Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pada awal munculnya islam di jazirah Arab, agama islam yang di
dakwahkan oleh Rasulullah tampak begitu sederhana. Formulasi ajarannya
begitu mudah dipahami lantaran nabi Muhammad sendiri masih sentral figur
uswatun hasanah bagi manusia muslim yang ajaran dan contoh tauladannya
dapat diberikan secara langsung tanpa perantara.

‫لقد كان لكم في رسول هللا أسوة حسنة لمن كان يرجو هللا واليوم اآلخر و ذكر هللا كثيرا‬
“Sesungguhnya telah ada diri pada Rasulullah itu suri tauladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”1

Ajaran thoriqoh adalah salah satu poko ajaran yang ada dalam
tashowuf. Ilmu thoriqoh sama sekali tidak dapat dipisahkan dengan ilmu
tashowuf dan tidak mungkin dipisahkan dari kehidupan orang-orang sufi.
Orang sufi adalah orang yang menerapkan ajaran tashowuf. Sedangkan
thoriqoh adalah tingkatan ajaran pokok dari tashowuf. Para tokoh sufi dalam
thoriqoh memutuskan bagaimana sistematika, jalan, cara dan tingkatan-
tingkatan jalan yang harus dilalui oleh para calon sufi atau murid. Thoriqoh
secara rohani untuk mempercepat bertaqorrub/mendekatkan diri kepada Allah
SWT. Semua bimbingan guru itu dinamakan thoriqoh, semua pelaksanaan
ibadahnya tentang mengenal tuhan, dengan istilah sufi ma’rifat mengenal
Allah

1
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (PT. Karya Toba Putra, surah al-Ahzab, 21),
832

1
BAB II
ISI
A. Sejarah munculnya thoriqoh
Secara umum, lahirnya thoriqoh tidak lepas dari keberadaan tashowuf,
terutama peralihan tashowuf yang bersifat personil kepada thoriqoh sebagai
suatu organisasi, yang merupakan perkembangan, pengalaman serta perluasan
ajaran tashowuf. Kajian tentang thoriqoh sendiri tidak mungkin dilakukan
tanpa kajian tashowuf. Beraneka ragam asal kata tashowuf. Salah satu yang
dipandang paling dekat adalah kata shuf yang mengandung arti “wol kasar”.
Pengertian ini dihubungkan dengan seseorang yang ingin memasuki tashowuf
mesti mengganti pakaian mewah dengan kain wol kasar, yang melambangkan
kesederhanaan dan ketulusan hamba Allah dalam menjauhkan diri dari dunia
materi dan memusatkan perhatian pada alam rohani.2 Pada periode paling
awal upaya semacam ini ditempuh oleh mereka yang dikenal sebagai zuhud.3
Berbagai pandangan miring ditujukan pada thoriqoh, bahkan sejumlah
penolakan pernah dilontarkan kepadanya. Akan tetapi sejarah menjadi saksi
bahwa tudingan dan penolakan terhadap thoriqoh tidak pernah mampu
melemahkan daya tariknya atau memudarkan daya pikatnya. Hal ini menjadi
sebuah fenomena yang langgeng dalam islam. Karena ia mampu menghadapi
beraneka macam gelombang perubahan. Thoriqoh terus diapresiasi mulai dari
zaman klasik islam hingga zaman serba modern. Sebagai sebuah agama
samawi yang diwahyukan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW islam
telah mengalami sejarah yang cukup panjang. Sejarahnya telah membuktikan
secara absah betapa agama Islam mampu bertahan dalam berbagai masa dan
era di tengah berbagai keadaan dan perubahan. Agama ini juga telah
membuktikan diri mendapat sambutan yang sangat luas di tengah beragam
bangsa dan ras manusia. Sebagai sebuah agama samawi, Islam juga telah
diapresiasikan secara bermacammacam dan juga memunculkan bentuk-bentuk
2
Abu al-Wafa’ al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’I Utsman
(Bandung: Pustaka ITB, 1985), h.21.
3
J. Spencer Trimingham, Madzhab Sufi, terj. Lukman Hakim (Bandung: Pustaka, 1999), h.1-2.

