Anda di halaman 1dari 9

PERAN PEMIMPIN

DALAM MENGUPAYAKAN LITURGI


YANG MENARIK DAN PARTISIPATIF
Rm Bernardus Boli Ujan, SVD
Liturgi yang menarik adalah liturgi yang indah dan anggun. Hal-hal yang
indah dan anggun meliputi: tata perayaan, tata suara, tata ruang, tata gerak
dan tata simbol. Bidang-bidang ini menarik manusia dalam arti menyentuh,
menyapa, menggerakkan, mengundang manusia sebagai pribadi utuh yang
mempunyai hubungan dengan Tuhan, sesama dan lingkungan sekitar.
Itu berarti liturgi hendaknya:
= menarik mata manusia
= menggugah perasaan/emosi/afeksinya,
= menggerakkan budi, kehendak, dan kebebasannya,
= menyentuh penciumannya,
= menggugah telinga atau pendengarannya,
= menyentuh hati, jiwa atau rohnya.
= menarik seluruh diri manusia sebagai anggota dari satu persekutuan
beriman, yang mempunyai relasi dengan Tuhan, dengan sesama (lingkungan
sosial) dan dengan dunia sekitar (lingkungan alam sekitarnya).
Maka perlu manusia beriman menyadari kehadiran dari “Yang menarik”
itu yaitu kehadiran Tuhan yang mahabaik, yang penuh belaskasihan, yang
merangkul dan mempersatukan, yang bersabda dan memanggil, yang
mendengarkan doa-doa dan memperhatikan kebutuhan-kebutuhan umat-
Nya, yang memberi makan dan minum kepada manusia, yang mengutus
mereka ke tengah dunia dan menyertai mereka dalam ziarah hidup harian
menuju kediaman abadi. Jadi dalam liturgi itu manusia menyadari hadirnya
Tuhan dengan segala karya-tindakan-Nya yang agung dan menyelamatkan.
Dalam hal ini manusia mesti terbuka dan peka terhadap inti misteri yang
dirayakan, terhadap dorongan Roh Kudus dan terhadap tanda-tanda simbolis
sacramental yang dialami dalam liturgi. Dengan kata lain, liturgi itu menarik
kalau dapat mengarahkan seluruh diri manusia beriman kepada Allah dan
inti misteri yang dirayakan.
Liturgi yang menarik adalah juga liturgi yang partisipatif. Itu berarti
liturgi adalah suatu perayaan kudus, yang dijalankan sesuai dengan tata
2

laksana yang tepat dan benar, dalamnya manusia mengalami bahwa Allah
sungguh hadir dan mengambil bagian dalam hidup dan karya manusia untuk
keselamatan manusia, dan dalamnya manusia beriman sungguh tergerak
untuk mengambil bagian secara aktif-penuh dalam karya-karya agung Allah
demi kemuliaan nama-Nya.
Dalam perayaan seperti ini para petugas khusus, terutama para pemimpin,
mempunyai peran yang penting. Dan peran itu dijalankan-nya sebagai salah
satu anggota dari umat dan sebagai seorang yang mempunyai tugas liturgis
khusus. Sebagai salah satu anggota umat beriman, ia mesti mengalami
kehadiran Allah dan misteri-Nya yang dirayakan dalam liturgi. Sebagai
pemimpin ia membantu menghadirkan Allah dan karya-karya-Nya yang
agung, sekaligus membantu umat untuk mengarahkan seluruh diri
(perhatian) kepada inti misteri, yaitu kepada Allah dan karya-karya-Nya
yang agung, bukan kepada dirinya sendiri.
Peran pertama dari pemimpin adalah menyadari diri sebagai bagian dari
umat. Sesungguhnya pemimpin liturgi dipilih dari tengah umat untuk
melaksanakan tugas tertentu dalam perayaan. Maka pertama-tama si
pemimpin hendaknya merayakan liturgi sebagai bagian dari umat, atau
sebagai anggota persekutuan beriman. Perhatian terhadap pelaksanaan
tugasnya yang khusus tidak boleh membuat pemimpin merasa dibebaskan
dari kewajiban/peran sebagai anggota umat yang mau mengambil bagian
dalam perayaan dari awal sampai akhir, yaitu mengikuti perayaan dengan
penuh kesadaran, mengarahkan seluruh diri dan perhatiannya kepada inti
misteri perayaan: Allah dan karya-karya-Nya yang agung. Contohnya, ketika
lektor membacakan Sabda Tuhan dari mimbar Kitab Suci, pemimpin
bersama umat yang lain memasang telinganya dan mendengarkan
pembacaan itu dengan penuh perhatian dan tidak sibuk membolak-balik
buku misa atau persiapan kotbah untuk mempelajari apa yang harus
dilakukan sesudahnya.
Selain sebagai anggota umat, pemimpin liturgi dipilih dari tengah umat
untuk menjalankan tugas khusus memimpin perayaan. Oleh karena itu
jalannya seluruh perayaan juga tergantung pada kemampuan-ketrampilan
memimpin umat untuk berpartisipasi di dalamnya. Jelaslah bahwa liturgi
bukan melulu tindakan pemimpin. Liturgi adalah perayaan umat yang
dipersatukan oleh seorang pemimpin. Dalam hal ini, pemimpin ada dan
menjalankan fungsi liturgis yang khusus karena ada umat. Tugas
kepemimpinan ini nampak misalnya dalam membawakan doa-doa
pemimpin. Doa-doa ini memang diucapkan oleh pemimpin sendiri, tetapi
bukan merupakan doa pribadi dari pemimpin. Doa-doa ini adalah doa dari
3

