Anda di halaman 1dari 15

PEMIKIRAN TASAWUF: KONSEP MAHABBAH RABI’AH AL-

ADAWIYAH

Novi Aurannisa (III-D)

NIM: 19110116

Prolog

Dalam dunia sufi terhadap beberapa ajaran tasawuf, seperti tasawuf akhlaki, tasawuf, falsafi
dan tasawuf irfani. Pada artikel kali ini penulis akan membahas tentang konsep mahabbah yang
ada di dalam tasawuf irfani. Tasawuf Irfani adalah tasawuf yang berusaha mengungkapkan
hakikat dari ma‟rifah atau kebenaran yang cara perolehannya melalui pemberian pengetahuan
langsung dari Tuhan atau pengetahuan yang diterima seorang hamba melalui penglihatan batin
secara langsung. Tokoh sufi dalam tasawuf Irfani, di antaranya Rabiah al-Adawiyah, Junaid al-
Baghdadi, Dzunnun al-Misri, dan Abu Yazid alBusthami.

Salah satu pemikiran dalam tasawuf Irfani yaitu konsep mahabbah milik Rabiah al-
Adawiyah. Hakekat dari Tasawuf Rabi‟ah yaitu mencintai Allah swt.Di artikel kali ini penulis
akan membahas tentang siapa itu Rabi‟ah al-Adawiyah, bagaimana kehidupan sufinya, konsep
ajaran mahabbah yang diajarkannya serta pengaruh konsep mahabbah tersebut dalam
perkembangan tasawuf.

A. Biografi Rabi’ah al-Adawiyah


1. Latar Belakang Kehidupan Rabi’ah Al-Adawiyah

Rabi‟ah al-Adawiyah lahir di sebuah keluarga yang serba kekurangan. Ayahnya bernama
Ismail al-Adawiyah al-Qishiyyah, beliau merupakan seorang ayah dari 3 orang putrinya dan
suami dari istrinya yang sedang mengandung Rabi‟ah al-Adawiyah kala itu. Beliau
merupakan seorang yang pekerja keras serta taat beragama. Meskipun hidup dengan serba
kekurangan beliau tidak pernah merasa berat akan dunianya dan tidak pernah terbesit rasa
tamak untuk mengejar kenikmatan dunia. Sebaliknya beliau selalu merasa cukup dan sangat
bersyukur kepada Allah dengan apa yang telah didapatnya serta selalu beristigfar kepada
Allah. 1

Dikisahkan oleh Fariduddin al-Attar bahwasannya pada malam kelahiran Rabi‟ah al-
Adawaiyah, tidak ada sehelai pun kain yang ada di rumah mereka untuk dipakaikan kepada
Rabi‟ah al-Adawiyah ketika beliau lahir, tidak ada pula minyak baik yang dapat diolesi di
pusar beliau maupun minyak untuk menghidupkan lampu sebagai penenang. Ibunya lalu
meminta kepada ayahnya rabi‟ah agar meminta sedikit minyak kepada tetangga mereka
untuk menyalakan lampu, akan tetapi prinsip dari Ismail sendiri adalah untuk tidak meminta-
minta kepada manusia lainnya, sehingga beliau hanya berpura-bura mendatangi rumah
tetangganya dan menyentuh pintunya kemudian beliau pulang ke rumah dan mengatakan
kepada Istrinya bahwa tetangganya tidak membukakan pintu karena sedang tidur. 2

Pada malam hari yang sama yaitu di hari kelahirannya Rabi‟ah al-Adawiyah, ketika
Ismail tertidur dengan rasa tertekan karena tidak memiliki sesuatu pun untuk putrinya yang
baru saja lahir, beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah, kemudian rasulullah berkata
kepadanya:

“janganlah bersedih hati sebab anak perempuanmu yang baru lahir ini adalah seorang
yang agung yang pengaruhnya akan dianut oleh 7000 ummatku”

Di dalam mimpi tersebut Nabi Saw. juga memerintahkan kepada Ismail untuk menemui
seorang Amir Basrah yang bernama Isa Zadan dan memberikan sepucuk surat kepadanya
yang berisi tentang apa yang dikatakan rasulullah di dalam mimpi Ismail, isi surat tersebut
adalah:

“Hai Amir, engkau biasanya membaca shalawat seratu kali setiap malam dan empat
ratus kali tiap malam jum’at. Tetapi dalam jum’at terakhir ini engkau lupa
melaksanakannya. Oleh karena itu, hendaklah engkau membayar 400 Dinar kepada
yang membawa surat ini sebagai kifarat atas kelalaianmu.”

