Anda di halaman 1dari 10

Lampiran 1

MATERI PEMBELAJARAN REGULER


PETA KONSEP

Perlawanan Kerajaan Jawa


atas Penjajahan Bangsa
Asing

Perlawanan Kerajaan Perlawanan Kerajaan Perlawanan Kerajaan


Demak kepada Portugis Mataram Islam kepada VOC Banten kepada VOC

Menyerang Merebut Penyebab Menyerang Politik Adu Banten


Portugis di Sunda Serangan ke VOC di domba VOC Melawan
Malaka Kelapa dari Batavia Batavia VOC
Portugis

A. Perlawanan Kerajaan Demak kepada Portugis


1. Demak menyerang Portugis di Malaka
Perlawanan kesultanan Demak terjadi karena kesultanan-kesultanan islam yang
lain juga terancam terhadap kedudukan Portugis di Malaka. Kedatangan bangsa Portugis
ke Pelabuhan Malaka yang dipimpin oleh Diego Lopez de Sequeira menimbulkan
kecurigaan rakyat Malaka. Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Akibatnya,
aktivitas perdagangan di pelabuhan Malaka menjadi terganggu karena banyak pedagang
Islam yang merasa dirugikan. Akibat dominasi Portugis di Malaka telah mendesak dan
merugikan kegiatan perdagangan orang-orang Islam. Oleh karena itu, Sultan Demak R.
Patah mengirim pasukannya di bawah Pati Unus untuk menyerang Portugis di Malaka.
Perlawanan rakyat Demak tersebut dipimpin oleh Adipati Unus. Pati Unus melancarkan
serangannya pada tabun 1512 dan 1513. Dengan kekuatan 100 kapal laut dan lebih dari
10.000 prajurit Adipati Unus menyerang Portugis. Namun, serangan tersebut mengalami
kegagalan dan belum berhasil. Meski gagal, keberanian Adipati Unus yang masih muda
dalam menyerang Portugis yang kuat, terdengar beritanya ke penjuru pulau Jawa, ia
bahkan diberikan gelar Pangeran Sabrang Lor (Pangeran yang menyebrang ke utara )
Nasib dari Adipati Unus sendiri ada beberapa laporan yang menjelaskan secara
berbeda. Ada yang mengatakan bahwa ia wafat saat pertempuran berlangsung, namun
menurut Raffles, Adipati Unus berhasil selamat dan pulang ke Jawa, namun tak lama ia
menderita penyakit paru – paru dan akhirnya wafat. Sumber lain mengatakan ia berhasil
pulang walau dengan tangan hampa keberanian sang pangeran muda melawan Portugis di
kenang oleh warga di Pulau Jawa, sebab di usia yang masih muda ia dengan berani
melawan bangsa Portugis yang pada masa itu dikena sebagai bangsa yang cukup kuat dan
tangguh.

