laksana yang tepat dan benar, dalamnya manusia mengalami bahwa Allah
sungguh hadir dan mengambil bagian dalam hidup dan karya manusia untuk
keselamatan manusia, dan dalamnya manusia beriman sungguh tergerak
untuk mengambil bagian secara aktif-penuh dalam karya-karya agung Allah
demi kemuliaan nama-Nya.
Dalam perayaan seperti ini para petugas khusus, terutama para pemimpin,
mempunyai peran yang penting. Dan peran itu dijalankan-nya sebagai salah
satu anggota dari umat dan sebagai seorang yang mempunyai tugas liturgis
khusus. Sebagai salah satu anggota umat beriman, ia mesti mengalami
kehadiran Allah dan misteri-Nya yang dirayakan dalam liturgi. Sebagai
pemimpin ia membantu menghadirkan Allah dan karya-karya-Nya yang
agung, sekaligus membantu umat untuk mengarahkan seluruh diri
(perhatian) kepada inti misteri, yaitu kepada Allah dan karya-karya-Nya
yang agung, bukan kepada dirinya sendiri.
Peran pertama dari pemimpin adalah menyadari diri sebagai bagian dari
umat. Sesungguhnya pemimpin liturgi dipilih dari tengah umat untuk
melaksanakan tugas tertentu dalam perayaan. Maka pertama-tama si
pemimpin hendaknya merayakan liturgi sebagai bagian dari umat, atau
sebagai anggota persekutuan beriman. Perhatian terhadap pelaksanaan
tugasnya yang khusus tidak boleh membuat pemimpin merasa dibebaskan
dari kewajiban/peran sebagai anggota umat yang mau mengambil bagian
dalam perayaan dari awal sampai akhir, yaitu mengikuti perayaan dengan
penuh kesadaran, mengarahkan seluruh diri dan perhatiannya kepada inti
misteri perayaan: Allah dan karya-karya-Nya yang agung. Contohnya, ketika
lektor membacakan Sabda Tuhan dari mimbar Kitab Suci, pemimpin
bersama umat yang lain memasang telinganya dan mendengarkan
pembacaan itu dengan penuh perhatian dan tidak sibuk membolak-balik
buku misa atau persiapan kotbah untuk mempelajari apa yang harus
dilakukan sesudahnya.
Selain sebagai anggota umat, pemimpin liturgi dipilih dari tengah umat
untuk menjalankan tugas khusus memimpin perayaan. Oleh karena itu
jalannya seluruh perayaan juga tergantung pada kemampuan-ketrampilan
memimpin umat untuk berpartisipasi di dalamnya. Jelaslah bahwa liturgi
bukan melulu tindakan pemimpin. Liturgi adalah perayaan umat yang
dipersatukan oleh seorang pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin ada dan
menjalankan fungsi liturgis yang khusus karena ada umat. Tugas
kepemimpinan ini nampak misalnya dalam membawakan doa-doa
pemimpin. Doa-doa ini memang diucapkan oleh pemimpin sendiri, tetapi
bukan merupakan doa pribadi dari pemimpin. Doa-doa ini adalah doa dari
3
seluruh umat yang dibawakan oleh pemimpin. Karena itu pemimpin perlu
memperhatikan hal-hal yang memperlihatkan aspek tersebut seperti
membuat ajakan dengan jelas, memberi kesempatan hening secukupnya bagi
umat untuk menyampaikan doa-doa dalam hati, mengucapkan doa dengan
suara lantang tetapi lembut, dengan tekanan yang tepat dan dengan artikulasi
jelas. Dengan demikian umat merasa bahwa doa-doa pemimpin itu
diucapkan dengan penuh pengertian dan kesadaran sehingga mudah
dimengerti dan diikuti oleh seluruh umat sebagai doa-doa mereka semua.
