Anda di halaman 1dari 19

PENGANTAR DOGMATIKA

1. NAMA

1. Dogmatika. Istilah ini pertama kali digunakan oleh L. Fr. Reinhart pada abad ke 17.
2. Iman Kristen/Ajaran Iman Kristen. Istilah ini digunakan oleh teolog Jerman S.J.
Baumgarten dan F.D.E. Schleiermacher pada abad ke 18.
3. Teologi sistematika, khususnya dipergunakan oleh para teolog yang berasal dari
Inggris seperti Ch. Hodge, L Berkhof, A.H. Strong, dll.

2. TEMPAT DOGMATIKA DALAM ILMU THEOLOGI

Di dalam ilmu theologi (theos = Allah, logos = ajaran), dogmatika ditempatkan dalam vak
Teologi Sistematika. Ilmu teologi terbagi atas 5 vak :

1. Teologi Biblika (eksegetis), menyelidiki apa yang tertulis dalam Alkitab. Termasuk
dalam vak ini, misalnya: Pengantar PL/PB, teologi PL/PB, tafsiran, hermeneutika,
bahasa.
2. Teologi Historika, menyelidiki sejarah umat Allah dalam Alkitab dan gereja Sejas
zaman Kristus. Termasuk di dalamnya: sejarah Alkitab, sejarah gereja, sejarah
pekabaran Injil, sejarah ajaran dan sejarah pengakuan iman.
3. Teologi Sistematika, menyelidiki apa yang menjadi pokok-pokok kepercayaan
Alkitab, bagaimana hidup sesuai dengan kepercayaan tersebut. Yang tergolong
vak ini adalah dogmatika, etika, apologetika.
4. Teologi Praktika, membahas penerapan pokok-pokok teologi dalam kehidupan praktis
untuk pembinaan dan pelayanan, meliputi: homiletika, pendidikan agama Kristen
(PAK), penginjilan, administrasi gereja, dll.
5. Teologi Religi, untuk menyelidiki agama-agama di luar kekristenan, misalnya:
Islamologi, Hindu, Budha, dari sudut pandang teologi Kristen yang alkitabiah.

3. DOGMA: Istilah dan Definisinya

Istilah dogmatika berasal dari kata Yunani dogma, jamaknya dogmatika. Kata-kata ini
mula-mula berarti:

1. Pandangan/pendapat.
2. Ajaran filsafat atau buah pikiran filsuf.
3. Keputusan/ketetapan, perintah.
4. Dekrit dari pihak pemerintah atau penguasa

Di dalam Perjanjian Baru kita melihat penggunaan kata dogma dalam arti sebagai berikut:

1. Dekrit Kaisar (Luk 2:1, Kis 17:7)


2. Ketetapan, ketentuan Hukum Taurat (Ef 2:15, Kol 2:14)
3. Keputusan yang diambil oleh sidang para rasul dan penatua di kota Yerusalem (Kis
16:4, 15:1-2, 19-20 keputusan yang diambil ialah hal-hal yang menyangkut moral dan
upacara keagamaan)

Selanjutnya sesudah abad 11 Masehi, Dogma dipahami sebagai pengajaran yang telah
diberikan oleh Tuhan Yesus atau sebagai exposisi/penjelasan Injil/ ekxposisi dari kebenaran-

1
kebenaran berita Injil. Hal itu jelas sekali dari ungkapan-ungkapan yang sering muncul pada
zaman itu seperti: “Dogma Injil”, “Dogma Tuhan”. Di sini kata dogma akhirnya sampai pada
pengertian yang kita kenal sekarang ini sebagai “Rumusan kepercayaan gereja Kristen”. Jadi
dogmatika ada sangkut pautnya dengan isi pengakuan iman gereja.

R. Soedarmo mendefinisikan dogma sebagai: hasil penyelidikan orang percaya tentang


firman Tuhan yang ditentukan oleh gereja dan diperintahkan untuk dipercayai.

Dari rumusan itu kita melihat tiga unsur tentang dogma:

1. Hasil penyelidikan.
2. Firman Tuhan sebagai dasar. Gereja Roma Katholik memandang “tradisi” (ajaran
para rasul atau bapa gereja yang tidak tertulis dalam Alkitab) juga sebagai dasar.
3. Yang menentukan dogma adalah gereja, bukan ahli teologia,dll.

Dogma tidak sama dengan Firman Tuhan. Firman Tuhan merupakan sumber dogma dan
karena itu maka dogma harus terus menerus dikontrol oleh Firman Tuhan sebab jika tak
sesuai dengan Firman Tuhan dogma itu perlu diubah. Jadi dogma sifatnya relatif, tidak
mutlak. Kebenaran dogma tergantung kepada sesuai tidaknya dengan Firman Allah.

4. TUGAS DOGMATIKA

kegiatan dari ilmu teología yang bertugas untuk:

1. Menyelidiki dan membuktikan apakah dogma-dogma Gereja sesuai atau tidak dengan
Firman Tuhan.
2. Merumuskan pengertian-pengertian pokok di dalam Alkitab misalnya tentang Allah,
Yesus Kristus, Keselamatan, Manusia, Roh Kudus, dll. Dengan demikian obyek
perhatian Dogmatika bukan melulu dogma-dogma gereja saja.
3. Menanggapi dan menyanggah ajaran-ajaran atau pandangan dari luar kekristenan.

5. PENTINGNYA DOGMATIKA

1. Memberikan pegangan yang kokoh dan jelas kepada jemaat sehingga dia tidak mudah
tersesat ataupun disesatkan (1 Tim 4:1-16, 2 Ptr 3:17-18)
2. Dengan berdogmatika maka gereja bersikap mawas diri terhadap apa yang
diberikannya agar supaya pemberitaannya tidak menyimpang.

6. METODE/CARA KERJA DOGMATIKA

1. Kita menggunakan Alkitab sebagai ukuran.


2. Dengan memperhatikan Pengakuan Iman (Sahadat), serta pandangan reformator dan
para teolog yang telah dirumuskan. Misalnya: Pengakuan Iman Rasuli (abad IV),
pengakuan iman Nicea, katekismus Heidelberg (disusun oleh Ursinus, lalu oleh
Olevinus). Catatan: Dogma yang tertua ialah “Yesus Kristus adalah Tuhan”.

Dalam hal ini dogmatika perlu dibantu oleh disiplin ilmu teologia lainnya seperti ilmu tafsir,
teologia alkitabiah, sehingga penafsiran untuk perumusan dogmatika itu bersifat: EXEGESE

2
= membiarkan Alkitab dipakai untuk menunjang pendapat kita. Kita harus menghindari
BIBLISISME, yakni pandangan yang mengutip ayat-ayat Alkitab secara sembarangan atau
hanya melihat makna harafiah saja dalam Alkitab. Biblisisme ini biasanya hanya
memperhatikan apa yang tersurat tapi mengabaikan apa yang tersirat dalam Alkitab.,
walaupun memang ada ayat-ayat yang dapat dimengerti secara mudah dari apa yang tersurat.

