Anda di halaman 1dari 17

TUGAS AKHLAK TASSAWUF

“RABIYAH AL ADAWIYAH”

DI SUSUN OLEH

NAMA : FIKA UMASUGI

: ARTIKA S ABUD

: JULIATI BUAMONABOT

JURUSAN : SYARI’AH

PRODI : HUKUM KELUARGA

SEMESTER : III(TIGA)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM


BABUSALAM SULA MALUKU UATARA
TAHUN AKADEMIK 2021/2022

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


A. Pendahuluan
Islam kaffah adalah Islam yang di dalamnya terpadu aspek akidah, syariah dan
hakikat. Dari akidah akan lahir ilmu tauhid, dari syariah lahir ilmu fikih dan dari hakikat lahir
ilmu tasawuf. Tasawuf tidak bisa diamalkan sendirian tanpa syariah seperti halnya syariah
tidak bisa diamalkan tanpa landasan akidah. Menurut Imam Malik, sebagaimana dikutip oleh
al-Ghazali “Mengamalkan tasawuf tanpa fikih adalah kezindikan, juga sebaliknya berfikih
tanpa tasawuf adalah kehampaan spritual yang didapatkan, memadukan antara keduanya
adalah pencapaian hakikat kebenaran”. AlGhazali juga menyatakan bahwa perjalanan
tasawuf tidak bisa ditempuh lewat belajar dan Ilmu akan tetapi dengan dzauq (sense)1, hȃl
dan kebersihan
hati.2
Dalam tasawuf ada tahapan-tahapan supaya bisa dekat dengan Allah (taqarrub
ilallah), dikenal dengan istilah maqamat (stasiun-stasiun) dan ahwal yang mesti ditempuh
dan diraih seorang sufi. Maqamat merupakan usaha seorang sufi untuk berada dalam
tingkatan tertentu, sedangkan ahwal adalah suatu pemberian (karunia) Allah yang diberikan
kepada seseorang sebagai hasil usahanya dalam maqamat tadi. Konsep seorang sufi dengan
sufi yang lain tidak selalu sama tentang sistematika maqamat. Maqammaqam tersebut antara
lain: taubah, wara’, zuhud, faqr, sabar, syukur, tawakkal, ridha dan makrifat. Demikian juga
ahwal bertingkat-tingkat, pada umumnya sepuluh tingkatan yaitu: al-Muraqabah al-Qurb, al-
Mahabbah, alKhauf, ar-Raja, as-Syauq, al-Uns, al-Tumakninah, al-Musyahadah dan
alYaqin.
Pembagian tasawuf dikategorikan sesuai dengan tokoh-tokohnya serta menurut
pemikiran dan konsep ajarannya. Pertama, tasawuf akhlaki (tasawuf sunni) adalah tasawuf
yang berusaha mewujudkan akhlak mulia dalam diri seorang sufi, sekaligus menghindarkan
diri dari akhlak tercela. Tokoh-tokohnya antara lain: Hasan al-Basri, al-Muhasibi, al-
Qusyairi, Abdul Qadir al-Jailani, al-Ghazali dan lain-lain. Kedua, tasawuf falsafi adalah

1 Dzauq adalah kesengsem yang amat sangat akibat dan untuk bertemu yang tercinta, tingkat diatasnya
adalah syarb, mabuk akan yang tercinta dan tingkat tertinggi adalah irtawa’ “Gila” pada yang tercinta, lihat di
al-Qusyairi, Al-Risalah, (Beirut, Dar al-
Khair, Tt), H,72, lihat di buku Khudori soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang; UIN Press, 2009), hal, 86
2 Hal adalah tingkatan tertentu dalam spiritual. Ia hampir sama dengan maqam, bedanya Maqam
adalah sesuatu yang dapat diraih dengan usaha, sedangkan hal tidak, hal adalah derajat spiritual tertentu yang
diberikan tuhan kepada hambanya dan orang yang dipilihnya, lihat di Al-Qusyairi, hal 56, lihat di buku Khudori
soleh, Skeptisme al-Ghazali, hal, 86

