Disusun oleh:
T.A. 2022/2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa atas limpahan
rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan
makalah mata kuliah Ilmu Tasawuf. Pemakalah juga tidak lupa mengucapkan
terima kasih kepada Ustadz Dr. H. Safria Andy, MA. sebagai dosen pengampu
mata kuliah Ilmu Tasawuf ini.
Pembuatan makalah ini diharapkan dapat menjadi salah satu wadah dalam
pembelajaran Ilmu Tasawuf terkhusus pada Konsep Pemikiran Tasawuf dan
Tokohnya . Kami menyadari bahwa tugas makalah yang dibuat ini masih jauh dari
kata sempurna, karena masih banyak kekurangan didalam penyusunannya.
Pemakalah
i
DAFTAR ISI
A. Pendahuluan ................................................................................... 1
B. Rabi’ah Al-Adawiyah; Mahabbah .................................................. 1
C. Dzunnun Al-Misri; Ma’rifah .......................................................... 6
D. Kesimpulan .................................................................................. 13
ii
KONSEP PEMIKIRAN TAWASUF DAN TOKOHNYA
A. Pendahuluan
Dalam dunia sufi terhadap beberapa ajaran tasawuf, seperti tasawuf
akhlaki, tasawuf, falsafidan tasawuf irfani. Pada pembahasan kali ini penulis akan
membahas tentang konsep mahabbah yang ada di dalam tasawuf irfani. Tasawuf
Irfani adalah tasawuf yang berusaha mengungkapkan hakikat dari ma‟rifah atau
kebenaran yang cara perolehannya melalui pemberian pengetahuan langsung dari
Tuhan atau pengetahuan yang diterima seorang hamba melalui penglihatan batin
secara langsung. Tokoh sufi dalam tasawuf Irfani, di antaranya Rabiah al-
Adawiyah. Jika berbicara tentang mahabbah, nama yang melekat dan dikenal baik
di kalangan awwam maupun akademisi hanya terbatas pada sufi perempuan
Rabi’ah al-Adawiyah. Padahal, sufi awal yang juga memperkenalkan tentang
mahabbah ialah Dzunnun Mishri.
Pemikiran mahabbah oleh Rabi’ah al-Adawiyah mengajarkan tentang
makna al-hubb yang haqiqi yaitu kecintaan terhadap penciptanya dan tidak boleh
memalingkan cinta selain kepada sang pencipta. Konsep tasawuf inilah yang
memiliki banyak pengaruh terhadap konsep tasawuf lainnya di dunia sufi pada
periode-periode selanjutnya. Ma’rifah dalam pandangan Dzunnun Mishri bukan
sebatas pemberian Tuhan kepada manusia dengan “Cuma-Cuma” tetapi Tuhan
memberikannya dengan syarat-syarat. Proses panjang yang harus di lalui oleh
para pecinta Tuhan untuk mendapat ma’rifah-Nya.
1
Siti Rihanah, Skripsi: Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-158H/801M)
(Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah, 2011), hlm.11.
2
Aun Falestien Falatehan, Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam (Surabaya: Dakwah
Digital Press, 2007), hlm. 73.
3
Muhammad Atiyyah Khamis, Rabi’ah al-’Adawiyah, terj. Aliudin Mahjuddin (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2000), hlm. 6.
2
tetapi yang menonjol ia tampak lebih cerdas dibandingkan teman-teman
sebayanya. Selain itu, dalam dirinya juga tampak pancaran sinar ketakwaan
dan ketaatan yang tak dimiliki oleh teman-temannya. Perilaku Rabi’ah banyak
tertular dari ayahnya yang religius. Rabi’ah selalu memperhatikan bagaimana
ayahnya beribadah kepada Allah SWT seperti membaca al-Qur’an dan
berzikir. Rabi’ah sangat suka menghafal al-Qur’an. Apabila telah berhasil
menghafalnya, ia duduk dan mengulangi kembali hafalannya itu dengan
perasaan khusyuk untuk mendapatkan pemahaman yang sempurna. 4
Kebiasaannya menyendiri juga sudah tampak sejak kecil. Tidak jarang
ayahnya mendapatinya mengasingkan diri dengan muka muram, penuh
kesedihan sembari bermunajat kepada Allah SWT, suatu perilaku yang bisa
dibilang tidak wajar untuk anak kecil sepertinya. Tidak berselang lama,
Rabi’ah pun ditinggal wafat oleh ayah dan ibunya. Kini ia hanya hidup
bersama ketiga saudara perempuannya. Tak ada harta yang ditinggalkan ayah
maupun ibunya, kecuali hanya sebuah perahu kecil.5
Ketika dewasa, Rabi’ah menjadi seorang budak. Pada suatu masa
ketika terjadi kekeringan hebat yang melanda Basrah, Rabi’ah dijual oleh
majikannya yang zalim dengan harga enam dirham. Dengan pemilik baru,
Rabi’ah semakin sengsara karena ia dipekerjakan secara tidak wajar. Hingga
pada suatu hari Rabi’ah melarikan diri dari majikannya, tetapi di tengah jalan
ia mengurungkan niatnya itu setelah mendengar suara ghaib.