DOGMATIKA I

PENDAHULUAN
Definisi Istilah
Istilah “dogma” berasal dari kata Yunani dan Latin, yang berarti “hal yang dipegang sebagai
suatu opini” atau bisa juga menunjuk pada “suatu doktrin atau badan dari doktrin-doktrin
teologi dan agama yang secara formal dinyatakan dan diproklamasikan sebagai suatu yang
berotoritas oleh gereja.” Istilah ini bukanlah istilah yang asing bagi Alkitab sebab dalam
Perjanjian Baru ada beberapa ayat yang menyebutkan kata dogma, dengan berbagai variasi
pengertian. Enam di antaranya adalah:
 Lukas 2:1; Kisah Para Rasul 17:7; Ibrani 11:23 dengan arti ketetapan, perintah dari kaisar
atau raja
 Efesus 2:15; Kolose 2:14 dengan arti perintah hukum, ketentuan hukum, yang berasal dari
Musa
 Kisah 16:4 dengan arti keputusan Kristen
Dalam ayat Kisah 16:4 dijelaskan oleh Lukas bahwa Paulus dan Silas berjalan keliling di
Asia dari kota ke kota sambil menyampaikan dogmata (keputusan-keputusan) yang diambil
oleh para rasul dan para penatua di Yerusalem dengan pesan supaya jemaat menurutinya.
Keputusan-keputusan ini menyangkut baik “ajaran Kristen,” yaitu kebebasan dari kuk
Hukum Musa yang telah digenapi oleh Yesus Kristus maupun “kehidupan Kristen,” yakni
menjauhkan diri dari makanan yang telah dicemarkan berhala-berhala, dari percabulkan, dari
daging binatang yang mati lemas dan dari darah (bandingkan Kisah Para Rasul 15:20, 29).
Pengakuan Petrus yang dicatat dalam Matius 16:16 pun dapat dikatagorikan sebagai dogma.
Ia menyatakan Yesus adalah Kristus, Anak Allah yang hidup ketika Yesus bertanya kepada
murid-murid siapa Ia di mata mereka. Jawaban Petrus ini merupakan suatu konfesi dalam
bentuk yang pendek dan sederhana. Dengan seiring perjalanan waktu, dogma tidaklah
mungkin lagi seperti itu. Terjadi perkembangan dalam dogmatika yang disesuaikan dengan
situasi dan kondisi yang ditemui.

Sejarah Perkembangan Dogmatika


Istilah “dogmatika” diperkenalkan pertama kali pada abad ke-17, tepatnya tahun 1659, ketika
L. Fr. Reinhart menulis sebuah buku teologis yang berjudul Synopsis Teologie ae (Ikhtisar
Teologi Dogmatis). Pada awalnya apa yang disebut dogmatika pada saat ini memiliki
berbagai istilah, tergantung pada individu yang mengembangkannya.
Pada perkembangan selanjutnya, di abad kedelapan belas, S. J. Baumgarten menerbitkan
bukunya dengan judul Evangelische Glaubenslehre (Ajaran Iman Evangelis 1759-1760),
yang memperkenalkan nama “ajaran iman,” yang lalu diikuti oleh F. D. E. Schleiermacher,
penulis buku Der Christliche Glaube (Iman Kristen I, II) tahun 1821-1822.
Bapak-bapak Rasuli dan kaum apologet abad kedua dan abad ketiga sesudah Kristus secara
langsung memihak kepada penggunaan kata dogma yang nyata dalam Kisah Para Rasul 16:4.
Mereka juga tidak hanya menghubungkan kata ini dengan “ajaran Kristen”, melainkan juga
dengan “kehidupan Kristen.”
Namun kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kata “dogma” lebih sering dihubungkan

3
dengan “ajaran Kristen” bahkan “ajaran gereja-gereja” daripada “kehidupan Kristen.” Terjadi
suatu proses yang menyebabkan terjadinya pemisahan yang hebat antara “kehidupan” dan
“ajaran” bahkan antara “praktek” dan “teori” dan menyamaratakan dogma dengan “ajaran
gereja.” Hal ini tampak jelas terutama di dalam gereja Katolik Roma. Dalam karangan I Klug
umpamanya, seorang teolog Roma yang termasyur pada masa antara perang dunia yang
pertama dan yang kedua, ia mendefinisikan dogma sebagai “sebuah dalil yang dinyatakan
oleh gereja sebagai kebenaran wahyu dan yang pada waktu yang sama dirumuskan.”

Tempat Dogmatika Di Dalam Seluruh Ilmu Teologi


Dogmatika dapat diumpamakan sebagai ranting dalam “pohon” ilmu teologi. Ada banyak
ranting di dalam “pohon” tersebut yang juga disebut teologi sehingga masing-masing ranting
itu kemudian perlu memakai nama sifat, umpamanya historika, praktika dan lain-lain. Maka
nama-nama ini disebut teologi historika, teologi praktika, teologi biblika, teologi dogmatika
dan sebagainya.
Istilah “dogmatika” maupun “teologi” sering dipertukarkan dan dikacaukan dalam
penggunaannya sehingga terjadi kerancuan. Padahal dalam bentuk yang sederhananya, istilah
ini artinya “perintah”, “ketetapan,” “keputusan,” “resolusi,” “doktrin,” “opini” dan “azas.”
Kata kerja dalam bahasa Yunani untuk istilah “dogma” ini adalah dogmatizo, artinya
menetapkan atau menitahkan.
Sumber dogmatika adalah Alkitab, seperti halnya juga dengan teologia. Tapi penekanan
dalam dogmatika adalah penetapan atau keputusan gereja tentang pokok-pokok ajaran
Kristen. Itu sebabnya denominasi-denominasi gereja dapat memiliki dogma masing-masing
yang berbeda dan bahkan mungkin ada bagian-bagian yang bertentangan. Sedangkan teologia
mempunyai cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan dogmatika sebab tidak dibatasi
oleh tembok-tembok denominasi. Karena itu dalam perkembangan kemudian, dogmatika
diterima sebagai suatu cabang dari teologi.
Relasi antara dogmatika dengan disiplin ilmu teologi lain dapat digambarkan sebagai berikut:
KITAB SUCI

INTRODUKSI EKSEGESIS HERMENEUTIK

TEOLOGI BIBLIKA

TEOLOGI SISTEMATIK
DAN TEOLOGI DOGMATIK

APOLOGETIK TEOLOGI HISTORIKAL TEOLOGI


DAN TEOLOGI KONTEMPORER PRAKTIKAL

Dari bagan di atas terlihatlah bagaimana teologi dogmatika menempati kedudukan yang sama
dengan teologi sistematika. Memang keduanya sering dianggap sinonim, padahal jelas
keduanya berbeda. Dogma menunjuk pada suatu proposisi doktrinal yang disusun
berdasarkan studi eksegetikal Alkitab dan menunjukkan suatu derajat atau keputusan dari
gereja, sementara teologi sistematika tidak perlu melibatkan pernyataan berotoritas dari
gereja. Teologi membahas doktrin-doktrin yang sama dan biasanya dalam garis besar dan
cara yang sama seperti teologi sistematik, tetapi dari posisi teologis tertentu dan merupakan