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


tasawuf yang didasarkan kepada keterpaduan teori-teori tasawuf dan filsafat. Tokoh-
tokohnya antara lain: al-Hallaj, Ibn ’Arabi, al-Jili, Ibn Sab’in, as-
Sukhrawardi dan lain-lain. Ketiga, tasawuf ’irfani adalah tasawuf yang berusaha
menyingkap hakikat kebenaran atau makrifat yang diperoleh dengan tidak melalui logika
atau pembelajaran, tetapi melalui pemberian tuhan (mauhibah). Tokoh-tokohnya antara lain:
Rabiah al-Adawiyah, Dzunnun al-Misri, Junaid al-Baghdadi, Abu Yazid al-Bustami,
Jalaluddin Rumi dan lain lain.3

Dalam pembahasan makalah ini, Penulis mengambil judul Tasawuf ‘Irfani; (Biografi dan
Pemikiran Rabi’ah Adawiyah). Penulis mencoba mengurai latar-belakang pemikiran salah
satu tokoh sufi ‘irfani yakni Rabi’ah Adawiyah, dimulai dari latar belakang historis serta
pemikiran pemikiran yang dihasilkan oleh Rabi’ah Adawiyah.

B. Biografi Rabi’ah Adawiyah

1. Latar Belakang Keluarga


Rabiah Al-Adawiyah (‫ )رابعةلعاوعة اةلعاو ة ل‬dikenal juga dengan nama Rabi'ah Basri
adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya terhadap
Allah. Rabi'ah merupakan klien (Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin 'Adi, dimana ia
terkenal dengan sebutan alQaysyah. Ia dikenal sebagai seorang sufi wanita yang zuhud,
yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia mengabdikan hidupnya hanya
untuk beribadah kepada Allah. Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713-717 Masehi,
atau 95-99 Hijriah, di kota Basrah Irak dan meninggal sekitar tahun 801 M /185 H. 45
Nama lengkapnya adalah Ummu al-Khair Rabî’ah binti Ismâ’îl al-Adawiyyah al-
Qishiyyah.6
Rabiah merupakan sufi Wanita beraliran Sunni pada masa dinasti
Umayyah. Rabi’ah Adawiyah menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan
zahidah, yang mengabdikan dirinya untuk Tuhan. Rabi'ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai

3 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), (Tt, PT Remaja Rosdakarya,
Tth,) resensi buku lihat Qor’ah Seregar, dijurnal Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012, hal,
245-6
4 Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia,
5 ), hal, 119
6 Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam the new edition,
(Leiden; ej Brill, 1995), Hal, 354-6

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


The Mother of the Grand Master atau Ibu Para Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga
menjadi panutan para ahli sufi lain seperti Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun Al-misri.
Dia dilahirkan dalam keluarga yang saleh dari kalangan orang miskin, dalam suasana
kacau akibat terjadinya kelaparan di Bashrah. Menurut riwayat, prosesi kelahiran anak
keempatnya7 di malam hari berlangsung dalam suasana yang sangat gelap lantaran
ketidakmampuan sang Ayah membeli minyak untuk menyalakan lampu, sementara dia
merasa “malu” untuk mengadu kepada sesama manusia. Untungnya, disebutkan bahwa
orangtua Rabi’ah mendapatkan hadiah secara mendadak dari Gubernur Bashrah sehingga
dapat memenuhi hajat hidup mereka kala itu.
Rabi’ah berkembang dan tumbuh dalam lingkungan keluarga saleh
dan penuh zuhud, sejak kecil beliau sudah tampak kecerdasannya, sesuatu yang tak biasa
tampak pada anak kecil seusianya. Oleh karena itu beliau amat sangat menyadari
panderitaan dan keadaan yang dihadapi orang tuanya, kendatipun demikian tidak
mengurangi ketaqwaan dan pengabdian beliau dan keluarga kepada Allah SWT. semasa
kecil beliau cendrung pendiam dan tidak banyak menuntut kepada orang tuanya seperti
gadis yang lainnya. Dalam kehidupan sehari-hari beliau selalu memperhatikan bagaimana
Ayahnya beribadah kepada Allah, seperti berzikir, membaca Al-qur’an dan ibadah yang
lainnya yang beliau teladani dari Ayahnya.
Dalam memilih makanan yang halal, suatu ketika Rabi’ah kecil berdiri di samping
Ayahnya yang hendak makan di meja makan, kemudian Rabi’ah terdiam seolah meminta
penjelasan dari Ayahnya tentang makanan yang telah disajikan, kemudian Rabi’ah
berkata: ”Ayah, aku tidak ingin Ayah menyediakan makanan yang tidak halal”, dengan
wajah penuh heran Ayahnya menatap wajah Rabi’ah kecil itu sambil bertanya balik:
”bagaimana pendapatmu jika tidak ada yang diperoleh selain yang tidak halal?”, beliau
menjawab: ”biar saja kita menahan lapar di dunia, lebih baik kita menahan pedihnya api
neraka”, ini membuktikan bahwa sejak kecil beliau sudah menunjukkan kematangn
pemikiran dan memiliki akhlak yang baik.
Beliau ditinggal pergi oleh kedua orang tuanya ke rahmatullah di usianya yang masih
kecil bersama ketiga orang saudara perempaunnya tanpa diwarisi sepeser uang pun, hanya

