Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH AKHLAK DAN TASAWUF

SUFI – SUFI BESAR


Dosen Pengampu : Gatot Bintoro Putro Aji ,S.H, M.E.Sy

Kelompok 8 ( Kelas E):

Zela Susanti 2121030171


Ananda Agustino 2121030176

FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN
LAMPUNG TAHUN AJARAN 1443 H / 2022 M
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam telah memuat tiga dimensi dasar yang harus dimiliki setiap muslim,
yaitu Iman, Islam dan Ihsan. Para ulama yang berjasa mempertahankan kesucian
Islam juga dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar. Yang pertama bertugas
memelihara dan mempertahankan kedudukan dasar-dasar iman. Kelompok kedua
bertugas menjaga kedudukan Islam dan pokok-pokok ajaranya. Sedangkan yang
ketiga yaitu kelompok penjaga kedudukan Ihsan.
Ciri utama para sufi adalah usahanya yang gigih untuk mencapai puncak
makrifat, hingga kepada pertemuanya dengan Allah. Untuk tujuan itu timbullah
berbagai macam usaha merintis jalan untuk mencapainya. Pada mulanya Zahid
Hasan Bashri menempuh zuhud dengan jalan khauf. Kemudian oleh Rabi’ah al-
Adawiyah Khauf ditinggalkan.
Wacanaa mahabbatullah dalam dunia tasawuf dipopulerkan oleh seorng
perempuan suci yang menjadi kekasih Allah (waliyullah) dan melegenda sepanjang
zaman pada cinta illahi yang banyak mewarnai para sufi dizaman-zaman
selanjutnya. Tampilnya rabi’ah dalam sejarah tasawuf islam, memberikan citra
tersendiri, dalam menyetarakan gender pada datarn spiritual islam. Bahkan dengan
kemampuannya dalam menempuh perjungan “melawan diri sendiri” dn selanjutnya
tengglam dalam “Telaga Cinta Ilahi”.
Mahabbah senantiasa di dampingi oleh ma’rifah. Mahbbah dan ma’rifah
merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduana menggambarkan
huungan rapat antar sufi dan Tuhan, adalah Dzu al-Nun al-Mishri yang
mengembangkan konsep ma’rifah dalam dunia tasawuf.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana Pokok – pokok Ajaran Tasawuf Robi’ah Al- Adawiyah dan Dzun Nun
Al – Misri ?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Rabi’ah al-Adawiyah
1. Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi’ah al-Adawiyah adalah salah seorang tokoh sufi terkemuka. Nama
lengkapnya adalah rabi’ah binti Isma’il al-Adawiyah al-Qissiyah. Ia diberi
nama dengan Ra’biah karena ia merupakan puteri keempat dari tiga puteri
lainnya.1 Dan ia lahir di Basrah sekitar tahun 95 atau 99 H/ 713 dan 717
Miladiah. Ada yang menyebutkan tahun kelahirannya 714 Miladiah. Dan
meninggal di tahun 801 M.2 Meskipun dunia Islam mempunyai banyak sufi
wanita, namun hanya Rabi’ah al- Adawiyah, Fariduddin Attar (513 H/1119 M-
627 H/1230 M) seorang penyair mistik Persia, beliau melukiskan betapa
kemiskinan menimpa kehidupan keluarga tersebut ketika Rabi’ah al-Adawiyah
dilahirkan.
Pada saat itu di rumahnya tidak ada seuatu yang akan dimakan dan tidak
ada pula sesuatu yang bisa dijual. Di malam hari rumah keluarga ini gelap