4
identifikasi dari gereja.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa dogmatika adalah bagian dari ilmu teologi yang bertugas untuk:
pertama, menyelidiki dan membuktikan apakah ajaran gereja dan dogma-dogmanya, baik
pada zaman dahulu maupun pada zaman sekarang, sesuai dengan firman Allah atau tidak.
Kedua, menghidupkan firman Tuhan untuk masa kini serta membuktikan relevansinya. Dan
ketiga, menanggapi dan menyanggah ajaran luar lainnya. Seorang teolog modern yang cukup
terkemuka, Karl Barth, merumuskan peranan dogma sebagai “usaha” yang secara kritis
mempersoalkan persesuaian antara pemberitaan gereja (sebagaimana dilaksanakan dan harus
dilaksanakan oleh manusia) dengan pernyataan Allah yang disaksikan oleh Alkitab. Dari
ketiga fungsinya tersebut, maka jelaslah bagi kita bahwa peranan dan tugas dogmatika amat
luas dan menentukan.

KETENTUAN DOGMA
Ditentukan oleh Gereja
Dogma mempunyai kuasa dan ditentukan oleh gereja. Namun, hanya Alkitablah yang
menjadi sumber dogma. Memang gereja dapat menentukan dogma, tetapi tiap-tiap orang
percaya boleh membandingkan dogma-dogma dengan Kitab Suci, dan kalau terdapat dogma
yang tidak sesuai firman Tuhan, maka harus diusahakan supaya dogma itu dibuang atau
diubah oleh gereja. Di sinilah letak perbedaan antara gereja Protestan dan gereja Katolik di
mana gereja Roma Katolik meletakkan dasar kepastian dogma sepenuhnya kepada gereja.
Hal ini merupakan implikasi dari pandangan Roma Katolik tentang gereja bahwa gereja tidak
dapat tersesat. Hal ini dimulai pada abad pertengahan ketika gereja Katolik mengembangkan
ajaran depositum fidei, yakni suatu konsepsi bahwa kepada gereja telah dipercayakan
sejumlah perbendaharaan kebenaran sehingga tidak ada satu pun dari perbendaharaan ini
yang hilang, tetapi dapat dikembangkan secara eksplisit. Konsekuensi dari hal ini adalah
Katolisisme modern mengklaim dogma-dogmanya infalibilitas sebagaimana tampak dalam
Konsili Trente dan Konsili Vatikan I.
Di lain pihak, gereja-gereja Protestan tidak percaya kepada “suatu gereja yang tak dapat
bersalah” yang mempunyai “jabatan yang tak dapat bersalah,” yang berkuasa untuk
merumuskan “ucapan-ucapan yang tak dapat bersalah.” Protestanisme tidak memahami
dogma sebagai kebenaran wahyu yang ilahi, yang dirumuskan oleh gereja supaya berlaku
sampai kekal, melainkan sebagai kebenaran iman yang insani, yang masa kini secara
eksistensial diakui oleh jemaat Kristen dan anggota-anggotanya atau sebagai “keselarasan
penyampaian gereja dengan wahyu yang disaksikan dalam Alkitab” (Karl Barth). Inilah yang

5
menjadikan dogma dalam gereja Protestan sifatnya relatif. Selain dari pada itu, perumusan
bentuknya disusun oleh manusia sehingga tidak sekuat penyataan Tuhan. Kita menyadari
bahwa penyataan Tuhan dalam, lebar, dan tingginya melebihi akal budi manusia. Dari sebab
itu tak mungkin penyataan Tuhan seluruhnya, secara habis-habisan dijadikan dogma. Hal ini
dapat digambarkan seperti: terang matahari tidak dapat diterima semuanya oleh sebuah
rumah, hanya sebagian kecil dari sinar matahari yang dapat ditangkap olehnya. Jadi jelas,
bahwa dogma bukan Firman Allah sendiri, maka tidak mutlak adanya.
Objek dogmatika bukanlah dogma-dogma gereja, melainkan Kitab Suci secara keseluruhan.
Dogma-dogma ialah rumusan-rumusan dari pengertian-pengertian yang pokok di dalam
Kitab Suci. Tetapi perlu disadari bahwa masih banyak isi Kitab Suci yang belum atau tidak
akan menjadi dogma. Isi ini harus diselidiki juga. Harus kita sadari bahwa segala pernyataan
Tuhan dalam Alkitab merupakan suatu keselarasan, suatu kesatuan. Kalau kita tidak melihat
kesatuan ini (sebab di dalam Kitab Suci memang terdapat hal-hal yang kelihatannya sering
bertentangan) maka kesatuan itu harus dicari.
Dogmatika ini juga memiliki hubungan yang erat sekali dengan etika. Keduanya tidak dapat
dipisahkan. Alasannya adalah karena lama kelamaan terlalu banyak yang harus dibicarakan
dalam dogmatika, maka orang menceraikan sebagian dari dogmatika disebut etika yang dapat
dikatakan sebagai berikut: pelaksanaan pernyataan Kitab Suci di dalam sikap orang percaya
terhadap diri sendiri dan dunia sekitarnya.

Metode Dogmatika
Metode yang harus dipakai dalam merumuskan dan mempelajari dogma adalah sebagai
berikut:
1) Memandang Kitab Suci sebagai sumber dogmatika.
2) Tidak objektif. Ada pautan, penunjuk arah yang harus dipakai oleh penyelidik dogmatika,
yaitu pengakuan gereja, agar tidak sia-sia saja dan agar dogmatika dapat memperkaya
pengakuan-pengakuan gereja dan tidak malah mempermiskinkannya. Meskipun, kalau perlu,
pengakuan dapat dikritik jua.
3) Orang yang mengerjakan juga harus dipandang penting. Dengan singkat harus dinyatakan,
bahwa orang yang menyelidiki dogmatika harus percaya akan Kitab Suci sebagai firman
Tuhan. Metode yang dianjurkan banyak orang dan yang kelihatannya secara ilmiah, yaitu
dengan dasar keobjektifan sebenarnya tidak mungkin dipakai sebab:
a) Keobjektifan di dalam agama tidak mungkin. Kita tak dapat berdiri di luar segala agama,
kemudian menyelidiki agama itu.

6
b) Orang yang tidak percaya tidak dapat membicarakan kepercayaan
c) Cara objektif merendahkan penyataan Tuhan sebab menjadikan pernyataan ini relatif.
Dengan demikian kesimpulan dapat ditarik, bahwa orang yang mempelajari dogmatika itu
harus orang yang percaya akan Kitab Suci sebagai Firman Tuhan.

