Anda di halaman 1dari 26

Makalah

“Sejarah Akutansi Syariah”

Penyusun:

Abiyyu Garibaldi 1407025002

Amelia Aisyahab Permata S. 1407025022

Perbankan Syariah
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammdiyah Prof.DR.HAMKA

Daftar Isi
Pendahuluan........................................................................................................2

Sejarah Lahirnya Akutansi Syariah.........................................................................3

Sejarah Perkembangan Akutansi di Indonesia........................................................7

Prinsip Umum Akutansi Syariah.............................................................................8

Perkembangan Akutansi Barat...............................................................................9

Kondisi Objektif Lahirnya Paradigma Akutansi Syariah...........................................10

Akutansi Syariah.................................................................................................15

Teori Akutansi Syariah........................................................................................17

Perlunya Akutansi Syariah di Lembaga Bisnis Syariah............................................18

Relevansi Informasi Akutansi Syariah...................................................................20

Kesimpulan........................................................................................................25

Daftar Pustaka...................................................................................................26

2|Sejarah Akutansi Syariah


Pendahuluan
Islam sebagai suatu agama telah ditempatkan sebagai suatu pilihan dan
sekaligus ajarannya dijadikan pedoman dalam kehidupan umat manusia. Sehingga
keberadaannya telah memberikan arahan dalam pengembangan peradaban umat
manusia, utamanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Islam adalah
agama yang bersifat terbuka, yang selalu memberikan keluasaan kepada umatnya
untuk berfikir ke depan, dalam rangka mencapai tingkat peradaban dan kemajuan
yang lebih baik.

Seorang guru besar Amerika menulis dalam sebuah bukunya: “.. the
introduction of Arabic Numerical greatly facilitated the growth of accounting ”,
Pernyataan ini menunjukan bahwa Islam lahir dikawasan Arab telah banyak
memberikan sumbangan bagi perkembangan dunia ilmu pengetahuan dan teknologi,
walaupun itu hanya berupa notasi angka yang dikenal dengan angka Arab, seperti
angka 1,2,3 dan seterusnya yang kita kenal saat ini. Angka-angka tersebut sangat
penting bagi oprasional aktivitas kehidupan umat manusia, seperti aktifitas
penjuralan atau akutansi.

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Akutansi Perbankan
Syariah dengan judul “Sejarah Akutansi Syariah”.

3|Sejarah Akutansi Syariah


Sejarah Lahirnya Akutansi Syariah
Suatu pengkajian selintas terhadap sejarah Islam menyatakan bahwa
akutansi dalam Islam bukanlah merupakan seni dan ilmu yang baru, sebenarnya
bisa dilihat dari peradaban Islam yang pertama sudah memiliki ‘ Baitul Mal’ yang
merupakan lembaga keuangan yang berfungsi sebagai “Bendahara Negara” serta
menjamin kesejahteraan sosial. Masyarakat muslim sejak itu telah memiliki jenis
akutansi yang disebut “Kitabat al-amwal” (pencatatan uang). Dipihak lain istilah
akutansi muncul lama sebelum double entry ditemukan oleh Lucas Pacioli di Italia
pada tahun 19491.

Double entry mucul pada abad ke 13 dikarenakan oleh penyajian pada priode
sebelumnya tidak selengkap dengan yang terjadi pada masa itu. Littleton mengakui
bahwa dobuble entry muncul ke permukaan karena waktu itu dapat dipenuhi
persyaratannya yaitu persyaratan yang berkaitan dengan masalah ‘materi’ dan
‘bahasa’.2 Persyaratan materi mencakup pribadi, modal, perdagangan dan kredit.
Sementara persyaratan bahasa, berkaitan dengan tulisan, uang, dan perhitungan.

Akan tetapi kedua persyaratan tersebut telah dipenuhi secara baik, namun
keduanya tidak dapat menjamin percepatan pertumbuhan double entry pada masa
itu. Dapat dikatakan bahwa double entry telah gagal untuk menjadi suatu hal yang
penting pada masanya. Hal ini disebabkan karena energy dan isensitas yang
diperlukan masih kurang.

Adapun factor yang menyebabkan terjadinya percepatan perkembangan


akutansi hingga sekarang diantaranya: 3

1
Shawki Ismail Sheata, The Theoritical Framework for Accounting in Islamic Banks; Analysis and Diagnosis, hal.
1-2.
2
Dalam Sofyan Syafri Harahap, Akutansi, Pengawasan dan Manajemen dalam Islam, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti, 1992, hal. 22.
3
Sofyan Syafiri Harahap, Akutansi, Pengawasan dan Manajemen dalam Islam, Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Trisakti, 1992, hal. 28-29.

4|Sejarah Akutansi Syariah


1. Adanya motivasi awal yang memaksa orang untuk mendapatkan keuntungan
besar (maksimalisai laba = jiwa kapitalis). Dengan adanya laba maka perlu
pencatatan, pengelompokan dan pengikhtisaran dengan cara sistematis dan
dalam ukuran moneter atas transaksi dan kejadian yang bersifat keuntungan
dan menjelaskan hasilnya.
2. Pengakuan pengusaha akan pentingnya aspek sosial yang berkaitan dengan
persoalan maksimalisai laba. Dalam hal ini pemimpin perusahaan harus
membuat keputusan yang menjaga keseimbangan antara keinginan
perusahaan, pegawai, langganan, supplier dan masyarakat umum.
3. Bisnis dilakukan dengan peranan untuk mencapai laba sebagai alat untuk
mencapat tujuan bukan ‘akhir suatu tujuan’. Dengan penyataan lain, laba
bukanlah tujuan akhir dari suatu aktivitas bisnis. Akan tetapi bisnis dilakukan
untuk memperluas kesejahteraan sosial. Dengan demikian akutansi akan
memberikan informasi yang secara potensial berguna untuk membuat
keputusan ekonomi dan jika itu diberikan akan memberikan perluasan
kesejahteraan sosial.

Ciri utama dari era informasi dan globalisasi adalah adanya kecenderungan
untuk melakukan harmonisasi sesuatu. Misalnya dalam hal pengetahuan dan praktik
akutansi, maka upaya harmonisasi praktik-praktik akutansi dijalankan. Hal ini berarti
adanya kehendak untuk memberlakukan praktik-praktik tertentu, termasuk praktik
akutansi secara seragam.

