Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH ILMU TASAWUF

“ Konsep Pemikiran Tasawuf dan Tokohnya”

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Ilmu Tasawuf

Dosen Pengampu : Dr. H. Safria Andy, MA.

Disusun oleh:

Tri Anggraini (0403223235)

Siti Aminah Rambe (0403221060)

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA

T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa atas limpahan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah mata kuliah Ilmu Tasawuf. Pemakalah juga tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada Ustadz Dr. H. Safria Andy, MA. sebagai dosen pengampu
mata kuliah Ilmu Tasawuf ini.

Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah dalam
pembelajaran Ilmu Tasawuf terkhusus pada Konsep Pemikiran Tasawuf dan
Tokohnya . Kami menyadari bahwa tugas makalah yang dibuat ini masih jauh dari
kata sempurna, karena masih banyak kekurangan didalam penyusunannya.

Pemakalah berharap makalah ini dapat berguna dan bermanfaat dalam


rangka untuk menambah wawasan serta pengetahuan mengenai mata kuliah Ilmu
Tasawuf. Akhir kata kami ucapkan Wabillahi Taufik Walhidayah.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Deli Serdang, 08 April 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................ i

DAFTAR ISI ............................................................................................. ii

KONSEP PEMIKIRAN TASAWUF DAN TOKOHNYA ......................... 1

A. Pendahuluan ................................................................................... 1
B. Rabi’ah Al-Adawiyah; Mahabbah .................................................. 1
C. Dzunnun Al-Misri; Ma’rifah .......................................................... 6
D. Kesimpulan .................................................................................. 13

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 14

ii
KONSEP PEMIKIRAN TAWASUF DAN TOKOHNYA

A. Pendahuluan
Dalam dunia sufi terhadap beberapa ajaran tasawuf, seperti tasawuf
akhlaki, tasawuf, falsafidan tasawuf irfani. Pada pembahasan kali ini penulis akan
membahas tentang konsep mahabbah yang ada di dalam tasawuf irfani. Tasawuf
Irfani adalah tasawuf yang berusaha mengungkapkan hakikat dari ma‟rifah atau
kebenaran yang cara perolehannya melalui pemberian pengetahuan langsung dari
Tuhan atau pengetahuan yang diterima seorang hamba melalui penglihatan batin
secara langsung. Tokoh sufi dalam tasawuf Irfani, di antaranya Rabiah al-
Adawiyah. Jika berbicara tentang mahabbah, nama yang melekat dan dikenal baik
di kalangan awwam maupun akademisi hanya terbatas pada sufi perempuan
Rabi’ah al-Adawiyah. Padahal, sufi awal yang juga memperkenalkan tentang
mahabbah ialah Dzunnun Mishri.
Pemikiran mahabbah oleh Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan tentang
makna al-hubb yang haqiqi yaitu kecintaan terhadap penciptanya dan tidak boleh
memalingkan cinta selain kepada sang pencipta. Konsep tasawuf inilah yang
memiliki banyak pengaruh terhadap konsep tasawuf lainnya di dunia sufi pada
periode-periode selanjutnya. Ma’rifah dalam pandangan Dzunnun Mishri bukan
sebatas pemberian Tuhan kepada manusia dengan “Cuma-Cuma” tetapi Tuhan
memberikannya dengan syarat-syarat. Proses panjang yang harus di lalui oleh
para pecinta Tuhan untuk mendapat ma’rifah-Nya.