PENGAJARAN ALKITAB TENTANG ALLAH


Argumentasi Adanya Allah
Sebagai orang percaya, kita meyakini eksistensi Allah. Tiap orang beragama memiliki
keyakinan di dalam lubuk hatinya yang terdalam akan adanya keberadaan yang Tertinggi dari
semua yang ada di dalam dunia ini. Untuk itu, sejak dahulu sudah banyak ahli agama dan
filsafat yang mencoba membuktikan adanya Allah dengan berbagai argumentasi sebab orang
belum puas jika hanya merasa bahwa Tuhan Allah ada dan ingin mencoba membuktikan
dasar-dasar kepercayaannya. Argumentasi-argumentasi tersebut dapat dibagi menjadi:
1. fakta adanya dunia ini mengisyaratkan adanya penyebab awal yang menyebabkan dunia
ini ada.Argumentasi kosmologikal.

Kosmologi

Pandangan ini, yang pernyataan klasiknya diberikan oleh Aquinas (kira-


kira 1225-74), menegaskan bahwa keberadaan dunia memerlukan
oknum tertinggi yang menyebabkan keberadaannya itu. Perhatian dituju-
kan pada fakta kausalitas yang berarti setiap kejadian ada sebabnya, yang
pada gilirannya juga mempunyai sebab, dan seterusnya sampai pada
sebab pertama, yaitu Allah.
Para kritikus menyatakan bahwa pandangan ini tidak dapat meng-
hadapi alternatifnya, yaitu bahwa mungkin tidak ada "sumber" atau asal
pertama. "Alam semesta ada, dan tak ada yang lain yang dapat
dikatakan" (Russell). Tetapi para pembelanya yakin bahwa pandangan ini
tidak boleh dikesampingkan begitu saja. Akhir-akhir ini pandangan ini
sering dirumuskan dengan memakai istilah "kemungkinan" (Ing.
_contingency_). Segala sesuatu bersifat "mungkin" (= ada walaupun tidak
harus ada) ataupun "perlu" (= harus ada). Adanya kenyataan-kenyataan
tertentu yang mungkin, dapat dijelaskan pada tingkat tertentu dengan
mengacu pada sebab-sebab terdahulu yang juga mungkin. Tetapi ter-

7
jadinya dan kelanjutan segala sesuatu yang mungkin, dianggap sebagai
keseluruhan, hanya dapat dijelaskan jika ada sesuatu yang harus ada,
yaitu Allah (bnd. Geisler 1976; Mascall 1943; Farrer 1943).
2. setiap aspek dunia ini telos = tujuan Argumentasi teleologikal membuktikan adanya
akal budi, tujuan dan harmoni sehingga sudah seharusnya ada arsitek yang ahli di balik alam
semesta ini.
Teleologi
Pandangan purba ini masuk ke dalam pikiran dunia barat melalui per-
cakapan Plato, _Timaeus_. Dikatakan, bukti-bukti perencanaan dan tujuan
dalam alam semesta mengharuskan adanya Perencana umum, yaitu Allah.
Pernyataan klasik diberikan oleh Paley (1743-1805). Dalam karyanya_
Natural Theology_ (1802), ia menggunakan analogi suatu jam tangan yang
masih jalan, yang ditemukan di atas tanah. Secara teoretis, keberadaannya
dapat dijelaskan sebagai hasil pertemuan secara kebetulan dari
kekuatan-kekuatan alam, seperti angin, hujan, panas dan sebagainya.
Tetapi ini jelas kurang masuk akal dibandingkan dengan dugaan bahwa
ada seorang ahli pintar yang membuat jam tangan tersebut. Begitu pula
semesta alam yang memperlihatkan perencanaan menunjukkan adanya
suatu Perencana Agung.
Kritikan terpenting terhadap pandangan ini dirumuskan oleh filsuf
Skotlandia, Hume (1711-76). Menurut pandangan Hume, dalam waktu
yang tak terhingga, suatu semesta alam seperti yang kita tempati ini dapat
muncul karena probabilitas saja. Lagi pula semesta alam yang berada
karena probabilitas saja itu tidak dapat tidak menunjukkan bukti
"perencanaan", karena perlu ada penyesuaian antara faktor yang satu
dengan yang lain jika alam semesta itu dapat berada dan berkesinam-
bungan. Pandangan teleologis juga harus mempertimbangkan hal adanya
disteleologi, yaitu proses-proses dalam alam semesta yang kelihatannya
tanpa tujuan atau perencanaan, sepanjang pengetahuan kita.
Seorang ahli hukum Amerika, Horigan, berusaha untuk merehabilitasi
pandangan teleologis dengan pendapat bahwa Darwinisme yang anti-
agama tidak memperhitungkan fakta bahwa alam yang tak hidup bersifat
harmonis dengan evolusi organik. Ditegaskannya pula, bahwa teori

8
evolusi tidak dapat menjelaskan munculnya otak besar secara cepat dalam
rumpun manusia yang sedang berkembang. Sudah tentu, banyak orang
kalau diperhadapkan pada perencanaan dalam alam semesta dari jarak
dekat, misalnya kalau menyaksikan keajaiban bayi yang baru lahir, atau
melihat kecanggihan yang menakjubkan dari sel-sel mata manusia,
menganggap keberatan-keberatan Hume agak teoretis. Namun, secara fil-
safat keberatan ini harus dipertimbangkan.

3. manusia memiliki antropos = manusia Argumentasi antropologikal gambaran filosofis


dan moral dalam dirinya yang bila ditelusuri ke belakang menunjukkan kepada Allah.
4. Argumentasi moral adanya kesadaran moral dalam diri manusia, yang tentunya berasal
dari Allah.
Moral
Pandangan ini mengatakan bahwa pengalaman universal manusia
mengenai kewajiban moral, atau pengertian tentang "apa yang seharusnya
dibuat", serta kegagalannya memenuhi tuntutan moral itu dari hati
nuraninya, tidak dapat diterangkan secara memadai baik sebagai ke-
pentingan diri sendiri saja, ataupun sebagai hasil penyesuaian sosial.
Keberadaan nilai-nilai moral objektif ini menunjukkan keberadaan suatu
dasar nilai-nilai yang transenden, yaitu Allah. Pernyataan klasik dari
pandangan ini diberikan oleh Kant, yang mengatakan bahwa Allah (dan
kebebasan dan kekekalan) adalah "landasan" kehidupan moral, yaitu
kepercayaan dahulu yang mengakibatkan perasaan akan kewajiban moral
tanpa syarat.
Penganut pandangan ini dituduh justru mengandaikan kebenaran yang
hendak dibuktikannya, yakni bahwa pengalaman moral hanya dapat
dijelaskan secara memuaskan dalam hubungannya dengan agama. Ia juga
harus menghadapi bukti-bukti bahwa orang-orang mempunyai pandangan
yang berbeda-beda tentang apa yang dimaksudkan dengan "baik" serta
adanya dilema-dilema moral. Agar dapat dipertahankan, pandangan ini
harus juga menunjukkan bahwa penjelasan-penjelasan lain (yang sosio-
psikologis) tentang timbulnya serta berlanjutnya perasaan moral ini tidak
memuaskan. Beberapa filsuf moral dan pembela Kristen berpendapat

9
bahwa kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi (lihat Owen 1965; Lewis 1952).