Pernah saya memuji seorang imam karena doa pembukaan yang
diucapkannya dalam perayaan Ekaristi sangat menyentuh. Dengan agak
heran imam itu berkata: “Biasanya orang memberi kesan tentang kotbah,
tentang lagu-lagu, tentang keseluruhan jalannya perayaan, tetapi tentang
doa-doa tidak biasa ditanggapi”. Barangkali kita tidak biasa mendengarkan
dengan baik isi doa pemimpin, apalagi disentuh dan digerakkan oleh doa itu.
Mungkin rumusannya kurang menyentuh. Tetapi kemungkinan besar
disebabkan oleh cara pemimpin membawakan doa-doa itu. Apakah ia
mengucapkannya sebagai doa pribadi ataukah sebagai doa semua umat
beriman? Kegagalan dalam mengucapkan doa-doa pemimpin akan
mengurangkan daya sentuh dari perayaan dan melemahkan semangat
partisipasi dalam diri umat. Suatu persiapan yang baik akan menolong
pemimpin untuk menjalankan peran kepemimpinan dalam liturgi secara
meyakinkan.
Tugas kewajiban kedua dari pemimpin dalam liturgi adalah membantu
seluruh peraya merasakan dan mengalami hadirnya Allah Tritunggal dan
karya-karya-Nya yang agung. Dalam suatu perayaan liturgi, imam
(pemimpin tertahbis) yang menyalami umat, membacakan Injil,
membawakan homili, memadahkan Doa Syukur Agung, membagi Tubuh
dan Darah Kristus, memberi berkat dan mengutus umat, sebenarnya
menghadirkan Tuhan sendiri. Dalam diri dan tindakan pemimpin liturgi,
nampaklah Tuhan yang membawa damai bagi umat, yang menyampaikan
kehendak-Nya sebagai pedoman hidup, yang membaharui dan menguduskan
umat, yang membagi Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan-minuman
rohani untuk umat, yang menyalurkan berkat dan bersedia menyertai umat-
Nya dalam ziarah hidup di dunia ini. Maka pelaksanaan tugas sebagai
pemimpin hendaknya dibuat sedemikian rupa agar kehadiran dan karya
Allah sungguh nampak dan dirasakan oleh semua peraya. Dengan demikian
kiranya seluruh umat ditolong untuk mengarahkan dirinya kepada inti
misteri perayaan. Perhatian umat tidak boleh dibuyarkan dan dialihkan
kepada hal-hal lain hanya karena pelaksanaan tugas pemimpin yang
4
Menyadari dan mengalami peran Allah Roh Kudus dalam liturgi adalah
tugas lain dari setiap pemimpin liturgi. Roh Kudus berperan aktif
mewujudkan karya-karya Bapa dan Putera. Dia menguduskan, memurnikan,
mengampuni dan mempersatukan orang beriman menjadi saudara-saudari
Yesus, putra-putri Bapa. Dialah yang membuat manusia mampu menyapa
Allah sebagai Bapa dan berdoa kepada-Nya. Apakah para pemimpin liturgi
berusaha hidup menurut dorongan Roh Kudus dan mengambil bagian dalam
karya-karya-Nya? Apakah sebelum setiap perayaan, pemimpin biasa berdoa
memohon bimbingan dan kekuatan Allah Roh Kudus untuk dapat
melaksanakan peran-peran liturgis dengan baik dan benar? Sesungguhnya
doa atau nyanyian kepada Allah Roh Kudus sebelum perayaan amat perlu
baik bagi para pelayan maupun bagi seluruh umat.
Kegiatan Allah Tritunggal dalam liturgi haruslah menjadi titik pusat
perhatian semua petugas khusus. Melihat, mendengar, memahami,
merasakan atau menyadari apa yang sedang dilaksanakan oleh Allah
Tritunggal dalam perayaan adalah syarat penting untuk dapat mengalami
liturgi sebagai suatu karya penyelamatan. Dalam hal ini tidak boleh terlalu
ditekankan arti liturgi sebagai kegiatan umat saja. Bila kita hanya
menekankan kegiatan manusia, maka titik pusat perhatian bisa beralih
kepada tindakan atau karya umat (termasuk kegiatan para petugas sebagai
bagian dari umat) dan kesadaran akan kehadiran Allah yang sedang berkarya
akan menjadi lemah (bukan pusat perhatian lagi). Kita akan lebih
mengutamakan kegiatan atau tindakan kita dalam perayaan sebagai “syarat”
untuk memperoleh sesuatu dari Tuhan, atau untuk membeli kemurahan-Nya.