karena tak ada lampu. Malam gelap gulita karena minyak untuk penerangan
juga telah habis. Pada suatu hari menjelang usia remajanya, ketika keluar
rumah, ia ditangkap dan dujual degan harga 6 dirham. Orang yang membeli
Rabi’ah menyuruhnya mengerjakan pekerjaan yang berat, memperlakukannya
dengan bengis dan kasar. Namun demikian ia tabah menghadapi penderitaan,
pada siang hari melayani tuannya, dan pada malam hari beribadah kepada Allah
swt. mendambakan rida-Nya. Pada suatu malam, tuannya terjaga dari tidur, dan
melalui jendela melihat Rabi’ah sedang sujud dan berdoa, “Ya Allah, Engkau
bahwa hasrat hatiku adalah untuk mematuhi perintah-Mu; jika aku dapat
merubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan istirahat barang sedik pun dari
mengabdi kepada Mu”. Menyaksikan peristiwa itu, ia merasa takut semalaman
1
Drs. H.M. Laily Mansur, L.PH. Ajaran dan Teladan Para Sufi (Cet. I; Jakarta: PT.Raja Grafindo, 1996),
hlm.46.
2
Prof. Dr. Harun Nasution, Islam Ditijaun Dari Berbagai Aspeknya (Jil. II; Jakarta: UI-Press, 1979), hlm 76.
termenung sampai terbit fajar. Pagi-pagi sekali ia memanggil Rabi’ah, bersikap
lunak kepadanya dan membebaskannya.
Menurut cerita orang yang memilikinya bahwa ia melihat cahaya di atas
kepala Rabi’ah, dan sewaktu ia beribadah cahaya itu menerangi seluruh
ruangan rumahnya. Setelah dibebaskan ia pergi menyendiri ke padang pasir dan
memilih hidup sebagai zahidah, dan menurut riwayat dari Imam Sya’rani
bahwa pada suatu ketika ada orang yang menyebut-nyebut siksa neraka di
depan Rabi’ah, mendengar ucapan itu ia pingsanlah. Pingsan yang dimaksud di
sini, pingsan dalam bentuk istigfar, memohon ampunan Tuhan dan setelah ia
siuman dari pingsannya ia berkata: “saya mesti meminta ampun lagi dengan
cara memohon ampun yang pertama”. 3 Sebagai seorang sufi ia dikunjungi oleh
murid-murid yang ingin belajar dan mendengarkan ajaran-ajarannya, di
antaranya Malik bin Dinar, Rabah al-Kais, Sufyan al-Tsauri dan Syaikh al-
Balkhi.
Karena pada zamannya ia dikenal dengan kesalehannya serta
pengabdiannya hanya untuk mencari keridhaan dari Allah swt. Dalam
kehidupannya sebagai zahidah, Rabi’ah sangat membenci dengan kesenangan
dunia, sebagaimana kritikannya terhadap Sufyan al-Tsauri yang banyak
dikunjungi orang karena kealimannya. Rabi’ah memandangnya sebagai
kesenangan duniawi saja. Ketika Sufyan al-Tsauri bertanya tentang hikmat,
jawab: “alangkah baiknya bagimu jika engkau tidak mencintai dunia ini”.
Memang benar pendapat Rabi’ah tersebut, karena dunia ini tidak abadi, apalah
artinya bagi seseorang dunia akhirnya akan fana’, meninggalkan segala apa
yang dicintai dan dimilikinya. Selama hidupnya Rabi’ah tidak pernah menikah,
bukan karena ke-zuhudan- nya semata-mata terhadap perkawinan itu sendiri,
meskipun banyak orang yang meminangnya namun ia lebih suka menyindiri
dan beribadah kepada Tuhan, sampai akhir hayatnya4