Dikabarkan Rabi’ah dipekerjakan sebagai seorang biduanita. 6 Suatu
malam si majikan terbangun dan mengintip di celah-celah pintu. Di sana
majikan itu melihat Rabi’ah sedang bersujud sembari berdoa. Di sela-sela doa
itu, majikan Rabi’ah melihat hal yang tidak biasa. Ia melihat lampu yang
terbang dengan sendirinya di atas kepala Rabi’ah tanpa ada yang
menggantungnya. Lampu itu menyinari seisi rumah. Melihat kejadian itu, si
majikan ketakutan. Keesokan harinya, si majikan itu langsung memerdekakan
Rabi’ah.
4
Ibid., hlm.8.
5
Ibid., hlm.9.
6
Ibid., hlm.97.
3
Rabi’ah banyak mengikuti majelis Hasan al-Basri. Di sana ia bertobat
kemudian pergi mengasingkan diri di sebuah gua yang jauh dari jangkauan
manusia. Selama hidupnya, Rabi’ah tidak pernah menikah, meskipun ia adalah
seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki
yang ingin meminangnya. Terdapat silang pendapat atas tahun wafatnya
Rabi’ah, tetapi mayoritas ahli sejarah meyakini bahwa Rabi’ah wafat pada
tahun 185 H di usia 90 tahun dan dimakamkan di kota kelahirannya, Bashrah.
7
Fikri Mahzumi, Konsep Cinta Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, Vol. 11, no. 02 (2015), hlm. 71
8
Ibid., hlm. 72.
4
terhadap kehendak dan keputusan Allah atau yang disebut sebagai
“qada dan qadr” secara lapang dada dan bahagia.
Al-Syawq, atau rasa rindu yang terbakar di diri seorang hamba yang
ingin bertemu dengan penciptanya.
Al-Uns, merupakan keadaan seorang hamba yang merasa sangat dekat
dengan sang pencipta dan merasakan adanya kehadiran Allah tanpa
adanya penghalang.
5
qalb), maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Tuhan
melalui cinta (Roh).9
Tahapan-tahapan atau maqamat untuk menuju mahabbah menurut
pandangan al-Sarraj al-Thusi yang dikaitkan dengan kehidupan
Rabi‟ah al-Adawiyah semenjak beliau memulai dunia sufinya adalah
Taubat, Wara’, Zuhud, Faqr, Sabar, Tawakkal, dan Ridho.
Karya-karya Rabi’ah al-Adawiyah merupakan aliran Muhabbah
atau al-hubb yang berhubungan tantang cinta. Beberapa karya yang
diciptakan oleh Rabi’ah al-Adawiyah baik berupa larik syair ataupun
ucapannya yang berhubungan tentang rasa cintanya kepada Allah
memang sangat menunjukan dan membuktikan bahwa cintanya hanya
untuk Allah. Selain itu ia juga betul-betul hidup dalam zuhd, diantara
ucapannya yang terkenal tentang zuhd adalah sebagaimana
diriwayatkan oleh al-Hujwiri dalam kitabnya Kasyf al-Mahjub: “suatu
ketika aku membaca cerita bahwa seorang hartawan berkata kepada
Rabi’ah: “mintalah kepadaku segala kebutuhanmu!” Rabi’ah
menjawab: “aku ini begitu malu meminta hal-hal duniawi kepada
Pemiliknya. Maka bagaimana bisa aku meminta hal itu kepada orang
yang bukan pemiliknya”.
9
Safria Andy, Ilmu Tasawuf, (2018), hlm. 31.
10
Usmain Said, Pengantar Ilmu Tasawuf (Jakarta: Direktur Direktorat Pembinaan Perguruan
Tinggi Agama Islam Departemen Agama RI, 1983), hlm. 71.