2. Demak merebut Sunda Kelapa dari Portugis


Sampai dengan dekade kedua abad ke-16, Sunda Kelapa merupakan pelabuhan
yang memiliki nilai strategis secara ekonomi dan politik dari Kerajaan Hindu Pajajaran.
Bandar ini menjadi pelabuhan perantara paling ramai dikunjungi para pedagang Arab,
India, China, dan para pedagang Nusantara setelah Malaka. Kawasan Jawa Barat yang
sampai tahun 1526 dikuasai Pajajaran menjadi fokus politik ekspansi Kerajaan Demak
dengan tujuan melakukan islamisasi di wilayah itu. Menancapkan pengaruh secara politis
dan mengontrol kegiatan perdagangan di pantai Utara Jawa bagian Barat dan Selat Sunda
merupakan tujuan utamanya. Politik ekspansi ini berarti berhadapan dengan Kerajaan
Pajajaran yang sejak tahun 1522 telah menjalin persekutuan dengan Portugis, yang
merupakan musuh besar Demak. Kepentingan antara Portugis dan Kerajaan Pajajaran itu,
kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian persahabatan militer dan ekonomi, yang
selanjutnya dikenal sebagai Perjanjian Padrao (Padrong).
Portugis dan Demak berpacu dengan waktu untuk segera menduduki Sunda
Kelapa. Pada tahun 1526, Alfonso d’Albuquerque mengirim enam kapal perang dibawah
pimpinan Francisco de Sa menuju Sunda Kelapa. Kapal yang dikirim adalah jenis galleon
yang berbobot hingga 800 ton dan memiliki 21-24 pucuk meriam. Armada itu
diperkirakan membawa prajurit bersenjata lengkap sebanyak 600 orang. Pada tahun yang
sama, Sultan Trenggono mengirimkan 20 kapal perang bersama 1.500 prajurit dibawah
pimpinan Fatahillah menuju Sunda Kelapa. Armada perang Demak terdiri dari kapal
tradisional jenis Lancaran dan Pangajawa yang ukurannya jauh lebih kecil dari galleon.
Kapal-kapal ini digerakkan oleh layar dan dayung serta dilengkapi paling banyak delapan
pucuk meriam buatan lokal yang jangkauannya tidak sejauh meriam Portugis. Berbeda
dengan pasukan yang dikirim ke Malaka, prajurit Demak yang dipimpin oleh Fatahillah
ini merupakan prajurit yang terlatih, sejumlah perwiranya merupakan veteran pasukan
Pati Unus yang memiliki pengalaman perang laut untuk bagaimana menghadapi kapal-
kapal Portugis.
Setelah Cirebon menggabungkan diri dengan Demak, maka Fatahillah tidak
langsung menggempur Sunda Kelapa, melainkan mengarahkan armadanya ke Banten
yang tidak dipertahankan secara kuat oleh tentara prajurit Kerajaan Pajajaran. Sehingga,
Banten dapat diduduki oleh pasukan Demak dan Cirebon pada akhir tahun 1526.
Penguasa Banten kemudian dipegang oleh Maulana Hasanudin, tokoh penyebar Islam
dari Cirebon. Pada awal tahun 1527, Fatahillah menggerakkan armadanya ke Sunda
Kelapa, sementara pasukan Banten secara bertahap menduduki wilayah demi wilayah
Pajajaran dari arah Barat. Pasukan Cirebon bergerak menguasai wilayah Pajajaran bagian
Timur Jawa Barat. Dalam kondisi itu, Sunda Kelapa telah dipertahankan oleh Kerajaan
Pajajaran secara kuat, baik di darat maupun laut.
Seluruh pasukan Demak dan Cirebon dibawah pimpinan Adipati Keling dan
Adipati Cangkuang dari Cirebon berhasil didaratkan dan langsung berhadapan dengan
pasukan darat Kerajaan Pajajaran yang dipimpin Sri Baduga Maharaja. Dalam waktu
sehari Sunda Kelapa dapat dikuasai oleh pasukan Fatahillah. Oleh karena itu, Sultan
Trenggono mempercayakan Fatahillah sebagai penguasa Sunda Kelapa yang baru. Kapal-
kapal dan prajurit Kerajaan Demak yang disertakan dalam ekspedisi itu tetap
dipertahankan di Sunda Kelapa untuk mendukung gerakan pasukan Islam yang sedang
bergerak ke kawasan Pakuan (daerah Bogor) yang menjadi ibu kota Pajajaran. Selain itu,
disiapkan untuk menghadapi kedatangan armada Portugis yang diketahui sedang bergerak
ke arah Jawa bagian barat.
Perkembangan politik di Sunda Kelapa ternyata tidak diketahui oleh armada
Portugis. Pada bulan Juni 1527 kapal-kapal Portugis telah berada di Teluk Sunda Kelapa,
dimana sebuah kapal ditugaskan merapat di pelabuhan dan menurunkan pasukan
bersenjata lengkap untuk merealisasikan perjanjian membangun loji (perkantoran dan
perumahan yang dilengkapi benteng pertahanan) antara Portugis dengan Kerajaan
Pajajaran pada tahun 21 Agustus 1522. Buah perjanjian itu, Sunda Kelapa akan menerima
barang-barang yang diperlukan.
Kapal-kapal Portugis lainnya membentuk formasi di perairan terbuka untuk
menghadang kedatangan armada Kerajaan Demak yang diperkirakan akan muncul dari
Teluk Sunda Kelapa. Fatahillah sengaja menahan armadanya untuk tetap bertahan di teluk
lantaran mempertahankan Sunda Kelapa menjadi tujuan utamanya. Hal ini didasarkan
pada dua perkiraan, yaitu Pertama kapal-kapal Kerajaan Demak akan sulit menghadapi
armada Portugis di laut terbuka karena ketertinggalan teknologi senjata dalam hal
jangkauan meriam dan menggiring Portugis untuk memaksakan pertempuran pantai yang
memang menjadi spesialisasi kapal dan prajurit Demak. Kedua, pada saat itu sedang
terjadi badai di perairan terbuka yang membahayakan pelayaran kapal-kapal Demak
karena tonase dan ukurannya relatif kecil.
Kemenangan pertempuran ini menunjukkan kehebatan pasukan kerajaan Demak
yang dipimpin oleh Fatahillah. Atas kemenangan ini, kemudian Fatahillah diangkat
sebagai Gubernur di sunda Kelapa. Untuk memperingati kemenangan armada Kerajaan
Demak dalam merebut Sunda Kelapa dari kekuasaan Kerajaan Pajajaran dan
mempertahankannya dari Portugis. Maka pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah
mengubah nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta yang berarti kemenangan mutlak.
Sehingga, tanggal tersebut diperingati sebagai hari jadi kota Jakarta yang sekarang
menjadi ibu kota Republik Indonesia.
Dari uraian elemen-elemen strategi pasukan Fatahillah di atas dapat ditarik
kesimpulan secara garis besar, bahwa Fatahillah lebih memilih strategi maritim daripada
strategi kontinental karena kesadaran akan potensi kekuatan diri (prajurit dan rakyat yang
anti ketidakadilan dan penindasan), kesadaran akan bentuk ancaman nyata dari lawan
(Portugis dengan sistem monopoli dan niat penjajahannya), dan kesadaran akan kondisi
lingkungan (posisi geografis dan kekayaan alam sebagai nilai tawar yang baik dalam
dunia perdagangan internasional). Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Sun
Tzu, ‘Kenali dirimu, kenali musuhmu, kenali medan, maka akan kau temui kemenangan
dalam seribu pertempuran’.