Setelah Ismail terbangun dari mimpinya di pagi hari, beliau langsung menuliskan surat
berisi perintah rasulullah tersebut dan langsung berangkat ke istana Amir. Beliau lalu
menyerahkan sepucuk surat tersebut kepada pengawal istana karena beliau tidak dapat

1
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-158H/801M)” (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2011), 11.
2
Ibid. 12.
bertemu secara langsung dengan Amir. Maka pengawal itu langsung pergi menghadap Amir
dan memberikan surat tesebut. Setelah membaca surat dari Ismail, Amir kemudian langsung
memerintahkan untuk memberikan 400 dinar kepada Ismail. Namun sebelum itu beliau
membatalkan perintah tersebut dan mengatakan “biarlah saya sendiri yang menghantarkan
uang ini sebagai penghormatan terhadap orang yang mengirim surat ini”. 3

Rabi‟ah lahir di sebuah perkampungan dekat dengan kota Basrah pada tahun 99H atau
sekitar 717M ada pula yang mengatakan 714M karena gelapnya kehidupan kedua orangtua
beliau saat beliau dilahirkan. Beliau juga wafat di kota tersebut pada tahun 185H atau sekitar
801. Nama panjang beliau adalah Rabi‟ah binti Ismail al-Adawiyah al-Bashriyah al-Qaisiyah.

Walaupun Rabi‟ah lahir dan tumbuh di keluarga yang serba kekurangan di sebuah rumah
yang terpencil padahal Basrah merupakan kota yang amat kaya pada masa itu, tetapi beliau
sangat beriman dan bertaqwa dan juga memiliki banyak karya. Ayahnya sejak kecil
mengajarkan beliau tentang qanaah, wara’ dan juga pelajaran agama Islam lainnya. Pada
akhirnya rohaniah beliau berkembang dengan pesat sehingga beliau gemar membaca juga
menghafalkan al-Qur‟an, tidak hanya itu, beliau juga mendalami dan memahami makna al-
Qur‟an dengan imam dan keyakinan yang mendalam. 4

Sejak kecil Rabi‟ah tidak pernah menuntut banyak terhadap kedua orangtuanya, karena
beliau memahami betul kondisi ekonomi keluarganya.Oleh karena itu beliau tidak pernah
bergantung kepada orang lain dan selalu menggantungkan harapan kepada dirinya sendiri.
Sehingga ketika kedua orangtua Rabi‟ah wafat, beliau tidak merasa asing ataupun tertekan
dengan keadaan hidup yang serba kekurangan dan penderitaan hidup. Beliau tidak pernah
lelah dan malu untuk bekerja dari pagi hari sampai dengan sore hari demi keberlangsungan
hidupnya. Rabi‟ah dan ketiga saudarinya meneruskan pekerjaan ayahnya yaitu menyebrangi
orang-orang di sungai Dijlah, sejak saat itulah beliau dikenal dengan panggilan Rabi‟ah al-
Adawiyah. 5