2
apresiasi yang bervariasi. Berbagai kecenderungan dalam menangkap,
memahami, dan mengekspresikan agama ini muncul sepanjang sejarah.
Tasawuf, sesungguhnya adalah salah satu saja dari berbagai trend pemahaman
dan ekspresi keislaman. Penekanan yang sangat kuat pada fungsi intuisi
sebagai karakteristik utama tasawuf hanyalah satu kemungkinan pilihan, jika
dibedakan dengan, misalnya, kecenderungan rasionalistis yang menjadi
trademark nya kalangan filosof dan saintis. Dalam perspektif semacam ini,
maka tashowuf adalah sesuatu yang natural dan abash semata dalam islam.
Keabsahan pendekatan tashowuf lebih jauh diilustrasikan oleh adanya
kategorisasi tasawuf menjadi falsafi di satu sisi, dan tasawuf akhlaki di sisi
lainnya. Tasawuf falsafi jelas merujuk pada perpaduan pendekatan dan
kecenderungan antara tasawuf yang intuitif dengan falsafat yang rasionalistik.
Di sisi lain, banyaknya pada filosof yang juga melahirkan karya di bidang
tasawuf juga menunjukkan adanya pengakuan terhadap pendekatan ahli
tasawuf, bahkan dari kalangan yang sering diposisikan sebagai bersebrangan.
Ringkas kata, kedua arus ini -tasawuf dan filsafat- dalam banyak kasus
menunjukkan adanya proses reaproachment. Karenanya, sama sekali tidak
aneh, tokoh semacam Ibn ‘Arabî merupakan selebriti di kedua bidang kajian
tasawuf dan filsafat. Juga tidak mengherankan kalau ternyata Ibn Sina juga
menulis tentang tasawuf di samping karya-karya filsafatnya. Ketika tasawuf
mengalami proses teknikalisasi dalam ajaran dan popularisasi dalam
pelaksanaan, munculah apa yang lumrah disebut sebagai tarekat. Sifatnya
yang teknis dan populis sering sekali membuat tarekat tampil seolah-olah jauh
dari tasawuf sebagai basis teoritisnya. Sifat ini juga mendorong munculnya
mazhab-mazhab yang kemudian memecah diri lebih lanjut menjadi berbagai
cabang-cabang mazhab tarekat. Populisme thoriqoh secara ilmiah membuat
thoriqoh sebagai sebuah fenomena yang berakar pada masyarakat luas.
Konsekuensinya adalah bahwa tarekat terlibat pada sejumlah persoalan sosial
kemasyarakatan. Maka tarekat relevan terhadap persoalan politik, persoalan
kekuasaan, persoalan ekonomi, dan juga persoalan kohesi sosial. Dalam

3
beberapa kasus, tarekat bahkan melibatkan diri dalam persoalan pergolakan
dan pertentangan politik. Kesemuanya ini menjadikan thoriqoh tidak jarang
tampil sebagai bahan perbedaan, bahkan pertentangan pendapat di antara
banyak kalangan. Tidak terlalu sulit menemukan rujukan tentang dukungan
terhadap thoriqoh, sama tidak sulitnya menjumpai rujukan yang mengkritik
bahkan menghujat tarekat. Begitupun, kontroversi tentang tarekat sama sekali
tidak menyurutkan eksistensinya sebagai salah satu modus religiositas umat
Islam. Faktanya adalah bahwa tarekat dapat survive dalam rentangan sejarah
yang sangat panjang dan tidak ada tanda-tanda bahwa tarekat akan kehilangan
daya tariknya di kalangan umat Islam. Adalah juga merupakan fakta bahwa
tarekat tetap terlibat dan bahkan berkontribusi secara signifikan dalam
berbagai aspek kehidupan umat saat ini, seperti dalam ekonomi,
kemasyarakatan, jaringan sosial, politik, dan bidang-bidang kehidupan
lainnya.4

B. Pengertian thoriqoh
Kata thoriqoh berasal dari kata bahasa Arab at-Thoriq yang berarti
jalan, cara (kaifiyyah), metode, system (uslub), madzhab, aliran dan haluan.5
berjalan, jalan yang ditempuh dengan jalan kaki. Kemudian pengertian ini
digunakan dalam makna cara seseorang melakukan pekerjaan baik terpuji
maupun tercela.6
Menurut istilalah tashowuf dan thoriqoh adalah perjalanan khusus bagi
para sufi yang menempuh jalan menuju Allah SWT. Perjalanan yang
mengikuti jalur yang ada melalui tahap dan seluk beluknya.7
Thoriqoh walaupun berbeda namanya namun tetap satu tujuan, yaitu
membentuk moral atau akhlaq mulia, tidak ada perbedaan yang prinsip antara
thoriqoh yang satu dengan thoriqoh yang lain. Perbedaanya hanya terdapat

4
Lindung Hidayat siregar, Sejarah Tarekat dan Dinamika Sosial,
5
Ensiklopedia Islam, Cetakan ke empat, Jilid 5 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta:PT
Ichtiar Baru van Hoeve, 1997). Hal.66
6
Al-Taftazani al-Thariqah al-Akbariyyah dalam kitab al-Kidzkari li Ibnu ‘Arabi, 308
7
Alwi Sihab, Islam Sufistik (Jakarta: Mizan 2001), 171