B. Perlawanan Kerajaan Mataram Islam kepada VOC


1. Penyebab serangan ke Batavia
Sultan Agung Hanyokrokusumo merupakan raja terbesar dari kerajaan
Mataram Islam. Salah satu cita-cita dari Sultan Agung adalah mempersatukan seluruh
tanah Jawa, dan mengusir kekuasaan asing dari bumi Nusantara. Terkait dengan cita-
citanya ini maka Sultan Agung sangat menentang keberadaan kekuatan VOC di Jawa.
Apalagi tindakan VOC yang terus memaksakan kehendak untuk melakukan monopoli
perdagangan membuat para pedagang Pribumi mengalami kemunduran. Kebijakan
monopoli itu juga dapat membawa penderitaan rakyat. Oleh karena itu, Sultan Agung
merencanakan serangan ke Batavia yaitu pusat pemerintahan VOC di Jawa.
Ada beberapa alasan Sultan Agung merencanakan serangan ke Batavia, yakni:
(1) Tindakan monopoli yang dilakukan VOC,(2) VOC sering menghalang-halangi kapal-
kapal dagang Mataram yang akan berdagang ke Malaka, (3) VOC menolak untuk
mengakui kedaulatan Mataram, dan (4) Keberadaan VOC di Batavia telah memberikan
ancaman serius bagi masa depan Pulau Jawa.

