Penyusun:
Perbankan Syariah
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammdiyah Prof.DR.HAMKA
Daftar Isi
Pendahuluan........................................................................................................2
Akutansi Syariah.................................................................................................15
Kesimpulan........................................................................................................25
Daftar Pustaka...................................................................................................26
Seorang guru besar Amerika menulis dalam sebuah bukunya: “.. the
introduction of Arabic Numerical greatly facilitated the growth of accounting ”,
Pernyataan ini menunjukan bahwa Islam lahir dikawasan Arab telah banyak
memberikan sumbangan bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi,
walaupun itu hanya berupa notasi angka yang dikenal dengan angka Arab, seperti
angka 1,2,3 dan seterusnya yang kita kenal saat ini. Angka-angka tersebut sangat
penting bagi oprasional aktivitas kehidupan umat manusia, seperti aktifitas
penjuralan atau akutansi.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akutansi Perbankan
Syariah dengan judul “Sejarah Akutansi Syariah”.
Double entry mucul pada abad ke 13 dikarenakan oleh penyajian pada priode
sebelumnya tidak selengkap dengan yang terjadi pada masa itu. Littleton mengakui
bahwa dobuble entry muncul ke permukaan karena waktu itu dapat dipenuhi
persyaratannya yaitu persyaratan yang berkaitan dengan masalah ‘materi’ dan
‘bahasa’.2 Persyaratan materi mencakup pribadi, modal, perdagangan dan kredit.
Sementara persyaratan bahasa, berkaitan dengan tulisan, uang, dan perhitungan.
Akan tetapi kedua persyaratan tersebut telah dipenuhi secara baik, namun
keduanya tidak dapat menjamin percepatan pertumbuhan double entry pada masa
itu. Dapat dikatakan bahwa double entry telah gagal untuk menjadi suatu hal yang
penting pada masanya. Hal ini disebabkan karena energy dan isensitas yang
diperlukan masih kurang.
1
Shawki Ismail Sheata, The Theoritical Framework for Accounting in Islamic Banks; Analysis and Diagnosis, hal.
1-2.
2
Dalam Sofyan Syafri Harahap, Akutansi, Pengawasan dan Manajemen dalam Islam, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti, 1992, hal. 22.
3
Sofyan Syafiri Harahap, Akutansi, Pengawasan dan Manajemen dalam Islam, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti, 1992, hal. 28-29.
Ciri utama dari era informasi dan globalisasi adalah adanya kecenderungan
untuk melakukan harmonisasi sesuatu. Misalnya dalam hal pengetahuan dan praktik
akutansi, maka upaya harmonisasi praktik-praktik akutansi dijalankan. Hal ini berarti
adanya kehendak untuk memberlakukan praktik-praktik tertentu, termasuk praktik
akutansi secara seragam.
Kemudian sejak tahun 1980-an mulai ada perhatian yang kuat dari para
peneliti akutansi dalam upaya memahami akutansi dalam pengertian yang lebih
luas.4 Misalnya dalam konteks sosial dan organisasi. Perhatian ini muncul karena
selama beberapa kurun waktu yang lalu, akutansi secara tradisional telah dipahami
dan diajarkan sebagai seperangkat prosedur rasional yang digunakan untuk
4
Iwan Triyuwono, Ibid
Islam sebagai suatu ideology, masyarakat dan ajaran, tentunya sangat sarat
dengan nilai. Dengan demikian, bangunan akutansi yang berlaku dalam masyarakat
Islam tentunya harus menyesuaikan diri dengan karakteristik Islam itu sendiri.
Namun perlu diketahui bahwa unversalitas ajaran Islam tentunya dapat dijadikan
acuan secara menyeluruh bagi semua kelompok masyarakat, baik Timur maupun
Barat, Islam maupun Non-Islam.
