Sejarah Hindu Bali Versi Tirto - Id
Sejarah Hindu Bali Versi Tirto - Id
Ada fase dalam sejarah, saat umat Hindu Bali menuntut agar Hindu diakui
sebagai agama, bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.
tirto.id - Dari sejumlah pulau yang baru ditaklukkan Belanda pada awal abad
ke-20, Bali adalah salah satunya. Belanda mulai menyerang Bali pada 1846
dan menaklukkannya pada 1908.
Para orientalis itu senang sebab orang-orang Bali telah melestarikan teks dan
ritual Hindu, tapi mereka tidak satu suara dalam memandang sejauh mana
kesesuaian praktik keagamaan di Bali dengan India. John Crawfurd dan
Thomas Stanford Raffles memandang pemujaan yang dilakukan orang Bali di
kuil-kuil sebagai bentuk ketakhayulan sehingga itu tidak bisa disebut Hindu.
Sedangkan R.H.Th. Friederich melihat agama yang dipraktikkan di Bali
adalah Hindu.
Kepala Departemen Arkeologi Batavia F.D.K. Bosch dan stafnya, seorang ahli
Bahasa Jawa dan Bali kuno bernama R. Goris, mengatakan dakwah
misionaris akan menghancurkan kebudayaan Bali. Bagi Bosch dan Goris,
agama Bali mesti diakui sebagai bagian yang sah dari Hinduisme. Sementara
itu, misionaris H. Kraemer menganggap agama Bali mengandung hanya
sedikit Hinduisme. Bagi Kraemer, agama Bali berisi sihir dan takhyul serupa
"animisme" yang ditemui di banyak tempat di Nusantara.
Sedangkan Surya Kanta didirikan I Ktoet Nasa. Dia sebenarnya menjadi salah
satu pendiri Santi. Namun, dia ingin lebih menyuarakan kepentingan golongan
Sudra atau Jaba. Surya Kanta punya tujuan "menegoehkan Agama dan
merobah adat istiadat jang bertentangan dengan keamoean zaman". Adat
yang dimaksud ialah yang bikin rugi orang-orang Jaba di Bali.
Tapi mana yang disebut "agama" dan mana yang "adat"? Bagi Surya Kanta,
orang Bali tidak akan memahami agamanya sepanjang mereka tidak tahu
nama agama mereka. Mereka menganggap praktik dan keyakinan
keagamaan di Bali yang amat beragam sebenarnya tidak masuk agama tapi
adat. Sedangkan Bali Adnjana, melihat keragaman itu sebagai suatu yang
biasa sebab pada dasarnya Hinduisme bukan agama yang seragam.
Tidak heran bila kemudian Tjakra Tanaja, tokoh faksi triwangsa di Santi
sekaligus pendiri Bali Adnjana, mengajukan usulan agar agama yang mereka
anut disebut "Agama Hindu Bali". "Nama Hindoe Bali jaitoe jang bererti
menegoehkan Agama Hindoe yang soedah ada dan dipeloek olih wong Bali"
sebut Bali Adnjana (edisi 1926, 3/17:2).
Pada 1936 sebuah majalah bernama Djatajoe didirikan organisasi Bali Darma
Laksana. Redaksi majalah ini berisi eks Bali Adnjana, Surya Kanta, dan
Bhawanagara. Isu keagamaan orang Bali dan seruan untuk mereformasinya
pun mendapat ruang berpolemik di majalah ini sejak awal. Namun, sekali lagi,
perdebatan ini tidak pernah tuntas, bahkan menjadi semakin rumit sebab
orang-orang Bali juga mesti menghadapi pandangan kabur pribumi pulau lain,
penganut agama lain, yang menganggap mereka memuja berhala pun animis.
Ketika tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Wahid Hasyim menjabat Menteri Agama,
tembok pemisah agama dan aliran kepercayaan benar-benar dibangun.
Menurut Peraturan Menteri Agama 9/1952 Bab VI, aliran kepercayaan
diartikan "suatu faham dogmatis, terjalin dengan adat istiadat hidup dari
berbagai macam suku bangsa, lebih-lebih pada suku bangsa yang masih
terbelakang. Pokok kepercayaannya, apa saja adat hidup nenek moyangnya
sepanjang masa."
Tokoh masyarakat Bali tidak terima dengan itu. "Para pemimpin organisasi
reformasi agama yang berkembang pesat di Bali setuju untuk belajar ke India
agar mendapat pengertian umum tentang prinsip dan praktik keagamaan
mereka, menyesuaikan garis kriteria yang ditetapkan Departemen Agama
Indonesia," sebut Martin Ramstedt dalam "Negotiating identities - Indonesian
‘Hindus’ between local, national, and global interests" (2004).
Pada 1963, Biro tersebut berganti nama menjadi Biro Urusan Agama Hindu
Bali. Setahun berikutnya, Parisada Hindu Dharma Bali mengganti namanya
menjadi Parisada Hindu Dharma.
Periode 1966-1980, banyak orang Jawa di Jawa Tengah dan Timur seperti
Orang Tengger di kawasan Bromo, Jawa Timur; orang Bugis To Wani To
Lotang, Toraja-Mamasa, Toraja Sa'dan di Sulawesi Selatan; sebagian orang
Karo di Sumatera Utara; dan orang Ngaju dan Luangan di Kalimantan Selatan
menyatakan diri mereka sebagai Hindu.
Pada 1986, Parisada Hindu Dharma berganti nama menjadi Parisada Hindu
Dharma Indonesia, agar dapat menaungi komunitas tersebut. Pembentukan
organisasi ini menjadi bagian perjalanan dari perjuangan umat Hindu Bali
menuntut Hindu sebagai agama bukan sebagai suatu aliran kepercayaan.