2. Riwayat Pendidikan

3
Miftahul Fikri, Neni Hastuti, and Sri Wahyuningsih, Rabi’ah Al-Adawiyah (tidak ada: Najmubooks Publishing,
2020), 8–10.
4
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-158H/801M)” (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2011), 14
5
Ibid, 14-15
Rabi‟ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita berasal dari Basrah yang pertama
kalinya mengenalkan konsep “Mahabbah” di bidang tasawuf. Beliau merupakan salah satu
sufi yang tidak mengikuti sufi lainnya, jadi jelas beliau tidak seperti para sufi umumnya.
Bahkan diriwayatkan bahwa beliau tidak pernah belajar atau menuntut ilmu dari seorang
Syeikh ataupun guru spiritual lainnya. Akan tetapi beliau mencari secara otodidak didasari
pengalamannya langsung kepada Allah. Beliau juga tidak pernah secara langsung menuliskan
atau membukukan tentang ajarannya sendiri, akan tetapi ajarannya tersebut mulai dikenal
melalui para muridnya yang dituliskan selang beberapa lama setelah beliau wafat. Seorang
penyai „Attar menuliskan bahwa “ Posisi Rabi‟ah sangat unik, sebab dalam kaitannya dengan
tuhan dan pengetahuannya mengenai ilmu-ilmu ketuhanan tidak ada bandingannya. Dia
sangat dimuliakan oleh semua pelaku sufi besar pada masanya, dan otoritas kesufiannya
tidak diragukan lagi di kalangan sahabat-sahabatnya.” 6

Meskipun Ismail ayah Rabi‟ah tidak pernah memberikan pendidikan yang layak
terhadapnya dikarenakan kondisi ekonomi mereka yang sangat terbatas, akan tetapi ayahnya
sering mengajaknya Rabi‟ah untuk pergi ke mushollah dan mengajarkan Rabi‟ah ilmu-ilmu
agama yang ia miliki. Beliau menanamkan akhlak yang terpuji kepada anak-anaknya, hingga
akhirnya Rabi‟ah memiliki hati yang bersih dan suci. Ajaran dari ayahnya inilah yang
menjadi bekal Rabi‟ah hingga menjadi salah satu tokoh sufi yang terkenal. Cinta kepada
tuhan atau yang dikenal sebagai “Mahabbah” merupakan puncak dari tasawuf Rabi‟ah al-
Adawiyah. Banyak pula syair-syair sufistik gubahan beliau yang mengandung makna tentang
cinta kepada tuhan. Syair-syair inilah yang di dalam kehidupan sufistik para sufi lainnya
seperti Jalaluddin al-Rumi, al-Hallaj, Ibnu al-Farij dan masih banyak lagi. 7

3. Karya Syair-syair Rabi’ah Al-Adawiyah

Karya-karya Rabi‟ah berisikan tentang pemahaman al-hubb atau mahabbah yang


berkaitan dengan cinta. Dari pemahamannya inilah beliau mengerjakan amalan saleh bukan
karena mengharapkan surganya Allah atau takut terhadap api neraka, melainkan semata-mata
karena kecintaannya terhadap Allah. Karya-karya yang diciptakan beliau berupa syair
ataupun perkatan yang berkaitan dengan cintanya kepada Allah sangatlah menunjukkan

6
Ibid, 15.
7
Ibid, 16-17.
kecintaannya kepada sang pencipta. Menurut Rabi‟ah Allah bukan sesuatu yang harus
dicintai akan tetapi zat yang memang dicintai. Beberapa syair-syair Rabi‟ah al-Adawiyah
adalah sebagai berikut.8

“Aku MencintaiMu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diriMu, cinta
karena diriku adalah keadaanku senantiasa mengingatMu, cinta karena diriMu adalah
keadaanMu mengungkapkan tabir sehingga engkau kulihat. Baik untuk ini maupun untuk
itu pujian bukanlah bagiku. bagiMulah pujian untuk kesemuanya. ”

Pada Syair lainnya beliau berkata:

“Kucintai engkau lantaran aku cinta, dan lantaran engkau patut untuk dicintai, cintaku
lah yang membuat rindu kepadaMu, demi cinta suci ini, sibakkanlah tabir penutup
tatapan sembahku, jangalah Kau puji aku lantaran itu, bagiMu lah swgala puji dan
puji.”9

Kecintaan Rabi‟ah al-Adawiyah kepada tuhannya begitu dalam sampai memenuhi seluruh
relung hatinya, yang membuat beliau merasa hadir besama Allah. Seperti yang ada pada syair
beliau:
“Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun biar berbincang dengan
temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam kalbu terpancar selalu
kekasih cintaku.”10

Dan masih banyak lagi syair-syair Rabi‟ah al-Adawiyah yang mengungkapkan tentang
seberapa besar cintanya kepada Allah, merasa hadir bersama Allah dan juga kecemburuannya
kepada makhluk atau hamba Allah yang lainnya yang juga mendapat cinta dan kasih Allah.