Kesempatan bagi akuntan lokal (Indoenesia) mulai muncul pada tahun 1942-
1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanya ada
1. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban merupakan konsep yang tidak asing dikalangan
masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep
amanah. Bagi seorang Muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi
manusia dengan sang Khaliq mulai dari alam kandungan. Manusia diciptakan
oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Manusia dibebani amanah oleh
Allah untuk menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahannya. Inti kekhalifahan
adalah menjalankan atau menunaikan amanah.
2. Prinsip Keadilan
Jika ditafsirkan lebih lanjut, ayat 282 surat Al Baqarah mengandung prinsip
keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan
nilai yang sangat penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, akan tetapi
manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energy untuk berbuat adil
dalam setiap aspek kehidupannya.
3. Prinsip Kebenaran
Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip
keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akutansi kita akan selalu
dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran dan pelaporan. Aktivitas
ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai
kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan keadilan dalam mengakui,
mengukur dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi.
Kebenaran di dalam Al Qur’an tidak diperbolehkan untuk dicampur adukan
dengan kebathilan.9
‘Ilmu ekonomi sangat erat kaitannya dengan ideology, sedangkan di pihak yang lain,
melalui operasi perusahan-perusahaan kapitalistik ia tidak mungkin dapat dipisahkan
dari akutansi. Dengan demikian, dalam rangka menelusuri hubungan antara akutansi
dan ideology, ilmu ekonomi dan perusahaan-perusaahan kapitalistik dapat dianggap
memainkan peranan sebagai perantara. Artinya bila akutansi dan ideology memiliki
kaitan satu sama lain, maka kaitan itu mestinya dapat dilacak dengan mengkaji ilmu
ekonomi dan perusahaan kapitalistik.’ 10
Oleh karena itu dua decade belakangan ini, upaya pembahasan kaitan
akutansi dengan ideology mulai bermunculan. Hal ini terbukti anggapan tentang
akutansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-free),
menurut Triyuwono ‘pada akhir tahun 1970-an sdah mulai digoyang
keberadaannya.’11 Anggapan tersebut sejak lama mendominasi sebagian besar
akuntan dan peneliti di bidang akutansi. Keadaan semacam ini semakin dikuatkan
karena kecendrungan prilaku masyarakat yang terbawa oleh arus era informasi dan
globalisasi. Ciri utama dari era informasi dan globalisasi adalah adanya
kecenderungan untuk melakukan harmonisasi sesuatu. Misalnya dalam hal
pengetahuan dan praktik akutansi, maka upaya harmonisasi praktik-praktik akutansi
dijalankan. Hal ini berarti adanya kehendak untuk memberlakukan praktik-praktik
tertentu, termasuk praktik akutansi secara seragam.
10
Revrisond Baswier, Akutansi dan Ideologi, Kerta Kerja pada Seminar Nasional Harteknas, Yogyakarta, tanggal
17 Desember 1968, hal. 1-2.
11
Iwan Triyuwono, Organisasi, Akutansi dan Spritualisme Islam, Makalah Stadium General Mahsiswa Syari’ah
Banking Institute Yogyakarta, tanggal 28 September 1996, hal. 12.
10 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Kondisi Objektif Lahirnya Paradigma Akutansi Syariah
Lahirnya akutansi syariah sekaligus sebagai paradigm baru sangat terkait
dengan kondisi objektif yang melingkupi umat Islam secara khusus dan masyarakat
dunia secara umum. Kondisi tersebut meliputi: norma agama, kontribusi umat Islam
pada masa lalu, sistem ekonomi kapiotalis yang berlaku, dan perkembangan
pemikiran.
Norma Agama
Ajaran normative agama sejak awal keberadaan Islam telah memberikan
persuasi normative bagi para pemeluknya untuk melaksanakan pencatatan
atas segala transaksi dengan benar/adil sebagaimana yang di firmankan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 282.
Di dalam ayat tersebut memberikan dorongan kuat bagi umat Islam untuk
menggunakan akutansi dalam setiap bisnis dan transaksi yang dilakukannya.
