Anda di halaman 1dari 2

Refleksi 7

Jumat, 20 Maret 2020


MENCINTAI PEKERJAAN DI TENGAH OPINI COVID-19

Di tengah masalah COVID-19 yang mewabah di pelbagai pelosok negeri ini, diberitakan
bahwa pemerintah Provinsi NTT, dalam hal ini Gubernur Viktor Bungtilu Laskodat
menghendaki agar sejak tanggal 20 Maret-4 April semua sekolah diliburkan, dengan alasan inign
memutuskan mata rantai penyebaran virus yang berbahaya ini. Berita ini tidak saja
mempengaruhi aktifitas belajar mengajar di sekolah, melainkan merambat pada relasi dengan
sesama di sekitar. Fenomena ini membuat saya merasa tidak nyaman pada saat terlibat bersama
pasukan kuning. Meskipun demikian, pada hari ini kami memutuskan tetap bekerja bersama
mereka.
Kali iini pasukan kami hanya beranggotakan 6 orang, yang terdiri dari saya, 3 orang
pegawai pasukan kuning (bapak Baron dan bapak Anjas) dan bapak Nerdis sebagai sopir dan 3
orang voluntir (Indra, Hendra dan seorang ibu bernama Martha). Jumlah voluntir pada hari ini
sangat sedikit jika dibandingkan pada hari Jumat sebelumnya. Pada hari ini kami mendapatkan
pembagian kerja di tempat yang sama yakni di wilayah Kabor-Silvia Hotel. Ada pun pengalaman
menarik yang saya alami. Di tengah opini publik tentang COVID-19, kami menjadi salah satu
obyek perhatian yang sangat miris di tengah masyarakat. Di beberapa tempat setiap kali kami
hendak mengangkat sampah, ada banyak komentar orang-orang di sekitar kami perihal COVID-
19. Mereka merasa bahwa kehadiran kami dan bau sampah bisa membuat mereka tertular virus
berbahaya itu, sehingga banyak yang memilih menjauhi kami. Realitas ini membuat saya merasa
bahwa menjadi seorang pasukan kuning berarti berani untuk dipinggirkan dalam relasi sosial
masyarakat. Apalagi di tengah fenomena covid 19 ini. Ka’e Baron pegawai pasukan kuning yang
memiliki pengalaman kerja selama 20 tahun sebagai pasukan kuning mengatakan bahwa tidak
jarang mereka diperlakukan demikian. Tetapi komentar itu tidak sedikitpun merampas
kabahagiaan mereka. Ia mengatakan bahwa “meskipun kami diperlakukan seperti itu, tetapi
mereka tidak bisa merampas kebahagian kami, dengan semua yang kami kerjakan ini, karena
kami bersyukur kepada Tuhan melalui pekerjaan ini kami bisa menafkai istri dan anak-anak
kami”. Ketika mendengar pernyataan yang menjadi spirit yang menjiwainya ini, saya pun
merenungkan bahwa hal ini mau mengajarkan saya untuk mencintai semua pekerjaan yang
Tuhan berikan kepada saya saat ini serta belajar untuk mencintai semua orang apapun kondisi
dan profesi mereka. Dari refleksi ini, saya pun merenungkan bahwa apakah tidak ada kebijakan
lain dari pihak pemerintah perihal waktu kerja untuk pasukan kuning, di tengah pandemi ini.
Sebab bagi saya ada benarnya banyak orang merasa tergangu dengan aktivitas kami, karena yang
kami kerjakan semuanya bersentuhan langsung dengan yang kotor. Layaklah pula banyak orang
menduga bahwa di tengah tumpukan sampah ada virus yang berbahaya itu dan kami yang terlibat
untuk membersihkan itu tentu memiliki kemungkinan besar akan jangkit virus berbahaya
tersebut. Dalam percakapan pribadi bersama beberapa saudara anggota pasukan kuning perihal
masalah covid ini, mereka mengutarakan bahwa sejatinya mereka menginginkan agar ada
kebijakan khusus dari pihak pemerintah, perhal mengingat bahwa virus ini sangat berbahaya. Di
sisi lain mereka juga mengatakan bahwa jika mereka tidak berani bekerja dalam situasi seperti
ini, maka tidak ada sumber penghasilan lain untuk menafkai keluarga mereka. Sungguh situasi
dilematis untuk seorang pasukan kuning.

Meskipun demikian sejatinya saya merasa tidak nyaman bukan dari prspektif orang
tentang cara kami bekerja, melainkan tentang virus itu sendiri. Ketika hendak mengangkat
sampah sering kali saya menghindar dan

Anda mungkin juga menyukai