Anda di halaman 1dari 6

Sejarah Hindu Bali: Upaya Menuntut

Pengakuan dari Negara


Oleh: Husein Abdulsalam - 7 Maret 2019

Dibaca Normal 4 menit

Ada fase dalam sejarah, saat umat Hindu Bali menuntut agar Hindu diakui
sebagai agama, bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.

tirto.id - Dari sejumlah pulau yang baru ditaklukkan Belanda pada awal abad
ke-20, Bali adalah salah satunya. Belanda mulai menyerang Bali pada 1846
dan menaklukkannya pada 1908.

Namun, Bali sudah tenar di kalangan orientalis, para pengkaji kehidupan


Timur, Eropa jauh sebelum itu. Sebagaimana disebut Michel Picard dalam
"What's in a Name? Agama Hindu Bali in The Making" (2004), orientalis Eropa
menjuluki Bali sebagai museum hidup peradaban Hindu-Jawa. Bali dianggap
satu-satunya penerus yang hidup kala peradaban Hindu memudar di Jawa
selepas masuknya Islam.

Di kalangan orientalis Eropa, berkembang pemahaman bahwa Hindu dibawa


masuk Bali pada abad ke-14 oleh orang-orang Majapahit. Ketika Majapahit
terdesak oleh pengaruh Islam pada waktu itu, elite Majapahit yang tidak mau
masuk Islam pergi ke Bali untuk berlindung di kerajaan-kerajaan pimpinan
saudaranya di Bali.

Para orientalis itu senang sebab orang-orang Bali telah melestarikan teks dan
ritual Hindu, tapi mereka tidak satu suara dalam memandang sejauh mana
kesesuaian praktik keagamaan di Bali dengan India. John Crawfurd dan
Thomas Stanford Raffles memandang pemujaan yang dilakukan orang Bali di
kuil-kuil sebagai bentuk ketakhayulan sehingga itu tidak bisa disebut Hindu.
Sedangkan R.H.Th. Friederich melihat agama yang dipraktikkan di Bali
adalah Hindu.

Perdebatan tersebut berlangsung pada abad ke-19. Namun, wujud lain


polemik pengakuan praktik keagamaan juga terus muncul di kemudian hari,
hingga masa Bali berada di bawah republik.

Baca juga: Polemik Etnisitas antara Batak dan Mandailing

Hindu Bali antara Agama dan Adat


Di luar perdebatan para orientalis soal kesesuaian praktik keagamaan Bali
dengan India, dalam catatan Picard, para orientalis sepakat Hinduisme adalah
inti dari masyarakat, penjaga keutuhan budaya, dan inspirasi daya artistik
orang Bali. Oleh karena itu, agama Bali mesti dilindungi dari pengaruh agama
lain.

Pemerintah kolonial melarang misionaris beroperasi di Bali pada 1881. Pada


1924, misi Katolik Roma ke Bali ditolak elite Bali dan pegawai kolonial
mendukung hal itu. Selain itu, misionaris Protestan Belanda yang mau masuk
ke Bali pada 1931 juga ditentang.

Kepala Departemen Arkeologi Batavia F.D.K. Bosch dan stafnya, seorang ahli
Bahasa Jawa dan Bali kuno bernama R. Goris, mengatakan dakwah
misionaris akan menghancurkan kebudayaan Bali. Bagi Bosch dan Goris,
agama Bali mesti diakui sebagai bagian yang sah dari Hinduisme. Sementara
itu, misionaris H. Kraemer menganggap agama Bali mengandung hanya
sedikit Hinduisme. Bagi Kraemer, agama Bali berisi sihir dan takhyul serupa
"animisme" yang ditemui di banyak tempat di Nusantara.

Pada akhirnya, Gubernur Jenderal Hindia Belanda melarang misionaris


masuk ke Bali. Namun, itu tidak bisa mencegah sepenuhnya misi Protestan
atau Katolik Roma dalam menjejakkan kakinya di Bali.

Sementara itu, masyarakat Bali juga berkembang dan menyesuaikan diri


dengan modernisme yang diperkenalkan Eropa. Pada warsa awal abad ke-
20, pelbagai organisasi modern didirikan di Singaraja, Bali oleh pengajar dan
pegawai sipil.