B. Awal Mula Kesufian Rabi’ah al-Adawiyah


1. Kondisi Agama

Sekitar awal tahun 2 H, Irak telah menjadi kota yang megah dan mewah, begitu pula di
Basrah yang pada saat itu telah menjadi kota yang amat maju. Di kota tersebut banyak sekali
rumah-rumah yang dibangun untuk hiburan dan memuaskan hawa nafsu. Istana dan gedung-
gedung telah dipenuhi oleh pelacur, bahkan kehidupan yang menyimpang sudah banyak
ditemukan di kehidupan dan mayarakat umum di sana.
8
Miftahul Fikri, Neni Hastuti, and Sri Wahyuningsih, Rabi’ah Al-Adawiyah (tidak ada: Najmubooks Publishing,
2020), 194
9
Siti Rihanah, Skripsi: “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-158H/801M)” (Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah, 2011), hlm. 17
10
Ibid, 19.
Kota Basrah merupakan kota yang ditinggal oleh banyak bangsa dan aliran, tidak
terkecuali aliran Khawarij dan juga Syi‟ah. Apabila ada kerusuhan atau pemberontakan-
pemberontakan yang terjadi antara penduduk Basrah maka tentu saja pemerintah Bani
Umayyah pada saat itu tidak akan tinggal diam apabila terjadi pemberontakan dan juga
pertumpahan darah di antara masyarakat. Peristiwa seperti ini sering terjadi di Abad tersebut
seakan Allah ingin menghukum manusia-manusia yang gemar berbuat dosa dan membuat
kerusakan.

Sejak saat itulah kota banyak mengalami berbagai bentuk bencana alam, salah satunya
kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan di kota tersebut. Kota yang pada mulanya
merupakan kota yang maju dan mewah, menjadi kota yang dilanda bancana dan kemiskinan.
Dan yang paling banyak menderita adalah kaum miskin pada saat itu, seperti Rabi‟ah dan
saudari-saudarinya. Mereka kemudian menjual rumah dan pergi berkelana. Dikisahkan
bahwasannya Rabi‟ah terpisah dari ketiga kakaknya. Rabi‟ah lalu jatuh ditangan perampok
dan dijual sebagai hamba sahaya seharga 6 dirham.

2. Budak yang Menjadi Seorang Sufi

Semenjak dijual oleh perampok seharga 6 dirham kepada keluarga yang berasal dari
kaum Mawali al-Atik, Rabi‟ah kemudian harus bekerja dengan berat melayani majikannya di
siang hari, dan pada malam hari beliau beribadah kepada Allah Swt11.

Hingga pada suatu malam terjadi peristiwa yang mengubah jalan hidupnya. Ketika itu
majikannya terjaga dari tidurnya kemudian dia melihat Rabi‟ah melalui jendela yang sedang
beribadah, majikannya tersebut melihat nampak ada sebuah cahaya terang di atas kepala
Rabi‟ah yang menerangi seluruh rumah. Di dalam ibadahnya itu Rabi‟ah berdoa kepada
Allah: “Ya Allah engkau tahu bahwa hasrat hatiku adalah untuk dapat memenuhi
perintahMu. Jika engkau dapat mengubah nasibku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat
sekejappun dari mengabdi kepadaMu”. Melihat hal tersebut majikannya pun merasa takut
dan tidak dapat tertidur sampai fajar tiba. Pada pagi harinya majikannya tersebut
memanggilnya dan memerdekakannya.12