4
pada jenis wirid dan dzikir serta tata cara pelaksanaannya. pertumbuhan
thoriqoh dimulai pada abad ke tiga dan ke empat hijriyah seperti al-
Malamatiyah yang mengacu pada Abu Yazid al-Basthomi atau al-Khozaziyah
yang mengacu pada Abu Sa’id al-Khazzaz, namun thoriqoh-thoriqoh tersebut
dan semacamnya masih dalam bentuk amat sederhana. Perkembangan dan
kemajuan thoriqoh justru pada abad ke enam dan ke tujuh hijriyah. Dan yang
pertama kali mendirikan thoriqoh pada periode tersebut adlaah Syeikh Abdul
Qodir al-Jailani pada awal abad enam hijriyah, setelah itu disusul oleh
thoriqoh-thoriqoh lainnya. Semua thoriqoh yang berkembang pada periode
merupakan kesinambungan tashowuf sunni al-Ghozali. Proses perjalanan
yang terjadi didalam thoriqoh dimulai dengan pengambilan sumpah bai’at dari
murid dihadapan syeikh atau guru mursyid setelah sang murid melakukan
taubat dari segala dosa dan maksiat. Setelah itu murid menjalani thoriqoh
hingga mencapai kesempurnaan dan dia mendapat ijazah, kemudain menjadi
kholifah syeikh atau mendirikan thoriqoh lain jika diizinkan. Oleh karena itu,
thoriqoh mempunyai ciri-ciri umum, yaitu:
1. Syeikh atau guru mursid
2. Murid yang melaksanakan thoriqoh
3. Bai’at, yaitu sumpah murid yang diambil oleh guru mursyidnya

Pada umumnya thoriqoh dipahami dengan berlebihan mementingkan


aspek spiritualnya saja, sedangkan mengabaikan peran social, tujuan thoriqoh
yang mulia terbatas pada aktualisasi spiritual dari pada mengarahkan
perhatian kepada pebaikan kehidupan bermasyarakat sehingga kehidupan para
pengikut thoriqoh hanya terbatas bacaan wirid dzikir dan hidup dalam suasana
sepi, melaparkan diri bangun ditengah malam. Kesenengan mereka hanya
beribadah ritual saja, meninggalkan dunia dan gemerlapnya, dan mengurung
diri tanpa ada perhatian pada kehidupan masyarakat sekitar. Kesan ini
memunculkan kritik bahkan tuduhan dan cercaan kepada ahli thashowuf atau
ahli thoriqoh. Meskipun kaum sufi dan ahli thoriqoh tidak diragukan niat dan

5
I’tiqod baiknya terutama peranan mereka dalam melatih serta membersihkan
jiwa demi tersebarnya kedamaian dunia dan akhirat kenyataannya tidak dapat
dipungkiri terjadi distrosi dalam pelaksanaan praktek ajaran thoriqoh atau
tashowuf terutama mereka yang memiliki kecenderungan latar yang pada
akhirnya mencoreng dan menjelekkan nama baik thoriqoh atau tashowuf. Hal
seperti itu dilakukan oleh para pengikut-pengikut thoriqoh yang masih awam
jauh dari sumber-sumber autentik dan tidak memperhatikan bimbingan dari
ulama’ dan guru mursyidnya.

C. Tujuan thoriqoh
Tujuan Thoriqoh adalah membersihkan jiwa dan menjaga hawa nafsu
untuk melepaskan diri dari berbagai bentuk Ujub, Takabur, Riya’, Hubbud
Dunya (cinta Dunia), dan sebagainya. Tawakal, rendah hati/tawadhu', ridha,
mendapat makrifat dari Allah, juga menjadi tujuan tarekat. 8 Kemudian
berakhlak Tawakkal, rendah hati (Tawadhu’), Ridho, mendapat Ma’rifat dari
Allah Swt yang juga merupakan tujuan Thoriqoh. Ilmu dan amal ada empat
itngkat, sesuai dengan fitrah dan perkembangan keyakinan manusia, yaitu:
syari’at, thoriqoh, hakikat, dan ma’rifat. Meskipun ada golongan yang
membagi ilmu batin ke dalam pembagian lain.
Ilmu dan amal ada empat tingkat, sesuai dengan fitrah dan
perkembangan keyakinan manusia, yaitu syari’at, tarekat, hakekat, dan
ma’rifat. Meskipun ada golongan yang membagi ilmu batin ke dalam
pembagian lain, misalnya atas hidayat dan hinayat, seperti yang didapati pada
penganut-penganut tasawuf Ibn Taimiyah dan Ibn Qayyim al-Jauziyah, tetapi
pembagian yang kita jumpai adalah pembagian yang empat macam itu.
Dalam kehidupan sehari-hari kita dapati sufisufi yang mengemukakan
pada murid-muridnya mengambil misalnya tarekat atau hakekat saja, di
samping ahli-ahli fiqih yang hanya menekankan pelaksanaan Islam itu kepada
yang melakukan syariat saja.