Selain mendirikan sekolah-sekolah dan yayasan keagamaan, organisasi ini


juga menerbitkan jurnal berbahasa Melayu, lingua franca di Hindia Belanda.
Pandangan mereka soal agama Bali, Hindu, dan kebudayaan Bali disalurkan
lewat jurnal tersebut.

Sekurang-kurangnya ada dua majalah terkemuka pada masa tersebut yang


kerap baku gagasan: Bali Adnjana dan Surya Kanta. Sebagaimana
disampaikan Anak Agung Gde Putra Agung dalam Perubahan Sosial dan
Pertentangan Kasta di Bali Utara (2001) bahwa perdebatan antara keduanya
menyoal sistem kasta di Bali.

Meskipun keduanya berbeda ideologi, Picard mencatat pimpinan Surya


Kanta dan Bali Adnjana sama-sama ingin mempertahankan fondasi identitas
Bali. Lewat kedua majalah, orang Bali memandang diri mereka sebagai
entitas tunggal, "kita bangsa Bali". Siapakah bangsa Bali itu? Yang jelas,
mereka menafsirkan identas ke-Bali-an berdasarkan agama dan adat, sesuai
dengan kepentingan masing-masing.

Bali Adnjana didirikan oleh organisasi Santi dan kemudian mendapat


dukungan Tjatoer Wangsa Derja Gama Hindoe Bali. Ia mewakili suara
triwangsa atau tiga kasta tertinggi di Bali: Brahmana, Ksatria, dan Waysia.
Kaum triwangsa ingin pembaharuan dijalankan perlahan dengan tetap
mempertahankan sistem kasta. Dalam anggaran dasarnya, Santi didirikan
untuk "menegoehkan Agama Hindoe" juga "menegoehkan Adat dan Agama".

Sedangkan Surya Kanta didirikan I Ktoet Nasa. Dia sebenarnya menjadi salah
satu pendiri Santi. Namun, dia ingin lebih menyuarakan kepentingan golongan
Sudra atau Jaba. Surya Kanta punya tujuan "menegoehkan Agama dan
merobah adat istiadat jang bertentangan dengan keamoean zaman". Adat
yang dimaksud ialah yang bikin rugi orang-orang Jaba di Bali.

Tapi mana yang disebut "agama" dan mana yang "adat"? Bagi Surya Kanta,
orang Bali tidak akan memahami agamanya sepanjang mereka tidak tahu
nama agama mereka. Mereka menganggap praktik dan keyakinan
keagamaan di Bali yang amat beragam sebenarnya tidak masuk agama tapi
adat. Sedangkan Bali Adnjana, melihat keragaman itu sebagai suatu yang
biasa sebab pada dasarnya Hinduisme bukan agama yang seragam.
Tidak heran bila kemudian Tjakra Tanaja, tokoh faksi triwangsa di Santi
sekaligus pendiri Bali Adnjana, mengajukan usulan agar agama yang mereka
anut disebut "Agama Hindu Bali". "Nama Hindoe Bali jaitoe jang bererti
menegoehkan Agama Hindoe yang soedah ada dan dipeloek olih wong Bali"
sebut Bali Adnjana (edisi 1926, 3/17:2).

Sedangkan I Ktoet Nasa dan orang-orang Jaba mengusulkan nama "Agama


Bali Hindu". Bagi mereka, orang-orang Bali ialah penganut Hindu. Supaya
benar-benar menjadi Hindu, orang-orang Bali mesti meninggalkan hal-hal
yang sebenarnya tambahan saja dalam praktik keagamaan. Menanggapi
ini, Bali Adnjana menuding Surya Kanta ingin Hinduisme dalam bentuk
"murni" diterapkan di Bali.

Pada 1936 sebuah majalah bernama Djatajoe didirikan organisasi Bali Darma
Laksana. Redaksi majalah ini berisi eks Bali Adnjana, Surya Kanta, dan
Bhawanagara. Isu keagamaan orang Bali dan seruan untuk mereformasinya
pun mendapat ruang berpolemik di majalah ini sejak awal. Namun, sekali lagi,
perdebatan ini tidak pernah tuntas, bahkan menjadi semakin rumit sebab
orang-orang Bali juga mesti menghadapi pandangan kabur pribumi pulau lain,
penganut agama lain, yang menganggap mereka memuja berhala pun animis.