seluruh umat yang dibawakan oleh pemimpin. Karena itu pemimpin perlu
memperhatikan hal-hal yang memperlihatkan aspek tersebut seperti
membuat ajakan dengan jelas, memberi kesempatan hening secukupnya bagi
umat untuk menyampaikan doa-doa dalam hati, mengucapkan doa dengan
suara lantang tetapi lembut, dengan tekanan yang tepat dan dengan artikulasi
jelas. Dengan demikian umat merasa bahwa doa-doa pemimpin itu
diucapkan dengan penuh pengertian dan kesadaran sehingga mudah
dimengerti dan diikuti oleh seluruh umat sebagai doa-doa mereka semua.
Pernah saya memuji seorang imam karena doa pembukaan yang
diucapkannya dalam perayaan Ekaristi sangat menyentuh. Dengan agak
heran imam itu berkata: “Biasanya orang memberi kesan tentang kotbah,
tentang lagu-lagu, tentang keseluruhan jalannya perayaan, tetapi tentang
doa-doa tidak biasa ditanggapi”. Barangkali kita tidak biasa mendengarkan
dengan baik isi doa pemimpin, apalagi disentuh dan digerakkan oleh doa itu.
Mungkin rumusannya kurang menyentuh. Tetapi kemungkinan besar
disebabkan oleh cara pemimpin membawakan doa-doa itu. Apakah ia
mengucapkannya sebagai doa pribadi ataukah sebagai doa semua umat
beriman? Kegagalan dalam mengucapkan doa-doa pemimpin akan
mengurangkan daya sentuh dari perayaan dan melemahkan semangat
partisipasi dalam diri umat. Suatu persiapan yang baik akan menolong
pemimpin untuk menjalankan peran kepemimpinan dalam liturgi secara
meyakinkan.
Tugas kewajiban kedua dari pemimpin dalam liturgi adalah membantu
seluruh peraya merasakan dan mengalami hadirnya Allah Tritunggal dan
karya-karya-Nya yang agung. Dalam suatu perayaan liturgi, imam
(pemimpin tertahbis) yang menyalami umat, membacakan Injil,
membawakan homili, memadahkan Doa Syukur Agung, membagi Tubuh
dan Darah Kristus, memberi berkat dan mengutus umat, sebenarnya
menghadirkan Tuhan sendiri. Dalam diri dan tindakan pemimpin liturgi,
nampaklah Tuhan yang membawa damai bagi umat, yang menyampaikan
kehendak-Nya sebagai pedoman hidup, yang membaharui dan menguduskan
umat, yang membagi Tubuh dan Darah-Nya sebagai makanan-minuman
rohani untuk umat, yang menyalurkan berkat dan bersedia menyertai umat-
Nya dalam ziarah hidup di dunia ini. Maka pelaksanaan tugas sebagai
pemimpin hendaknya dibuat sedemikian rupa agar kehadiran dan karya
Allah sungguh nampak dan dirasakan oleh semua peraya. Dengan demikian
kiranya seluruh umat ditolong untuk mengarahkan dirinya kepada inti
misteri perayaan. Perhatian umat tidak boleh dibuyarkan dan dialihkan
kepada hal-hal lain hanya karena pelaksanaan tugas pemimpin yang
4