B. Rabi’ah Al-Adawiyah; Mahabbah (w. I85 H)


a. Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah
Rabi‟ah al-Adawiyah lahir di sebuah keluarga yang religius. Ayahnya
bernama Ismail al-Adawiyah al-Qishiyyah, beliau merupakan seorang ayah
dari 3 orang putrinya dan suami dari istrinya yang sedang mengandung
Rabi’ah al-Adawiyah kala itu. Beliau merupakan seorang yang pekerja keras
serta taat beragama. Meskipun hidup dengan serba kekurangan beliau tidak
pernah merasa berat akan dunianya dan tidak pernah terbesit rasa tamak untuk
mengejar kenikmatan dunia. Sebaliknya beliau selalu merasa cukup dan
sangat bersyukur kepada Allah dengan apa yang telah didapatnya serta selalu
beristighfar kepada Allah SWT.1
Nama asli Rabi’ah al-‘Adawiyyah adalah Umm al-Khair bin Isma’il 4
al-‘Ada-wiyyah al-Qaisiyyah.2 Lahir di Basrah pada sekitar tahun 95 H (717
M). 5 Julukan Rabi’ah didapat karena ia adalah anak keempat. Rabi’ah berasal
dari keluarga yang serba kekurangan. Bahkan, diceritakan pada saat malam
kelahiran Rabi’ah, tak ada satu pun cahaya penerangan di rumahnya dan tak
ada satu pun kain yang digunakan untuk persalinannya.
Tidak ada juga sanak saudara yang membantu persalinan si ibu.
Maksud hati Isma’il, ayah Rabi’ah, meminta bantuan kepada tetangganya,
tetapi dirinya merasa malu sehingga ia terpaksa mengurungkan untuk meminta
bantuan. Hal itu disebabkan Isma’il pernah berjanji untuk tidak meminta
bantuan selain kepada Allah Swt. Melihat si istri yang semakin lama
mengalami kepayahan, Isma’il pun bertekad melanggar janjinya itu. Ia lalu
mengetuk pintu tetangganya untuk sekadar meminjam lampu minyak sebagai
penerangan dan sepotong kain untuk membungkus anaknya yang akan lahir
itu. Namun, tidak satu pun tetangganya yang membantu Isma’il karena semua
masih terlelap tidur. Ia lalu berdoa supaya Allah Swt. agar persalinan istrinya
dilancarkan, dan Rabi’ah pun lahir dengan selamat diselimuti suka cita dari
kedua orang tuanya. 3
Ramalan terhadap Rabi’ah yang kelak akan menjadi tokoh yang hebat
sudah terlihat saat ia baru lahir. Pasca kelahiran Rabi’ah, ayahnya Isma’il
tertidur. Di dalam tidurnya tersebut Isma’il bermimpi bertemu Rasulullah
Saw. berkata kepadanya, “Janganlah engkau bersedih hati, sebab nanti akan
ada tujuh puluh ribu orang dari umatku akan ada dalam perlindungan dan
syafaatnya.”
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga religius
yang sederhana penuh kezuhudan. Rabi’ah tumbuh dan dewasa secara wajar,

1
Siti Rihanah, Skripsi: Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-158H/801M)
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm.11.
2
Aun Falestien Falatehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam (Surabaya: Dakwah
Digital Press, 2007), hlm. 73.
3
Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 6.

2
tetapi yang menonjol ia tampak lebih cerdas dibandingkan teman-teman
sebayanya. Selain itu, dalam dirinya juga tampak pancaran sinar ketakwaan
dan ketaatan yang tak dimiliki oleh teman-temannya. Perilaku Rabi’ah banyak
tertular dari ayahnya yang religius. Rabi’ah selalu memperhatikan bagaimana
ayahnya beribadah kepada Allah SWT seperti membaca al-Qur’an dan
berzikir. Rabi’ah sangat suka menghafal al-Qur’an. Apabila telah berhasil
menghafalnya, ia duduk dan mengulangi kembali hafalannya itu dengan
perasaan khusyuk untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. 4
Kebiasaannya menyendiri juga sudah tampak sejak kecil. Tidak jarang
ayahnya mendapatinya mengasingkan diri dengan muka muram, penuh
kesedihan sembari bermunajat kepada Allah SWT, suatu perilaku yang bisa
dibilang tidak wajar untuk anak kecil sepertinya. Tidak berselang lama,
Rabi’ah pun ditinggal wafat oleh ayah dan ibunya. Kini ia hanya hidup
bersama ketiga saudara perempuannya. Tak ada harta yang ditinggalkan ayah
maupun ibunya, kecuali hanya sebuah perahu kecil.5
Ketika dewasa, Rabi’ah menjadi seorang budak. Pada suatu masa
ketika terjadi kekeringan hebat yang melanda Basrah, Rabi’ah dijual oleh
majikannya yang zalim dengan harga enam dirham. Dengan pemilik baru,
Rabi’ah semakin sengsara karena ia dipekerjakan secara tidak wajar. Hingga
pada suatu hari Rabi’ah melarikan diri dari majikannya, tetapi di tengah jalan
ia mengurungkan niatnya itu setelah mendengar suara ghaib.
Dikabarkan Rabi’ah dipekerjakan sebagai seorang biduanita. 6 Suatu
malam si majikan terbangun dan mengintip di celah-celah pintu. Di sana
majikan itu melihat Rabi’ah sedang bersujud sembari berdoa. Di sela-sela doa
itu, majikan Rabi’ah melihat hal yang tidak biasa. Ia melihat lampu yang
terbang dengan sendirinya di atas kepala Rabi’ah tanpa ada yang
menggantungnya. Lampu itu menyinari seisi rumah. Melihat kejadian itu, si
majikan ketakutan. Keesokan harinya, si majikan itu langsung memerdekakan
Rabi’ah.