Perayaan liturgi bisa saja dipandang sebagai satu kegiatan manusia (umat
dan petugas) yang mempunyai kekuatan magis, yang dengannya manusia
mau menaklukkan Allah, yang berarti (sadar atau tidak) manusia mau
menjadi lebih kuat dari Allah, bukan hanya mau menjadi sama dengan
Allah. Jadi tingkat kekeliruannya melebihi yang telah dibuat oleh Adam dan
Eva yang hanya mau menjadi sama dengan Allah. Pandangan dan sikap
magis seperti ini hanya akan menimbulkan frustrasi dalam diri manusia,
cepat atau lambat, sadar atau tanpa sadar.
Bila Allah Tritunggal dan karya-Nya yang agung dan menyelamatkan
merupakan inti-pusat perayaan, maka betapa perlu menyadari pentingnya
saat-saat hening. Dalam keheningan pemimpin akan menjadi lebih peka
menangkap dan mengalami kehadiran Allah yang berkarya. Keheningan ini
akan menolong kita untuk memberi tanggapan terhadap karya-karya Allah
sebagai bagian utuh dari partisipasi yang aktif dalam perayaan. Dan yang
paling utama bagi manusia beriman adalah tanggapan (jawaban) penuh rasa
6
syukur, pujian, sembah sujud, silih dan barulah permohonan. Coba ingat
berapa banyak ujud perayaan Ekaristi yang bernada syukur, pujian, sembah-
sujud, silih, dan berapa banyak yang berisi permohonan? Apakah sebagai
pemimpin, kita telah memberi penjelasan kepada umat tentang kegiatan
Allah Tritunggal dalam liturgi? Ataukah yang lebih kita utamakan adalah
nasihat, teguran spontan (kadang-kadang sangat keras atau dengan nada
marah) agar umat menjadi lebih aktif atau supaya mereka lebih
berpartisipasi dalam perayaan?
Bagaimana menghayati kemungkinan-kemungkinan untuk berpartisipasi
dalam perayaan? Dalam liturgi kita dapat berpartisipasi dengan suara yaitu
mengambil bagian dalam doa dan nyanyian dengan suara lantang. Kadang-
kadang kita terlalu menekankan partisipasi dengan mulut, suara. Kita
mengajak umat agar turut berdoa dengan suara jelas dan turut menyanyi
dengan suara merdu. Lalu partisipasi dalam bentuk lain mungkin kurang
mendapat perhatian. Misalnya partisipasi dengan hati yang tulus ikhlas,
dalam keheningan. Dalam diam dan hening kita dapat ambil bagian dengan
hati yang tulus. Maka perlulah kita menghargai saat-saat hening dengan
baik. Juga kita dapat berpartisipasi dengan budi yang terarah atau yang
terpusat (penuh konsentrasi) pada inti misteri atau pada kegiatan perayaan
yang sedang berlangsung. Selain itu kita dapat berpartisipasi dengan
emosi/afeksi/perasaan yang tepat yang terungkap dalam nada doa, nyanyian,
bacaan atau seruan-seruan. Dan partisipasi itu juga kita ungkapkan dalam
sikap/gerak liturgis yang cocok. Tata sikap-gerak dalam perayaan bersifat
liturgis. Semua peraya mengambil bagian dalam sikap yang sama sesuai
dengan kesepakatan persekutuan (Gereja). Sikap atau gerak tubuh dalam
perayaan tidak ditentukan oleh keinginan pribadi. Setiap peraya menerima
dan menghayati sikap yang telah disepakati Gereja dan berusaha menghayati
maknanya dengan penuh kesadaran sehingga menjadi milik pribadi.