Disamping itu juga ada ayat-ayat lain tentang kewajiban membayar zakat
yaitu dalam QS Al-Taubah [9]:103.
Tradisi Islam dengan ayat ayat yang telah disebutkan mampu menciptakan
budaya akutansi pada tingkat negara maupun individu. Sehubungan dengan
ini Zaid (1996: 88) menegaskan bahwa perkembangan catatan dan laporab
akutansi di dunia Muslim pada masa lalu banyak terkait dengan negara yang
telah menetapkan kantor-kantor pemerintah yang terspealisasi, identifikasi
spesialisasi keterampilan pemisah tugas (dan wewenang) dan kebutuhan
pegawai.
11 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Abasiyah 132-232 H ( 750-847 M). contoh buku akutansi pada masa
Abasiyah misalnya adalah: Jurnal Pengeluaran (Jaridah
Annafakat/Expenditure Journal), Jurnal Dana (Jaridah al-Mal/Funds Journal),
dan Jurnal Dana Sitaan (Jaridah al-Musadariin/ Confiscated Funds Journal),
sedangkan bentuk laporan akutansi dikenal dengan nama al-Khitmah
(Zaid,1996: 90-1).
12 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
dibidang aljabar, kedokteran , astronomi, produksi barang mewah dan teknik
perdagangan telah begitu maju.
Keberadaan kapitalisme semakin kuat dan bisa bertahan dalam waktu yang
panjang karena mampu melakukan akomodasi, adaptasi dan adopsi, terhadap
pemikiran-pemikiran yang berada diluar dirinnya sendiri. Kapitalisme selalu
mengalami metamorfosa untuk mencerahkan dirinya dengan tampilan baru
yang adaptif, sesuai dengan zamannya, dan diterima oleh masyarakat luas.
13 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
hedonis. Pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dan akutansi syariah, misalnya
merupakan pemicu untuk melakujkan perubahan dan pembebasan.
Perkembangan Pemikiran
Menurut Ismail al-Faruqi, dengan Islamisasi ilmu pengetahuannya seolah
menggoyang tidur-lelapnya umat Islam untuk bangun mengontruksi ilmu
pengetahuan berdasarkan jiwa tauhid. Instrument penyebar ide Islamisasi
ilmu pengetahuan ini didirikan di Herndon, Amerika Serikat yang dikenal
dengan International Institute of Islamic Thought (IIIT). Lembaga ini
akhirnya menyebar ke beberpa negara Islam lainnya seperti Pakistan, Arab
Saudi, Iran, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia lembaga ini didirikan
sebagai cabang yang independent dengan nama International Institute of
Islamic Thought-Indonesia(IIIT-I) pada November 1999.
14 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan dan pengembangan terakhir
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008. UU ini mempunyai
pengaruh yang besar bagi praktik perbankan syariah di Indonesia. Ketiga,
beberapa lapisan masyarakat sangat mendukung dan bahkan merupakan
pioneer bagi berdirinya bank syaraiah, seperti pelopor berdirinya BPR-BPR
syariah di Bandung dan Bank Muamalat Indonesia di Jakarta sebelum 1992.
15 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Akutansi Syariah
Istilah Akutansi Syariah sebetulnya berawal dari disertasi PhD penulis
yang berjudul Shari’ate Organization and Accounting : The Reflection of Self’s
Faith and Knowledge tahun 1995 di University of Wollongong, Australia.
Disertasi ini kemudian diterjemahkan kebahasa Indonesia dengan judul
Organisasi dan Akutansi Syariah yang diterbitkan tahun 2000 di Yogyakarta
oleh LKiS. Di Indonesia, istilah tersebut muncul pada pertengahan 1997 ketika
Harian Republika mengekspos penulis dengan topic pembicaraan akutansi
syariah. Sejak saat itu wacana akutansi syariah mulai ada dan berkembang di
Indonesia.