11
M.Solihin dan Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: CV Pustaka Setia, 2014), hlm.151.
6
muslim terlebih lagi kalangan akademik. Jika berbicara ma’rifah dan
mahabbah maka nama yang terlintas ialah Rabi’ah al Adawiyah.
Beberapa versi beredar tentang sebutan nama Dzunnun. Adapun versi
pertama mengatakan bahwa nama “nun” diambil dari nama ikan yang
bernama ikan “nun”. Suatu ketika Dzunnun menumpang sebuah kapal
saudagar kaya dan tiba-tiba saudagar itu kehilangan sebuah permata yang
sangat berharga lalu Dzunnun dituduh mencurinya. Karena peristiwa
pencurian tersebut, Dzunnun disiksa dan dianiaya serta dipaksa untuk
mengembalikan permata itu. Dalam keadaan tersiksa dan teraniaya, Dzunnun
menengadahkan kepalanya kelangit sambil berseru “Wahai Tuhanku
Engkaulah yang maha tahu.” Mendadak muncullah ribuan ekor ikan nun ke
permukaan air mendekati kapal sambil membawa permata di mulutnya
masing-masing. Dzunnun lalu mengambil sebuah permata dan
menyerahkannya kepada saudagar tadi. Sejak peristiwa itu ia digelari
“Dzunnun” artinya yang mempunyai ikan nun.
Kedua, terkait dengan simbol. Kaum sufi juga memaknai simbol ini
sebagai simbol kesadaran dalam kehidupannya. Begitu pula dengan Dzunnun
Mishri, dia mengetahui dan sadar akan makna dari simbol yang dimilikinya
apalagi sebagai nama dari dirinya. Yang kemudian makna dari namanya itu
membawanya serta mendorongnya untuk menjadi seorang sufi yang ikhlas
dan tunduk kepada Allah. Dia sadar bahwasanya setiap kehidupannya akan
berawal dan berujung kepada sebuah titik sentral, yaitu sebuah titik sentral
pada huruf nun tersebut, dan titik sentral itu dimaknai sebagai Allah SWT,
yang dimana titik sentral tersebut adalah yang awal dan yang akhir. 12
Sedangkan menurut Ibnu ‘Arabi (560-638 H), nama Dzunnun juga
memiliki pengertian yang lain yang secara harfiah memiliki arti “pemilik
huruf nun” atau “pemilik dawat” yang merujuk pada huruf Arab nun yang
dituliskan: “Nun-dan demi qalam (pena) dan apa yang mereka tulis.” (Q.S
Al-Qalam: 68) Huruf nun menurut Ibnu ‘Arabi memiliki makna rahasia yaitu
sebuah pintu menuju penerimaan taubat dan hanya sedikit orang yang dapat
12
Muhammad Taufik, Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol.19, No. 02. Refleksi, (Juli, 2017), hlm.
10.
7
melalui pintu tersebut. Ibnu ‘Arabi merujuk pada sebuah kalimat yang pernah
diucapkan oleh Dzunnun al-Mishri: “Aku senantiasa berpegang teguh pada
pintu Tuhan ku sampai Dia menerimaku.”13
Diperjalanan hidupnya, Dzunnun pernah berpindah-pindah kota.
Seperti Mesir, mengunjungi Bait al-Maqdis, Baghdad, Mekkah, Hijaz, Syiria,
pegunungan Libanon, Anthokiah, dan lembah Kan’an. Hal ini menyebabkan ia
memperoleh pengalaman yang banyak dan mendalam. Sebelum Dzunnun,
sebenarnya sudah ada sejumlah guru sufi yang sudah konsen terhadap isyarat
tasawuf. Tetapi ialah orang pertama di Mesir yang berbicara tentang ahwal
dan maqomat para wali dan memberikan definisi tauhid dengan pengertian
yang bercorak sufistik. Ia mempunyai pengaruh besar terhadap pembentukan
pemikiran tasawuf. Tidaklah mengherankan kalau sejumlah penulis
menyebutnya sebagai salah seorang peletak dasar-dasar tasawuf.
Pendapat tersebut cukup logis, mengingat bahwa Dzunnun hidup di
awal perkembangan tasawuf. Selain itu, pengembaraan dan keberaniannya
dalam memunculkan gagasan-gagasan baru dalam dunia tasawuf
menyebabkannya menerima tuduhan zindiq sehingga harus menghadap
Khalifah al-Mutawakkil. Namun, ia dibebaskan dan dipulangkan ke Mesir
dengan penuh penghormatan. Kedudukannya sebagai wali diakui sebelum ia
meninggal.
