Anda di halaman 1dari 8

Bahan Ajar Akhlak Tasawuf

Pertemuan ke 6

Kegiatan Belajar 6
Ajaran Rabi’ah Al-Adawiyah
A. Deskripsi Singkat
Akhlak Tasawuf merupakan mata kuliah yang di dalamnya membahas tentang konsep
dasar akhlak dan perbedaannya dengan konsep etika dan moral. Dalam kuliah ini juga
diekplorasi dan dikembangkan sikap dan akhlak mulia yang di contohkan oleh para
tokoh-tokoh Sufi (Rabi’ah Al-Adawiyah).

B. Relevansi
1. Mahasiswa mampu mengimplemetasikan dasar-dasar keislaman pada (konsep
tasawuf tokoh Sufi).
2. Mampu mengembangkan nilai-nilai ibadah dalam aplikasi kehidupan sehari-hari
bagi diri sendiri dan peserta didik.

C. Capaian Pembelajaran MK
1. Mahasiswa mampu menjelaskan dasar-dasar keislaman pada (konsep tasawuf
tokoh Sufi).
2. Mampu mengembangkan nilai-nilai ibadah dalam aplikasi kehidupan sehari-hari
bagi diri sendiri dan peserta didik.

1. Uraian Materi
a. Sejarah Rabi’ah al-Adawiyah
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-717
Masehi. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat
dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabi’ah yang berarti anak keempat.
Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan ekonomi
keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk
menemani istrinya yang akan melahirkan. Beberapa hari setelah kelahiran Rabi'ah,
Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam mimpinya dia berkata pada
Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah, akan menjadi seorang wanita yang
mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan syafa’atnya. (Khamis, 1994).

1
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 6

Sejak kecil Rabi'ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat
beragama. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian
disusul oleh ibunya, sehingga Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya menjadi
anak yatim piatu. Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta berupa sebuah perahu
yang kemudian digunakan Rabi'ah untuk mencari nafkah. Rabi'ah bekerja sebagai
penarik perahu yang menyebrangkan orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang
lain. Sementara ketiga saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau
memintal benang.
Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat
kemarau panjang, Rabi'ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan untuk
berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup. Dalam pengembaraanya, Rabi'ah
terpisah dengan ketiga saudara perempuannya sehingga ia hidup seorang diri. Pada saat
itulah Rabi'ah diculik oleh sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba
sahaya seharga enam dirham kepada seorang pedagang. Pedagang yang membeli
Rabi'ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga Rabi'ah
harus selalu bekerja keras sepanjang hari. Dalam suatu malam, Rabi'ah bermunajat
kepada Allah jika ia dapat bebas dari perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun
beribadah. Ketika Rabi'ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang
menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di atas kepala
Rabi'ah tanpa ada sehelai tali pun Cahaya bagaikan lentera yang menyinari seluruh
rumah itu merupakan cahaya sakinah (diambil dari bahasa Ibrani yaitu "Shekina" yang
berarti cahaya rahmat Tuhan) dari seorang muslimah suci.
Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi'ah, pedagang itu menjadi
ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi'ah. Sebelum Rabi'ah pergi,
Pedagang itu menawarkan Rabi'ah untuk tinggal di Basrah dan ia akan menanggung
segala keperluan dan kebutuhan Rabi'ah, namun karena kezuhudannya, Rabi'ah
menolak dan sesuai janjinya jika ia bebas, maka Rabi'ah akan mengabdikan hidupnya
hanya untuk beribadah.
Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi'ah pergi mengembara di padang pasir.
Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan tempat tinggal. Di tempat
itulah ia menghabiskan seluruh waktunya beribadah kepada Allah. Rabi’ah juga