Pada tahap awal, istilah Akutansi Syariah merupakan pemicu bagi
lahirnya akutansi syariah pada tingkat wacana (discourse). Dan ini ternyata
mempunyai dampak yang sangat positif. Beberapa tulisan dengan tema ini
telah muncul dalam bentuk artikel, seminar, konferensi Internasional, buku,
skripsi, tesis, dan disertasi dari beberapa mahasiswa dari Universitas
Muhammdiyah Malang dan Universitas lain-lainnya.
Pada tatanan konsep, akutansi syariah merupakan sebuah wacana
yang bisa digunakan untuk berbagi ide, konsep dan pemikiran tentang
akutansi syariah itu sendiri. Wacana tersebut dapat seterusnya berada pada
tatanan konsep, tetapi bisa juga diturunkan ke tatanan yang lebih praktis.
Yang pertama, cenderung untuk mengembangkan akutansi syariah sebagai
kajian filisofis-teoritis yang member paying untuk derivasi konkret dalam
bentuk praktik. Sedangkan yang kedua lebih menekankan pada bentuk
praktik dan kebutuhan pragmatis.
Jika Akutansi dilahirkan pada lingkungan kapitalistik, maka informasi
yang disampaikannya mengandung nilai kapitalistik. Kemudian keputusan dan
tindakan ekonomi yang diambil seseorang yang berdasarkan pada informasi
yang juga mengandung nilai-nilai kapitalistik. Akibatnya, realitas yang
diciptakan adalah realitas yang kapitalistik. Akhirnya, realitas yang diciptakan
realitas kapitalistik. Informasi akutansi yang kapitalistik akan membentuk
kuasa yang kapitalistik. Jaringan kuasa inilah yang akhirnya mengikat dan
memilih manuisa dalam samsara kapitalisme.
16 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Secara ontologism akutansi syariah pada dasarnya ingin membebaskan
manusia dari jarring kuasa kapitalistik atau jarring kuasa semu lainnya yang
membuat semu orientasi hidup manusia atau berpaling dari kuasa Tuhan dan
mengikatkan diri pada jarring kuasa Ilahi yang sejati.
Dalam mencari bentuk akutansi syariah, harus berangkat dari suatu asumsi
bahwa akutansi adalah sebuah entitas yang mempunyai dua arah kekuatan.
Kekuatan pertama adalah bahwa akutansi adalah sesuatu yang dibentuk oleh
lingkungannya. Kekuatan ke dua adalah bahwa akutansi adalah sesuatu yang
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, termasuk prilaku manusia
yang menggunakan informasi akutansi. Jika demikian, maka usaha yang harus
dilakukan oleh para akuntan adalah bagaimana mereka dapat menciptakan sebuah
bentuk akutansi yang dapat mengarahkan prilaku manusia keaarah prilaku yang etis
17 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
dan ke arah terbentuknya peradaban yang ideal. Menurut Triyuwono dikatakan
bahwa bisnis yang ideal yaitu peradaban bisnis dengan nilai humanis, emansipatoris,
transdental, dan teologikal.12
12
Shauqi Ismail Shahata, Finnancial Accounting form the Islamic Point of View, (Cairo:Alzahra al-A’lam al-
A’rabi). Hal . 11.
18 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
kapitalis. Hal ini berarti bahwa akutansi yang berlaku dalam sistem lembaga
keuangan konvensional.
19 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
b) Informasi yang dapat membantu dalam menilai kemampuan lembaga
dalam menjaga asset, mempertahankan likuiditas dan meningkatkan
laba
c) Informasi tentang inisiatif lembaga atas tanggung jawabnya terhadap
pekerja, pelanggan, masyarakat, dan lingkungan
d) Informasi yang dapat membantu dalam pertanggung jawaban
manajemen.