4
Ibid., hlm.8.
5
Ibid., hlm.9.
6
Ibid., hlm.97.

3
Rabi’ah banyak mengikuti majelis Hasan al-Basri. Di sana ia bertobat
kemudian pergi mengasingkan diri di sebuah gua yang jauh dari jangkauan
manusia. Selama hidupnya, Rabi’ah tidak pernah menikah, meskipun ia adalah
seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki
yang ingin meminangnya. Terdapat silang pendapat atas tahun wafatnya
Rabi’ah, tetapi mayoritas ahli sejarah meyakini bahwa Rabi’ah wafat pada
tahun 185 H di usia 90 tahun dan dimakamkan di kota kelahirannya, Bashrah.

b. Konsep Mahabbah Pemikiran Rabiah Al-Adawiyah


1. Limitasi dan Definisi Al-Hubb (Cinta)
Secara etimologi al-Hubb diartikan sebagai “mayl al-thab’i ila al-
syay’ al-ladzadz” artinya adalah “kecenderunga terhadap sesuatu yang
melezatkan”. Sedangkan secara terminologi Islam al-Hubb atau cinta itu
dibagi menjadi dua kategori: pertama, cinta sejati atau “al-hubb al-haqiqi”
istilah cinta yang ini adalah cinta yang ditunjukkan kepada sang pencipta.
Kedua, cinta profan “al-hubb al-danasi” sedangkan istilah cinta ini
ditunjukkan kepada selain pencipta (makhlukNya).7
Sedangkan menurut kutipan al-Kalabadzi yang merupakan tokoh
teosofi al-Junayd mengatakan bahwa cinta adalah sebuah
“kencenderungan hati”. Dimana kecenderungan hati yang dimaksudkan
adalah kecenderungan kepada Allah dan segala sesuatu yang berhubungan
denganNya tanpa adanya rasa keterpaksaan. Pada sumber-sumber lainnya
juga menambahkan bahwasannya cinta merupakan sebuah bentuk
penyesuaian, patuh terhadap perintah tuhanNya, dan menjauhkan diri dari
apa yang dilarangNya 8.
Dari pengertian-pengertian mahabbah secara terminologi di atas, dapat
ditarik kesimpulan terdapat tiga unsur pembangun mahabbah yaitu:
 Ridha, unsur ini dapat diartikan sebagai ketaatan kepada sang pencipta
tanpa adanya penyangkalan seorang hamba kepada penciptanya.
Maksudnya adalah seorang hamba selalu menerima dan berpasrah diri

7
Fikri Mahzumi, Konsep Cinta Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, Vol. 11, no. 02 (2015), hlm. 71
8
Ibid., hlm. 72.