semrawut. Patut disesalkan kalau pemimpin liturgi melaksanakan perannya


dengan cara dan maksud untuk menarik perhatian umat kepada dirinya dan
bukan kepada inti misteri yaitu kehadiran Allah dan karya-karya-Nya yang
menyelamatkan. Maka amatlah perlu para pemimpin menyadari peran Allah
Tritunggal dalam setiap perayaan dan bertanya kepada diri sendiri sejauh
mana ia telah mengambil bagian dalam karya-karya Allah Bapa, Putera dan
Roh Kudus dan menarik seluruh diri umat kepada misteri itu.
Para pemimpin perlu menyadari dan mengalami peran Allah Bapa dalam
liturgi. Allah Bapa dalam liturgi hadir sebagai Allah mahabaik, yang selalu
setia dalam janji-Nya untuk menyelamatkan manusia, yang setia dalam
kasih-Nya tanpa batas dan tanpa syarat, yang setia memperdengarkan Sabda-
Nya, selalu mau merangkul dan mempersatukan umat, yang terus menerus
mencipta dan tak pernah berhenti berkarya terutama dalam liturgi, yang terus
menerus membaharui ciptaan. Ia selalu mendengarkan doa-doa dan keluhan
umat, terus menerus memperhatikan kepentingan umat, dan sabar serta
penuh pengertian dan selalu mau mengampuni. Apakah tiap pemimpin
liturgi mengambil bagian dalam karya atau tindakan penyelamatan Bapa
mahabaik ini? Yang terus berbuat baik, setia dalam janji dan kasih, berusaha
merangkul dan mempersatukan, turut mencipta dan membaharui diri, sesama
dan lingkungan, mau mendengar orang lain, sabar serta rela mengampuni?
Bila pemimpin liturgi aktif mengambil bagian dalam karya-karya Allah
Bapa, dan membantu umat untuk turut aktif seperti Bapa, maka partisipasi
persekutuan beriman dalam liturgi akan menjadi lebih baik, benar dan
menarik.
Selain itu para pemimpin perlu menyadari peran Allah Putera, Yesus
Kristus sebagai imam agung dalam liturgi. Dalam setiap perayaan liturgi
dialami kembali peristiwa Yesus Kristus, hidup dan karya-Nya dengan daya
dampak yang menyelamatkan dan membebaskan. Dalam liturgi Yesus lahir
dan tinggal di antara manusia. Ia hadir dan mewartakan Sabda keselamatan,
kembali berdoa dan berkurban, mati dan bangkit untuk manusia. Yesus terus
menerus mempersembahkan seluruh diri-Nya sebagai korban syukur-pujian
kepada Bapa. Apakah pemimpin liturgi sungguh-sungguh berusaha
mengambil bagian dalam hidup dan karya Yesus Kristus? Apakah ia mau
lahir baru atau mau membaharui diri terus menerus, mau tinggal di antara
sesama umat dan menjadi satu dari mereka, mau mewartakan Sabda-
kehendak-Nya, mau berdoa terus menerus, mau mengurbankan diri, rela
memberi yang ada pada dirinya demi kebahagiaan orang lain, mau mati
terhadap dosa dan terus berusaha bangkit lagi (bangun kembali) dari
kelemahan-kelemahan atau kekurangan-kekurangan?
5