Realitas yang diciptakan oleh akutansi modern adalah realitas yang tidak
ideal. Yang diinginkan adalah realitas yang syarat dengan nilai-nilai etika (etika
jaring kuasa Ilahi yang akan mempengaruhi pengguna informasi akutansi untuk
selalu bertindak etis baik kepada sesame manusia, kepada lingkungan alam, maupun
informasi akutansi syariah diekspektasikan memberikan informasi yang lebih adil bila
akutansi syariah berdasarkan pada asumsi hakikat diri manusia yang sejati dan
pemahaman aspek ontology yang lebih lengkap bila disbanding dengan akutansi
modern.
20 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Dalam kontruksi akutansi syariah, hakikat diri manusia dan pandangan
ontologism terhadap realitas adalah dua hal yang sangat penting. Karena, hakikat
tentang diri akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap realitas yang ia
hadapi dan yang akan dikontruksi. Dengan memperseosikan diri sebagai homo
economicus, misalnya akan mengantarkan orang tersebut untuk melihat realitas dari
ekonomi.
Khalifatullah fi Ardh (QS Al-Baqarah [2]:30). Dengan persepsi semacam ini, ia secara
etis mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh makhluk
(QS Al-Anbiya [21]:107) dengan jalan amr ma’ruf nahi munkar (QS Ali Imran
[3]:110). Pencapaian akan hakikat diri ini dapat dilakukan dengan melakukan proses
dialektik dalam dirinya sendiri (internal dialectic process of self) yang melibatkan
akal dan kalbunya. Bila ia telah mencapat dan menemukan hakikat dirinya, maka ia
dapat menggunakan konsep Khalifatullah fil Ardh sebagai prespektif untuk melihat
cara yang sama, ia dapat memperoleh kesadaran ontologism, yaitu suatu kesadaran
atau pengertian yang menyatakan bahwa realitas sosial sebetulnya adalah kreasi
manusia semata, realitas yang lekat dengan nilai-nilai yang dimiliki manusia itu
Dengan asumsi ontologism seperti itu, seorang akutan tidak hanya diminta
secara kritis melihat dan mengerti hubungan antara akuntan itu sendiri dengan apa
21 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
yang harus ia pertanggungjawabkan (accunted for) (Morgan, 1988: 484), tetapi juga
dituntut akutansi macam apa yang harus dia ciptakan dan bagaimana
menciptakannya. Prespektif Khalifatullah fil Ardh merujuk pada ayat berikut ini:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara
sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang
yang berutang itu mengimlakkan juga yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa
kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya” (QS Al-
Jika merujuk pada ayat QS Al-Baqarah 282, ayat tersebut dapat dijadikan
acuan untuk merefleksikan potensi nilai-nilai keadilan yang dimilikinya dalam bentuk
tindakan nyata. Kata ‘dengan adil’ atau ‘keadilan’ yang menurut Dapartment Agama
diterjemahkan sebagai ‘dengan benar’ dalam pengertian ‘keadilan Ilahi’, dalam ayat
tersebut, pada dasarnya mengandung tiga nilai dasar yaitu tauhid, dan Islam dalam
arti penyerahhan dan ketundukan kepada Allah dan keadilan dalam arti keyakinan
bahwa segala perbuatan manusia kelak akan dinilai oleh Allah. Jadi dengan melihat
unsur yang terkandung di dalam ayat tersebut, adil tidak terlepas dari nilai-nilai etika
atau moralitas yang tidak lain dalah wahyu atau hukum-hukum Allah itu sendiri.