8
Sholikhin, Mohammad (2012). Mukjizat dan Misteri Lima Rukun Islam: Menjawab tantangan Zaman.
Yogyakarta: Al-Barokah.

6
Yang perlu dicatat di sini bahwa tidak ada seorang ulama sufipun,
yang ajarannya dan tarekatnya memperoleh pengakuan kebenaran dalam
masyarakat islam memperbolehkan penganut-penganutnya, hanya
mengerjakan salah satu saja daripada keempat bagian itu. Mereka berkata
bahwa pelaksanaan agama islam tidak sempurna, jika tidak dikerjakan
keempat-empatnya, karena keempat-empatnya itu merupakan satu tunggal
bagi Islam.

D. Pentingnya Berthoriqoh

Sebagian kelompok membid’ahkan bahkan mengharamkan orang


berthoriqoh. Dengan alasan mereka tidak ada dalam alqur’an dan haditsnya.
Dalil kenapa kita harus berthoriqoh terdapat pada surat Al=Jin ayat 16:

ْ ‫ٱستَ ٰقَ ُم‬


‫وا َعلَى ٱلطَّ ِريقَ ِة َأَل ۡسقَ ۡي ٰنَهُم َّمٓا ًء َغد َٗقا‬ ۡ ‫َوَألَّ ِو‬

“Dan sekiranya mereka tetap berjalan lurus diatas itu (agama islam),
niscaya kami akan mencurahkan kepada mereka air yang cukup”

Memang ada perbedaan pendapat dalam menafsirkan kata jalan yang


tertera dalam ayat al-Quran tersebut. Jalan yang dalam bahasa Arab at-
Thoriqoh. Artinya, umat manusia yang istiqomah menjalankan Tarekat, yaitu
jalan yang sudah ditentukan dan ditetapkan Allah, seperti mengikuti seluruh
syariat agama, taat kepada semua perintah, dan menjauhi semua larangan,
maka Allah akan melimpahkan pahala yang besar, yang bermanfaat di dunia
dan akhirat.

Imam at-Thabari dalam Tafsir ath-Thabari menafsiri kata ath-Thariqoh


dalam ayat surat al-Jinn tersebut sebagai Thariqotul Haqq wal Istiqomah
(Jalan Kebenaran dan Jalan Istiqomah). Ibnu Abbas ra menafsirinya sebagai
ath-Tha’ah (Jalan Ketaatan). Bagi Mujahid, Thariqotul Islam (Jalan Agama

7
Islam) dan Thariqatul Haqq (Jalan Kebenaran). (At-Thabari, Tafsir ath-
Thabari, 573).

Dalil pentingnya bertarekat adalah sesuai Hadits Nabi Muhammad Saw:

، ‫ َوال َعق~ ُل أص~ ُل دي~~ني‬، ‫عرفَ~ةُ َرأسُ م~~الي‬ َ ‫ َو‬، ‫ َوالطَّريقَةُ أفع~~الي‬، ‫ال َّشري َعةُ أقوالي‬
ِ ‫ َوال َم‬،‫الحقيقَ~ةُ أح~~والي‬
ُ ‫ َوال َّشو‬، ‫َوالحُبُّ أساسي‬
‫ق َمر َكبي‬

Artinya: “Syari’at itu ucapanku, thoriqot itu perbuatanku, hakikat itu


keadaanku dan ma’rifat itu puncak kekayaan (bathinku), akal itu pondasi
agamaku , cinta itu pijakanku dan rindu itu kendaraanku”.