7 Syed ahmad Semait, 100 tokoh wanita terbilang, (Singapore; Pustaka Nasional Pte Ltd, 1993), Hal,
476-7, lihat di Skripsi Siti Rihannah, Biografi dan pemikiran Rabi’ah
Adawiyah, (UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Hal, 12

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


perahu yang sehari-hari digunakan Ayahnya untuk menyebrangi orang ke tepi sungai
Dajlah. Semenjak itulah beliau selalu merasakan kesedihan yang amat sangat mendalam
yang hanya bisa terobati ketika beliau beribadah dan bernmunajat kepada Allah SWT,
2. Pendidikan Non-Formal
Rabi’ah Adawiyah menyelesaikan hafalan al-Qur’an pada umur 10 tahun. Kecepatan
dalam menghafal al-Qur’an dapat dimaklumi karena ia suka menghafal sejak kecil.
Rabi’ah tumbuh dikalangan keluarga saleh dan zuhud. Ayahnya menghendaki rabia’ah
untuk menjadi anak yang shalehah dan zuhud terhindar dari sifat tercela yang dapat
menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya. Maka ia dibawa ke mushola dipinggiran
kota Basrah. Ditempat inilah rabi’ah sering bermunajat dan berdialog dengan tuhan-Nya.8
Ia adalah orang pertama yang mengenalkan konsep Mahabbah dalam Tasawuf.
Seorang penyair Attar menulis “posisi Rabi’ah sangat unik, sebab dalam kaitanya dengan
tuhan dan pengalamanya tentang ilmu ketuhanan tiada bandinganya, ia sangat dimuliakan
oleh pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas kesufianya juga tidak diragukan lagi
dikalangan sahabat-sahabatnya”. Rabi’ah juga tidak belajar dibawah bimbingan syekh
atau pembimbing spiritual manapaun, namun rabi’ah mencari langsung dengan
pengalaman langsung pada tuhanya.9 Ia tidak pula meninggalkan ajaran secara tertulis
langsung dari tanganya sendiri, melalui ajaranya dikenal melalui para muridnya dan baru
ditulis setelah beberapa tahun kewafatanya.
Rabi’ah juga tidak pernah mengecap pendidikan manisnya disekolah ataupun pergi
kerumah guru untuk belajar menjadi seorang Sufi, akan tetapi, kemasyhuranya telah
sampai menjangkau Eropa. Para sarjana Barat seprti Margaret Smith, Masignon, dan
Nicholson sangat kagum akan sejarah hidup wanita shaleh ini. Buah renungan Rabi’ah
yang kaya akan ilmu mendalam sehingga para sarjana sangat minat untuk meniliti buah
pikiranya.
3. Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah
Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah merupakan aliran Muhabbah atau al-hubb yang
berhubungan tantang cinta. Beberapa karya yang diciptakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah
baik berupa larik syair ataupun ucapannya yang berhubungan tentang rasa cintanya

8 Syed ahmad Semait, 100 tokoh wanita terbilang, ,,Hal. 477


9 Margaret Smith, Mistisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhanya, Penerjemah Amroeni
Drajat (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2007), h, 277