Kemudian sejak tahun 1980-an mulai ada perhatian yang kuat dari para
peneliti akutansi dalam upaya memahami akutansi dalam pengertian yang lebih
luas.4 Misalnya dalam konteks sosial dan organisasi. Perhatian ini muncul karena
selama beberapa kurun waktu yang lalu, akutansi secara tradisional telah dipahami
dan diajarkan sebagai seperangkat prosedur rasional yang digunakan untuk
4
Iwan Triyuwono, Ibid

5|Sejarah Akutansi Syariah


menyediakan informasi. Yaitu informasi yang bermanfaat untuk pengambilan
keputusan dan pengendalian.

Pengertian tersebut menunjukan bahwa akutansi tampak seperti teknologi


yang kelihatan konkrit, dan bebas dari nilai masyarakat dimana ia dipraktikan.
Namun pada akhirnya terjadi perubahan terhadap keberadaan akutansi. Akutansi
yang dulu dianggap sebagai suatu perangkat prosedur, akhirnya dipandang sebagai
suatu entitas yang selalu berubah. 5 Dengan kata lain, akutansi akhirnya tidak lagi
dipandang sebagai produk jadi yang statis dari suatu masyarakat, tetapu lebih
sebagai produk yang selalu mengalami perubahan setiap waktu tergantung pada
lingkungan di mana ia hidup dan dipraktikan. Sebagaimana Tricker secara tegas
menyatakan, bahwa ‘(bentuk) akutansi sebetulnya tergantung pada ideology dan
moral masyarakat. Akutansi tidak bebas nilai. Akutansi adalah anak dari budaya
(masyarakat). Pandangan ini jelas memberikan impikasi terhadap studi akuitansi
kontemporer.’6

Islam sebagai suatu ideology, masyarakat dan ajaran, tentunya sangat sarat
dengan nilai. Dengan demikian, bangunan akutansi yang berlaku dalam masyarakat
Islam tentunya harus menyesuaikan diri dengan karakteristik Islam itu sendiri.
Namun perlu diketahui bahwa unversalitas ajaran Islam tentunya dapat dijadikan
acuan secara menyeluruh bagi semua kelompok masyarakat, baik Timur maupun
Barat, Islam maupun Non-Islam.

Ajaran Islam secara tegas menunjukan sebagaimana tertuang dalam Al-


Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 282. Ayat ini dapat ditafsirkan dalam konteks akutansi,
utamanya berkaitan dengan organisasi dan teorinya. Akutansi menurut Islam
memiliki bentuk yang sarat dengan nilai keadilan, kebenaran dan
pertanggungjawaban. Bentuk akutansi yang memancarkan nilaik keadilan,
kebenaran dan pertanggungjawaban ini sangat penting. 7 Sebab informasi akutnasi
5
Ibid
6
Dalam Iwan Triyuwono, Ibid.
7
Muhammad, Prinsip-prinsip Akutansi dalam Al –Qur’an, Yogyagkarta: UII Press, 200, hal. 10.

6|Sejarah Akutansi Syariah


memiliki kekuatan untuk mempengaruhi pemikiran, pengambilan keputusan dan
tindakan yang dilakukan oleh seseorang.

Sejarah Perkembangan Akutansi di Indonesia

Praktik akuntansi di Indonesia dapat ditelusuri pada era penjajahan Belanda


sekitar 17 (ADB 2003) atau sekitar tahun 1642 (Soemarso 1995). Jejak yang
jelas berkaitan dengan praktik akuntansi ddi Indonesia dapat di temui pada
tahun 1747, yaitu praktik pembukuan yang dilaksanakan Amphioen Socitey yang
berkedudukan di Jakarta (Soemarso 1995). Pada era ini Belanda menganlkan
sistem pembukuan berpasangan (Double-entry bookkeeping) sebagaimana yang
dikembangkan ole h luca Pacioli. Perusahaan VOC milik Belanda yang merupakan
organisasi komersial utama selama masa penjajahan memainkan peranan
penting dalam praktik bisnis di Indonesia selam era ini (Diga dan Yunus 1997).

Kegiatan ekonomi pada masa penjajahan meningkat cepat selama tahun


1800an awal tahun 1900an. Hal ini ditandai dengan dihapuskannya tanam paksa
sehingga pengusaha Belanda banyak yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Peningkatan kegiatan ekonomi mendorong munculnya permintaan akan tenaga
akuntan dan juru buku yang terlatih. Akibatnya, fungsi auditing mulai mulai
dikenalkan di Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995). Peluang terhadap
kebutuhan audit ini akhirnya diambil oleh akuntan Belanda dan Inggris yang
masuk ke Indonesia untuk membantu kegiatan administrasi di perusahaan tekstil
dan perusahaan manufaktur (Yunus 1990). Intrernal auditor yagn pertama kali
datang di Indonesia adalah J.W Labrijn yang sudah berada di Indonesia pada
tahun 1896 dan orang pertama yang melaksanakan pekerjaan audit (menyusun
dan mengontrol pembukuan perusahaan) adalah Van Schagen yang dikirim ke
Indonesia pada tahun 1907 (Soemarso 1995).

Kesempatan bagi akuntan lokal (Indoenesia) mulai muncul pada tahun 1942-
1945, dengan mundurnya Belanda dari Indonesia. Sampai tahun 1947 hanya ada

7|Sejarah Akutansi Syariah


satu orang akuntan yang berbangsa Indonesia yaitu Prof. Dr. Abutari (Soemarso
1995). Praktik akuntansi model Belanda masih diggunakan selama era setelah
kemerdekaan (1950an). Pendidikan dan pelatihan akuntansi masih didominasi
oleh sistem akuntansi model Belanda.

Prinsip Umum Akutansi Syariah

Nilai pertanggungjawaban, keadilan, dan kebenaran selalu melekat dalam


sistem akutansi syariah. ketiga hal tersebut telah menjadi prinsip dasar yang
universal dalam oprasional akutansi syariah. Berikut uraian ketiga prinsip yang
terdapat dalam surat Al-Baqarah 282.