Pemimpin liturgi perlu memberi teladan dalam hal ini. Hendaknya nampak
jelas bahwa ia turut berdoa, menyanyi dengan hati yang tenang dan hening,
dengan budi yang terarah (penuh perhatian), dengan emosi/afeksi yang tepat,
dengan sikap liturgis yang sesuai dan ekspresif.
Partisipasi tidak hanya berarti mengambil bagian tetapi juga berarti
memberi bagian. Partisipasi berarti mengambil bagian, yaitu mengambil
bagian dari hidup/milik seseorang atau dari sekelompok orang dan
menjadikannya bagian dari hidup/milik sendiri. Jadi dalam hal ini orang
menerima bagian tertentu menjadi miliknya. Dalam liturgi kita menerima
bagian dari hidup/karya Allah Tritunggal dan juga dari sesama umat untuk
menjadi hidup atau milik sendiri. Namun kalau hanya ini yang ditekankan
7
maka kita bisa menjadi amat egois dan parasit atau kita cenderung menjadi
orang yang hanya menuntut dan menerima bagian tertentu dari orang lain.
Padahal partisipasi juga berarti “memberi bagianku” untuk disatukan dengan
bagian (hidup dan milik) yang lain. Dalam liturgi kita memberi bagian dari
diri sendiri kepada Allah dan sesama seperti waktu, perhatian, bakat, pikiran
atau budi, hati, sikap, milik ... yaitu “diri kita”. Semua yang ada pada kita
adalah pemberian, anugerah Tuhan. Kita telah menerimanya dengan cuma-
cuma, maka kita harus memberinya juga dengan cuma-cuma. Bila kita hanya
memberi bagian dan tidak bersedia menerima (dengan cuma-cuma) dari
yang lain, dan hanya mau menerima sesuatu sebagai balas jasa, maka kita
cenderung menjadi orang yang tinggi hati. Dalam hubungan dengan Tuhan,
sesama dan lingkungan sekitar yang juga kita rayakan dalam liturgi,
manakah sikap yang lebih menonjol? Menerima atau memberi bagian?
Ataukah memang ada keseimbangan antara kedua sikap itu?
Menghayati sikap memberi dan menerima secara seimbang sebagai tanda
partisipasi kita yang ikhlas dalam liturgi, akan memperlihatkan dengan jelas
hal-hal berikut ini:
= Kita tidak mengandalkan kemampuan diri sendiri. Hanya kekuatan dan
anugerah Allah adalah andalan kita.
= Kita menjadi rendah hati. Kita tidak menonjolkan pemberian kita atau
kegiatan kita.
= Kalau kita memberi sesuatu atau melakukan tugas khusus, akan lebih
nampak semangat pelayanan dalam kasih penuh syukur. Kita akan
menghindarkan sikap memberi untuk menerima, memberi dengan maksud
supaya dibalas (do ut des), memberi untuk menguasai atau menaklukkan
yang lain.
= Kita juga mau memberi dengan gembira, rela hati dan tulus ikhlas tanpa
pamrih, bukan karena terpaksa, bukan pula dengan sedih hati.
= Kita menerima dengan penuh rasa syukur, tanpa menuntut pemberian
sebagai imbalan atas jasa-jasa kita.
= Kita menjadi satu. Kita bersatu dengan Allah, dengan sesama dan
dengan lingkungan alam sekitar. Kita tidak sendirian. Kita jadi teguh dan
kuat. Kita diteguhkan dan dikuatkan. Kita meneguhkan, menguatkan dan
mempersatukan sesama anggota persekutuan dan alam sekitar sebagai
bagian utuh ciptaan Tuhan.
Liturgi yang menarik dan mengundang partisipasi aktif dari semua
anggota Gereja mempunyai kaitan erat dengan kegiatan-kegiatan Gereja
8