‘keadilan Ilahi’ sebagai nilai dasar pijakan dalam berintraksi dan mengkontruksi
realitas sosial. Ini berarti bahwa akutansi sebagai sebuah disiplin atau praktik tidak
dapat berdiri sendiri artinya bahwa akutansi selalu terikat pada realitas sosial di
22 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
mana akutansi itu dipraktikkan. Hal ini karena akutansi dikiaskan sebagai cermin
yang digunakan untuk merefleksi realitas sosial (Morgan, 1988: Dillard, 1991). Dan
yang harus dipahami bahwa cermin itu sendiri juga adalah produk dari nilai-nilai
terkandung dalam realitas sosial dan akutansi. Karena jika akutansi dikontruksi
dengan nilai ideologis lain yang tidak kompatibel dengan nilai ‘keadilan Ilahi’ maka
informasi akutansi yang direfleksikan dari realitas sosial yang dibangun dari nilai
‘keadilan Ilahi’ akan berbias dan terdistorsi oleh nilai ideoligis yang digunakan untuk
mengisyaratkan, ‘Presepsi kita tentang realitas adalah seperti pada saat kita
menatap permukaan cermin. Kita hanya melihat apa yang direfleksikan oleh cermin
kepada kita. Permukaan cermin yang berbeda [karena kerangka ideology yang
berbeda] akan merefleksikan realitas yang berbeda pula.’ (Dillard, 1991: 9).
dengan dasar ideology yang berbeda akan merefleksikan realitas (yang sama)
dengan bentuk yang berbeda. Keadaan ini akan menjadi semakin krusial, ketika hasil
refleksi tersebut yaitu informasi akutansi kemudian dikonsumsi oleh orang lain yang
secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari realitas semu beserta
23 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
sehari-hari. Dengan cara demikian, realitas alternative diharapkan akan dapat
seseorang pada kuasa Ilahi. Dan dengan kesadaran ini ia akan selalu merasakan
kehadiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana ia berada. Jadi dengan
asas keadilan Ilahi, realitas sosial yang direkontruksi mengandung nilai Tauhid dan
perspektif Khalifatullah fil Ardh yaitu suatu cara pandang yang sadar akan tanggung
Dengan nilai keadilan ini akutansi syariah akan memancarkan informasi yang
benar-benar adil. Konsekuensinya adalah terciptanya realitas ideal yang diinginkan.
Akutansi Perbankan Syariah (IAI, 2002) dan Accounting and Auditing Standars for
institusi keuangan Islam. Standar ini diharapkan dapat mendukung bisnis keuangan
syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah. Akan tetapi, kedua standar ini
memiliki kelemahan fundamental pada aspek dasar teori (atau konsep ekuitas) yang
digunakan yaitu entity theory. Di dalam teori ini konsep kepemilikan adalah
kepemilikan yang dianut oleh kapitalisme. Dengan nilai ini, maka informasi
Kesimpulan
Akutansi pada dasarnya adalah praktik moral dan diskrusif. Oleh karena itu,
pengembangan dan praktik akutansi secara ideal perlu dilakukan dengan penuh
24 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
tanggung jawab. Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa akutansi adalah
disiplin dan praktik yang sarat dengan nilai (value laden), tidak terkecuali dengan
bersifat breaktrough dalam berubah bentuk akutansi yang lebih humanis dan
emansipatoris. Pemikiran yang ada sementara ini adalah akutansi syariah. Akutansi
syariah dengan pandangan hakikat diri manusia dan pandangan ontologinya yang
menyajikan informasi akutansi yang lebih adil berdasarkan pemahaman pada hakikat
akan menstimuli terciptanya realitas bisnis yang sarat dengan jarring-jaring kuasa
Ilahi yang mengikat manusia untuk selalu bertindak etis, baik sesama manusia,
Daftar Pustaka
Al-Qur’an
Triwuyono, Iwan. 2012 . Akutansi Syariah :Prespektif, Metodologi dan Teori. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
25 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Makalah berjudul, The Theoritical Framework for Accounting in Islamic Banks;
Analysis and Diagnosis, oleh Shawki Ismail Sheata.
Harahap, Sofyan Syafri. 1992. Akutansi, Pengawasan dan Manajemen dalam Islam.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Trisakti.
Revrisond Baswier, Akutansi dan Ideologi, Kerta Kerja pada Seminar Nasional
Harteknas, Yogyakarta, tanggal 17 Desember 1968
Shahata, Shauqi Ismail. Finnancial Accounting form the Islamic Point of View,
(Cairo:Alzahra al-A’lam al-A’rabi)
26 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h