1. Prinsip Pertanggungjawaban
Prinsip pertanggungjawaban merupakan konsep yang tidak asing dikalangan
masyarakat muslim. Pertanggungjawaban selalu berkaitan dengan konsep
amanah. Bagi seorang Muslim, persoalan amanah merupakan hasil transaksi
manusia dengan sang Khaliq mulai dari alam kandungan. Manusia diciptakan
oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi. Manusia dibebani amanah oleh
Allah untuk menjalankan fungsi-fungsi kekhalifahannya. Inti kekhalifahan
adalah menjalankan atau menunaikan amanah.

2. Prinsip Keadilan
Jika ditafsirkan lebih lanjut, ayat 282 surat Al Baqarah mengandung prinsip
keadilan dalam melakukan transaksi. Prinsip keadilan ini tidak saja merupakan
nilai yang sangat penting dalam etika kehidupan sosial dan bisnis, akan tetapi
manusia itu pada dasarnya memiliki kapasitas dan energy untuk berbuat adil
dalam setiap aspek kehidupannya.

8|Sejarah Akutansi Syariah


Dalam konteks akutansi, menegaskan kata adil dalam ayat 282 surat Al
Baqarah, secara sederhana dapat berarti bahwa setiap transaksi yang
dilakukan oleh perusahaan dicatat dengan benar. Misalnya bila nilai transaksi
adalah sebesar Rp 100 juta, maka akutansi (perusahaan) akan mencatatnya
dengan jumlah yang sama. Dengan katalain tidak ada window dressing alam
praktik akutansi perusahaan.8

3. Prinsip Kebenaran
Prinsip kebenaran ini sebenarnya tidak dapat dilepaskan dengan prinsip
keadilan. Sebagai contoh misalnya, dalam akutansi kita akan selalu
dihadapkan pada masalah pengakuan, pengukuran dan pelaporan. Aktivitas
ini akan dapat dilakukan dengan baik apabila dilandaskan pada nilai
kebenaran. Kebenaran ini akan dapat menciptakan keadilan dalam mengakui,
mengukur dan melaporkan transaksi-transaksi ekonomi.
Kebenaran di dalam Al Qur’an tidak diperbolehkan untuk dicampur adukan
dengan kebathilan.9

Perkembangan Akutansi Barat


Selama beberapa tahun yang lalu, akutansi secara tradisional telah dipahami
dan diajarkan sebagai satu serangkaian prosedur rasional yang digunakan untuk
menyediakan informasi, yaitu informasi yang digunakan untuk pengambilan
keputusan dan pengendalian. Jika demikian maka akutansi tampak seperti teknologi
yang kelihatan konkrit, berwujud dan bebas dari nilai masyarakat di tempat akutansi
itu diterapkan.
8
Iwan Triyuwono. Akutansi Syariah :Implementasi Nilai Keadilan dalam Format Metafora amanah. Makalah
Kuliah Umum, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Surakarta, 1997, hal. 1.
9
Q.S Al Baqarah :24

9|Sejarah Akutansi Syariah


Di dalam ilmu ekonomi kita mengenal adanya ekonomika kapitalistik dan
ekonomik sosialistik. Namun pada ilmu akutansi tidak banyak dibahas tentang
akutansi kapitalistik dan akutansi sosialistik. Dengan kata lain, akutansi jarang
dihubung-hubungkan orang dengan ideology. Sehubungan dengan ini, Baswier
menyatakan bahwa,

‘Ilmu ekonomi sangat erat kaitannya dengan ideology, sedangkan di pihak yang lain,
melalui operasi perusahan-perusahaan kapitalistik ia tidak mungkin dapat dipisahkan
dari akutansi. Dengan demikian, dalam rangka menelusuri hubungan antara akutansi
dan ideology, ilmu ekonomi dan perusahaan-perusaahan kapitalistik dapat dianggap
memainkan peranan sebagai perantara. Artinya bila akutansi dan ideology memiliki
kaitan satu sama lain, maka kaitan itu mestinya dapat dilacak dengan mengkaji ilmu
ekonomi dan perusahaan kapitalistik.’ 10

Oleh karena itu dua decade belakangan ini, upaya pembahasan kaitan
akutansi dengan ideology mulai bermunculan. Hal ini terbukti anggapan tentang
akutansi sebagai ilmu pengetahuan dan praktik yang bebas dari nilai (value-free),
menurut Triyuwono ‘pada akhir tahun 1970-an sdah mulai digoyang
keberadaannya.’11 Anggapan tersebut sejak lama mendominasi sebagian besar
akuntan dan peneliti di bidang akutansi. Keadaan semacam ini semakin dikuatkan
karena kecendrungan prilaku masyarakat yang terbawa oleh arus era informasi dan
globalisasi. Ciri utama dari era informasi dan globalisasi adalah adanya
kecenderungan untuk melakukan harmonisasi sesuatu. Misalnya dalam hal
pengetahuan dan praktik akutansi, maka upaya harmonisasi praktik-praktik akutansi
dijalankan. Hal ini berarti adanya kehendak untuk memberlakukan praktik-praktik
tertentu, termasuk praktik akutansi secara seragam.

10
Revrisond Baswier, Akutansi dan Ideologi, Kerta Kerja pada Seminar Nasional Harteknas, Yogyakarta, tanggal
17 Desember 1968, hal. 1-2.
11
Iwan Triyuwono, Organisasi, Akutansi dan Spritualisme Islam, Makalah Stadium General Mahsiswa Syari’ah
Banking Institute Yogyakarta, tanggal 28 September 1996, hal. 12.

10 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Kondisi Objektif Lahirnya Paradigma Akutansi Syariah
Lahirnya akutansi syariah sekaligus sebagai paradigm baru sangat terkait
dengan kondisi objektif yang melingkupi umat Islam secara khusus dan masyarakat
dunia secara umum. Kondisi tersebut meliputi: norma agama, kontribusi umat Islam
pada masa lalu, sistem ekonomi kapiotalis yang berlaku, dan perkembangan
pemikiran.

 Norma Agama
Ajaran normative agama sejak awal keberadaan Islam telah memberikan
persuasi normative bagi para pemeluknya untuk melaksanakan pencatatan
atas segala transaksi dengan benar/adil sebagaimana yang di firmankan oleh
Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah [2]: 282.