Menyadari dan mengalami peran Allah Roh Kudus dalam liturgi adalah
tugas lain dari setiap pemimpin liturgi. Roh Kudus berperan aktif
mewujudkan karya-karya Bapa dan Putera. Dia menguduskan, memurnikan,
mengampuni dan mempersatukan orang beriman menjadi saudara-saudari
Yesus, putra-putri Bapa. Dialah yang membuat manusia mampu menyapa
Allah sebagai Bapa dan berdoa kepada-Nya. Apakah para pemimpin liturgi
berusaha hidup menurut dorongan Roh Kudus dan mengambil bagian dalam
karya-karya-Nya? Apakah sebelum setiap perayaan, pemimpin biasa berdoa
memohon bimbingan dan kekuatan Allah Roh Kudus untuk dapat
melaksanakan peran-peran liturgis dengan baik dan benar? Sesungguhnya
doa atau nyanyian kepada Allah Roh Kudus sebelum perayaan amat perlu
baik bagi para pelayan maupun bagi seluruh umat.
Kegiatan Allah Tritunggal dalam liturgi haruslah menjadi titik pusat
perhatian semua petugas khusus. Melihat, mendengar, memahami,
merasakan atau menyadari apa yang sedang dilaksanakan oleh Allah
Tritunggal dalam perayaan adalah syarat penting untuk dapat mengalami
liturgi sebagai suatu karya penyelamatan. Dalam hal ini tidak boleh terlalu
ditekankan arti liturgi sebagai kegiatan umat saja. Bila kita hanya
menekankan kegiatan manusia, maka titik pusat perhatian bisa beralih
kepada tindakan atau karya umat (termasuk kegiatan para petugas sebagai
bagian dari umat) dan kesadaran akan kehadiran Allah yang sedang berkarya
akan menjadi lemah (bukan pusat perhatian lagi). Kita akan lebih
mengutamakan kegiatan atau tindakan kita dalam perayaan sebagai “syarat”
untuk memperoleh sesuatu dari Tuhan, atau untuk membeli kemurahan-Nya.
Perayaan liturgi bisa saja dipandang sebagai satu kegiatan manusia (umat
dan petugas) yang mempunyai kekuatan magis, yang dengannya manusia
mau menaklukkan Allah, yang berarti (sadar atau tidak) manusia mau
menjadi lebih kuat dari Allah, bukan hanya mau menjadi sama dengan
Allah. Jadi tingkat kekeliruannya melebihi yang telah dibuat oleh Adam dan
Eva yang hanya mau menjadi sama dengan Allah. Pandangan dan sikap
magis seperti ini hanya akan menimbulkan frustrasi dalam diri manusia,
cepat atau lambat, sadar atau tanpa sadar.
Bila Allah Tritunggal dan karya-Nya yang agung dan menyelamatkan
merupakan inti-pusat perayaan, maka betapa perlu menyadari pentingnya
saat-saat hening. Dalam keheningan pemimpin akan menjadi lebih peka
menangkap dan mengalami kehadiran Allah yang berkarya. Keheningan ini
akan menolong kita untuk memberi tanggapan terhadap karya-karya Allah
sebagai bagian utuh dari partisipasi yang aktif dalam perayaan. Dan yang
paling utama bagi manusia beriman adalah tanggapan (jawaban) penuh rasa
6

syukur, pujian, sembah sujud, silih dan barulah permohonan. Coba ingat
berapa banyak ujud perayaan Ekaristi yang bernada syukur, pujian, sembah-
sujud, silih, dan berapa banyak yang berisi permohonan? Apakah sebagai
pemimpin, kita telah memberi penjelasan kepada umat tentang kegiatan
Allah Tritunggal dalam liturgi? Ataukah yang lebih kita utamakan adalah
nasihat, teguran spontan (kadang-kadang sangat keras atau dengan nada
marah) agar umat menjadi lebih aktif atau supaya mereka lebih
berpartisipasi dalam perayaan?
Bagaimana menghayati kemungkinan-kemungkinan untuk berpartisipasi
dalam perayaan? Dalam liturgi kita dapat berpartisipasi dengan suara yaitu
mengambil bagian dalam doa dan nyanyian dengan suara lantang. Kadang-
kadang kita terlalu menekankan partisipasi dengan mulut, suara. Kita
mengajak umat agar turut berdoa dengan suara jelas dan turut menyanyi
dengan suara merdu. Lalu partisipasi dalam bentuk lain mungkin kurang
mendapat perhatian. Misalnya partisipasi dengan hati yang tulus ikhlas,
dalam keheningan. Dalam diam dan hening kita dapat ambil bagian dengan
hati yang tulus. Maka perlulah kita menghargai saat-saat hening dengan
baik. Juga kita dapat berpartisipasi dengan budi yang terarah atau yang
terpusat (penuh konsentrasi) pada inti misteri atau pada kegiatan perayaan
yang sedang berlangsung. Selain itu kita dapat berpartisipasi dengan
emosi/afeksi/perasaan yang tepat yang terungkap dalam nada doa, nyanyian,
bacaan atau seruan-seruan. Dan partisipasi itu juga kita ungkapkan dalam
sikap/gerak liturgis yang cocok. Tata sikap-gerak dalam perayaan bersifat
liturgis. Semua peraya mengambil bagian dalam sikap yang sama sesuai
dengan kesepakatan persekutuan (Gereja). Sikap atau gerak tubuh dalam
perayaan tidak ditentukan oleh keinginan pribadi. Setiap peraya menerima
dan menghayati sikap yang telah disepakati Gereja dan berusaha menghayati
maknanya dengan penuh kesadaran sehingga menjadi milik pribadi.
Pemimpin liturgi perlu memberi teladan dalam hal ini. Hendaknya nampak
jelas bahwa ia turut berdoa, menyanyi dengan hati yang tenang dan hening,
dengan budi yang terarah (penuh perhatian), dengan emosi/afeksi yang tepat,
dengan sikap liturgis yang sesuai dan ekspresif.
Partisipasi tidak hanya berarti mengambil bagian tetapi juga berarti
memberi bagian. Partisipasi berarti mengambil bagian, yaitu mengambil
bagian dari hidup/milik seseorang atau dari sekelompok orang dan
menjadikannya bagian dari hidup/milik sendiri. Jadi dalam hal ini orang
menerima bagian tertentu menjadi miliknya. Dalam liturgi kita menerima
bagian dari hidup/karya Allah Tritunggal dan juga dari sesama umat untuk
menjadi hidup atau milik sendiri. Namun kalau hanya ini yang ditekankan
7