4
terhadap kehendak dan keputusan Allah atau yang disebut sebagai
“qada dan qadr” secara lapang dada dan bahagia.
 Al-Syawq, atau rasa rindu yang terbakar di diri seorang hamba yang
ingin bertemu dengan penciptanya.
 Al-Uns, merupakan keadaan seorang hamba yang merasa sangat dekat
dengan sang pencipta dan merasakan adanya kehadiran Allah tanpa
adanya penghalang.

2. Jalan menuju mahabbah


Dilihat dari segi tingkatan, mahabah sebagai dikemukan al-Sarraj,
sebagai dikutip Harun Nasution, ada tiga macam, yaitu mahabah orang
biasa, mahabah orang shidiq, mahabbah orang yang arif.
 Mahabbah orang biasa mengambil bentuk selalu mengingat Allah
dengan zikir, suka menyebut nama Allah dan memperoleh kesenangan
dengan Tuhan. Senantiasa memuji Tuhan.
 Mahabbah orang shidiq adalah cinta orang yang kenal pada Tuhan,
pada kebesaranNya, pada kekuasaanNya, pada ilmu-ilmuNya dan lain-
lain.
 Mahabbah orang yang arif adalah cinta orang yang tahu betul pada
Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, tetapi diri yang
dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk kedalam diri yang
mencintai. Dengan uraian tersebut kita dapat memperoleh pemahaman
bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai Tuhan
sepenuh hati, sehingga yang sifat-sifat yang dicintai Tuhan sepenuh
hati masuk kedalam diri yang dicintai. Tujuannya dalah untuk
memperoleh kesenangan batiniah yang sulit dilukiskan dengan kata-
katak, tetapi hanya dapat dirasakan oleh jiwa. Sementara itu adapula
pendapat yang mengatakan bahwa al-Muhabbah adalah satu istilah
yang hampir selalu berdampingan dengan ma’rifah, baik dalam
kedudukan maupun dalam pengertiannya. Kalau ma’rifah adalah
merupakan tingkat pengetahuan kepada Tuhan melalui mata hati (al-

5
qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan
melalui cinta (Roh).9
Tahapan-tahapan atau maqamat untuk menuju mahabbah menurut
pandangan al-Sarraj al-Thusi yang dikaitkan dengan kehidupan
Rabi‟ah al-Adawiyah semenjak beliau memulai dunia sufinya adalah
Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakkal, dan Ridho.
Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah merupakan aliran Muhabbah
atau al-hubb yang berhubungan tantang cinta. Beberapa karya yang
diciptakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah baik berupa larik syair ataupun
ucapannya yang berhubungan tentang rasa cintanya kepada Allah
memang sangat menunjukan dan membuktikan bahwa cintanya hanya
untuk Allah. Selain itu ia juga betul-betul hidup dalam zuhd, diantara
ucapannya yang terkenal tentang zuhd adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub: “suatu
ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada
Rabi’ah: “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah
menjawab: “aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada
Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang
yang bukan pemiliknya”.

C. Dzun an-Nun Al-Misri: Ma’rifah


a. Biografi Dzun an-Nun Al-Misri
Dzunnun al-Mishri ialah seorang sufi yang hidup dipertengahan abad
ke-3 H. Nama lengkapnya Abu al-Faidh Tsauban bin Ibrahim. Dilahirkan di
Ikhmim, dataran tinggi Mesir, pada tahun 156 H. Dan meninggal pada tahun
245 H.10 Menurut literatur lain, disebutkan bahwa Dzunnun lahir pada tahun
180 H/796 M dan meninggal pada tahun 246 H/856 M. 11 Sebagai sufi yang
menonjolkan konsep ma’rifah, ia cukup tidak dikenal dikalangan masyarakat

9
Safria Andy, Ilmu Tasawuf, (2018), hlm. 31.
10
Usmain Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 1983), hlm. 71.
11
M.Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.151.