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


kepada Allah memang sangat menunjukan dan membuktikan bahwa cintanya hanya untuk
Allah. Selain itu ia juga betul-betul hidup dalam zuhud, diantara ucapannya yang terkenal
tentang zuhud adalah, sebagaiman diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-
Mahjub:
“suatu ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada Rabi’ah:
“mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah menjawab: “aku ini begitu malu
meminta hal-hal duniawi kepada Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu
kepada orang yang bukan pemiliknya.”10
Selain ucapannya diatas, dia juga pernah berucap tentang cintanya kepada Allah,
baginya Allah merupakan zat yang dicintai, bukan sesuatu yang harus dicintai, adapun
ucapannya adalah sebagai berikut:
“Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena aku takut masuk neraka, bukan pula
karena ingin masuk surga tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika
ku puja Engkau, karena takut neraka, bakarlah aku didalamnya; dan jika kupuja Engkau
karena mengharap surga, jauhkanlah aku dari padanya; tetapi jika Engkau kupuja
semata-mata karena Engkau, maka janganlah sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu
dariku”11
Diantara ucapan-ucapannya yang menggambarkan tentang konsep
zuhud yang dimotivasi rasa cinta adalah:
“Wahai Tuhan! Apa pun bagiku dunia yang Engkau karuniakan kepadaku, berikanlah
semua kepada musuh-musuhMu. Dan apapun yang akan Engkau berikan kepada ku kelak
di akhirat, berikanlah semua kepada teman-temanMu. Bagiku, Engkau pribadi sudah
cukup”
Tampak jelas bahwa rasa cinta Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah begitu penuh
meliputi dirinya, sehingga sering membuat tidak sadarkan diri karena hadir bersama
Allah, seperti terungkap dalam larik syairnya:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu, Tubuhku pun biar berbincang
dengan temanku Dengan temanku tubuhku berbincang selalu Dalam kalbu terpancang
selalu Kekasih cintaku”.

10 Asmaran, “Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 275
11 Asmaran, “Pengantar Tasawuf”, hal. 278.

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


Dalam lariknya yang lain, lebih tampak lagi cintanya Rabi’ah al-Adawiyah terhadap
Allah. Dalam mengungkapkan rasa cintanya ini, dia bersenandung:
“Aku cinta Kau dengan dua model cinta Cinta rindu dan cinta karena Kau layak
dicinta Adapun inta rindu, karena hanya Kau kukenang selau, Bukan selainMu Adapun
karena Kau layak dicinta, karena kau singkapkan tirai sampai Kau nyata bagiku Bagiku,
tidak ada puji untuk ini dan itu. Tapi sekalian puji hanya bagiMu selalu.”
Selanjautnya, dalam lirik syairnya yang lain, dia mengungkapkan isi hatinya sebagai
berukut: “Buah hatiku, cintaku hanya padaMu, Beri ampunlah para pembuat dosa yang
datang ke hadiratMu Engkaulah harapanku, kebahadiaan dan kesenanganku Hatiku telah
enggan mencintai selain dari diriMu”1213 Serta fatwa beliau yang berbunyi:
“Engkau durhaka kepada Tuhan didalam batin Tetapi dilidah engkau menyebut taat
kepanya Demi umurku. Ini buatan yang ganjil amat Jika cinta sejati, tentu kau turut apa
perintah Karena pecinta, ke yang dicintai taat dan patuh”.
Itu lah kiranya beberapa karya beliau yang seakan menjelaskan kecintaannya kepada
Allah SWT.
C. Pengertian Konsep Mahabbah Menurut Rabi’ah Adawiyah
Secaara etimologi, mahabbah adalah bentuk masdar dari kata: ‫حبب‬ Kata mahabbah
berasal dari kata ahabba, yuhibbu, mahabatan, yang secara harfiah berarti mencintai secara
mendalam, atau kecintaan atau cinta yang mendalam.14 Dalam mu’jam al-falsafi, jamil
shabila mengatakan Mahabbah adalah lawan dari al-baghd, yakni cinta lawan dari benci.15
Al-Mahabbah dapat pula berarti al-wudud, yakni yang sangat kecil atau penyayang yang
mempunyai arti: a) membiasakan dan tetap, b) menyukai sesuatu karena punya rasa cinta.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa mahabbah (cinta) merupakan
keinginan yang sangat kuat terhadap sesuatu melebihi kepada yang lain atau ada perhatian
khusus, sehingga menimbulkan usaha untuk memiliki dan Bersatu dengannya, sekalipun
dengan pengorbanan.
Sedangkan secara terminologi, terdapat perbedaan defenisi di kalangan ulama. Pendapat
kaum Teologi yang dikemukakan oleh Webster bahwa mahabbah berarti; a) keredaan Tuhan