5. sifatnya ontos = keberadaan yang ada Argumentasi ontologikal oleh karena semua
manusia memiliki kesadaran akan Allah filosofi konsep Allah adalah universal, maka tentu
Allah sendiri yang menempatkan hal itu dalam diri manusia.
Argumentasi yang pertama sampai yang keempat merupakan argumentasi induktif,
sedangkan argumentasi yang kelima adalah deduktif.

Ontologi

Secara filsafat, pandangan ini yang paling penting. Pernyataan klasik yang
diberikan Anselmus (1033-1109) terdiri dari dua tahap:

* Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan bahwa ada yang
lebih besar (atau lebih sempurna) daripada Dia; dan
* sesuatu yang hanya berada dalam pikiran berbeda dengan sesuatu
yang berada dalam pikiran dan sekaligus juga dalam kenyataan.

Kalau kedua tahap itu digabung, berarti kalau Allah hanya berada dalam
pikiran dan tidak dalam kenyataan, maka dapat dibayangkan oknum yang
lebih sempurna yaitu yang berada dalam pikiran dan juga dalam
kenyataan. Tetapi Allah adalah oknum yang tidak bisa dibayangkan
bahwa ada yang lebih sempurna daripada Dia, jadi Allah tidak berada
hanya dalam pikiran saja. Karena itu harus diterima alternatifnya: oknum
yang paling sempurna berada dalam kenyataan dan dalam pikiran.
Pandangan ontologis ini sangat dikritik oleh filsuf Jerman, Kant
(1724-1804). Ia menunjukkan bahwa argumentasi ini hanya membuk-
tikan bahwa jika ada oknum yang tertinggi, maka ia harus ada. Sifat ada
saja tidak menambahkan apa-apa kepada suatu konsep. Contohnya,
menurut pendapat ini, Rp. 1000,- yang nyata tidak bernilai lebih tinggi
dari Rp 1000,- yang dibayangkan saja.
Akhir-akhir ini pandangan ontologis ini mengalami semacam ke-
bangkitan kembali. Beberapa filsuf keagamaan masa kini percaya bahwa,
jika diakui bahwa suatu oknum yang tertinggi adalah mungkin, maka Ia

10
harus berada dalam kenyataan (lihat Plantinga 1974; Ross 1980).

Argumentasi-argumentasi di atas merupakan jawaban terhadap berbagai teori Anti-Teistik


yang telah ada sejak dulu kala. Teori-teori tersebut antara lain:
1. tidak percaya adanya Allah.Ateistik
Ada tiga bentuk ateistik, yakni:
hidup seakan tidak ada Allah.Pertama, ateistik praktis
secara terbuka menyangkali Allah.Kedua, ateistik dogmatik
menolak Allah sesuai dengan pemahamannya.Ketiga, ateistik virtual
2. agnostik = tidak punya pengetahuan gnosis = pengetahuan Agnostik tentang Allah.
Teori ini berkembang dari paham pragmatisme yang meyakini kepercayaan dalam sesuatu
harus berdasarkan verifikasi ilmiah.
3. pendekatan yang anti supranatural terhadap kehidupan danEvolusi awal mulanya dengan
dimulai dari premis bahwa tidak ada Allah dan berusaha menjelaskan kehidupan terpisah dari
keterlibatan Allah.
4. percaya kepada banyak Allah.Politeisme
5. tidak ada Allah yang bersifat pribadi kepada siapa manusia dapat berhubungan.Deisme
Penyataan Allah
Penyataan Allah merupakan pangkal dari suatu dogma. Kita dapat dengan tegas menyatakan
kita mengenal-Nya sebab Ia telah menyatakan Diri kepada kita. Untuk menjawab pertanyaan
siapakah dan bagaimanakah Allah dalam penyataan-Nya, G. C. van Niftrik dan B. J. Boland
menyodorkan tiga hal, yakni: pertama, “penyataan” adalah perbuatan Allah. Ia adalah Allah
yang bertindak, Allah yang berfirman dan firman-Nya serentak merupakan perbuatan-Nya. Ia
adalah Allah yang hidup di mana hidup-Nya adalah perbuatan-Nya.
Kedua, “penyataan” berarti bahwa Allah mendatangi kita sebagai Allah yang adalah Kasih.
Ia menciptakan hubungan persekutuan dengan ciptaan-Nya, dalam hal ini, manusia (1Yoh.
4:8, 16). Dan yang ketiga, “penyataan” juga berarti dalam kedaulatan-Nya yang merdeka
Allah telah berkenan untuk datang kepada kita.
Dalam pengertian yang tidak jauh berbeda, Harun Hadiwijono juga menjabarkan penyataan
Allah yang terkandung dalam Alkitab mengandung gagasan bahwa Allah keluar dari tempat
“persembunyian-Nya,” memperkenalkan diri kepada umat manusia. Ia menyingkapkan
selubung yang menyelubungi-Nya, dengan tampil ke depan, berbuat di dalam sejarah dan
menyatakan kehendak-Nya di dalam hidup manusia. Dan hal ini digambarkan dengan karya

