliti dalam melakukan
sebuah penelitian yang mendalam.

Dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penearapan akuntansi manajemen


aktivitas dalam upacara adat perkawinan masayarakat Kabupaten Sikka dengan sampelnya yaitu
masyarakat Kab. Sikka yang sudah menikah maupun yang belum menikah, maka dari itu peneliti
melakukan penelitian secara langsung di Kabupaten Sikka.

3.3 Unit Analisis

Unit analisis dalam penelitian ini adalah sudut pandang aktivitas manajemen akuntansi
terhadap upacara adat belis apakah dalam upacara tersebut terdapat unsur-unsur atau peran
akuntansi yang berkembang dalam sebuah kebudayaan lokal. Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan informan dari masyarakat Kabupaten Sikka. Informan tersebut merupakan pelaku
yang sudah pernah mengikuti upacara tersebut ataupun yang belum mengikuti atau menjadi bagian
dari tradisi tersebut

Anda mungkin juga menyukai