6
muslim terlebih lagi kalangan akademik. Jika berbicara ma’rifah dan
mahabbah maka nama yang terlintas ialah Rabi’ah al Adawiyah.
Beberapa versi beredar tentang sebutan nama Dzunnun. Adapun versi
pertama mengatakan bahwa nama “nun” diambil dari nama ikan yang
bernama ikan “nun”. Suatu ketika Dzunnun menumpang sebuah kapal
saudagar kaya dan tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang
sangat berharga lalu Dzunnun dituduh mencurinya. Karena peristiwa
pencurian tersebut, Dzunnun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk
mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya, Dzunnun
menengadahkan kepalanya kelangit sambil berseru “Wahai Tuhanku
Engkaulah yang maha tahu.” Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke
permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulutnya
masing-masing. Dzunnun lalu mengambil sebuah permata dan
menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa itu ia digelari
“Dzunnun” artinya yang mempunyai ikan nun.
Kedua, terkait dengan simbol. Kaum sufi juga memaknai simbol ini
sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzunnun
Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya
apalagi sebagai nama dari dirinya. Yang kemudian makna dari namanya itu
membawanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas
dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan
berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral
pada huruf nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT,
yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. 12
Sedangkan menurut Ibnu ‘Arabi (560-638 H), nama Dzunnun juga
memiliki pengertian yang lain yang secara harfiah memiliki arti “pemilik
huruf nun” atau “pemilik dawat” yang merujuk pada huruf Arab nun yang
dituliskan: “Nun-dan demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis.” (Q.S
Al-Qalam: 68) Huruf nun menurut Ibnu ‘Arabi memiliki makna rahasia yaitu
sebuah pintu menuju penerimaan taubat dan hanya sedikit orang yang dapat

12
Muhammad Taufik, Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol.19, No. 02. Refleksi, (Juli, 2017), hlm.
10.

7
melalui pintu tersebut. Ibnu ‘Arabi merujuk pada sebuah kalimat yang pernah
diucapkan oleh Dzunnun al-Mishri: “Aku senantiasa berpegang teguh pada
pintu Tuhan ku sampai Dia menerimaku.”13
Diperjalanan hidupnya, Dzunnun pernah berpindah-pindah kota.
Seperti Mesir, mengunjungi Bait al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syiria,
pegunungan Libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia
memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Sebelum Dzunnun,
sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi yang sudah konsen terhadap isyarat
tasawuf. Tetapi ialah orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal
dan maqomat para wali dan memberikan definisi tauhid dengan pengertian
yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis
menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup logis, mengingat bahwa Dzunnun hidup di
awal perkembangan tasawuf. Selain itu, pengembaraan dan keberaniannya
dalam memunculkan gagasan-gagasan baru dalam dunia tasawuf
menyebabkannya menerima tuduhan zindiq sehingga harus menghadap
Khalifah al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir
dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui sebelum ia
meninggal.
Selama hidupnya, cukup banyak pujian yang dilontarkan kepada
Dzunnun Mishri, antara lain seperti ungkapan Imam Qusyairi dalam kitab
risalahnya mengatakan Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini
(tasawuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam wara’, hal, dan
adab. Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan:
“Saya telah menemui enam ratus guru dan aku tidak pernah menemukan
seperti ke empat orang ini: Dzunnun alMishri, ayahku, Abu Turob, dan Abu
Abid al-Bashry. Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama
Syaihk Muhiddin Ibnu Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan
“Dzunnun telah menjadi imam, bahkan imam kita.”14