3
Prof. Dr. Hamka, Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya (Cet. XI; Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984),
hlm.79.
4
Dra. Hj. Ummu Kalsum Yunus, M.Pd.I., Ilmu Tasawuf (Cet. I; Makassar: Alauddin Press, 2011), hlm 107
2. Pokok-pokok Ajaran Tasawuf Rabi’ah al-Adawiyah
Ajaran tasawuf yang dibawanya itu, dikenal dengan istilah al-
Mahabbah. Pahamini merupakan kelanjutan dari tinggat kehidupan zuhud yang
dikembangkan oleh Hasan al-Basri, yaitu takut dan pengharapan dinaikkan oleh
Rabi’ah menjadi zuhud karena cinta. Cinta yang suci murni itu lebih tinggi dari
pada takut dan pengharapan. Kata mahabbah itu sendiri berasal dari kata -‫محبة‬

‫ أحب‬-‫ یحب‬yang secara harfiah berarti mencintai secara mendalam, atau


kecintaan atau cinta yang mendalam.11dan hubb yang berarti lawan dari al-
Bugd yakni cinta lawan dari benci. Begitu juga memiliki makna al-Wadad yang
artinya cinta, kasih sayang, persahabatan.
Menurut Harun Nasution, mahabbah ialah:
1. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-
Nya.
2. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi
3. Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dikasihi.5
Sebagaimana telah kita ketahui, bahwa Rabi’ah dikenal dengan konsep
mahabbah-nya. Hal ini diketahui dari jawabannya atas pertanyaan: Ketika
Rabi’ah ditanya; “ Apakah kau cinta kepada Tuhan yang Maha Kuasa? ‘ya’.
Apakah kau benci kepada syeitan? ‘tidak’, cintaku kepada Tuhan tidak
meninggalkan ruang kosong dalam diriku untuk rasa benci kepada syeitan.”
Seterusnya Rabi’ah menyatakan: “ saya melihat Nabi dalam mimpi, Dia
berkata: Oh Rabi’ah, cintakah kamu kepadaku? Saya menjawab, Oh
Rasulullah, siapa yang menyatakan tidak cinta? Tetapi cintaku kepada pencipta
memalingkan diriku dari cinta atau membenci kepada makhluk lain.”
Mahabbah kepada Allah merupakan suatu keajaiban yang harus ditanamkan
kepada setiap individu, karena tanpa adanya mahabbah, seseorang baru berada
pada tingkatan yang paling dasar sekali yaitu tingkat muallaf.

5
Prof.Dr. Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang, 1983), h. 70
Menurut al-Saraf sebagaimana yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa
mahabbah itu mempunyai tiga tingkatan:
1. Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut
nama- nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan
Tuhan senantiasa memuji-Nya.
2. Cinta orang yang siddiq yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada
kebesaran- Nya, pada ilmu-Nya dan lainnya. Cinta yang dapat
menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan, dan
dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia yang ada pada Tuhan. Ia
mengadakan dialog dengan Tuhan dan memperoleh kesenangan dari dialog
itu. Cinta tingkat kedua ini membuat orang sanggup menghilangkan
kehendak dan sifat-sifatnya sendiri, sedang hatinya penuh dengan perasaan
cinta dan selalu rindu kepada Tuhan.
3. Cinta orang arif, yaitu orang yang tahu betul kepada Tuhan. Cintanya yang
serupa ini timbul karena telah tahu betul kepada Tuhan. Yang dilihat dan
dirasa bukan lagi cinta tapi diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk ke dalam diri yang dicintai. Faham tentang mahabbah
seperti tersebut di atas mempunyai dasar dalam al- Qur’an sebagaimana
firman-Nya dalam QS. Al-Maidah [5]: 54
ٓ ٗ‫فَ َسوْ فَ يَْأتِى هّٰللا ُ بِقَوْ ٍم ُّي ِحبُّهُ ْم َويُ ِحبُّوْ نَه‬
Terjemahnya: “Allah akan mendatangkan suatu ummat yang Allah
mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya.”
Ajaran yang dibawa oleh Rabi’ah adalah versi baru dalam kehidupan
kerohanian, dimana tingkat zuhud yang diciptakan oleh Hasan Basri yang
bersifat khauf dan raja dinaikkan tingkatnya oleh Rabi’ah al-Adawiyah ke
tingkat zuhud yang bersifat hub (cinta). Cinta yang suci murni lebih tinggi
dari pada khauf dan raja>, karena yang suci murni tidak mengahrapkan
apa-apa. Cinta suci murni kepada Tuhan merupakan puncak tasawuf
Rabi’ah. Rabi’ah betul-betul hidup dalam keadaan zuhud dan hanya ingin
berada dekat dengan Tuhan. Ia banyak beribadah, bertobat dan menjauhi
hidup duniawi, dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang
kepadanya. Bahkan ada doa-doa beliau yang isinya tidak mau meminta hal-
hal yang bersifat materi dari Tuhan