Di dalam ayat tersebut memberikan dorongan kuat bagi umat Islam untuk
menggunakan akutansi dalam setiap bisnis dan transaksi yang dilakukannya.
Disamping itu juga ada ayat-ayat lain tentang kewajiban membayar zakat
yaitu dalam QS Al-Taubah [9]:103.

Tradisi Islam dengan ayat ayat yang telah disebutkan mampu menciptakan
budaya akutansi pada tingkat negara maupun individu. Sehubungan dengan
ini Zaid (1996: 88) menegaskan bahwa perkembangan catatan dan laporab
akutansi di dunia Muslim pada masa lalu banyak terkait dengan negara yang
telah menetapkan kantor-kantor pemerintah yang terspealisasi, identifikasi
spesialisasi keterampilan pemisah tugas (dan wewenang) dan kebutuhan
pegawai.

Pada konteks negara, prosedur pencatatan sudah mulai dipraktikan sejak


masa Khalifah Umar bin Khattab, yaitu pada priode 14-24 H (636-645 M).
Pada masa ini Baitul Mal memerlukan pencatatan formal atas dana-dana yang
diperoleh Lembaga tersebut dari berbagai sumber. Kemudian sistem
pembukuan ini berkembang dengan baik pada priode-priode berikutnya,
seperti pada masa Khalihaf Walid bin Abdul Malik 86-96 H (706-715 M), masa

11 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Abasiyah 132-232 H ( 750-847 M). contoh buku akutansi pada masa
Abasiyah misalnya adalah: Jurnal Pengeluaran (Jaridah
Annafakat/Expenditure Journal), Jurnal Dana (Jaridah al-Mal/Funds Journal),
dan Jurnal Dana Sitaan (Jaridah al-Musadariin/ Confiscated Funds Journal),
sedangkan bentuk laporan akutansi dikenal dengan nama al-Khitmah
(Zaid,1996: 90-1).

 Kontribusi Umat Islam


Kontribusi Umat Islam sejak awal masa Islam terhadap akutansi yaitu dengan
teknik pembukuan itu sendiri. Di samping teknik pembukuan dimana akutansi
modern berkembang dengan basis sistem tata buku berpasangan ( double
entry book-keeping system) juga pengenalan angka Arab-Hindu, ilmu aljabar
(matematika) dan sistem perdagangan merupakan factor pemberian
kontribusi terbesar bagi perkembangannya akutansi modern saat ini.

Teknik tata buku berpasangan diklaim sebagai penemuan Luca Pacioli(1494)


digugat kebenarannya, karena Luca Pacioli bukan pencipta atau perumus
sistem tersebut. Ia hanyalah orang pertama yang melaporkan teknik
pembukuan yang sudah dipraktikan di Venesia sejak dua abad sebelum ia
menulis bukunya yang berjudul Summa de Arithmatica, Geometrica,
Proportioni et Proportionalita tahun 1494 (Lazuatto, 1961). Bahkan Littleton
and Yame (1978:1) menduga sistem tata buku berpasangan ini berasal dari
Spanyol dengan alasan bahwa kebudayaan dan teknologi Spanyol pada abad
pertengahan tersebut jauh lebih unggul disbanding dengan peradaban Eropa.
Pada waktu itu Spanyol adalah negara Muslim dan merupakan pusat
kebudayaan dan teknologi di Eropa.

Bentuk dan perkembangan akutansi juga sangat tergantung pada pengukuran


yang ditulis dalam bentuk angka-angka, yang kemudia dikenal sebagai angka
Arab-Hindu. Berkaitan dengan hal tersebut, pada masa Khalifah Al-Ma’mun
(813-833 H) yang berpusat di kota Baghdad, ilmu pengetahuan dan teknologi

12 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
dibidang aljabar, kedokteran , astronomi, produksi barang mewah dan teknik
perdagangan telah begitu maju.

 Sistem Ekonomi Kapitalis


Gerak piker dan prilaku kita secara sadar atau tidak berada dalam pangkuan
pengaruh kapitalisme ini. Kekuatan yang besar ini dengan yata atau samar
mengkooptasi dan mengeksploitasi kehidupan manusia dan alam semesta
secara sistematis.
Akutansi modern juga tidak terlepas dari pengaruh kapitalisme. Ia tidak lebih
sebagai instrument mati yang digunakan untuk lebih memperkokoh kekuatan
kapitalisme. Wajah akutansi yang telah dibentuk oleh kapitalisme dengan
nyata menyebarkan informasi bagi para penggunannya untuk mengambil
keputusan dan aktivitas ekonomi. Aktivitas ini adalah nyata dan membentuk
realitas sosial. Ini berarti jaringan kuasa kapitalisme semakin diperkuat.

Keberadaan kapitalisme semakin kuat dan bisa bertahan dalam waktu yang
panjang karena mampu melakukan akomodasi, adaptasi dan adopsi, terhadap
pemikiran-pemikiran yang berada diluar dirinnya sendiri. Kapitalisme selalu
mengalami metamorfosa untuk mencerahkan dirinya dengan tampilan baru
yang adaptif, sesuai dengan zamannya, dan diterima oleh masyarakat luas.

Namun karakter utama kapitalisme yang di utilitarian dan hedonis terlihat


begitu jelas pada wajah kapitalisme ini dari masa ke masa. Dalam taraf dan
kadar tertentu, karakter ultitarian dan hedonis ini diperlukan bagi kehidupan
manusia. Namun, diluar batas normal, karakter ini menjadi destruktif bagi
kehidupan manusia dan alam. Oleh karena itu, pemikiran-pemikitan
penyeimbang sangat diperlukan agar manusia tidak terjebak dalam jaringan
kuasa samsara kehidupan yang di utilitarian-hedonis.

Pemikiran kritis-tauhidik terhadap kenyataan ini merupakan langkah awal dari


aksi emansipatoris untuk pembebasan manusia dari samsara utilitarian-

13 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
hedonis. Pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dan akutansi syariah, misalnya
merupakan pemicu untuk melakujkan perubahan dan pembebasan.