12http://hadibesc.blogspot.com/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html diakses tanggal


13 -04-2015
14 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( jakarta: Hidakarya, 1990), hal. 96.
15 Jamil Shabila, al-mu’jam al-falsafy, jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978), hal. 439

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


yang diberikan kepada manusia, b) keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan c)
perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya. Pengertian tersebut bersifat
umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada mahabbah Tuhan kepada
manusia dan sebaliknya, ada mahabbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Imam al-Ghazāli mengatakan bahwa mahabbah adalah kecenderungan hati
kepada sesuatu. Kecenderungan yang dimaksud oleh alGhazali adalah kecenderungan kepada
Tuhan karena bagi kaum sufi mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya mahabbah
kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya, “Barangsiapa yang mencintai sesuatu
tanpa ada kaitannya dengan mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan
karena hanya Allah yang berhak dicintai.” Al-Ghazali berkata, “Cinta adalah inti
keberagamaan. Ia adalah awal dan juga akhir dari perjalanan kita. Kalau pun ada maqam
yang harus dilewati seorang sufi sebelum cinta, maqam itu hanyalah pengantar ke arah cinta,
maqam itu akibat dari cinta saja.”
Kata Mahabbah tersebut selanjutnya digunakan untuk menunjukan pada suatu paham
atau aliran dalam tasawuf. Dalam hubungan ini mahabbah objeknya lebih ditujukan pada
Tuhan.16 Selanjutnya Harun Nasution mengatakan bahwa mahabbah cinta dan yang dimaksud
ialah cinta kepada Allah. Lebih lanjut Harun Nasution mengatakan, pengertian yang
diberikan kepada mahabbah antara lain:1718
1) Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadaNya.
2) Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi.
3) Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari yang dikasihi, yaitu Tuhan.

Yang dimaksud dengan kekasih ialah Allah. Pengertian tersebut di atas sesuai dengan
tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya
mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang
terbanyak adalah kelompok awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama.
Sejalan dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:

1) Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-
nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm berdialog dengan Tuhan.

16 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Pt Grafindo persada, 2006), Hal,


17 Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang,
18 ), cet. III, hal. 70.

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


2) Cinta orang siddiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya tabir
yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-
rahasia pada Tuhan.
3) Cinta orang ‘arif, yaitu mengetahui betul Tuhan, yang dilihat dan yang dirasa bukan lagi
cinta, tetapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam ciri
yang mencintai.

Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan seluk beluk cinta atau
mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap
operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah adalah salah satu ajaran pokok yang
memungkinkan islam membawa seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan
untuk emosi semata-mata yang hanya di pupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah
cinta yang memiliki kecendrungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber
keutamaan moral. Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat islam, term cinta atau
mahabbah telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.

Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealism emosional yang dibatinkan secara
murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu
berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya.
Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang
mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa
terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari
pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga
yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi diri yang dicintai.

Biografi dan Pemiikiran Rabi’ah Adawiyah


D. Konsep Falsafah Hub al-Illah Rabi’ah

Rabi’ah Al Adawiyah tergolong dalam kelompok sufi periode awal. Ia


memperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknya dalam sajak-
sajak berkualitas tinggi. Rabi’ah dipandang sebagai pelopor tasawuf mahabbah, yaitu
penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu para
sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat tasawufnya adalah habbul-
ilāh (mencintai Allah SWT). Ibadah yang ia lakukan bukan terdorong oleh rasa takut
akan siksa neraka atau rasa penuh harap akan pahala atau surga, melainkan semata-
mata terdorong oleh rasa rindu pada Tuhan untuk menyelami keindahan–Nya yang
azali.19