Selama hidupnya, cukup banyak pujian yang dilontarkan kepada
Dzunnun Mishri, antara lain seperti ungkapan Imam Qusyairi dalam kitab
risalahnya mengatakan Dzunnun adalah orang yang tinggi dalam ilmu ini
(tasawuf) dan tidak ada bandingannya. Ia sempurna dalam wara’, hal, dan
adab. Tak kurang Abu Abdillah Ahmad bin Yahya al-Jalak mengatakan:
“Saya telah menemui enam ratus guru dan aku tidak pernah menemukan
seperti ke empat orang ini: Dzunnun alMishri, ayahku, Abu Turob, dan Abu
Abid al-Bashry. Seperti berlomba memujinya sufi terbesar dan ternama
Syaihk Muhiddin Ibnu Araby Sulton al-Arifin dalam hal ini mengatakan
“Dzunnun telah menjadi imam, bahkan imam kita.”14
13
Ibid., hlm. 11.
14
Ibid., hlm. 232.
8
b. Konsep Ma’rifah Pemikiran Dzunnun Al-Misri
1. Definisi ma’rifah
Secara etimologi, kata ma’rifah berasal bahasa Arab yaitu“al-
ma’rifah”, yang berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Apabila
dihubungkan dengan pengalaman tasawuf, maka istilah ma’rifah berarti
mengenal Allah ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Orang
yang mencapai maqam ma’rifah disebut ‘Arif billah. Beberapa hal yang
perlu diketahui dari orang yang arif ialah bangga dalam kepapaannya.
Apabila nama Allah disebut, dia bangga. Apabila disebut nama dirinya,
dia merasa miskin. 15 Selain itu, ia bersungguh-sungguh menuntut dunia,
meringankan urusan akhirat, lekas marah di waktu mesti memaafkan,
takabur di waktu mesti tawadu’, dan bukan orang yang kehilangan taqwa
karena labanya, bukan orang yang marah mendengar dia diperkatakan
orang dengan benar, bukan orang yang zuhud pada perkara yang disukai
orang yang berakal, bukan orang yang meminta supaya orang lain
mementingkannya, bukan orang yang lupa akan Allah di tempat taatnya
dan ingat kepada Allah hanya di waktu hajat kepada-Nya, bukan pula
orang yang mengumpulkan berbagai ilmu gunanya untuk mengenal
Tuhan, tetapi bahwa nafsunya lebih didahulukannya dari ilmu itu, bukan
pula orang yang sedikit malunya daripada Allah, padahal Allah tetap
menutup auratnya, dan bukan orang yang lemah melawan musuhnya
(setan), dan bukan pula orang yang tak sanggup membuat muruah menjadi
pakaian dan adab menjadi perisai dan takwa menjadi perhiasan, dan bukan
pula orang mengambil ilmu pengetahuannya hanya semata-mata buat
membanggakan dan menyombongkan dalam majelisnya.
Secara teoritis tekstualis, istilah ma’rifah berawal dari penafsiran ayat
Al-Qur’an surat al-Dzariyat: 56 “Dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Kalimat
“supaya mereka mengabdi kepada-Ku” menurut Ibnu Abbas berarti agar
mereka mengenal-Ku (Allah), yaitu ma’rifah.
15
Ibid., hlm. 232.
9
Sumber lain yang dirujuk untuk memaknai istilah ini adalah dua buah
hadits Qudsi dari Abu Hurairah yang diriwayatkan al-Bukhari yang
artinya: “Dan hamba-Ku senantiasa berusaha mendekatkan diri kepada
Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.”
16
Ibid., hlm. 222
10
tingkatan musyahadah. Para ulama dan filosof tidak bisa mencapai maqam
ini sebab mereka masih menggunakan akal untuk mengetahui Tuhan, dan
juga karena akal mempunyai keterbatasan dan kelemahan. Ma’rifah bisa
didapat dengan tiga cara:
Dengan pada sesuatu bagaimana Allah mengaturnya.
Dengan melihat keputusan-keputusan Allah.
Bagaimana Allah telah memastikannya, dengan merenungkan
makhluk, serta bagaimana Allah menjadikannya.
Dzunnun adalah pelopor paham ma’rifah. Dzunnun berhasil
memperkenalkan corak baru ma’rifah dalam bidang sufisme Islam.