11
dan firman-Nya. Satu hal penting yang perlu disadari adalah bahwa tujuan dari penyataan diri
Allah bukanlah kebahagiaan manusia, melainkan kemuliaan dan kehormatan Tuhan Allah
sendiri (Rm. 11:36).
Ada dua jenis penyataan Allah, yakni: penyataan umum dan penyataan khusus. Penyataan
umum adalah penyataan yang diberikan kepada seluruh manusia—dengan perantaraan alam
semesta, sejarah dan hati nurani—dan tidak dapat menyelamatkan. Sementara penyataan
khusus adalah penyataan yang diberikan Tuhan Allah dengan firman dan karya-Nya, yang
berpusat kepada Kristus. Dikatakan khusus karena hanya diarahkan kepada orang-orang
beriman saja dan sifatnya menyelamatkan.
Hakikat dan Sifat-Sifat (Atribut) Allah
Kita tentu sudah mengetahui sifat-sifat tradisional Allah yang telah sering dikumandangkan
melalui mimbar dan pelajaran agama. Akan tetapi, Dieter Becker mengingatkan ajaran
tradisional tentang sifat-sifat Allah mengandung bahaya memberi bobot yang terlalu besar
pada criteria yang tidak sesuai. Sifat-sifat Allah tidak boleh dibagi menurut pokok pandangan
yang sekunder. Pada dasarnya susunan dasar hakikat Allah digambarkan sebagai “kudus” dan
“kasih.” Kedua sifat tersebut bukanlah sifat yang senada dengan sifat-sifat yang lain.
Keduanya bahkan tidak boleh dibagi-bagi, melainkan harus menjadi titik tolak suatu
penggolongan yang sesuai.
Pembicaraan mengenai hakikat dan pembagian sifat-sifat Allah (ada juga yang menyebutnya
sebagai atribut ilahi) ini memang bisa menghasilkan keragaman pendapat. Sebagian
mengidentifikasikan kategori yang terpisah untuk mengidentifikasikan Pribadi Allah dengan
mendaftarkan gambaran seperti spiritualitas, pribadi, imensitas dan kekekalan. Namun ada
juga yang menolak pengkategorian atribut, seperti Charles Ryrie dan J. Oliver Buswell, Jr.
Nama-Nama Allah
Ada sekian nama, gelar atau gambaran tentang Allah dalam PL dan dari el,sekian banyak
itu pada umumnya memakai tiga kata dasar utama elohim dan Yahweh/Yehovah.
Sebenarnya Elohim adalah bentuk jamak dari El dan kedua istilah ini ternyata dapat dipakai
secara bergantian (mis: Kel. 34:14; Mzm. 18:32; Ul. 32:17, 21). Elohim menekankan
ketransendenan Allah di mana Ia melampaui semua yang lain yang dipanggil Allah.
Nama berikutnya, Yahweh, merupakan terjemahan kata Ibrani tetragammaton (ekspresi
empat huruf) YHWH. Orang-orang Yahudi pada umumnya sangat menghormati nama ini
sehingga dalam pengucapannya tidak berani menyebut nama YHWH dan menggantinya
dengan kata adonai. Dengan nama Yahweh ini, Allah mengidentifikasikan diri-Nya dalam

12
relasi pribadi-Nya dengan umat-Nya, Israel. Sedangkan adonai merupakan penekanan
terhadap hubungan pelayan dan tuan (Kej. 24:9) mengungkapkan otoritas Tuhan sebagai
yang berdaulat dalam pemerintahan-Nya dan kemutlakkan otoritas-Nya (Mzm. 8:2; Hos.
12:14).
CIPTAAN ALLAH
Alam Semesta
Acuan yang paling sering dipakai dalam membicarakan penciptaan Allah adalah Kejadian 1.
Pada pasal itu dijelaskan bagaimana Allah menciptakan dunia dan seisinya. Ada beberapa
penafsiran yang cukup menarik perhatian seputar penciptaan menurut Alkitab, misalnya:
yang pertama adalah penafsiran Origenes (185-254). Karena pengaruh dari Neo-Platonisme,
ia menganggap Kejadian 1 hanya bersifat alegoris. Pendapat Origenes ini kemudian ditentang
oleh penafsiran kedua, yang disuarakan oleh Tertullianus (120-225) yang menyatakan
Kejadian 1 menyatakan karya Allah dalam menjadikan dan ini cocok dengan fakta yang ada.
Dalam perkembangannya kemudian muncullah pandangan modern tentang susunan alam
semesta, yang dipelopori oleh Copernicus, Galilei dan Newton, menimbulkan cara penafsiran
yang baru terhadap Kejadian 1. Lalu pada tahun 1682 Thomas Burnett menyimpulkan dunia
yang pertama sudah dibinasakan oleh air bah pada zaman Nuh sesuai dengan 2 Petrus 3:6.
Oleh sebab itu, dunia yang sekarang ini adalah dunia yang baru, yang sudah tidak sama lagi
karena air bah meneybabkan permukaan bumi dan permukaan bintang-bintang berubah,
kecuali bintang Jupiter. Kesuburan yang berlebihan dan umur manusia yang panjang pun
menjadi berakhir karena poros bumi menjadi miring. Di sini dapat kita lihat bagaimana
Burnett mencoba memberi tempat bagi bahan-bahan hasil penyelidikan geologi dalam
penafsiran Alkitab.
Kemudian pada abad ke-18 muncul suatu teori yang disebut teori konkordansi. Teori ini
mengajarkan bahwa ada konkordansi atau kesesuaian di antara cerita Alkitab tentang
penjadian dengan tahapan-tahapan waktu di dalam geologi. Dalam perkembangannya
kemudian, muncul penafsiran yang bersifat profetis-historis oleh J. H. Kutz. Namun karena
persatnya perkembangan ilmu pengetahuan, maka sifat profetis ini pun lalu dilepaskan
sehingga bahan-bahan Alkitab tidak lagi mendapat perhatian yang sewajarnya. Teori ini
disebut juga teori ideal yang mengajarkan bahwa kita harus melepaskan arti harafiah dari
Kejadian 1 dan mengambil “ide”nya saja. Jadi, dari uraian di atas kita bisa menyimpulkan
bahwa semenjak ilmu pengetahuan berkembang, ada banyak usaha para teolog untuk
menghadapi tantangan ilmu pengetahuan modern.
Alkitab sendiri selain di kitab Kejadian, juga menyaksikan tentang penciptaan alam semesta

13
di bagian-bagian lain, seperti: Yesaya 40:22; Mazmur 24:2; 104:3.
Tugas
Diskusikan teori-teori penciptaan alam semesta pada agama-agama lain di luar Kristen!
Manusia
Manusia diciptakan sebagai bagian dari alam, dibentuk dari debu tanah (Kej. 2:7). Manusia
sebagai “daging” adalah lemah dan bergantung pada belas kasihan Allah sebagaimana
makhluk-makhluk lainnya (Yes. 2:22; 40:6; Mzm. 103:15; 104:27-30). Allah menugaskan
manusia untuk memanfaatkan alam untuk melayani kebutuhannya, namun manusia pun harus
melayani Allah dengan menjaga alam dan mengolahnya (Kej. 2:15).
Awal mula penciptaan manusia jelas terdapat dalam Kejadian 2 di mana di situ dijelaskan
bahwa manusia diciptakan berbeda dengan Penciptanya dan makhluk-makhluk ciptaan
lainnya.
1. Manusia diciptakan dari debu tanah dan kemudian diberikan nafas kehidupan oleh Tuhan.
Dengan demikian, jelas bahwa manusia memiliki komposisi dalam dirinya. Kesadaran ini
kemudian menimbulkan munculnya pandangan-pandangan:
a) manusia terdiri dari dua bagian, yakni tubuh dan jiwa. dicha = dua dan temno =
memotong Dikotomi
b) manusia terdiri dari tiga bagian, yakni: tubuh, jiwa dan roh. tricha = tiga dan temno =
memotong Trikotomi
c) manusia terdiri dari materi dan non-materi di mana nature non-materi tersebut terdiri dari
banyak segi.Multi-segi
Ibrani 4:12 dianggap sebagai ayat yang mendukung pandangan dikotomi, sementara 1
Tesalonika 5:23 dijadikan pegangan oleh pendukung trikotomi. Pertanyaannya kemudian
adalah apakah memang demikian? Bagaimana menurut saudara?
Tugas
Diskusikan ajaran-ajaran tentang penciptaan manusia pada pengajaran-pengajaran non-
Kristen!
2. Manusia diciptakan menurut gambar (tselem) dan rupa (demuth) Allah. Dalam
perkembangannya, ada banyak pendapat dalam menafsirkan ungkapan ini. Origenes
menyatakan Tuhan menjadikan manusia segambar dengan Allah dalam arti memiliki tabiat
yang berakal sehingga manusia melalui ketaatan menjadi serupa dengan Allah. Ireneus,
sebaliknya mengajarkan bahwa manusia sejak semula segambar dan serupa dengan Allah
dalam arti: sejak semula ia adalah makhluk yang berakal dan serupa dengan Allah. Gereja