2. Serangan Mataram Islam ke Batavia


Serangan Mataram Islam ke Batavia dilakukan dua kali. Pertama adalah serangan
tahun 1628. Ini merupakan serangan Mataram ke Batavia yang pertama. Sebagai
pimpinan pasukan Mataram adalah Tumenggung Baureksa. Pada 22 Agustus 1628, mulai
terjadi pertempuran antara tentara Mataram dengan VOC. Pasukan Mataram berdatangan
dari berbagai daerah seperti pasukan di bawah pimpinan Sura Agul-Agul yang dibantu
oleh Kiai Dipati Mandureja dan Upa Santa. Datang pula lascar orang-orang Sunda yang
dipimpin oleh Dipati Ukur. Terjadi pertempuran salah satunya di Benteng Holandia. Pada
akhir pertempuran, Mataram tidak berhasil menaklukkan kota Batavia. Menanggapi
kekalahan ini kemudian Sultan Agung melakukan hukuman mati terhadap tentara yang
masih ada, seperti Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandureja
Sebab kegagalan serangan Sultan Agung ke Batavia pada tahun 1628 antara
lain: (1) Kalah persenjataan, (2) Kekurangan bahan makanan, (3) Jarak yang terlalu jauh
antara Mataram dengan Batavia, (4) Pembendungan sungai yang dilakukan oleh tentara
Mataram ternyata berdampak menyebarnya wabah penyakit.
Kedua, adalah serangan Batavia pada tahun 1629 yaitu pasukan Mataram
diberangkatkan menuju Batavia. Sebagai pimpinan pasukan Mataram dipercayakan
kepada Tumenggung Singaranu, Kiai Dipati Juminah, dan Dipati Purbaya. Salah satu cara
yang ditempuh setelah mengalami kegagalan pada serangan pertama, maka Sultan Agung
memerintahkan untuk mendirikan lumbung lumbung padi di daerah Tegal dan Cirebon.
Ternyata informasi persiapan pasukan Mataram diketahui oleh VOC. Dengan
segera VOC mengirim kapal-kapal perang untuk menghancurkan lumbung-lumbung yang
dipersiapkan pasukan Mataram. Di Tegal tentara VOC berhasil menghancurkan 200 kapal
Mataram, 400 rumah pendudukdan sebuah lumbung beras. Pasukan Mataram pantang
mundur, dengan kekuatan pasukan yang ada terus berusaha mengepung Batavia. Pasukan
Mataram berhasil mengepung dan menghancurkan Benteng Hollandia. Berikutnya
pasukan Mataram mengepung Benteng Bommel, tetapi gagal menghancurkan benteng
tersebut. Pada saat pengepungan Benteng Bommel, terpetik berita bahwa J.P. Coen
meninggal. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 21 September 1629. Dengan semangat juang
yang tinggi pasukan Mataram terus melakukan penyerangan.
Dalam situasi yang kritis ini pasukan Belanda semakin marah dan
meningkatkan kekuatannya untuk mengusir pasukan Mataram. Dengan mengandalkan
persenjataan yang lebih baik dan lengkap, akhirnya dapat menghentikan serangan-
serangan pasukan Mataram. Pasukan Mataram semakin melemah dan akhirnya ditarik
mundur kembali ke Mataram. Dengan demikian serangan Sultan Agung yang kedua ini
juga mengalami kegagalan. Dapat diambil kesimpulan bahwa serangan Mataram yang
kedua gagal dikarenakan adanya penghianat yang menunjukan letak lumbung-lumbung
padi tentara Mataram.
Dengan kegagalan pasukan Mataram menyerang Batavia, membuat VOC
semakin berambisi untuk terus memaksakan monopoli dan memperluas pengaruhnya di
daerah-daerah lain. Namun di balik itu VOC selalu khawatir dengan kekuatan tentara
Mataram. Tentara VOC selalu berjaga-jaga untuk mengawasi gerak-gerik pasukan
Mataram. Sebagai contoh pada waktu pasukan Sultan Agung dikirim ke Palembang
untuk membantu Raja Palembang dalam melawan VOC, langsung diserang oleh tentara
VOC di tengah perjalanan.

C. Perlawanan Banten pada VOC


1. Politik adu domba VOC
Di tengah-tengah rakyat Banten mengobarkan semangat anti VOC itu, pada tahun
1671 Sultan Ageng Tirtayasa mengangkat putra mahkota Abdulnazar Abdulkahar sebagai
raja pembantu yang lebih dikenal dengan nama Sultan Haji. Sebagai raja pembantu Sultan
Haji bertanggung jawab urusan dalam negeri, dan Sultan Ageng Tirtayasa bertanggung
jawab urusan luar negeri dibantu puteranya yang lain, yakni Pangeran Arya Purbaya.
Pemisahan urusan pemerintahan di Banten ini tercium oleh perwakilan VOC di Banten W.
Caeff. Ia kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji agar urusan pemerintahan di
Banten tidak dipisah-pisah dan jangan sampai kekuasaan jatuh ke tangan Arya Purbaya.
Karena hasutan VOC ini Sultan Haji mencurigai ayah dan saudaranya.
Sultan Haji juga sangat khawatir, apabila dirinya tidak segera dinobatkan sebagai
sultan, sangat mungkin jabatan sultan itu akan diberikan kepada Pangeran Arya Purbaya.
Tanpa berpikir panjang Sultan Haji segera membuat persekongkolan dengan VOC untuk
merebut tahta kesultanan Banten. Timbullah pertentangan yang begitu tajam antara Sultan
Haji dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Dalam persekongkolan tersebut VOC sanggup
membantu Sultan Haji untuk merebut Kesultanan Banten tetapi dengan empat syarat. (1)
Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC, (2) monopoli lada di Banten dipegang
oleh VOC dan harus menyingkirkan para pedagang Persia, India, dan Cina, (3) Banten
harus membayar 600.000 ringgit apabila ingkar janji, dan (4) pasukan Banten yang
menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan segera ditarik kembali. Isi perjanjian ini
disetujui oleh Sultan Haji.
2. Melawan VOC
Pada tahun 1681 VOC atas nama Sultan Haji berhasil merebut Kesultanan Banten.
Istana Surosowan berhasil dikuasai. Sultan Haji menjadi Sultan Banten yang berkedudukan
di istana Surosowan. Sultan Ageng kemudian membangun istana yang baru berpusat di
Tirtayasa. Sultan Ageng berusaha merebut kembali Kesultanan Banten dari Sultan Haji
yang didukung VOC. Pada tahun 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa berhasil
mengepung istana Surosowan. Sultan Haji terdesak dan segera meminta bantuan tentara
VOC. Datanglah bantuan tentara VOC di bawah pimpinan Francois Tack. Pasukan Sultan
Ageng Tirtayasa dapat dipukul mundur dan terdesak hingga ke Benteng Tirtayasa. Sultan
Ageng Tirtayasa akhirnya meloloskan diri bersama puteranya, pangeran Purbaya ke hutan
Lebak. Mereka masih melancarkan serangan sekalipun dengan bergerilya. Tentara VOC
terus memburu. Sultan Ageng Tirtayasa beserta pengikutnya yang kemudian bergerak ke
arah Bogor. Baru setelah melalui tipu muslihat pada tahun 1683 Sultan Ageng Tirtayasa
berhasil ditangkap dan ditawan di Batavia sampai meninggalnya pada tahun 1692.
Namun harus diingat bahwa semangat juang Sultan Ageng Tirtayasa beserta
pengikutnya tidak pernah padam. Ia telah mengajarkan untuk selalu menjaga kedaulatan
negara dan mempertahankan tanah air dari dominasi asing. Hal ini terbukti setelah Sultan
Ageng Tirtayasa meninggal, perlawanan rakyat Banten terhadap VOC terus berlangsung.
Misalnya pada tahun 1750 timbul perlawanan yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus.
Perlawanan ini ternyata sangat kuat sehingga VOC kewalahan menghadapi serangan itu.
Dengan susah payah akhirnya perlawanan yang dipimpin Ki Tapa dan Ratu Bagus ini dapat
dipadamkan.
Dengan mengetahui sejarah tentang perlawanan rakyat Banten pada masa Sultan
Ageng Tirtayasa dalam melawan penjajah yaitu VOC, semoga kita bisa lebih memahami
bagaimana perjuangan bangsa Indonesia ketika masih dalam masa kolonial, terutama pada
masa penjajahan.