 Perkembangan Pemikiran
Menurut Ismail al-Faruqi, dengan Islamisasi ilmu pengetahuannya seolah
menggoyang tidur-lelapnya umat Islam untuk bangun mengontruksi ilmu
pengetahuan berdasarkan jiwa tauhid. Instrument penyebar ide Islamisasi
ilmu pengetahuan ini didirikan di Herndon, Amerika Serikat yang dikenal
dengan International Institute of Islamic Thought (IIIT). Lembaga ini
akhirnya menyebar ke beberpa negara Islam lainnya seperti Pakistan, Arab
Saudi, Iran, Malaysia, dan Indonesia. Di Indonesia lembaga ini didirikan
sebagai cabang yang independent dengan nama International Institute of
Islamic Thought-Indonesia(IIIT-I) pada November 1999.

IIIT melakukan Islamisasi terhadap ilmu pengetahuan sosial, seperti


antropologi, ekonomi, psikologi, sosisologi, dan lain lain. Di Indonesia, IIIT-I
memfokuskan diri pada konstruksi dan pengembangan Ekonomi Islam. Upaya
ini dilakukan pada dua tingkat, pada tingkat konsep teoritis dan tingkat
praksis. Pada tingkat pertama teori-teori baru tentang Ekonomi Islam dengan
visi global, universal, dan local ke Indonesia-an secara terus menerus
dikembangkan. Usaha yang dilakukan pada tingkat pertama ini secara
berkesinambungan diturunkan pada tingkat praksis di dunia empiris.
Sementara, sampai saat ini wacana ekonomi Islam yang telah turun pada
dunia empiris adalah lembaga keuangan (bank syariah, baitul mal wa tamwil),
asuransi Islam (takaful) dan reksadana syariah.

Pelaksanaan pada ekonomi Islam cukup relevan dengan kondisi Indonesia


saat ini. Pertama, sistem ekonomi Islam melalui bank syariah memberikan
alternative sistem perbankan yang tahan terhadap krisis ekonomi. Sistem
perbankan syariah diharapkan menjadi solusi bagi permasalahan sistem
keuangan nasional. Kedua, pemerintah Indonesia mendukung praktik
perbankan syariah ini dengan mengeluarkan UU No. 10/1998 tentang

14 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Perubahan UU No. 7/1992 tentang Perbankan dan pengembangan terakhir
dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008. UU ini mempunyai
pengaruh yang besar bagi praktik perbankan syariah di Indonesia. Ketiga,
beberapa lapisan masyarakat sangat mendukung dan bahkan merupakan
pioneer bagi berdirinya bank syaraiah, seperti pelopor berdirinya BPR-BPR
syariah di Bandung dan Bank Muamalat Indonesia di Jakarta sebelum 1992.

Kajian tingkat Internasional tentang akutansi dan bisnis dengan perspektif


Islam bukan satu hal yang aneh dikarenakan The Islamic Perspective on
Accounting, Commerce, and Finance, misalnya telah melakukan kajian sejak
tahun 1996 dengan konferensi pertamanya di Sydney. Konferensi kedua
dilakukan di Yordania pada tahun 1998, yang ketiga di Jakarta tahun 1999,
dan yang keempat di Selandia Baru pada 2001.

Disamping forum tersebut, terdapat juga lembaga pendidikan tinggi yang


menyelenggarakan pendidikan Islamic studies. Di Inggris misalnya, The
Markfield Institute of Higher Education yang berafiliasi dengan The University
of Portsmouth menyelenggarakan studi Islam untuk program Master dan PhD
di bidang: Islamic Thought and Source, Major Trends in Muslim Thought,
Islamic History, Islamic Economics, Islamic Banking and Finance, Muslim
Political Thought, Islam in Eroupe, Women and Feminism, Islamic Movements
and Revival, Islam and Pluralism . Di Malaysia, International Islamic University
membuka program PhD di bidang Ekonomi Islam. Dan beberpa perguruan
tinggi di Indonesia memiliki pusat-pusat kajian di bidang ini. Salah satunya
terdapat di Fakultas Agama Islam UHAMKA sejak 1999 telah menawarkan
mata kuliah Perbankan Syariah untuk mahasiswa Fakultas Agama Islam
khusus program sarjana(S1). Faktor-faktor tersebut mempunyai pengaruh
besar bagi munculnya wacara akutansi dengan paradigm syariah, baik pada
tatanan konsep maupun praktik.

15 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Akutansi Syariah
Istilah Akutansi Syariah sebetulnya berawal dari disertasi PhD penulis
yang berjudul Shari’ate Organization and Accounting : The Reflection of Self’s
Faith and Knowledge tahun 1995 di University of Wollongong, Australia.
Disertasi ini kemudian diterjemahkan kebahasa Indonesia dengan judul
Organisasi dan Akutansi Syariah yang diterbitkan tahun 2000 di Yogyakarta
oleh LKiS. Di Indonesia, istilah tersebut muncul pada pertengahan 1997 ketika
Harian Republika mengekspos penulis dengan topic pembicaraan akutansi
syariah. Sejak saat itu wacana akutansi syariah mulai ada dan berkembang di
Indonesia.
Pada tahap awal, istilah Akutansi Syariah merupakan pemicu bagi
lahirnya akutansi syariah pada tingkat wacana (discourse). Dan ini ternyata
mempunyai dampak yang sangat positif. Beberapa tulisan dengan tema ini
telah muncul dalam bentuk artikel, seminar, konferensi Internasional, buku,
skripsi, tesis, dan disertasi dari beberapa mahasiswa dari Universitas
Muhammdiyah Malang dan Universitas lain-lainnya.
Pada tatanan konsep, akutansi syariah merupakan sebuah wacana
yang bisa digunakan untuk berbagi ide, konsep dan pemikiran tentang
akutansi syariah itu sendiri. Wacana tersebut dapat seterusnya berada pada
tatanan konsep, tetapi bisa juga diturunkan ke tatanan yang lebih praktis.
Yang pertama, cenderung untuk mengembangkan akutansi syariah sebagai
kajian filisofis-teoritis yang member paying untuk derivasi konkret dalam
bentuk praktik. Sedangkan yang kedua lebih menekankan pada bentuk
praktik dan kebutuhan pragmatis.
Jika Akutansi dilahirkan pada lingkungan kapitalistik, maka informasi
yang disampaikannya mengandung nilai kapitalistik. Kemudian keputusan dan
tindakan ekonomi yang diambil seseorang yang berdasarkan pada informasi
yang juga mengandung nilai-nilai kapitalistik. Akibatnya, realitas yang
diciptakan adalah realitas yang kapitalistik. Akhirnya, realitas yang diciptakan
realitas kapitalistik. Informasi akutansi yang kapitalistik akan membentuk
kuasa yang kapitalistik. Jaringan kuasa inilah yang akhirnya mengikat dan
memilih manuisa dalam samsara kapitalisme.

