“RABIYAH AL ADAWIYAH”
DI SUSUN OLEH
: ARTIKA S ABUD
: JULIATI BUAMONABOT
JURUSAN : SYARI’AH
SEMESTER : III(TIGA)
1 Dzauq adalah kesengsem yang amat sangat akibat dan untuk bertemu yang tercinta, tingkat diatasnya
adalah syarb, mabuk akan yang tercinta dan tingkat tertinggi adalah irtawa’ “Gila” pada yang tercinta, lihat di
al-Qusyairi, Al-Risalah, (Beirut, Dar al-
Khair, Tt), H,72, lihat di buku Khudori soleh, Skeptisme al-Ghazali, (Malang; UIN Press, 2009), hal, 86
2 Hal adalah tingkatan tertentu dalam spiritual. Ia hampir sama dengan maqam, bedanya Maqam
adalah sesuatu yang dapat diraih dengan usaha, sedangkan hal tidak, hal adalah derajat spiritual tertentu yang
diberikan tuhan kepada hambanya dan orang yang dipilihnya, lihat di Al-Qusyairi, hal 56, lihat di buku Khudori
soleh, Skeptisme al-Ghazali, hal, 86
Dalam pembahasan makalah ini, Penulis mengambil judul Tasawuf ‘Irfani; (Biografi dan
Pemikiran Rabi’ah Adawiyah). Penulis mencoba mengurai latar-belakang pemikiran salah
satu tokoh sufi ‘irfani yakni Rabi’ah Adawiyah, dimulai dari latar belakang historis serta
pemikiran pemikiran yang dihasilkan oleh Rabi’ah Adawiyah.
3 Cecep Alba, Tasawuf dan Tarekat (Dimensi Esoteris Ajaran Islam), (Tt, PT Remaja Rosdakarya,
Tth,) resensi buku lihat Qor’ah Seregar, dijurnal Jurnal Sosioteknologi Edisi 27 Tahun 11, Desember 2012, hal,
245-6
4 Rosihon Anwar dan mukhtar solihin, Ilmu tasawuf, (Bandung; Pustaka Setia,
5 ), hal, 119
6 Margaret Smith, Rabi’ah Al-Adawiya Al-kassiya, dalam The ensiklopedia of Islam the new edition,
(Leiden; ej Brill, 1995), Hal, 354-6
7 Syed ahmad Semait, 100 tokoh wanita terbilang, (Singapore; Pustaka Nasional Pte Ltd, 1993), Hal,
476-7, lihat di Skripsi Siti Rihannah, Biografi dan pemikiran Rabi’ah
Adawiyah, (UIN Syarif Hidayatullah, 2011), Hal, 12
10 Asmaran, “Pengantar Tasawuf edisi Revisi”, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 275
11 Asmaran, “Pengantar Tasawuf”, hal. 278.
Yang dimaksud dengan kekasih ialah Allah. Pengertian tersebut di atas sesuai dengan
tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya
mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang
terbanyak adalah kelompok awam mahabbah-nya termasuk pada pengertian yang pertama.
Sejalan dengan itu, al-Sarraj (w. 377 H) membagi mahabbah kepada tiga tingkatan yaitu:
1) Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, senantiasa menyebut nama-
nama Allah dan memperoleh kesenangan dalm berdialog dengan Tuhan.
Terlepas dari banyaknya penjelasan mengenai defenisi dan seluk beluk cinta atau
mahabbah tersebut, namun yang pasti, mahabbah pada dasarnya merupakan sebuah sikap
operasional. Dengan kata lain, konsep mahabbah adalah salah satu ajaran pokok yang
memungkinkan islam membawa seluruh isi alam. Cinta pada hakikatnya bukanlah sebutan
untuk emosi semata-mata yang hanya di pupuk di dalam batin saja, akan tetapi ia adalah
cinta yang memiliki kecendrungan pada kegiatan nyata sekaligus menjadi sumber
keutamaan moral. Hanya saja dalam perjalanan sejarah umat islam, term cinta atau
mahabbah telah menjadi salah satu pokok pembicaraan orang-orang sufi.