2
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 6

memiliki majelis yang dikunjungi banyak murid. Majelisnya itu juga sering dikunjungi
oleh zahid-zahid lain untuk bertukar pikiran. Di antara mereka yang pernah
mengunjungi majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-
Tsauri (wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H).[3] Rabi'ah hanya
tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk bermunajat
sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair cintanya yang indah kepada
Allah. Rabi'ah telah terkenal karena kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri
sehingga ia menerima banyak lamaran untuk menikah. Di antara mereka yang
melamarnya adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin
Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat kaya, juga
seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk mencarikannya seorang istri dan
penduduk Basrah bersepakat bahwa Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur
tersebut. Riwayat lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan
sahabat Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan kebenarannya
mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum kematian Rabi'ah. Rabi'ah
menolak seluruh lamaran itu dan memilih untuk tidak menikah. Meskipun tidak
menikah, Rabi'ah sadar bahwa pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada
kependetaan (bahasa Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam. Rabi'ah memilih untuk
tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan anak-
anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah. Tidak ada
satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah,
Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan
Rabi'ah mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang
telah menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau
menyusahkan orang lain, sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus
jenazahnya nanti dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang
kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun Rabi'ah
menolak. Rabi’ah diperkirakan meninggal dalam usia 83 tahun pada tahun 801 Masehi /
185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.

3
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 6

b. Konsep Ajaran Tasawuf Rabi'ah al-Adawiyah


Ketika menjadi hamba sahaya, Rabi'ah mengembangkan aliran sufi yang
berlandaskan seluruh amal ibadahnya atas dasar cinta kepada Ilahi tanpa pamrih atas
pahala, surga atau penyelamatan dari azab neraka. Rabi'ah terkenal dengan metode
cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah, artinya cinta tanpa pamrih) dan uns
(kedekatan dengan Tuhan). Perkataan mistik Rabi'ah menggambarkan kesalehan
dirinya, dan banyak di antara mereka yang menjadi kiasan atau kata-kata hikmah yang
tersebar luas di wilyah-wilayah negara Islam. Rabi'ah al-Adawiyah terkenal zahid (tak
tertarik pada harta dan kesenangan duniawi) dan tak pernah mau meminta pertolongan
pada orang lain. Ketika ia ditanya orang mengapa ia bersikap demikian, Rabi'ah
menjawab:
“Saya malu meminta sesuatu pada Dia yang memilikinya, apalagi pada orang-
orang yang bukan menjadi pemilik sesuatu itu. Sesungguhnya Allah lah yang memberi
rezeki kepadaku dan kepada mereka yang kaya. Apakah Dia yang memberi rezeki
kepada orang yang kaya, tidak memberi rezeki kepada orang-orang miskin? Sekiranya
dia menghendaki begitu, maka kita harus menyadari posisi kita sebagai hamba-Nya dan
haruslah kita menerimanya dengan hati rida (senang).” (Hamka, Buya: 1953)
Berbeda dari para zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya,
Rabi'ah dalam menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut
kepada Allah atau takut kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada
Allah sebagai kekasihnya.
Para ulama tasawuf memandang Rabi'ah sebagai tonggak penting perkembangan
tasawuf dari fase dominasi emosi takut kepada Allah menuju fase dominasi atau
mengembangkan emosi cinta yang maksimal kepada-Nya. Tingkat kehidupan zuhud
yang tadinya direntangkan oleh Hasan al-Bashri sebagai ketakutan dan pengharapan
kepada Allah, telah dinaikkan maknanya oleh Rabi'ah sebagai zuhud karena cinta
kepada Allah. Rabi'ah telah membuka jalan ma'rifat Illahi sehingga ia menjadi teladan
bagi para cendikiawan muslim, seperti Sufyan ath-Tsauri, Rabah bin Amr al-Qaysi, dan
Malik bin Dinar.

4
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 6

Ajaran-ajaran Rabi'ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap


perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar. Sebagai seorang guru dan
penuntun kehidupan sufistik, Rabi'ah banyak dijadikan panutan oleh para sufi dan
secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu membicarakan ajarannya dan mengutip
syair-syairnya sebagai seorang ahli tertinggi. Di antara mereka adalah Abu Thalib al-
Makki, As-Suhrawandi, dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran
Rabi'ah sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

c. Karya-Karya dan Syair

Cinta murni kepada Tuhan adalah puncak tasawuf Rabi’ah. Syair-syair


kecintaannya kepada Allah kemudian banyak keluar dari ucapan sufi-sufi besar seperti
Fariduddin Al-Athar, Ibnu Fardih, Al-Hallaj, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi telah dimulai
lebih dahulu oleh Rabi’ah. Setengah dari syairnya adalah:

“Aku cinta padamu dua macam cinta


Cinta rindu dan cinta karena engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta, karena Engkau
Hanya Engkau yang aku kenang
Tiada yang lain
Adapun cinta karena Engkau berhak menerimanya
Agar Engkau buka kan aku hijab
Supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi Mu sendiri” (Buya Hamka:1953)

Al-Ghazali memberikan pendapatnya tentang syair Rabi’ah itu. Menurut Al-Ghazali, yang
dimaksud dengan cinta kerinduan adalah cinta akan Allah karena nikmat-Nya di atas
dirinya karena Allah telah menganugerahinya hidup sehingga ia dapat menyebut nama-
Nya. Dan cinta kedua, yaitu cinta karena Allah berhak menerimanya, ialah cinta karena
menyaksikan keindahan Allah dan kebesarannya yang kian hari kian terbuka baginya.
Maka itulah cinta yang setingi-tingginya. Dalam syair yang lain, Rabi’ah berkata:

5
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 6

“Ku jadikan Engkau teman bercakap dalam hidupku


Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk
isimku biar bercengkrama dengan tolanku
Isi hatiku hanyalah teteap engkau sendiri

”Tujuan Rabi’ah yaitu kepada Tuhan karena Tuhan, bukan kepada Tuhan karena
mengharap. Sehingga ia menuliskan lagi syair seperti ini:

“Ya Illahi! Jika sekiranya aku beribadah kepada Engkau karena takut akan siksa
neraka, maka bakarlah aku dengan neraka-Mu.
Dan jika aku beribadah kepada Engkau karena harap akan masuk surga,
maka haramkanlah aku daripadanya!
Tetapi jika aku beribadah kepada Engkau hanya karena semata-mata karena
kecintaanku kepada-Mu,
maka janganlah, Ya Ilahi, Engkau haramkan aku melihat keindahanmu yang
azali.

2. Rangkuman
Rabi'ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-717
Masehi. Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan merupakan anak keempat
dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan Rabi’ah yang berarti anak keempat.
Ayahnya bernama Ismail, ketika malam menjelang kelahiran Rabi'ah, keadaan
ekonomi keluarga Ismail sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan
penerangan untuk menemani istrinya yang akan melahirkan. Beberapa hari setelah
kelahiran Rabi'ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad, dalam
mimpinya dia berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena anaknya, Rabi'ah,
akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga banyak orang akan mengharapkan
syafa’atnya.

Sejak kecil Rabi’ah ditinggal kedua orang tuanya. Rabi’ah dan ketiga saudara
perempuannya menjalani hidup dengan sangat prihatin. Rabi’ah dan ketiga saudara
perempuannya berpisah. Rabi’ah mengembara untuk beribadah. Akhirnya

6
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022
Bahan Ajar Akhlak Tasawuf
Pertemuan ke 6

menemukan sebuah tempat, dimana tempat itulah yang akan jadi sebuah majlis.
Majlis itu menjadi terkenal dan banyak yang mengikuti kajian dalam majlis tersebut.

Rabi'ah terkenal dengan metode cinta kepada Allah (Bahasa Arab: Al-mahabbah,
artinya cinta tanpa pamrih) dan uns (kedekatan dengan Tuhan). Berbeda dari para
zahid atau sufi yang mendahului dan sezaman dengannya, Rabi'ah dalam
menjalankan tasawuf itu bukanlah karena dikuasai oleh perasaan takut kepada Allah
atau takut kepada nerakanya. Hatinya penuh oleh perasaan cinta kepada Allah
sebagai kekasihnya. Sebagaimana tertuang dalam sebuah syair:

Aku cinta padamu dua macam cinta


Cinta rindu
dan cinta karena engkau berhak menerima cintaku
Adapun cinta, karena Engkau
Hanya Engkau yang aku kenang
Tiada yang lain
Adapun cinta karena Engkau berhak menerimanya
Agar Engkau buka kan aku hijab
Supaya aku dapat melihat Engkau
Pujian atas kedua perkara itu bukanlah bagiku
Pujian atas kedua perkara itu adalah bagi Mu sendiri
3. Pustaka
a. Hasbi, Muhammad, 2020. Akhlak Tasawuf. Trust Media Publishing. Yogyakarta.

7
PJJ-PAI IAIN Syekh Nurjati Cirebon 2022

Anda mungkin juga menyukai