16 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Secara ontologism akutansi syariah pada dasarnya ingin membebaskan
manusia dari jarring kuasa kapitalistik atau jarring kuasa semu lainnya yang
membuat semu orientasi hidup manusia atau berpaling dari kuasa Tuhan dan
mengikatkan diri pada jarring kuasa Ilahi yang sejati.

Teori Akutansi Syariah


Akutansi Syariah menurut Ian Triyuwono dan Gaffikin dikatakan, merupakan
salah satu upaya mendekontruksi akuransi modern kedalam bentuk yang humanis
dan syarat nilai. Tujuan diciptakannya akutansi syariah adalah terciptanya
peradaban bisnis dengan wawasan humanis, emansipatoris, transcendental dan
teleological. Konsekuensi ontologism upaya ini adalah bahwa akuntan secara kriitis
harus mampu membebaskan manusia dari ikatan realitas peradaban, beserta
jaringan-jaringan kuasanya, kemudian memberikan atau menciptakan realitas
alternative dengan seperangkat jaringan-jaringan kuasa Ilahi yang mengikat
manusia dalam hidup sehari-hari (ontology tauhid).

Dengan demikian, realitas alternative diharapkan akan dapat membangkitkan


kesadaran diri secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan seseorang kepada
kuasa Allah. Dengan kesaran diri tersebut, ia akan selalu merasakan kehadiran
Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat dimana ia berada. Prespektif ini dilakukan
dengan prespektif Khalifatullah fil Ardh. Prespektif ini berarti suatu cara pandang
yang sadar akan hakikat diri manusia dan tanggung jawab kelak di kemudian hari di
hadapan Allah Subhanahu wa Ta'ala .

Dalam mencari bentuk akutansi syariah, harus berangkat dari suatu asumsi
bahwa akutansi adalah sebuah entitas yang mempunyai dua arah kekuatan.
Kekuatan pertama adalah bahwa akutansi adalah sesuatu yang dibentuk oleh
lingkungannya. Kekuatan ke dua adalah bahwa akutansi adalah sesuatu yang
memiliki kekuatan untuk mempengaruhi lingkungannya, termasuk prilaku manusia
yang menggunakan informasi akutansi. Jika demikian, maka usaha yang harus
dilakukan oleh para akuntan adalah bagaimana mereka dapat menciptakan sebuah
bentuk akutansi yang dapat mengarahkan prilaku manusia keaarah prilaku yang etis
17 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
dan ke arah terbentuknya peradaban yang ideal. Menurut Triyuwono dikatakan
bahwa bisnis yang ideal yaitu peradaban bisnis dengan nilai humanis, emansipatoris,
transdental, dan teologikal.12

Teori Akutansi harus mengkaji akutansi di sekitar masyarakat di mana ia


dipraktikan. Hal ini berarti bahwa sikap ini mungkin merupakan suatu cara untuk
melahirkan aturan-aturan akutansi. Sebagaimana dijelaskan oleh Gambling, oleh
karena tidak ada aturan akutansi maka akutansi Barat tidak membahas mengenai
aturan apapun yang berkaitan dengan masalah organisasi (perusahaan), yang
berhubungan dengan masyarkat dan individu. Aturan semacam itu bisa disebut
sebagai suatu bahasan dalam teori akutansi sekarang. Di lain sisi persyaratan
masyarkat mengenai akutansi secara kuantitatif meningkat. Sehingga secara singkat
dapat diperjelas bahwa reori akutansi syariah dipelajari sebagai suatu sistem
akutansi dan pada saat yang sama ditafsirkan sebagai suatu yang berhubungan
dengan manajemen, ekonomi, hukum, politik dan agama.

Perlunya Akutansi Syariah di Lembaga Bisnis Syariah

Perubahan masyarakat telah membawa perubahan yang cukup mendasar


terhadap organisasi akutansi. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri hadirnya
lembaga keuangan syariah pada khususnya dan sistem bisnis Islami (berdasarkan
syariah) tentunya akan mempengaruhi dan menentukan organisasi akutansi yang
akan digunakan. Hal ini muncul, karena karakteristik masyarakat Islam menuntut
aspek-aspek yang berbeda dengan apa yang terjadi dan berlaku dalam masyarakat

12
Shauqi Ismail Shahata, Finnancial Accounting form the Islamic Point of View, (Cairo:Alzahra al-A’lam al-
A’rabi). Hal . 11.

18 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
kapitalis. Hal ini berarti bahwa akutansi yang berlaku dalam sistem lembaga
keuangan konvensional.

Tujuan informasi akutansi dalam lembaga keuangan syariah muncul karena


dua alasan yaitu:

1. Lembaga keuangan syariah dijalankan dengan kerangka syariah sebagai


akibat dari hakikat transaksi yang berbeda dengan lembaga keuangan
konvensional.
2. Pengguna informasi khususnya akutansi pada lembaga keuangan syariah
adalah berbeda dengan penggunaan informasi akutansi di lembaga keuangan
konvensional.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas dapat diuraikan sebagai berikut:


1. Pengguna informasi akutansi. Pengguna informasi akutansi utama dalam
sistem lembaga keuangan syariah meliputi:
a) Shareholder
b) Deposan
c) Unrestricted investment account holders
d) Restricted investment account holders
e) Pengusaha, perusahaan atau agensi yang berhubungan dengan bank
f) Dewan Pengawas Syariah
g) Lembaga pemerintah, Bank Sentral, Mentri Keuangan, Badan
Administrasi/ Pengelola Zakat
h) Masyarakat luas
i) Pengamat non-Muslim
j) Peneliti
k) Pegawai lembaga yang bersangkutan

2. Informasi yang dibutuhkan oleh pengguna, yaitu:


a) Informasi yang dapat membantu dalam menilai pelaksanaan oprasional
bank dengan aturan tertulis dan jiwa syariah

19 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
b) Informasi yang dapat membantu dalam menilai kemampuan lembaga
dalam menjaga asset, mempertahankan likuiditas dan meningkatkan
laba
c) Informasi tentang inisiatif lembaga atas tanggung jawabnya terhadap
pekerja, pelanggan, masyarakat, dan lingkungan
d) Informasi yang dapat membantu dalam pertanggung jawaban
manajemen.