13
Ibid., hlm. 11.
14
Ibid., hlm. 232.

8
b. Konsep Ma’rifah Pemikiran Dzunnun Al-Misri
1. Definisi ma’rifah
Secara etimologi, kata ma’rifah berasal bahasa Arab yaitu“al-
ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila
dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma’rifah berarti
mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Orang
yang mencapai maqam ma’rifah disebut ‘Arif billah. Beberapa hal yang
perlu diketahui dari orang yang arif ialah bangga dalam kepapaannya.
Apabila nama Allah disebut, dia bangga. Apabila disebut nama dirinya,
dia merasa miskin. 15 Selain itu, ia bersungguh-sungguh menuntut dunia,
meringankan urusan akhirat, lekas marah di waktu mesti memaafkan,
takabur di waktu mesti tawadu’, dan bukan orang yang kehilangan taqwa
karena labanya, bukan orang yang marah mendengar dia diperkatakan
orang dengan benar, bukan orang yang zuhud pada perkara yang disukai
orang yang berakal, bukan orang yang meminta supaya orang lain
mementingkannya, bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya
dan ingat kepada Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya, bukan pula
orang yang mengumpulkan berbagai ilmu gunanya untuk mengenal
Tuhan, tetapi bahwa nafsunya lebih didahulukannya dari ilmu itu, bukan
pula orang yang sedikit malunya daripada Allah, padahal Allah tetap
menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya
(setan), dan bukan pula orang yang tak sanggup membuat muruah menjadi
pakaian dan adab menjadi perisai dan takwa menjadi perhiasan, dan bukan
pula orang mengambil ilmu pengetahuannya hanya semata-mata buat
membanggakan dan menyombongkan dalam majelisnya.
Secara teoritis tekstualis, istilah ma’rifah berawal dari penafsiran ayat
Al-Qur’an surat al-Dzariyat: 56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Kalimat
“supaya mereka mengabdi kepada-Ku” menurut Ibnu Abbas berarti agar
mereka mengenal-Ku (Allah), yaitu ma’rifah.

15
Ibid., hlm. 232.

9
Sumber lain yang dirujuk untuk memaknai istilah ini adalah dua buah
hadits Qudsi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari yang
artinya: “Dan hamba-Ku senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada
Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.”

2. Pembagian ma’rifah dan tahapan-tahapannya


Salah satu prasyaratnya, antara lain adalah kesucian jiwa dan hati. Jika
totalitas jiwanya telah suci, dan hatinya telah dipenuhi dengan dzikir
kepada Tuhan, tidak mustahil hidupnya dipenuhi dengan kearifan dan
bimbingan-Nya.16 Pada intinya, tahapan pertama ialah penyucian jiwa.
Syarat untuk memperoleh ma’rifah, hati (qalb) mempunyai fungsi
esensial, Dalam dunia tasawuf, qalb Merupakan pengetahuan tentang
hakikat-hakikat, termasuk didalamnya adalah hakikat ma’rifah. Qalb yang
dapat memperoleh ma’rifah adalah yang telah tersucikan dari berbagai
noda atau akhlak jelek yang sering dilakukan oleh manusia. Dan karena
qalb merupakan bagian dari jiwa, kesucian jiwa sangat mempengaruhi
kecemerlangan qalb dalam menerima ilmu. Dengan demikian, qalb
berpotensi untuk berdialog dengan Tuhan. Menurut Dzunnun al-Mishri
ada tiga macam pengetahuan tentang Allah:
 Pengetahuan orang awam, yaitu Allah adalah satu dengan perantaraan
ucapan syahadat.
 Pengetahuan ulama, yaitu Allah itu satu dengan perantaraan logika
atau akal.
 Pengetahuan sufi, yaitu Allah itu satu dengan perantaraan hati
sanubari.
Menurut Harun Nasution, pengetahuan jenis pertama dan kedua belum
dimasukkan ke dalam kategori pengetahuan hakiki tentang Tuhan.
Keduanya belum disebut dengan ma’rifah akan tetapi disebut dengan ilmu.
Adapun pengetahuan dengan jenis ketiga barulah disebut dengan ma’rifah.
Dari ketiga macam pengetahuan tentang Tuhan diatas, jelaslah bahwa
pengetahuan tingkat auliyalah yang paling tinggi, karena mereka mencapai

