Anda di halaman 1dari 5

Rabi’ah al-Adwiyah

Rabiah Al-Adawiyah (bahasa Arab: ‫ )رابعة العدوية القيسية‬dikenal juga dengan nama Rabi’ah
Basri adalah seorang sufi wanita yang dikenal karena kesucian dan kecintaannya
terhadap Allah.
Rabi’ah merupakan klien (bahasa Arab: Mawlat) dari klan Al-Atik suku Qays bin ‘Adi,
dimana ia terkenal dengan sebutan al-Qaysiyah.[4][5] Ia dikenal sebagai seorang sufi
wanita yang zuhud, yaitu tidak tertarik kepada kehidupan duniawi, sehingga ia
mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah kepada Allah
Rabiah diperkirakan lahir antara tahun 713 – 717 Masehi, atau 95 – 99 Hijriah, di kota
Basrah, Irakdan meninggal sekitar tahun 801 Masehi / 185 Hijriah. Nama lengkapnya
adalah Rabi’ah binti Ismail al-Adawiyah al-Basriyah.
Rabiah merupakan sufi wanita beraliran Sunni pada masa dinasti Umayyah yang
menjadi pemimpin dari murid-murid perempuan dan zahidah, yang mengabdikan
dirinya untuk penelitian hukum kesucian yang sangat takut dan taat kepada Tuhan.
Rabi’ah Al-Adawiyah dijuluki sebagai “The Mother of the Grand Master” atau Ibu Para
Sufi Besar karena kezuhudannya. Ia juga menjadi panutan para ahli sufi lain seperti
Ibnu al-Faridh dan Dhun Nun al-Misri.
Rabiah Al-Adawiyah ‫رابعة العدوية القيسي‬
Lahir 713-717
Bashrah, irak
Wafat 801
Bashrah, irak
Era Khalifah Dinasti Umayyah
Kawasan Sufi
Aliran Islam Sunni, Syafi’i
Minat utama Sastra islam, sufisme,
mistisme
Gagasan Sifisme, Zahid,
penting Asketik
Dipengaruhi Al-Qur’an , Muhammad
Memengaruhi Al Ghazali, Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi

Kelahiran
Rabi’ah dilahirkan di kota Basrah, Irak, sekitar abad ke delapan tahun 713-
717 Masehi.[6][8] Ia dilahirkan dari keluarga yang sangat miskin dan
merupakan anak keempat dari empat bersaudara, sehingga ia dinamakan
Rabiah yang berarti anak keempat.[6][8] Ayahnya bernama Ismail, ketika
malam menjelang kelahiran Rabi’ah, keadaan ekonomi keluarga Ismail
sangatlah buruk sehingga ia tidak memiliki uang dan penerangan untuk
menemani istrinya yang akan melahirkan.[6] Beberapa hari setelah
kelahiran Rabi’ah, Ismail bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad,
dalam mimpinya dia berkata pada Ismail agar jangan bersedih karena
anaknya, Rabi’ah, akan menjadi seorang wanita yang mulia, sehingga
banyak orang akan mengharapkan syafaatnya.

Menjadi yatim piatu


Kecil Rabi’ah sudah dikenal sebagai anak yang cerdas dan taat beragama.
[6] Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Ismail, meninggal dunia kemudian
disusul oleh ibunya, sehingga Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya
menjadi anak yatim piatu.[6] Ayah dan Ibunya hanya meninggalkan harta
berupa sebuah perahu yang kemudian digunakan Rabi’ah untuk mencari
nafkah.[6] Rabi’ah bekerja sebagai penarik perahu yang menyebrangkan
orang dari tepi Sungai Dajlah ke tepi sungai yang lain.[6] Sementara ketiga
saudara perempuannya bekerja dirumah menenun kain atau memintal
benang.[6]

Menjadi hamba sahaya


Ketika kota Basrah dilanda berbagai bencana alam dan kekeringan akibat
kemarau panjang, Rabi’ah dan ketiga saudara perempuannya memutuskan
untuk berkelana ke berbagai daerah untuk bertahan hidup.[6] Dalam
pengembaraanya, Rabi’ah terpisah dengan ketiga saudara perempuannya
sehingga ia hidup seorang diri.[6] Pada saat itulah Rabi’ah diculik oleh
sekelompok penyamun kemudian dijual sebagai hamba sahaya seharga
enam dirham kepada seorang pedagang.[5][6] Pedagang yang membeli
Rabi’ah sebagai hamba sahaya memperlakukannya dengan kejam, sehingga
Rabi’ah harus selalu bekerja keras sepanjang hari.[5][6] Dalam suatu
malam, Rabi’ah bermunajat kepada Allah jika ia dapat bebas dari
perbudakan maka ia tak akan berhenti sedikit pun beribadah.[5][6] Ketika
Rabi’ah sedang berdoa dan melakukan salat malam, pedagang yang
menjadi majikannya itu dikejutkan oleh sebuah lentera yang bergantung di
atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelai tali pun[5][6] Cahaya bagaikan
lentera yang menyinari seluruh rumah itu merupakan cahaya sakinah
(diambil dari bahasa Ibrani yaitu “Shekina” yang berarti cahaya rahmat
Tuhan) dari seorang muslimah suci.[5]
Melihat peristiwa tidak biasa yang terjadi pada Rabi’ah, pedagang itu
menjadi ketakutan dan keesokan harinya membebaskan Rabi’ah.[5][6]
Sebelum Rabi’ah pergi, Pedagang itu menawarkan Rabi’ah untuk tinggal di
Basrah dan ia akan menanggung segala keperluan dan kebutuhan Rabi’ah,
namun karena kezuhudannya, Rabi’ah menolak dan sesuai janjinya jika ia
bebas, maka Rabi’ah akan mengabdikan hidupnya hanya untuk beribadah.