Membedakan antara ma’rifah sufiah dan ma’rifah aqliyah. Bila yang
pertama menggunakan pendekatan qalb yang biasa digunakan para
sufi, yang kedua menggunakan pendekatan akal yang biasa digunakan
oleh para teolog.
Ma’rifah yang sebenarnya adalah musyahadah qalbiyah (penyaksian
hati), sebab ma’rifah merupakan fitrah dalam hati manusia
Teori-teori ma’rifah Dzunnun menyerupai gnosisme ala
Neo-Platonik. Teori-teorinya itu kemudian dianggap sebagai jembatan
menuju teori-teori wahdat asy-syuhud dan ittihad. Ia pun dipandang
sebagai orang yang pertama kali memasukkan unsur falsafah dalam
tasawuf.
Pandangan Dzunnun menjelaskan bahwa ma’rifah kepada Allah tidak
dapat ditempuh melalui pendekatan akal dan pembuktian-pembuktian,
tetapi dengan jalan ma’rifah batin, yakni Tuhan menyinari hati manusia
dan menjaganya dari kecemasan, sehingga semua yang ada di dunia ini
tidak mempunyai arti lagi. Melalui pendekatan ini, sifat-sifat rendah
manusia perlahan-lahan terangkat ke atas dan selanjutnya menyandang
sifat-sifat luhur seperti yang dimiliki Tuhan, sampai akhirnya, ia
sepenuhnya hidup didalam-Nya dan lewat diri-Nya.17
17
Solihin dan Rosihon Anwar, Op.cit., hlm.153.
11
Ma’rifah terbagai atas tiga macam yaitu ma’rifah mu’min dan umum,
ma’rifah mutakallimin dan hukama’ serta ma’rifah auliya’ dan
muqarrabin.
Ma’rifah mu’min yang diperoleh orang muslim awam. Hal ini
diperoleh melalui perantara syahadat, tanpa disertai dengan
argumentasi karena orang awam mudah mempercayai kabar berita
yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan
secara mendalam. Orang awam biasa mengenal Allah karena memang
demikian ajaran yang diterimanya.
Orang filosof dan mutakallimin yaitu cara memperoleh ma’rifah
melalui pemikiran dan pembuktian akal. Mencari Allah dengan
perjalanan kalnya Oleh perhitungan akal dan logika. Jadi mereka bisa
mengetahui adanya Allah, tapi belum tentu merasakan keberadaannya
karena pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif.
Orang-orang muqarrabin yang mencari Allah dengan pedoman
cinta dan mengutamakan ilham atau Faidh (limpah karunia Allah) atau
kasyaf (tersingkapnya hijab kebathinan dalam alam kerohanian). Di
waktu itu akal tak berjalan lagi, melainkan tiba di derajat yang
mustawa.
Menurut keterangan Dzunnun al-Mishri yang mengatakan ada
beberapa tanda yang dimiliki oleh sufi apabila sudah sampai kepada
tingkatan ma’rifah, antara lain:
Selalu memancar cahaya ma’rifah padanya dalam segala sikap dan
perilaku, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya
Tidak selalu menjadikan sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat
nyata, karena hal-hal yang nyata dalam ajaran tasawuf belum tentu
benar.
Tidak menginginkan nikmat yang banyak kepada dirinya, karena hal
itu bisa membawanya kepada perbuatan yang haram.
12
D. Kesimpulan
a. Pemikiran mahabbah oleh Rabi’ah alAdawiyah mengajarkan tentang
makna al-hubb yang haqiqi yaitu kecintaan terhadap penciptanya
dan tidak boleh memalingkan cinta selain kepada sang pencipta. Konsep
tasawuf inilah yang memiliki banyak pengaruh terhadap konsep tasawuf
lainnya di dunia sufi pada periode-periode selanjutnya.
b. Ma’rifah dalam pandangan Dzunnun Mishri bukan sebatas pemberian
Tuhan kepada manusia dengan “Cuma-Cuma” tetapi Tuhan
memberikannya dengan syarat-syarat. Proses panjang yang harus di lalui
oleh para pecinta Tuhan untuk mendapat ma’rifah-Nya.
13
DAFTAR PUSTAKA
Falatehan, Aun Falestien. 2007. Tasawuf Falsafi Persia di Masa Klasik Islam.
Surabaya: Dakwah Digital Press.
Mahzumi, Fikri. 2015. Konsep Cinta Sufi Rabi’ah Al-Adawiyah, Vol. 11, no. 02.
Taufik, Muhammad. 2017. Filsafat dan Pemikiran Islam, Vol.19, No. 02.
14