Baca juga: Nasionalis Hindu India: "Internet Sudah Ada di Zaman


Mahabharata"

Setelah Indonesia Merdeka


Pada akhirnya istilah "Hindu Bali" diakui sebagai "agama". Namun, untuk
menuju ke sana, jalannya berliku.

Ketika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama,
tembok pemisah agama dan aliran kepercayaan benar-benar dibangun.
Menurut Peraturan Menteri Agama 9/1952 Bab VI, aliran kepercayaan
diartikan "suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari
berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih
terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya
sepanjang masa."

Sedangkan "agama" didefinisikan seturut garis pemahaman Judaeo-Kristiani-


Muslim yang monoteistik. Bila suatu komunitas ingin diakui "beragama",
mereka mesti menganut akidah monoteistik yang diakui secara internasional;
yang diajarkan seorang nabi melalui kitab suci.

Pada 1952, Departemen Agama (sekarang Kementerian Agama) mengakui


hanya tiga agama yang dipeluk rakyat Indonesia: Islam, Protestan, dan
Katolikisme. Semua yang di luar itu diakui sebagai orang yang belum
beragama. Semua tradisi di Nusantara, termasuk kebatinan Jawa
digolongkan sebagai aliran kepercayaan kesukuan. Menariknya, kebatinan
Jawa sebenarnya menganut akidah monoteistik.

Bagaimana dengan Bali? Berdasarkan peninjauan pada 1950, Departemen


Agama menyimpulkan kehidupan beragama di Bali berisi praktik politeistik
dan animisme yang beragam. Sebab itu, agama orang Bali digolongkan
sebagai aliran kepercayaan dan dianggap sebagai "orang yang belum
beragama".

Tokoh masyarakat Bali tidak terima dengan itu. "Para pemimpin organisasi
reformasi agama yang berkembang pesat di Bali setuju untuk belajar ke India
agar mendapat pengertian umum tentang prinsip dan praktik keagamaan
mereka, menyesuaikan garis kriteria yang ditetapkan Departemen Agama
Indonesia," sebut Martin Ramstedt dalam "Negotiating identities - Indonesian
‘Hindus’ between local, national, and global interests" (2004).

Beberapa cendekiawan muda Bali dikirim belajar ke Shantiniketan Vishva


Bharaty University, Banaras Hindu University, dan International Academy of
Indian Culture.

Pada 14 Juni 1958, petisi bersama diajukan guna menuntut pembentukan


seksi Hindu-Bali dalam Departemen Agama. Petisi ini berdalih Hindu-Bali
tidak bertentangan dengan Pancasila.

Presiden Sukarno yang sangat mendukung "kesatuan" tentu menyambut baik


petisi tersebut. Pada 1 Januari 1959, pemerintah membentuk Bagian Urusan
Hindu Bali dalam Departemen Agama. Pada tahun yang sama, semua
organisasi keagamaan besar di Bali melebur menjadi satu badan bernama
Parisada Dharma Hindu Bali.

Pada 1963, Biro tersebut berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu
Bali. Setahun berikutnya, Parisada Hindu Dharma Bali mengganti namanya
menjadi Parisada Hindu Dharma.

Periode 1966-1980, banyak orang Jawa di Jawa Tengah dan Timur seperti
Orang Tengger di kawasan Bromo, Jawa Timur; orang Bugis To Wani To
Lotang, Toraja-Mamasa, Toraja Sa'dan di Sulawesi Selatan; sebagian orang
Karo di Sumatera Utara; dan orang Ngaju dan Luangan di Kalimantan Selatan
menyatakan diri mereka sebagai Hindu.

Pada 1986, Parisada Hindu Dharma berganti nama menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia, agar dapat menaungi komunitas tersebut. Pembentukan
organisasi ini menjadi bagian perjalanan dari perjuangan umat Hindu Bali
menuntut Hindu sebagai agama bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.

Anda mungkin juga menyukai