Kehidupan sebagai sufi dan pilihan untuk tidak menikah


Setelah bebas sebagai hamba sahaya, Rabi’ah pergi mengembara di padang
pasir.[5] Setelah beberapa saat tinggal di padang pasir, ia menemukan
tempat tinggal.[5] Di tempat itulah ia menghabiskan seluruh waktunya
beribadah kepada Allah.[5] Rabiah juga memiliki majelis yang dikunjungi
banyak murid.[3] Majelisnya itu juga sering dikunjungi oleh zahid-zahid
lain untuk bertukar pikiran.[3] Di antara mereka yang pernah mengunjungi
majelis Rabi'ah adalah, Malik bin Dinar (wafat 748/130 H), Sufyan as-Sauri
(wafat 778 / 161H), dan Syaqiq al-Balkhi (wafat 810/194H).[3] Rabi'ah
hanya tidur sedikit disiang hari dan menghabiskan sepanjang malam untuk
bermunajat sehingga ia dikenal sebagai pujangga dengan syair-syair
cintanya yang indah kepada Allah.[6] Rabi'ah telah terkenal karena
kecerdasan dan ketaatannya ke pelosok negeri sehingga ia menerima
banyak lamaran untuk menikah.[5][6] Di antara mereka yang melamarnya
adalah Abdul Wahid bin Zaid, seorang teolog dan ulama, Muhammad bin
Sulaiman al-Hasyimi, seorang amir dari dinasti Abbasiyah yang sangat
kaya, juga seorang Gubernur yang meminta rakyat Basrah untuk
mencarikannya seorang istri dan penduduk Basrah bersepakat bahwa
Rabi'ah adalah orang yang tepat untuk gubernur tersebut.[5][6] Riwayat
lain juga menyebutkan bahwa Hasan al-Bashri, seorang sufi besar dan
sahabat Rabi'ah, juga meminangnya, namun hal itu masih diragukan
kebenarannya mengingat Hasan al-Bashri meninggal 70 tahun sebelum
kematian Rabi'ah.[6] Rabi'ah menolak seluruh lamaran itu dan memilih
untuk tidak menikah.[5][6] Meskipun tidak menikah, Rabi'ah sadar bahwa
pernikahan termasuk sunah agama, sebab, tidak ada kependetaan (bahasa
Arab: Rahbaniyah) dalam syariat islam.[6] Rabi'ah memilih untuk tidak
menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap suami dan
anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan
kepada Allah.[5][6] Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah
kecuali Allah.[5][6] Sehingga atas dasar itulah, Rabi'ah memuntuskan
untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.[5][6]

Akhir hidup
Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji,
kesehatan Rabi'ah mulai menurun.[6] Ia tinggal bersama sahabatnya,
Abdah binti Abi Shawwal, yang telah menemaninya dengan baik hingga
akhir hidupnya.[6] Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang lain,[3]
sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti
dengan kain kafan yang telah ia sediakan sejak lama.[6] Menjelang
kematiannya, banyak orang-orang saleh ingin mendampinginya, namun
Rabi'ah menolak.[3][5][6] Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia 83
tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah,
Irak.

Pengaruh terhadap perkembangan sufisme


Ajaran-ajaran Rabi’ah tentang tasawuf dan sumbangannya terhadap
perkembangan sufisme dapat dikatakan sangat besar.[5] Sebagai seorang
guru dan penuntun kehidupan sufistik, Rabi’ah banyak dijadikan panutan
oleh para sufi dan secara praktis penulis-penulis besar sufi selalu
membicarakan ajarannya dan mengutip syair-syairnya sebagai seorang ahli
tertinggi.[5] Di antaramereka adalah Abu Thalib al-Makki, As-Suhrawandi,
dan teolog muslim, Al-Ghazali yang mengacu pada ajaran-ajaran Rabi’ah
sebagai doktrin-doktrin dalam sufisme.

***

Nama: Meia Wahyu Izzatun Nisa


No absen: 22
Kelas: VIII i

Anda mungkin juga menyukai