B. Dzun Nun Al – Misri


1. Biografi Dzun Al-Misri
Dzun-Nun Al-Mishri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban
bin Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180
H/796 M. Dan wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam
Amr bin Ash dan Uqbah bin AL Harun.6 Ia adalah seorang sufi besar dari
Mesir, Seorang ahli kimia dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama
kali menganalisis ma’rifah secara konsepsional. Nama Dzun-Nun mempunyai
makna tersendiri, yaitu arti dari namanya adalah ”seseorang yang mempunyai
huruf Nun dari mesir”. Huruf Nun ini mempunyai makna tersendiri pula bahwa
huruf Nun adalah sebuah simbol yang mempunyai makna spiritual power.
Huruf Nun dimaknai sebagai relasi antara Tuhan dan hambanya, dimana huruf
Nun ini mempunyai sebuah titik ditengah dan garis yang melingkarinya. Simbol
tersebut dimaknai sebagai sebuah roda kehidupan yang mempunyai titik tujuan
sebagai asal, awal dan titik sentral dari kehidupan.
Kaum sufi juga memaknai simbol ini sebagai simbol kesadaran dalam
kehidupannya. Begitu pula dengan Dzun-Nun Al-Mishri, dia mengetahui dan
sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya apalagi sebagai nama dari
dirinya sendiri. Yang kemudian makna dari namanya itu membawayanya serta
mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas dan tunduk kepada
Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan berawal dan berujung
kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral pada huruf Nun tersebut,
dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT. Yang dimana titik sentral
tersebut adalah yang awal dan yang akhir. Sebagaimana firman Allah SWT :
‫هُ َو ااْل َ َّو ُل َوااْل ٰ ِخ ُ…ر َوالظَّا ِه ُر َو ْالبَا ِط ۚنُ َوه َُو بِ ُك ِّل َش ْي ٍء َعلِ ْي ٌم‬
6
M.Sholihin, Tokoh-Tokoh Sufi, (Bandung, Putaka Setia : 2003), hlm.57
Artinya : Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Lahir dan Yang Batin; dan
Dia Maha Mengetahui segala sesuatu (QS. Al-Hadiid : 3 ).
Jadi bisa kita sebut bahwa makna ayat tersebut sangat erat hubungannya dengan
huruf Nun yang menjadi sebuah simbol sebagai sentral dari kehidupan, dan titik
sentral tersebut adalah sesuatu yang yang awal dan yang akhir.

2. Ajaran-ajaran Tasawuf Dzun AI-Mishri


Al Ghazali dalam ihya memandang bahwa ma’rifah datang sebelum
mahabbah tetapi Al Kalabadi dalam al Ta’arruf menyebut dan menjelaskan
bahwa ma’rifah sesudah mahabbah, ada pula yang berpendapat bahwa keduanya
merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama, keduanya menggambarkan
keadaan dekatnya hubungan seorang sufi dengan tuhan, mahabbah
menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk cinta dan ma’rifah
menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk pengetahuan dengan hati
sanubari.7
Al-Misri adalah pelopor paham ma‘rifat, Penilaian ini sangatlah tepat
karena berdasarkan riwayat Al-Qathfi dan Al-Mas’udi yang kemudian dianalisis
Nicholson dan Abd Al-Qadir dalam falsafah Al-sufiah fi Al-Islam; Al-Misri
berhasil mernperkenaikan corak baru tentang ma’rifat dalam bidang sufisme
Islam. Pertama, ía membedakan antara ma‘rifat sufiah dengan ma‘rifat aqliyah.
Ma’rifat yang pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan
para sufi, sedangkan ma’rifat yang kedua menggunakan pendekatan akal yang
biasa digunakan para teolog.
Kedua, menurut Al-Misri, ma‘rifat sebenarnya adalah musyahadah
qalbiyah (penyaksian hati), sebab ma‘riat merupakan fitrah dalam hati manusia
sejak azali. Ketiga, teori-teori ma’rifat Al-Misri menyerupai gnosisme ala Neo-
Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan menuju teori-
teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang sebagai orang yang
pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam tasawuf.