16
Ibid., hlm. 222

10
tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam
ini sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, dan
juga karena akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan. Ma’rifah bisa
didapat dengan tiga cara:
 Dengan pada sesuatu bagaimana Allah mengaturnya.
 Dengan melihat keputusan-keputusan Allah.
 Bagaimana Allah telah memastikannya, dengan merenungkan
makhluk, serta bagaimana Allah menjadikannya.
Dzunnun adalah pelopor paham ma’rifah. Dzunnun berhasil
memperkenalkan corak baru ma’rifah dalam bidang sufisme Islam.
 Membedakan antara ma’rifah sufiah dan ma’rifah aqliyah. Bila yang
pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para
sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan
oleh para teolog.
 Ma’rifah yang sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia
 Teori-teori ma’rifah Dzunnun menyerupai gnosisme ala
Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang
sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam
tasawuf.
Pandangan Dzunnun menjelaskan bahwa ma’rifah kepada Allah tidak
dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian,
tetapi dengan jalan ma’rifah batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia
dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini
tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah
manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang
sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya, ia
sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-Nya.17

17
Solihin dan Rosihon Anwar, Op.cit., hlm.153.

11
Ma’rifah terbagai atas tiga macam yaitu ma’rifah mu’min dan umum,
ma’rifah mutakallimin dan hukama’ serta ma’rifah auliya’ dan
muqarrabin.
 Ma’rifah mu’min yang diperoleh orang muslim awam. Hal ini
diperoleh melalui perantara syahadat, tanpa disertai dengan
argumentasi karena orang awam mudah mempercayai kabar berita
yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan
secara mendalam. Orang awam biasa mengenal Allah karena memang
demikian ajaran yang diterimanya.
 Orang filosof dan mutakallimin yaitu cara memperoleh ma’rifah
melalui pemikiran dan pembuktian akal. Mencari Allah dengan
perjalanan kalnya Oleh perhitungan akal dan logika. Jadi mereka bisa
mengetahui adanya Allah, tapi belum tentu merasakan keberadaannya
karena pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif.
 Orang-orang muqarrabin yang mencari Allah dengan pedoman
cinta dan mengutamakan ilham atau Faidh (limpah karunia Allah) atau
kasyaf (tersingkapnya hijab kebathinan dalam alam kerohanian). Di
waktu itu akal tak berjalan lagi, melainkan tiba di derajat yang
mustawa.
Menurut keterangan Dzunnun al-Mishri yang mengatakan ada
beberapa tanda yang dimiliki oleh sufi apabila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifah, antara lain:
 Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
perilaku, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya
 Tidak selalu menjadikan sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata dalam ajaran tasawuf belum tentu
benar.
 Tidak menginginkan nikmat yang banyak kepada dirinya, karena hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.

12
D. Kesimpulan
a. Pemikiran mahabbah oleh Rabi’ah alAdawiyah mengajarkan tentang
makna al-hubb yang haqiqi yaitu kecintaan terhadap penciptanya
dan tidak boleh memalingkan cinta selain kepada sang pencipta. Konsep
tasawuf inilah yang memiliki banyak pengaruh terhadap konsep tasawuf
lainnya di dunia sufi pada periode-periode selanjutnya.
b. Ma’rifah dalam pandangan Dzunnun Mishri bukan sebatas pemberian
Tuhan kepada manusia dengan “Cuma-Cuma” tetapi Tuhan
memberikannya dengan syarat-syarat. Proses panjang yang harus di lalui
oleh para pecinta Tuhan untuk mendapat ma’rifah-Nya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Andy, Safria. 2018. Ilmu Tasawuf, Medan.

Falatehan, Aun Falestien. 2007. Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam.
Surabaya: Dakwah Digital Press.

Khamis, Muhammad Atiyyah. 2000. Rabi’ah al-’Adawiyah, terj. Aliudin


Mahjuddin. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Mahzumi, Fikri. 2015. Konsep Cinta Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, Vol. 11, no. 02.

Said, Usman. 1983. Pengantar Ilmu Tasawuf. Jakarta Direktur Direktorat.

Rihanah, Siti. 2011. Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717 M-


158H/801M). Skripsi UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta: Pembinaan
Perguruan Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI.
Solihin, M. 2014. Ilmu Tasawuf . Bandung: CV Pustaka Setia.

Taufik, Muhammad. 2017. Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol.19, No. 02.

14

Anda mungkin juga menyukai