Relevansi Informasi Akutansi Syariah

Realitas yang diciptakan oleh akutansi modern adalah realitas yang tidak

ideal. Yang diinginkan adalah realitas yang syarat dengan nilai-nilai etika (etika

dalam pengertian menyeluruh). Yaitu, realitas yang didalamnya terdapat jarring-

jaring kuasa Ilahi yang akan mempengaruhi pengguna informasi akutansi untuk

selalu bertindak etis baik kepada sesame manusia, kepada lingkungan alam, maupun

kepada Tuhan sendiri.

Untuk keperluan tersebut, maka dibutuhkan bentuk akutansi yang memang

kondusif untuk keperluan tersebut. Bentuk akutansi yang ditawarkan untuk

keperluan tersebut adalah akutansi syariah (Triyuwono, 1997;2000a;2000b).

informasi akutansi syariah diekspektasikan memberikan informasi yang lebih adil bila

dibandingkan dengan akutansi modern. Karena dalam proses konstruksinya,

akutansi syariah berdasarkan pada asumsi hakikat diri manusia yang sejati dan

pemahaman aspek ontology yang lebih lengkap bila disbanding dengan akutansi

modern.

20 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Dalam kontruksi akutansi syariah, hakikat diri manusia dan pandangan

ontologism terhadap realitas adalah dua hal yang sangat penting. Karena, hakikat

tentang diri akan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap realitas yang ia

hadapi dan yang akan dikontruksi. Dengan memperseosikan diri sebagai homo

economicus, misalnya akan mengantarkan orang tersebut untuk melihat realitas dari

sudut pandang ekonomi (materi) saja. Akibatnya tindakan-tindakan yang dilakukan

cenderung mengarah kepada pembentukan realitas yang berkonsentrasi pada

ekonomi.

Hal itu tentunya berbeda bila seseorang mempersepsikan dirinya sebagai

Khalifatullah fi Ardh (QS Al-Baqarah [2]:30). Dengan persepsi semacam ini, ia secara

etis mempunyai tanggung jawab untuk menyebarkan rahmat bagi seluruh makhluk

(QS Al-Anbiya [21]:107) dengan jalan amr ma’ruf nahi munkar (QS Ali Imran

[3]:110). Pencapaian akan hakikat diri ini dapat dilakukan dengan melakukan proses

dialektik dalam dirinya sendiri (internal dialectic process of self) yang melibatkan

akal dan kalbunya. Bila ia telah mencapat dan menemukan hakikat dirinya, maka ia

dapat menggunakan konsep Khalifatullah fil Ardh sebagai prespektif untuk melihat

dan membangun kembali realitas-realitas sosial dalam lingkungannya. Dan dengan

cara yang sama, ia dapat memperoleh kesadaran ontologism, yaitu suatu kesadaran

atau pengertian yang menyatakan bahwa realitas sosial sebetulnya adalah kreasi

manusia semata, realitas yang lekat dengan nilai-nilai yang dimiliki manusia itu

sendiri dan demikian juga tidak terlepas dengan nilai-nilai etika.

Dengan asumsi ontologism seperti itu, seorang akutan tidak hanya diminta

secara kritis melihat dan mengerti hubungan antara akuntan itu sendiri dengan apa

21 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
yang harus ia pertanggungjawabkan (accunted for) (Morgan, 1988: 484), tetapi juga

dituntut akutansi macam apa yang harus dia ciptakan dan bagaimana

menciptakannya. Prespektif Khalifatullah fil Ardh merujuk pada ayat berikut ini:

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu

yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara

kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya

sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang

yang berutang itu mengimlakkan juga yang akan ditulis itu, dan hendaklah ia bertaqwa

kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada utangnya” (QS Al-

Baqarah [2]: 282)

Jika merujuk pada ayat QS Al-Baqarah 282, ayat tersebut dapat dijadikan

acuan untuk merefleksikan potensi nilai-nilai keadilan yang dimilikinya dalam bentuk

tindakan nyata. Kata ‘dengan adil’ atau ‘keadilan’ yang menurut Dapartment Agama

diterjemahkan sebagai ‘dengan benar’ dalam pengertian ‘keadilan Ilahi’, dalam ayat

tersebut, pada dasarnya mengandung tiga nilai dasar yaitu tauhid, dan Islam dalam

arti penyerahhan dan ketundukan kepada Allah dan keadilan dalam arti keyakinan

bahwa segala perbuatan manusia kelak akan dinilai oleh Allah. Jadi dengan melihat

unsur yang terkandung di dalam ayat tersebut, adil tidak terlepas dari nilai-nilai etika

atau moralitas yang tidak lain dalah wahyu atau hukum-hukum Allah itu sendiri.

Dalam konteks akutansi, seorang akuntan secara normative menjadikan nilai

‘keadilan Ilahi’ sebagai nilai dasar pijakan dalam berintraksi dan mengkontruksi

realitas sosial. Ini berarti bahwa akutansi sebagai sebuah disiplin atau praktik tidak

dapat berdiri sendiri artinya bahwa akutansi selalu terikat pada realitas sosial di

22 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
mana akutansi itu dipraktikkan. Hal ini karena akutansi dikiaskan sebagai cermin

yang digunakan untuk merefleksi realitas sosial (Morgan, 1988: Dillard, 1991). Dan

yang harus dipahami bahwa cermin itu sendiri juga adalah produk dari nilai-nilai

ideologis dimana cermin itu dibuat (Tricker; 1978:8).