7
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Bulan Bintang, Jakarta :1973),hlm.75
Pandangan-pandangan Al-Mishri tentang ma’rifat pada mulanya sulit diterima
kalangan teolog sehingga ía dianggap sebagai seorang zindiq dan ditangkap
khalifah, tetapi akhirnya dibebas Berikut ini beberapa pandangannya tentang
hakikat ma’rifat
1. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan Tuhan,
sebagaimana yang dipercayai orang-orang mukmin, bukan pula ilimu-ilmu
hurliwi dan nazliar milik para hakim, mutakalimin, dan ahii balaghah,
tetapi ma’rifat terhadap keesaan Tuhan yang khusus dimiliki para wall
Allah. Hal iiui karena mereka adalah orang yang nienyaksikan Al lab
dengan hatinya, sehingga terbukaia baginya apa yang tidak dibukakan
untuk hamba-hamba-Nya yang lain.
2. Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya ma’rifat yang rnurni seperti matahari tak dapat dilihat kecuali
dengan cahayanya. Salah seorang hamba mendekat kepada Allah sehingga
ía merasa hilang dirinya, lebur dalarn kekuasaan-nya, mereka merasa
hamba, mereka bicara dengan ilmu yang telah diletakkan Allah pada lidah
mereka, mereka melihat dengan penglihatan Allah, mereka berbuat dengan
perbuatan Allah.
Kedua pandangan AI-Mishri di atas menjelaskan bahwa ma’rifat
kepada Allah tidak dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pernbuktian-
pembuktian, tetapi dengan jalan ma’rifat batin, yakni Tuhan menyinari hati
manusia dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia
ini tidak mempunyal arti lagi. Melalui pendekatan ini sifat-sifat rendah
manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang sifat-
sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya Ia sepenuhnya hidup
di dalam Nya dan lewat diri-Nya. Al-Misri membagi pengetahuan tentang
Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
a. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
b. Pengetahuan khusus untuk para filosof dan ularna,
c. Pengetahuan khusus untuk para wali Allah.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum
dimasukkan dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Keduanya
belum disebut dengan ma’rifat tetapi disebut dengan ilmu, sedangkan
pengetahuan jenis ketiga harus disebut dengan ma’rifat Dan ketiga macam
pengetahuan tentang Tuhan di atas, jelaslah bahwa pengetahuan tingkat
auliyalah yang paling tinggi tingkatan nya, karena mereka mencapal tingkatan
musyahadah, sebaiknya para ulama dan filosofi tidak dapat mencapai maqam
ini, sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan,
sedangkan akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan.
Dalam perjalanan rohani Al-Misri mempunyai sistematika sendiri
tentang jalan menuju tingkat ma’rifat. Dari teks-teks ajarannya, Abdul Hamid
Mahmud mencoba menggambarkan sistematika Al-Misri sebaga berikut:
a. Ketika ditanya tentang siapa sebenarnya orang bodoh itu, Al-Misri
menjawab, ‘Orang yang tidak mengenal jalan menuju Allah dan tidak ada
usaha untuk mengenal-Nya.”
b. Al-Misri mengatakan bahwa jalan itu ada dua macam, yaitu Thariq Al-
inabah. adalah jalan yang harus dimulai dengan cara yang ikhlas dan
benar, dan thariq ihtiba’, adalah jalan yang tidak mensyaratkan apa-apa
pada seseorang karena merupakan urusan Allah semata.
c. Di sisi lain Al-Misri menyatakan bahwa manusia itu ada dua macam,
yaitu Darij dan wasil. Darij adalah orang yang berjalan menuju jalàn
iman, sedangkan wasil adalah orang yang berjalan (melayang) di atas
kekuatan ma’rifat.
Menurut pengalamannya, sebelum sampai pada maqam Al ma‘rjfat,
Al-Misri melihat Tuhan melalui tanda-tanda kebesaran-Nya yang terdapat di
alam semesta. Adapun tanda-tanda seorang arif, menurut Al-Misri, adalah
sebagai benikut,
a. Cahaya ma’rifat tidak memadamkan cahaya kewara’annya.
b. Ia tidak berkeyakinan bahwa ilmu batin merusak hukum lahir.
c. Banyaknya nikrnat Tuhan tidak mcndorongnya menghancurkan tirai-
tirai larangan Tuhan.