11
Kamaruddin Mustamin, “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Farabi 17, no. 1 (2020): 18.
12
Ibid, 18.
Setelah merdeka Rabi‟ah kemudian semakin giat beribadah, beliau memusatkan perhatian
dan segenap jiwa raganya untuk kegiatan spiritual. Beliau juga memiliki sebuah majelis yang
ramai didatangi oleh murid-muridnya. Rabi‟ah menjalani kehidupannya seorang diri dan
beliau tidak pernah menikah. Semasa hidupnya hanya dituangkan untuk beribadah dan
kegiatan spiritual dan juga menjauhi kehidupan duniawi atau yang disebut sebagai zuhud
asketik. Rabi‟ah al-Adawiyah menghabiskan seluruh masa hidupnya di Basrah hingga
akhirnya beliau wafat di tahun 185H atau sekitar 801M. 13

C. KONSEP MAHABBAH PEMIKIRAN RABI’AH AL-ADAWIYAH


1. Limitasi dan Definisi Al-Hubb (Cinta)

Secara etimologi al-Hubb diartikan sebagai “mayl al-thab’i ila al-syay’ al-ladzadz”
artinya adalah “kecenderunga terhadap sesuatu yang melezatkan”. Sedangkan secara
terminologi Islam al-Hubb atau cinta itu dibagi menjadi dua kategori: pertama, cinta sejati
atau “al-hubb al-haqiqi” istilah cinta yang ini adalah cinta yang ditunjukkan kepada sang
pencipta. Kedua, cinta profan “al-hubb al-danasi” sedangkan istilah cinta ini ditunjukkan
kepada selain pencipta (makhlukNya). 14

Menurut kutipan al-Kalabadzi yang merupakan tokoh teosofi al-Junayd mengatakan


bahwa cinta adalah sebuah “kencenderungan hati”. Dimana kecenderungan hati yang
dimaksudkan adalah kecenderungan kepada Allah dan segala sesuatu yang berhubungan
denganNya tanpa adanya rasa keterpaksaan. Pada sumber-sumber lainnya juga
menambahkan bahwasannya cinta merupakan sebuah bentuk penyesuaian, patuh terhadap
perintah tuhanNya, dan menjauhkan diri dari apa yang dilarangNya. 15

Sedangkan Harun Nasution menyatakan definisi mahabbah di dalam terminologi sufisme


adalah sebagai berikut:

a. Mengosongkan hati dari segala-sesuatu kecuali dari Tuhan.


b. Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan kepadaNya.

13
Ibid, 18.
14
Fikri Mahzumi, “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Miyah 11, no. 2 (2015): 71.
15
Ibid, 72.
c. Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi16

Dari pengertian-pengertian mahabbah secara terminologi di atas, dapat ditarik


kesimpulan terdapat tiga unsur pembangun mahabbah yaitu: pertama, Ridha. Unsur ini dapat
diartikan sebagai ketaatan kepada sang pencipta tanpa adanya penyangkalan seorang hamba
kepada penciptanya. Maksudnya adalah seorang hamba selalu menerima dan berpasrah diri
terhadap kehendak dan keputusan Allah atau yang disebut sebagai “qada dan qadr” secara
lapang dada dan bahagia. Kedua, al-Syawq. Atau rasa rindu yang terbakar di diri seorang
hamba yang ingin bertemu dengan penciptanya. Ketiga, al-Uns. Merupakan keintiman atau
keadaan seorang hamba yang merasa sangat dekat dengan sang pencipta dan merasakan
adanya kehadiran Allah tanpa adanya penghalang. 17

2. Jalan Menuju Puncak Mahabbah

Dalam mencapai tingkat kesempurnaan yaitu mahabbah ada beberapa maqamat atau
tingkatan yang perlu dilalui terlebih dahulu. Sejak awal kesufian Rabi‟ah al-Adawiyah pun
tidak langsung serta-merta mencapai tingkat kesempurnaan tersebut, walaupun memang
konsep mahabbah adalah fokus tasawuf Rabi‟ah. Secara umum mahabbah dibagi menjadi
tiga tingkatan.