Pernyataan ini juga mempunyai makna bahwa ‘keadilan Ilahi’ harus

terkandung dalam realitas sosial dan akutansi. Karena jika akutansi dikontruksi

dengan nilai ideologis lain yang tidak kompatibel dengan nilai ‘keadilan Ilahi’ maka

informasi akutansi yang direfleksikan dari realitas sosial yang dibangun dari nilai

‘keadilan Ilahi’ akan berbias dan terdistorsi oleh nilai ideoligis yang digunakan untuk

mengkontruksi bangunan akutansi itu sendiri. Tentang hal ini Dillard

mengisyaratkan, ‘Presepsi kita tentang realitas adalah seperti pada saat kita

menatap permukaan cermin. Kita hanya melihat apa yang direfleksikan oleh cermin

kepada kita. Permukaan cermin yang berbeda [karena kerangka ideology yang

berbeda] akan merefleksikan realitas yang berbeda pula.’ (Dillard, 1991: 9).

Dengan demikian semakin jelas bahwa akutansi yang di konstruksikan

dengan dasar ideology yang berbeda akan merefleksikan realitas (yang sama)

dengan bentuk yang berbeda. Keadaan ini akan menjadi semakin krusial, ketika hasil

refleksi tersebut yaitu informasi akutansi kemudian dikonsumsi oleh orang lain yang

pada akhirnya akan membentuk realitas-realitas baru.

Konsekuensi ontologism yang harus didasar oleh akuntan adalah bahwa ia

secara kritis harus mampu membebaskan manusia dari realitas semu beserta

jaringan-jaringan kuasanya, untuk kemudian memberikan realitas alternative dengan

seperangkat jaringan-jaringan kuasa Ilahi yang mengikat manusia dalam kehidupan

23 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
sehari-hari. Dengan cara demikian, realitas alternative diharapkan akan dapat

membangkitkan kesadaran diri secara penuh akan kepatuhan dan ketundukan

seseorang pada kuasa Ilahi. Dan dengan kesadaran ini ia akan selalu merasakan

kehadiran Tuhan dalam dimensi waktu dan tempat di mana ia berada. Jadi dengan

asas keadilan Ilahi, realitas sosial yang direkontruksi mengandung nilai Tauhid dan

ketundukan pada jaringan-jaringan kuasa Ilahi yang semuanya dilakukan dengan

perspektif Khalifatullah fil Ardh yaitu suatu cara pandang yang sadar akan tanggung

jawab kelak di kemudian hari dihadpan Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan nilai keadilan ini akutansi syariah akan memancarkan informasi yang
benar-benar adil. Konsekuensinya adalah terciptanya realitas ideal yang diinginkan.

Pernyataan Standar Akutansi Keuangan No. 59 (PSAK No. 59) tentang

Akutansi Perbankan Syariah (IAI, 2002) dan Accounting and Auditing Standars for

Islamic Finanncial Institutions (AAOIFI, 1998) adalah standar yang digunakan

institusi keuangan Islam. Standar ini diharapkan dapat mendukung bisnis keuangan

syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah. Akan tetapi, kedua standar ini

memiliki kelemahan fundamental pada aspek dasar teori (atau konsep ekuitas) yang

digunakan yaitu entity theory. Di dalam teori ini konsep kepemilikan adalah

kepemilikan yang dianut oleh kapitalisme. Dengan nilai ini, maka informasi

akutansi yang digunakan oleh perbankan syariah sebenarnya menyebarkan informasi

yang sarat nilai kapitalisme.

Kesimpulan
Akutansi pada dasarnya adalah praktik moral dan diskrusif. Oleh karena itu,

pengembangan dan praktik akutansi secara ideal perlu dilakukan dengan penuh

24 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
tanggung jawab. Dari ungkapan tersebut dapat dipahami bahwa akutansi adalah

disiplin dan praktik yang sarat dengan nilai (value laden), tidak terkecuali dengan

akutansi modern yang sering diklaim bebas nilai.

Untuk melakukan perubahan atas keadaan ini, diperlukan pemikiran yang

bersifat breaktrough dalam berubah bentuk akutansi yang lebih humanis dan

emansipatoris. Pemikiran yang ada sementara ini adalah akutansi syariah. Akutansi

syariah dengan pandangan hakikat diri manusia dan pandangan ontologinya yang

khas diharapkan dapat melakukan perubahan. Akutansi syariah dengan konsepnya

menyajikan informasi akutansi yang lebih adil berdasarkan pemahaman pada hakikat

manusia seutuhnya. Informasi akutansi syariah yang dipancarkan secara normative

akan menstimuli terciptanya realitas bisnis yang sarat dengan jarring-jaring kuasa

Ilahi yang mengikat manusia untuk selalu bertindak etis, baik sesama manusia,

alam, maupun kepda Tuhannya.

Daftar Pustaka
Al-Qur’an

Triwuyono, Iwan. 2012 . Akutansi Syariah :Prespektif, Metodologi dan Teori. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.

25 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h
Makalah berjudul, The Theoritical Framework for Accounting in Islamic Banks;
Analysis and Diagnosis, oleh Shawki Ismail Sheata.

Harahap, Sofyan Syafri. 1992. Akutansi, Pengawasan dan Manajemen dalam Islam.
Jakarta: Fakultas Ekonomi Trisakti.

Muhammad, Prinsip-prinsip Akutansi dalam Al –Qur’an, Yogyagkarta: UII Press.

Triwuyono, Iwan. Akutansi Syariah :Implementasi Nilai Keadilan dalam Format


Metafora amanah. Makalah Kuliah Umum, Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo
Surakarta

Revrisond Baswier, Akutansi dan Ideologi, Kerta Kerja pada Seminar Nasional
Harteknas, Yogyakarta, tanggal 17 Desember 1968

Iwan Triyuwono, Organisasi, Akutansi dan Spritualisme Islam, Makalah Stadium


General Mahsiswa Syari’ah Banking Institute Yogyakarta

Shahata, Shauqi Ismail. Finnancial Accounting form the Islamic Point of View,
(Cairo:Alzahra al-A’lam al-A’rabi)

26 | S e j a r a h A k u t a n s i S y a r i a h

Anda mungkin juga menyukai