Paparan Al-Mishri di atas menunjukkan bahwa seorang arif yang
sempurna selalu melaksanakan perintah Allah, terikat hanya kepada-Nya,
senantiasa bersama-Nya dalarn kondisi apapun, dan semakin dekat serta
menyatu kepada-Nya, Dzun Nun al-Mishri cenderung mengaitkan ma’rifat
dengan syari’at, seperti katanya berikut: ” Tanda seorang arif itu ada tiga :
cahaya ma’rifa-nya tidak memudarkan cahaya kerendahan hatinya, secara
batiniah tidak mengukuhi ilmu yang menyangkal hukum lahiriah dan
banyaknya karunia allah tidak menjadikannya melanggar tirai-tirai
larangan-Nya.”
Menurut Dzun Nun al-Mishri, Makrifat adalah: karunia Allah yang
dilimpahkan pada seorang arif, seperti yang dikemukakannya ketika di
tanya: “Dengan apakah kau mengenal mengenal Tuhanmu?” Jawabnya:
“Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku! Tanpa Tuhanlu, aku tidak
mungkin mengenal Tuhanku. Dalam kitabnya, al-Qalam ‘ala al-Basmalah,
Dzun Nun al-Mishri, membagi makrifat ke dalam tiga klasifikasi :“Ma’rifa
(mengenal) Allah itu ada tiga macam, makrifat tauhid, yang ini bagi orang-
orang beriman yang awam, ma’rifah alasan dan uraian mengenai Tuhan,
yang ini bagi para ilmuwan, dan makrifat tentang sifat-sifat keesaan dan
ketunggalan Tuhan, yang ini bagi para wali dan kekasih Allah.”
Menurut Dzun Nun al-Mishri, tujuan kehidupan para sufi ialah
mencapai tingkatan makrifat, dimana tampak hakikat realitas yang dipahami
seorang sufi secara ketersingkapan, yang padanya tidak terdapat adanya
dampak dari akal budi maupun pandangan lahir. Hal ini adalah sesuatu yang
dikhususkan bagi kekasih-kekasih Allah tertentu, yang melihat dengan
pandangan batin mereka.
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Rabi'ah al-Adawiyah adalah sufi wanita yang memberi nuansa tersendiri
dalam dunia tasawuf dengan pengenalan konsep mahabbah. Sebuah konsep
pendekatan diri kepada Tuhan atas dasar kecintaan, bukan karena takut akan siksa
neraka ataupun mengharap surga. Cinta Rabiah merupakan cinta yang tidak
mengharap balasan. Rabiah adalah seorang zahidah sejati. Beliau merupakan pelopor
tasawuf mahabbah, yaitu penyerahan diri total kepada “kekasih” (Allah) dan ia pun
dikenang sebagai ibu para sufi besar (The Mother of The Grand Master). Hakikat
tasawufnya adalah al-habb al-ilah (mencintai Allah swt.). Cinta Ilahi (al-Hubb al-
Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilai tertinggi. Bahkan kedudukan
mahabbah dalam sebuah maqamat sufi tak ubahnya dengan maqam ma’rifat, atau
antara mahabbah dan ma’rifat merupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa
dipisahkan.
Dzun-Nun Al-Mishri nama lengkapnya adalah Abu Al-Faid Tsauban bin
Ibrahim, Ia dilahirkan di Ikhmin, dataran tinggi Mesir, Pada tahun 180 H/796 M. Dan
wafat pada tahun 246 H/856 M dan makam kan dekat makam Amr bin Ash dan
Uqbah bin AL Harun. Ia adalah seorang sufi besar dari Mesir, Seorang ahli kimia
dan fisika dan dia juga seorang sufi yang pertama kali menganalisis ma’rifah secara
konsepsional. Sesungguhnya ma’rifat yang hakiki bukanlah ilmu tentang keesaan
Tuhan, Ma’rifat yang sebenarnya adalah bahwa Allah menyinari hatimu dengan
cahaya. Al-Misri membagi pengetahuan tentang Tuhan menjadi tiga macam yaitu:
1. Pengetahuan untuk seluruh muslim,
2. Pengetahuan khusus untuk para filosofdan ularna,
3. Pengetahuan khusus untuk para wall Allah
DAFTAR PUSTAKA

H.M. Laily Mansur, L.PH. 1996. Ajaran dan Teladan Para Sufi. Cet. I; Jakarta: PT.Raja
Grafindo.

Nasution, Harun. 1979. Islam Ditijaun Dari Berbagai Aspeknya. Jil. II; Jakarta: UI-Press.

Hamka. 1948. Tasawuf perkembangan dan Pemurniannya. Cet. XI; Jakarta: PT Pustaka
Panjimas, 1984

Ummu, Kalsum Yunus, M.Pd.I. 2011. Ilmu Tasawuf. Cet. I ; Makassar: Alauddin Press,
2011.

Nasution, Harun. 1983. Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam. Cet. III; Jakarta: Bulan
Bintang.

M.Sholihin. 2003. Tokoh-Tokoh Sufi. Bandung, Putaka Setia.

Anda mungkin juga menyukai