maka kita bisa menjadi amat egois dan parasit atau kita cenderung menjadi
orang yang hanya menuntut dan menerima bagian tertentu dari orang lain.
Padahal partisipasi juga berarti “memberi bagianku” untuk disatukan dengan
bagian (hidup dan milik) yang lain. Dalam liturgi kita memberi bagian dari
diri sendiri kepada Allah dan sesama seperti waktu, perhatian, bakat, pikiran
atau budi, hati, sikap, milik ... yaitu “diri kita”. Semua yang ada pada kita
adalah pemberian, anugerah Tuhan. Kita telah menerimanya dengan cuma-
cuma, maka kita harus memberinya juga dengan cuma-cuma. Bila kita hanya
memberi bagian dan tidak bersedia menerima (dengan cuma-cuma) dari
yang lain, dan hanya mau menerima sesuatu sebagai balas jasa, maka kita
cenderung menjadi orang yang tinggi hati. Dalam hubungan dengan Tuhan,
sesama dan lingkungan sekitar yang juga kita rayakan dalam liturgi,
manakah sikap yang lebih menonjol? Menerima atau memberi bagian?
Ataukah memang ada keseimbangan antara kedua sikap itu?
Menghayati sikap memberi dan menerima secara seimbang sebagai tanda
partisipasi kita yang ikhlas dalam liturgi, akan memperlihatkan dengan jelas
hal-hal berikut ini:
= Kita tidak mengandalkan kemampuan diri sendiri. Hanya kekuatan dan
anugerah Allah adalah andalan kita.
= Kita menjadi rendah hati. Kita tidak menonjolkan pemberian kita atau
kegiatan kita.
= Kalau kita memberi sesuatu atau melakukan tugas khusus, akan lebih
nampak semangat pelayanan dalam kasih penuh syukur. Kita akan
menghindarkan sikap memberi untuk menerima, memberi dengan maksud
supaya dibalas (do ut des), memberi untuk menguasai atau menaklukkan
yang lain.
= Kita juga mau memberi dengan gembira, rela hati dan tulus ikhlas tanpa
pamrih, bukan karena terpaksa, bukan pula dengan sedih hati.
= Kita menerima dengan penuh rasa syukur, tanpa menuntut pemberian
sebagai imbalan atas jasa-jasa kita.
= Kita menjadi satu. Kita bersatu dengan Allah, dengan sesama dan
dengan lingkungan alam sekitar. Kita tidak sendirian. Kita jadi teguh dan
kuat. Kita diteguhkan dan dikuatkan. Kita meneguhkan, menguatkan dan
mempersatukan sesama anggota persekutuan dan alam sekitar sebagai
bagian utuh ciptaan Tuhan.
Liturgi yang menarik dan mengundang partisipasi aktif dari semua
anggota Gereja mempunyai kaitan erat dengan kegiatan-kegiatan Gereja
8