Sayyidina Ali pernah ditanya oleh salah seorang shahabat: “Apa anda
pernah melihat Tuhan?”. Jawab Ali: “Bagaimana aku menyembah kepada
yang tidak pernah aku lihat,”. “Bagaimana anda melihat-Nya?” tanyanya
kembali. Ali pun menjawab: “Dia tidak bisa dilihat oleh mata dengan
pandangannya yang kasat, tetapi bisa dilihat oleh hati dengan hakikat
keimanan.” Riwayat ini juga mempertegas betapa pentingnya hati bagi para
pencari sang pencipta Allah SWT kesucian jiwa berarti ini juga bagiannya
thoriqoh. Ada sebuah nasihat Imam Syafi’i yang patut dijadikan renungan:
“Berusahalah engkau menjadi seorang yang mempelajari ilmu fiqih dan juga
menjalani tashawuf, dan janganlah kau hanya mengambil salah satunya.
Sesungguhnya demi Allah saya benar-benar ingin memberikan nasehat
padamu. Orang yang hanya mempelajari ilmu fiqih tapi tidak menjalani
tashawuf, maka hatinya tidak dapat merasakan lezatnya taqwa dan manisnya
taat kepada Allah. Sedangkan orang yang hanya menjalani tashawuf tapi tidak
mempelajari ilmu fiqih, maka bagaimana bisa dia menjadi baik dan Ingin
mencapai kesempurnaan dalam ibadah?

Dengan thoriqoh inilah seorang muslim berusaha mencapai


kesempurnaan dalam beribadah kepada Allah, termasuk berusaha bagaimana

8
agar mampu beribadah seakan-akan melihat-Nya dan berusaha agar selalu
bersama-Nya setiap saat dimana saja dan kapan saja. Tentunya seseorang
tidak akan mampu mencapai kesempurnaan dan kenikmatan beragama secara
kaffah tanpa mengamalkan tauhid, fiqih, dan tashawuf secara baik dan benar.

E. Syarat-syarat mempelajari thoriqoh

1. Menjalani syariat dengan tujuan yang benar, yaitu menjalaninya


dengan sikap ‘ubūdiyyah dan dengan niat menghambakan diri kepada
Allah Swt.
2. Haruslah memandang gurunya memiki rahasia keistimewaan yang
akan membawa muridnya kehadapan Ilahi.
3. Harus menjalani tata krama yang dibenarkan oleh ajaran agama.
4. Bertingkah laku yang bersih sejalan dengan tingkah laku Nabi
Muhammad Saw.
5. Menjaga kehormatan, menghormati gurunya baik ada maupun tiada,
hidup ataupun mati, menghormati sesama saudaranya pemeluk agama
Islam, hormat terhadap yang lebih tua, sayang kepada yang lebih
muda, dan tabah atas permusuhan antar saudara.
6. Mempertinggi pelayanan kepada guru, sesama, dan Allah Swt dengan
jalan menaati segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
7. Membersihkan niat hati semata-mata karena Allah Swt bukan karena
siapapun dan apapun.
8. Menjaga tekad dan tujuan demi dekat kepada Allah Swt.

F. Unsur-unsur dalam thoriqoh


1. Mursyid, secara bahasa mursyid berarti guru atau pembimbing, tepatnya
guru tarekat. Mursyid adalah pemimpin tertinggi tarekat. Mereka adalah
orang yang memiliki otoritas dan legalitas kesufian, yang berhak
mengawasi muridnya dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan
ajaran Islam.

9
2. Murid, secara bahasa murid berarti seseorang yang berkehendak, berharap
atau menginginkan sesuatu. Dalam tarekat, murid berarti penempuh jalan
ruhani yang berharap mendapat ridha Allah Swt, mengenal dan
mencintai-Nya.
3. Wirid. Secara etimologi wirid berarti sesuatu yang terjadi berulang-ulang.
Dalam tarekat wirid adalah zikir yang dilakukan secara rutin.
4. Baiat, yaitu perjanjian atau sumpah setia di antara dua orang atau dua
pihak. Murid berjanji akan mengamalkan zikir yang diajarkan guru
dengan sebaik-baiknya.
5. Silsilah, yaitu mata rantai yang menghubungkan kesinambungan ruhani di
antara mursyid dengan mursyid sebelumnya hingga sampai kepada
mursyid tertinggi.
6. Adab, berarti etika yang mengatur hubungan murid dengan mursyid.
Adab merupakan kunci keberhasilan murid tarekat.

10
BAB III

PENUTUP

Sejarah islam mencatat bahwa proses perjalanan thoriqoh dimulai dari


munculnya tashowuf pada abad ke 3-4 hijriah. Hal ini hanya diamalkan sebagai
kegiatan pribadi, tanpa ada ikatan satu sama lain. Tetapi pada abad ke 6-7 hijriah,
tashowuf mulai memiliki metode dan aturan khusus, semisal adanya sekelompok
murid dengan seorang syeikh berkumpul secara periodic disuatu khanqah, dalam
acara tertentu dzikir, khalwat dan dari silsilah tashowuf berubah bentuk menjadi
organisasi yang disebut thoriqoh.

11

Anda mungkin juga menyukai