SOAL EVALUASI REGULER


1. Kerajaan Demak dua kali menyerang Portugis, Bagaimana perbedaan strategi
penyerangan ke malaka dan penyerangan ke Sunda kelapa ?
2. Tahun 1628 dan 1629 Kerajaan Mataram Islam ingin mengusir VOC. Apa arti penting
serangan Karajan Mataram Islam ke VOC di Batavia bagi kesadaran nasional ?
3. Perlawanan rakyat Banten pimpinan Sultan Ageng Tirtayasa terhadap VOC berkaitan
dengan perang saudara. Apa hikmah dari peristiwa ini bagi bangsa Indonesia ?

SOAL REMIDIASI*
1. Bedakan strategi serangan Mataram Islam ke Batavia antara tahun 1628 dan tahun 1629 ?
2. Apakah arti penting dari perlawanan rakyat Banten kepada VOC ?
3. Hikmah apa yang bisa dipetik dari keberhasilan Fatahilah merebut sunda kelapa ?
*Diberikan kepada peserta didik jika belum menuntaskan soal evaluasi reguler

MATERI PENGAYAAN
Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang
tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota
Pajajaran. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang
ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari
sebuah kerajaan Demak. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22
Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta.
Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.
Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan
negeri Belanda, tanah air mereka. VOC membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari
ancaman banjir. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat
pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan.
Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lingkungan cepat rusak, sehingga memaksa
penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi
letaknya.

SOAL PENGAYAAN
Diskusikan dengan temanmu, mengenai arti penting kota Jakarta bagi Kerajaan Jawa dan bagi
bangsa eropa sebelum abad ke 19.

DAFTAR PUSTAKA
1. Ratna Hapsari dan M. Adil. 2013. Sejarah Indonesia kelas XI. Jakarta: Erlangga
2. Kutoyo, Sutrisno, dkk. 1986. Sejarah Ekspedisi Pasukan Sultan Agung ke Batavia.
Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
3. Edi S. Ekajati, Drs., 1985. Fatahillah Pahlawan Arif Bijaksana. Jakarta: PT Mutiara Sumbe.
4. Marwati Djoenet P. & Nugroho Noto Susanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta:
Balai Pustaka.
5. Ricklefs, M.C., 2005. A History of Modern Indonesia Since c. 1200 (terj) Satrio. Yogyakarta :
Gadjah Mada University Press.

Anda mungkin juga menyukai