Mereka menggeser penekanan cinta kearah idealism emosional yang dibatinkan secara
murni. Sehingga di kalangan sufi, mahabbah adalah satu istilah yang hampir selalu
berdampingan dengan makrifat, baik dalam penempatannya maupun dalam pengertiannya.
Kalau makrifat merupakan tingkat pengetahuan tentang Tuhan melalui hati, sedang
mahabbah adalah merupakan perasaan kedekatan dengan Tuhan melalui cinta. Seluruh jiwa
terisi oleh rasa kasih dan kasih dan cinta kepada Tuhan. Rasa cinta yang tumbuh dari
pengetahuan dan pengenalan kepada Tuhan, sudah sangat jelas dan mendalam, sehingga
yang dilihat dan dirasa bukan cinta, tetapi diri yang dicintai.
19 Abdul Halim, Cinta Ilahi, Studi perbandingan antara al-Ghazali dan Rabi’ah
alAdawiyah, Thesis kerja sama UIN Syarif Hidayatullah dan universitas Indonesia, 1995), h.72
“Wahai Tuhanku, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di
neraka. Jika aku menyembah-Mu karena surga, jangan masukkan ke dalamnya. Tapi,
jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata, jangan sembunyikan dariku
keindahan abadi-Mu.”
Dalam fase selanjutnya, hidup Rabia'ah hanya diisi dengan dzikir, tilawah, dan
wirid. Duduknya hanya untuk menerima kedatangan muridnya yang terdiri dari kaum
sufi yang memohon restu dan fatwanya. Rabi'ah berusaha mengajarkan generasi
Muslim sesudahnya sehingga mereka mampu mengangkat derajat mereka dari nafsu
rendah. Sebab kondisi masyarakat Basrah pada waktu itu terlena dalam kehidupan
duniawi, berpaling dari Allah Swt dan menjauhi orang-orang yang mencintai Allah
serta segala sesuatu yang dapat mendekatkan diri pada Allah Swt. Mengajarkan pada
manusia arti cinta ilahi dengan mendidik manusia dengan akhlaq yang mulia sehingga
mendapatkan kedudukan tinggi. Hidup Rabi'ah penuh untuk beribadah kepada Tuhan
hingga akhir hayatnya.
Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi.
Mahbbah yang dicapai oleh Rabi’ah tidak hanya melalui Ilmu akan tetapi dengan
penggemblengan jiwa dan watak.20 Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah
maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan
ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. Abu
Nashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itu timbul dari
pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dan tanpa pamrih kepada
Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuan apa pun.
20 7Sururin, Rabi’ah Adawiyah Hub Al-Illahi, Evolusi jiwa Manusia Menuju
Mahabbah dan Makrifat, (Jakarta; Pt Raja Grafindo Persada, 2002), hal, 47
“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu, karena takut pada neraka, maka bakarlah
aku di dalam neraka. Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga. Tetapi jika aku menyembah-Mu demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu, yang Abadi
kepadaku.”
Karena itu, ia sering jadikan Kekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup.
Dalam salah satu sya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rabi’ah kepada
Teman dan Kekasihnya itu:
“Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku, Tubuh kasarku biar bercakap
dengan yang duduk. Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku, Isi hatiku hanya
tetap Engkau sendiri.”
21 Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam Margaret Smith, Mistisme Islam dan
Kristen Sejarah Awal dan Pertumbuhanya, Penerjemah Amroeni Drajat, h, 277
E. Kesimpulan
Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri dalam
dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep pendekatan diri
kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa neraka ataupun
mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak mengharap balasan.
Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor tasawuf mahabbah,
yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun dikenang sebagai ibu
para sufi besar (The Mother of The Grand Master).
Hakikat tasawufnya adalah hubbul-ilāh (mencintai Allah SWT). Cinta Ilahi (al-
Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan
kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam
ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama
lain tidak bisa dipisahkan
http://hadibesc.blogspot.com/2013/06/rabiah-al-adawiyah-a.html