Mahabbah Rabi’ah merupakan versi baru dalam masalah ubudiyah kedekatan


pada Tuhan. Rabi’ah adalah seorang zahidah sejati. Memeluk erat kemiskinan demi
cintanya pada Allah. Lebih memilih hidup dalam kesederhanaan. Definisi cinta
menurut Rabi’ah adalah cinta seorang hamba kepada Allah Tuhannya. Ia
mengajarakan bahwa yang pertama, cinta itu harus menutup yang lain, selain Sang
Kekasih atau Yang Dicinta, yaitu bahwa seorang sufi harus memalingkan
punggungnya dari masalah dunia serta segala daya tariknya. Sedangkan yang kedua,
ia mengajarkan bahwa cinta tersebut yang langsung ditujukan kepada Allah dimana
mengesampingkan yang lainnya, harus tidak ada pamrih sama sekali. Ia harus tidak
mengharapkan balasan apa-apa. Dengan Cinta yang demikian itu, setelah melewati
tahap-tahap sebelumnya, seorang sufi mampu meraih ma’rifat sufistik dari “hati yang
telah dipenuhi oleh rahmat-Nya”.Pengetahuan itu datang langsung sebagai pemberian
dari Allah dan dari ma’rifat inilah akan mendahului perenungan terhadap Esensi
Allah tanpa hijab.

19 Abdul Halim, Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah
alAdawiyah, Thesis kerja sama UIN Syarif Hidayatullah dan universitas Indonesia, 1995), h.72

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 10


Rabi’ah merupakan orang pertama yang membawa ajaran cinta sebagai sumber
keberagamaan dalam sejarah tradisi sufi Islam. Cinta Rabi’ah merupakan cinta yang
tidak mengharap balasan. Justru, yang dia tempuh adalah perjalan mencapai
ketulusan. Sesuatu yang diangap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya
yang luas, dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair, ia
berujar:

“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di
neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi,
jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku
keindahan abadi-Mu.”

Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan
wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum
sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi
Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu
rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan
duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah
serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada
manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga
mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan
hingga akhir hayatnya.

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi.
Mahbbah yang dicapai oleh Rabi’ah tidak hanya melalui Ilmu akan tetapi dengan
penggemblengan jiwa dan watak.20 Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah
maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan
ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu
Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari
pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada
Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
20 7Sururin, Rabi’ah Adawiyah Hub Al-Illahi, Evolusi jiwa Manusia Menuju
Mahabbah dan Makrifat, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 2002), hal, 47

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 11


Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbahNya, sebenarnya tak berbeda jauh
dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut) dan raja’
(harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepada Allah didasarkan atas
ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuk surga, maka mahabbah Rabi’ah
justru sebaliknya. Ia mengabdi kepada Allah bukan lantaran takut neraka maupun
mengharapkan balasan surga, namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata.
Sikap cinta kepada dan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir
Rabi’ah sebagai berikut:

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah
aku di dalam neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi
kepadaku.”

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehingga


hatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatu ketika
Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Ia menjawab, “Ya, aku
sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Pencipta membuat aku berpaling dari
mencintai makhluknya.” Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah ia
membencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidak meninggalkan
ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membenci syetan.” Allah adalah
teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana saja Rabi’ah pergi, hanya Allah
saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintai Allah dengan sesungguh hati dan
keimanan.

Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup.
Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada
Teman dan Kekasihnya itu:

“Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap
dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya
tetap Engkau sendiri.”

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 12


Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepada maqam
mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapan maqam tersebut,
Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapantahapan lain, antara lain tobat, sabar dan
syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampaui seiring dengan perwujudan Cintanya kepada
Tuhan. Tapi pada tahap tertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih
belum terpuaskan, meski hijab penyaksian telah disibakkan. Dalam kegamangannya
itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa dan bermunajat kepada Allah. Bahkan dalam
doanya itu ia berharap agar tetap mencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang
hatinya. Doanya: “Tuhanku, malam telah berlalu dan siang segera menampakkan
diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima, hingga aku merasa bahagia,
ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih, Demi ke-Maha
Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan. Selama Engkau beri aku hayat, sekiranya
Engkau usir dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku”.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakan


segalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukan tujuan, tetapi lebih
dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menuju Tuhan sehingga Dia ridla kepada
hamba yang mencintai-Nya. Dan dengan jalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar
Tuhan ridla kepadanya dan kepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh
dari Cintanya kepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dan
kemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan juga di
akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinya berharap Tuhan
memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalam sya’irnya Rabi’ah
mengatakan:

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 13


“Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta, Cinta rindu dan Cinta karena
Engkau layak dicinta, Dengan Cinta rindu, kusibukan diriku dengan mengingat-
ingat-Mu selalu, Dan bukan selain-Mu. Sedangkan Cinta karena Engkau layak
dicinta, di sanalah Kau menyingkap hijabMu,agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu, segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini
atau itu.”

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalam


Cinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya dengan merenungi
esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Ia telah mendapat kepastian
(jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allah kepadanya. Cintanya telah menyatu
melalui hubungan pribadi, dan ia telah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang
meninggalkan dunia ini serta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan
duniawi kecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsu
keduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsu tersebut dan
Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Dia satu-satunya yang ia cintai. Allah
telah memebaskan hatinya dari keinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan
dengan ini meskipun ia masih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum
sesuai untuk dianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan ia
berada di tempat yang mulia.

Cintanya kepada Allah tidak memerlukan balasan dari-Nya, meskipun ia merasa


harus mencintai-Nya. Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia
menampakkan rahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat
ia melintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhirat nanti (yaitu
pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akan melihat wajah Allah tanpa ada
hijab, berhadaphadapan). Tak ada lagi pujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana
nanti, sebab Allah sendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia
dan akhirat).21

21 Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, Mistisme Islam dan
Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhanya, Penerjemah Amroeni Drajat, h, 277

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 14


Dalam shahih Bukhari-Muslim, sebuah hadis diriwayatkan oleh Anas bin Malik
menyatakan bahwa Rasulullah bersabda, “Kamu belum beriman sebelum Allah dan
RasulNya lebih kamu cintai daripada selain keduanya.” Tirmidzi pun meriwayatkan
bahwa Rasullullah bersabda, “Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkanNya
kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan Cintailah
keluargaku karena kecintaanmu kepadaku.”

E. Kesimpulan

Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam
dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri
kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun
mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan.
Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah,
yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu
para sufi besar (The Mother of The Grand Master).

Hakikat tasawufnya adalah hubbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Cinta Ilahi (al-
Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan
kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam
ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama
lain tidak bisa dipisahkan

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 15


Daftar Pustaka

Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta; Pt Grafindo persada, 2006).


Al-Qusyairi, Al-Risalah, (Beirut, Dar al-Khair, Tt).
Asmaran, “Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002).
Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), (Tt, PT Remaja
Rosdakarya, Tth,).
Harun Nasution, falsafah dan mistisisme dalam Islam, (Jakarta Bulan Bintang, 1983).
Jamil Shabila, al-mu’jam al-falsafy, jilid II, (Mesir: Dar al-Kitab, 1978).
Khudori soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang; UIN Press, 2009).
Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The
ensiklopedia of Islam the new edition, (Leiden; ej Brill, 1995).
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, ( jakarta: Hidakarya, 1990)
Margaret Smith, Mistisme Islam dan Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhanya,
Penerjemah Amroeni Drajat (Jakarta; Gaya Media Pratama, 2007)
Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung;
Pustaka Setia, 2007).
Sururin, Rabi’ah Adawiyah Hub Al-Illahi, Evolusi jiwa Manusia
Menuju Mahabbah dan Makrifat, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 2002).
Siti Rihannah, Biografi dan pemikiran Rabi’ah Adawiyah, (Skripsi,
UIN Syarif Hidayatullah, 2011).
Syed ahmad Semait, 100 tokoh wanita terbilang, (Singapore; Pustaka Nasional Pte
Ltd, 1993).

Dr, H, Dahlan Thamrin M,Ag , Didin Chonytha

http://hadibesc.blogspot.com/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html

Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 16


Biografi dan Pemikiran Rabi’ah Adawiyah 17

Anda mungkin juga menyukai