14
Roma Katolik meyakini bahwa manusia pada waktu dijadikan adalah makhluk yang bersifat
kodrati dan alami, yang hanya memiliki religi dan kebaikan yang bersifat kodrati, sekalipun
tanpa dosa. Itu sebabnya manusia kemudian diberi sifat ilahi dari atas, yaitu gambar Allah
sehingga manusia memiliki religi dan kebajikan yang mengatasi kodrat dan menjadikannya
dicadangkan bagi surga.
Setelah peristiwa penciptaan dalam Kejadian pasal 1-2, pasal selanjutnya dari buku pertama
dalam Alkitab ini mencatat kejatuhan manusia ke dalam dosa. Akibat dari kejatuhan tersebut
adalah rusaknya gambar Allah dalam diri manusia.

Tugas
Diskusikan apa yang sebenarnya dimaksud dengan manusia diciptakan menurut rupa dan
gambar Allah! Lalu seberapa jauh kerusakan gambar Allah dalam diri manusia sesudah
kejatuhannya ke dalam dosa? Beri pandangan saudara dengan didukung oleh ayat-ayat
Alkitab!
HUBUNGAN ALLAH DENGAN CIPTAAN-NYA
Transendensi dan Imanensi Allah
Alkitab menyatakan Allah adalah Roh Sejati, dalam arti Ia bukanlah kumpulan atau terdiri
dari bagian-bagian, tanpa tubuh jasmani dan tidak dapat dilihat dengan indra jasmani (Yoh.
1:18; 4:24). Kitab Suci juga menyatakan fakta bahwa Allah adalah Roh, berpribadi, rasional,
sadar akan diri-Nya, mengambil keputusan dari diri-Nya dan pelaku moral yang piawai. Ia
adalah Akar yang tertinggi dan sumber dari segala rasionalitas yang ada dalam seluruh
ciptaan-Nya.
Allah juga adalah Roh Yang Maha Kuasa, tanpa ikatan dan tanpa batas. Terkait dengan
waktu, ketakterbatasan Allah disebut dengan kekekalan, sedangkan terkait dengan ruang dan
tempat, Ia disebut omnipresent. Lalu berhubungan dengan semesta alam, Ia dinyatakan
transenden dan immanen. Transenden berbicara mengenai keterlepasan Allah dari seluruh
ciptaan-Nya sebagai Pribadi yang berdaulat dan bebas bertindak sendiri, dan yang “ada”
dengan sendirinya.
Sementara itu, yang dimaksud dengan imanensi Allah adalah kehadiran dan kuasa-Nya yang
senantiasa berlaku dalam ciptaan-Nya. Ia tidak berdiri jauh dari dunia, tidak masa bodoh dan
tidak berpangku tangan menonton dari jauh hasil karya ciptaan-Nya; Ia merasuki segala
sesuatu yang organic dan anorganik, bertindak dari dalam ke luar, dari titik pusat setiap atom
dan dari sumber paling dalam pikiran dan kehidupan dan perasaan, yaitu rangkaian
kesinambungan dari sebab dan akibat. Penyataan transendensi dan imanensi Allah ini dapat

15
terlihat dalam Yesaya 57:15 di mana Ia diungkapkan sebagai “Yang Maha Tinggi dan Yang
Maha Mulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Maha Kudus nama-Nya”
(transenden) dan “Yang juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati” (imanen).
Providensi Allah
Providensi adalah istilah yang berasal dari bahasa Latin providere sebagaimana dipergunakan
dalam Vulgata, yang artinya: memandang ke depan, melihat terlebih dahulu terjadinya
sesuatu, dan sebab itu juga: terlebih dahulu mengambil tindakan-tindakan, menyelenggarakan
atau menyediakan sesuatu. Istilah “providensi” Allah ini acapkali disinonimkan dengan
“takdir Allah.” Namun, apakah memang benar demikian adanya?
Istilah ini muncul di dalam PL pada kisah Abraham yang hendak mempersembahkan Ishak di
gunung Moria (Kej. 22:8, 14) di mana ayat-ayat tersebut dapat diterjemahkan: “Allah yang
akan menyediakan anak domba bakal korban bakaran bagi-Nya.” Jadi, arti “providensi”
dalam cerita tersebut adalah “Allah menyediakan.” Maka, providensi Allah pada dasarnya
berbicara mengenai pemeliharaan atau penentuan Allah terhadap ciptaan-Nya (pemerintahan-
Nya).
Ada dua bentuk providensi Allah dalam dunia ini, yaitu: pemeliharaan dan pemerintahan-
Nya. Keduanya saling terkait dan tidak berdiri sendiri. Manusia pun menjadi alat Tuhan
dalam menjalankan pemeliharaan-Nya atas dunia ini dan segala sesuatu yang terjadi dan akan
terjadi di alam ini diperintah oleh Allah sebab Ia juga merupakan penentu sejarah (Mat.
10:29; Rm. 11:34-36; Ibr. 1:3).
TRITUNGGAL ALLAH
Topik mengenai trinitas atau tritunggal Allah bukanlah topik cukup pelik dan sulit dipahami
sehingga tidak gampang untuk dibicarakan. Tidak seorang pun dapat memberikan penjelasan
yang sempurna tentang topik ini, meskipun ahli-ahli Alkitab sepanjang zaman telah
mengemukakan teori-teori dan mengembangkan hipotesa-hipotesa untuk menyelidiki rahasia
ini. Doktrin ini memang di luar batas logika manusia sehingga tak heran bila subyek ini telah
menjadi kontroversi sejak zaman gereja mula-mula.
Sejak awal, telah banyak serangan yang diarahkan kepada doktrin ini ataupun kepada tiga
Pribadi dalam Tritunggal Allah. Serangan terhadap oknum Allah Bapa, misalnya, dilancarkan
oleh:
1. Gnostisisme, yang meyakini kekuasaan Allah dibatasi oleh kekuasaan demiurgos.
2. Marcionisme, yang berpendapat Allah di dalam PL adalah berbeda dengan Allah di dalam
PB.
Lalu ada juga serangan terhadap oknum Allah Anak yang dilancarkan oleh:

16
1. Adoptianisme, yang menuding Yesus adalah manusia yang dijadikan Allah oleh Tuhan.
2. Arianisme, yang berpandangan Yesus adalah makhluk di antara Allah dan manusia.
Terhadap keilahian Roh Kudus, ada beberapa pendapat yang menyatakan:
1. Roh Kudus adalah ibu Yesus Kristus.
2. Roh Kudus bukanlah oknum, melainkan kekuatan dari Allah (pneumatokhoi).
Bukan hanya itu saja, relasi ketiga oknum Allah (Tritunggal) juga tidak luput dari serangan-
serangan berikut ini:
1. pater = bapa, paskho = menderita =Patripassianisme > hanya ada satu oknum Allah,
yakni Bapa. Anak hanyalah nama lain dari Bapa.
2. Allah tidak beroknum, yang berbeda hanyalah cara Ia menyatakan diri:Sabellius
BapaSebagai Pencipta dan Pemberi Hukum
AnakDi antara inkarnasi dan assensi
Roh KudusDi antara assensi dan parousi
3. Tuhan Allah adalah satu, penyebab segala sesuatu.Origenes Allah Anak keluar dari
Bapa, tetapi lebih rendah daripada Bapa, sedangkan Roh Kudus adalah zat yang ada pada
Allah.
4. hanya ada satu menekankan keunikan dan transendensi Allah Arius Allah, yaitu Bapa,
sedangkan Anak merupakan ciptaan yang sempurna, lebih rendah dari Bapa.
Kita memang harus mengakui bahwa Alkitab tidak sekalipun menyebut istilah Tritunggal
atau pun Trinitas, baik di dalam PL maupun di dalam PB. Akan tetapi, ada banyak ayat-ayat
dalam Alkitab yang menyiratkan ketritunggalan Allah. Doktrin ini memang telah menjadi
salah satu pergumulan panjang gereja dalam sejarah dogma. Di dalam pergumulan tersebut,
ada kalanya gereja berusaha untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan keesaan
Allah dengan melepaskan ketritunggalannya, namun ada juga saat di mana gereja bergumul
untuk menghindarkan diri dari bahaya mempertahankan ketritunggalan Allah dengan
melepaskan keesaannya.
Orang yang besar sekali pengaruhnya pada perumusan ajaran Tritunggal ini adalah
Tertullianus (120-225). Ia mengenalkan istilah “substansi” atau zat dan “persona” atau
pribadi dalam perumusan Tritunggal Allah. Menjawab tudingan Sang Bapa adalah Anak
adalah Roh Kudus, Tertullianus merumuskan Tritunggal Allah sebagai una substantia, tres
personae.
Konsili Nicea merupakan konsili pertama yang diadakan untuk membahas masalah
Tritunggal Allah ini karena serangan dari Arianisme. Namun, ternyata perdebatan tentang hal

17
ini tidak terselesaikan dalam konsili ini. Meski berhasil merumuskan pengakuan iman yang
menyatakan ketritunggalan dalam keesaan dan sebaliknya, gereja tetap belum sepakat. Ada
kesadaran bahwa Nicea dengan kutukannya terhadap Arius, tidak hanya sekedar
menampilkan suatu klimaks dalam perkembangan ajaran gereja, tetapi juga membebankan
tugas-tugas baru. Munculnya istilah-istilah, seperti homoousios, hypostasis, ousia membuat
perumusan tentang Tritunggal Allah menjadi marak.
Tugas
Selidilah di dalam Alkitab ayat-ayat yang menyiratkan Tritunggal Allah dan rumuskanlah
pemahaman saudara mengenai hal ini berdasarkan hasil penyelidikan saudara!
KONSEP ALLAH PADA AGAMA-AGAMA LAIN
Kristen bukanlah satu-satunya agama di dunia ini. Ada banyak agama-agama selain Kristen,
seperti: Islam, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, Konfusius, Zoroaster dan agama-agama suku
yang bersifat okultik. Di Indonesia, selain Kristen, agama-agama lain yang dianggap resmi
adalah agama Islam, Hindu, Buddha dan Katolik. Konsep Allah dalam agama Kristen dan
Katolik, boleh dikatakan tidak berbeda alias sama. Yang berbeda adalah dalam doktrin-
doktrin lainnya, seperti doktrin keselamatan, dosa, Roh Kudus dan lain sebagainya. Oleh
sebab itu pada bagian ini yang akan kita bahas adalah konsep Allah dalam agama-agama lain
selain Kristen dan Katolik.
Agama Islam merupakan agama yang bersifat misi seperti Kristen dan juga sama-sama
bersifat monoteisme. Sedangkan agama Hindu, Buddha dan agama-agama suku pada
umumnya, adalah agama-agama politeisme. Karena sama-sama monoteisme, ada pendapat
yang menyatakan Allah yang disembah oleh orang Kristen adalah Allah yang sama dengan
yang disembah umat Islam. Benarkah pendapat ini? Tentu saja kita tidak dapat menjawab
pertanyaan ini bila kita tidak memahami konsep Allah dalam agama-agama lain di luar
Kristen.
Tugas
Buatlah perbandingan konsep Allah dalam agama Kristen dengan agama-agama lainnya yang
dianggap resmi di Indonesia, yakni: Islam, Hindu, Buddha dan agama suku (boleh pilih
secara spesifik salah satu agama suku).

KEPUSTAKAAN

Abineno, J.L. Ch; Pokok-pokok Penting dari Iman Kristen, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1989.
Becker, Dieter. Pedoman Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993.
Brill, J. Wesley, Dasar yang Teguh. Bandung: Kalam Hidup, t.t.
18
Enns, Paul. The Moody Handbook of Teologi 1. Malang: SAAT, 2004.
____________. The Moody Handbook of Teologi 2. Malang: SAAT, 2006.
Hadiwijono, Harun. Iman Kristen. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1973.
Lane, Tony. Runtut Pijar. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1990.
Lohse, Tony. Pengantar Sejarah Dogma Kristen. Jakarta, BPK Gunung Mulia, 1989.
Martin, Walter. Essential Christianity (Hakikat Kekristenan). Lawang: STT Tabernakel, t.t.
Morey, Robert. Islamic Invasión. Las Vegas: Christian Scholar Press, t.t.
Nieftrik G.C.van, B.J.Boland. Dogmatika Masa Kini. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005.
Scheunemann, V. Apa Kata Alkitab Tentang Dogma Kristen. Batu: YPPII, 1988.
Soedarmo R. Ikhtisar Dogmatika. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1989.

19

Anda mungkin juga menyukai