1) Mahabbah orang biasa, yaitu seorang hamba yang selalu mengingat tuhannya.
2) Mahabbah orang shiddiq, yaitu seorang hamba yang telah mampu membuka penghalang
atau tabir antaranya dengan sang pencipta, menghilangkan sifat-sifat diri yang tidak baik
dan hati dipenuhi oleh kerinduan kepada sang pencipta.
3) Mahabbah orang arif. Seorang yang mengetahui betul tentang penciptanya dan yang
dirasakan bukan lagi cinta akan tetapi dzan yang dicintanya. 18

Tahapan-tahapan atau maqamat untuk menuju mahabbah menurut pandangan al-Sarraj al-
Thusi yang dikaitkan dengan kehidupan Rabi‟ah al-Adawiyah semenjak beliau memulai
dunia sufinya adalah sebagai berikut.19

16
Kamaruddin Mustamin, “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Farabi 17, no. 1 (2020): 69.
17
Fikri Mahzumi, “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Miyah 11, no. 2 (2015), 73
18
Ach Maimun, “Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi‟ah Al-Adawiyah: Apresiasi Atas Rintisan Mistik Sejati Dalam
Islam,” Millah 3, no. 2 (2004): 177.
a. Taubah
Taubah merupakan tingkatan pertama yang wajib dilewati oleh orang-orang yang
ingin memasuki dunia persufian. Tingkatan ini merupakan tingkatan untuk pembersihan
atau menyucikan diri dari dosa. Menurut Rabi‟ah dosa merupakan penghalang seorang
hamba dari tuhannnya. Oleh sebab itu, seorang hamba tidak memiliki kesempatan untuk
menikmati kehidupan duniawinya. Apabila ada orang yang hanya mengeluh tentang
dosanya, akan tetapi masih dapat hidup senang maka dia tergolong orang yang berdusta.
Bagi Rabi‟ah kesedihan yang ia lalui bukan karena ketakutannya terhadap siksaan di
neraka akan tetapi takut akan terpisah dari tuhannya, rasa keterpisahan tersebut
merupakaan siksaan yang amat berat baginya. Oleh karena itu, seseorang harus bertaubat
dengan keikhlasan dan ketulusan jika ia tidak ingin berpisah dari tuhannya. Walaupun
sebenarnya taubat adalah salah satu bentuk anugrah dari sang pencipta sebagai takdir baik
(al-Qadr al-Khair).
b. Wara‟
Merupakan sikap kehati-hatian terhadap segala sesuatu yang bersifat syubhat.
Seorang sufi harus meniggalkan segala sesuatu yang tidak memiliki kejelasan halalnya.
Tidak sampai di situ, bahkan segala sesuatu yang sudah jelas kehalalannya akan tetapi
dapat mengganggu hubungan antara hamba dan tuhannya maka harus ditinggalkan. Sikap
seperti ini telah ada di diri Rabi‟ah kala itu ketika datang Hasan al-Bashri memberikan
bingkisan emas akan tetapi ditolaknya karena takut akan memalingkan cinta terhadap
tuhannya kepada harta tersebut. Dikisahkan juga Rabi‟ah merasa gelisah saat telah
menjahit pakaiannya yang sobek dengan menumpang cahaya lampu rumah penguasa,
pada akhirnya dia merobek kembali pakaiannya tersebut.
c. Zuhud
Zuhud merupakan sikap meninggalkan segala sesuatu yang berhubungan dengan
duniawi agar selalu mendekatkan diri kepada sang pencipta. Seorang hamba yang ingin
masuk ke dunia sufi harus meniggalkan masalah duniawi setidaknya untuk dua alasan
yaitu: pertama, kerena bisa mengalihkan perhatian dari sang pencipta. Kedua, karena
tidak akan membuat seseorang kaya secara haqiqi karena segala sesuatu yang bersifat
duniawi adalah fana’.