yang lain yaitu katekese, karya pelayanan, kesaksian iman, persekutuan


hidup.
Liturgi dan katekese. Adalah tanggungjawab para pemimpin untuk
memberi penjelasan yang baik, tepat, benar dan sederhana kepada umat yang
dilayani. Untuk itu para pemimpin perlu menyegarkan dan mendalami
pemahamannya mengenai liturgi dan memiliki ketrampilan untuk
menjelaskannya. Penjelasan yang baik amat berguna bagi umat. Jauh lebih
bermanfaat suatu penjelasan yang baik dan menarik dari pada teguran-
teguran spontan atau ajakan-ajakan yang dibuat dengan keras selama
perayaan.
Liturgi dan pelayanan. Dalam liturgi tidak ada perbedaan status. Kita
semua adalah saudara-saudari dalam Yesus Kristus dengan tugas liturgis
yang berbeda-beda. Tugas dengan tanggungjawab yang berbeda itu dibuat
dalam semangat pelayanan. Maka dalam hidup harian, para pemimpin perlu
memperlihatkan semangat hidup melayani satu sama lain dengan perbuatan-
perbuatan baik, entah dalam rumah, di tempat kerja, di dalam umat basis.
Pelayanan sejati biasanya dibuat dengan sabar, penuh pengertian dan kasih.
Kedudukan atau status dalam masyarakat hendaknya dipandang dengan
kacamata kristen dan dihayati dengan semangat Kristus. Dengan kata lain,
status sosial dalam masyarakat hendaknya diterima sebagai suatu anugerah
panggilan dari Tuhan dan dijalankan dengan penuh rasa tanggungjawab
dalam semangat pelayanan kasih. Seperti Yesus, kita dapat tugas untuk
“melayani” bukan untuk menunjukkan kuasa atau pangkat. Tanpa semangat
pelayanan dalam hidup harian, perayaan liturgi kita akan kurang menyentuh.
Liturgi dan kesaksian iman. Dalam liturgi kita mengakui iman kita dan
sekaligus merayakan dan menyaksikan iman itu. Hidup kita sehari-hari
merupakan kesempatan untuk memberikan kesaksian iman atau bisa saja
sebaliknya bertentangan dengan iman. Untuk dapat menyaksikan iman sejati
itu dibutuhkan semangat berkurban tanpa pamrih. Seperti Yesus yang
berkurban dengan penuh rasa syukur dalam Ekaristi, kita pun perlu
menunjukkan dalam hidup harian semangat berkurban bukan karena
terpaksa tetapi dengan rela hati penuh rasa syukur. Tanpa kesaksian iman
dalam hidup harian, perayaan liturgi lebih merupakan satu pertunjukan biasa
yang kurang menarik.
Liturgi dan persekutuan hidup persaudaraan. Ketika kita merayakan
misteri penyelamatan dalam liturgi kita mengalami persatuan dengan Tuhan
dan sesama. Persatuan persaudaraan itu nampak misalnya dalam doa,
nyanyian, sikap liturgis, perjamuan. Semangat hidup yang sama perlu
9

ditunjukkan dalam hidup harian. Pertama-tama kita hidupkan semangat itu


dalam hati masing-masing. Dan kita mengusahakan persatuan, persaudaraan,
perdamaian dalam rumah, dalam umat basis, lingkungan, paroki bahkan
dengan saudara-saudari lain yang tidak seiman. Kita menyatakan
penghargaan terhadap hidup, pribadi dan karya-karya orang lain apapun
bentuknya. Kita menghargai sesama dan miliknya, terutama orang-orang
kecil, sakit dan yang menderita. Untuk itu kita berusaha memelihara suatu
lingkungan hidup baik sosial maupun alam yang damai dan lestari. Usaha-
usaha ini akan menolong kita untuk menghayati makna Ekaristi dan
merayakan-nya dengan semangat persatuan dan persaudaraan sejati.
Kalau perayaan liturgi di paroki menarik, baik dan benar disertai
partisipasi aktif dari semua anggota persekutuan umat, tentu para pemimpin
liturgi mempunyai andil dalam proses ini. Juga sebaliknya. Bila ada
kesulitan, mungkin sebabnya ada pada umat, pada budaya setempat, pada
pengaruh modern. Tetapi mungkin juga ada pada para pemimpin liturgi.
Membaharui diri sebagai petugas khusus yang mengarahkan perhatiannya
dan perhatian seluruh umat kepada kehadiran dan karya-karya agung Allah
Tritunggal sebagai inti misteri keselamatan yang sedang dirayakan akan
sangat menolong mengalami suatu perayaan liturgi yang sungguh menarik
dan partisipatif.

Anda mungkin juga menyukai