19
Ibid, 177-181.
d. Faqr
Menurut Syibli faqr merupakan “tidak adanya rasa butuh kecuali kepada Allah.”
Bagi Rabi‟ah, merupakan sebuah pantangan untuk meminta kepada orang lain. Bahkan
beliau merasa malu meminta sesuatu yang bersifat duniawi kepada penciptanya terlebih
lagi kepada ciptaanNya. Rabi‟ah bahkan telah berjanji kepada Allah untuk tidak meminta
apapun kecuali langsung kepada Allah. Sedangkan kehidupan ini telah di jamin oleh
Allah maka tidak perlu untuk meminta bantuan orang lain.
e. Sabar
Menurut al-Qusyairi, sabar itu terbagi menjadi dua golongan yaitu: pertama, sabar
dalam mematuhi perintah Allah dan meninggalkan larangannya. Kedua, sabar dalam
menerima dan menhadapi semua kekhendak Allah. Hal ini telah dilakukan oleh Rabi‟ah
seperti beliau shalat dan dzikir sepanjang hari dan di siang hari beliau berpuasa. Dan bagi
beliau seluruh kehidupannya adalah kehendak Allah oleh karena itu harus diterima tanpa
adanya tentangan.
f. Tawakkal
Tawakkal merupakan sikap pasrah kepada Allah. Rabi‟ah al-Adawiyah sudah
menunjukkan sikap tawakkalnya kepada Allah dengan menjalani semua ketentuan yang
didapatnya walaupun itu adalah musibah. Segala sesuatu yang terjadi merupakan
kehendak sang pencipta dan seorang hamba harus menerima kehendak tersebut dengan
hati ikhlas dan penuh ketulusan.
g. Ridha
Ridha artinya rela dengan semua kehendak Allah terhadap hambanya. Menurut
Rabi‟ah al-Adawiyah adanya kesulitan di kehidupan merupakan garis takdir Allah, dan
beliau sepenuhnya memahami hal tersebut. Sebab itu semua bentuk kesulitan tersebut
tidak boleh menghilangkan rasa cinta terhadap Allah. Untuk seseorang yang telah
mecapai maqam ridha, segala kesulitan, musibah, penderitaan dan anugrah atau
kenikmatan semuanya adlaah sama.

3. Konsep Mahabbah sebagai Buah Pikirian Rabi’ah al-Adawiyah


Margaret Smith menyatakan bahwa Rabi‟ah al-Adawiyah dinilai sebagai orang yang
menyatakan doktrin cintanya kepada sang pencipta tanpa ada rasa pamrih. Konsep mahabbah
yang diberikan oleh Rabi‟ah merupakan sebuah konsepsi baru di dalam dunia sufi. 20

Rabi‟ah pernah ditanyai perihal batasan dari konsepsi cinta, beliau kemudian menjawab:
“Cinta berbicara dengan kerinduan dan perasaan. Mereka yang merasakan cinta saja yang
dapat mengenal apa itu cinta. Cinta tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata. Tidak mungkin
seseorang dapat menjelaskan sesuatu yang belum dikenalnya. Atau mengenali sesuatu yang
belum pernah digaulinya. Cinta tidak mungkin dikenal lewat hawa nafsu terlebih bila
tuntutan cinta itu disampingkan. Cinta bisa membuat orang jadi bingung, akan menutup
untuk menyatakan sesuatu. Cinta mampu menguasai hati."21

Terdapat dua batasan cinta yang sering diungkapkan oleh Rabi‟ah al-Adawiyah: pertama,
cinta harus menutup kecuali kepada sang pencipta atau yang dicinta, sebagai bentuk
ekspresksi kecintaan seorang hamba kepada penciptanya. Atau dapat dikatakan bahwa
seorang hamba harus memalingkan dirinya dari urusan dan segala sesuatu yang bersifat
duniawi. Kedua, seorang hamba harus memisahkan diri atau menjauhi makhluk ciptaan Allah
lainnya agar diri selalu terfokuskan kepada sang pencipta. Sebagai tambahannya seorang
hamba itu harus dapat menghindarkan diri dari semua nafsu duniawinya dan kesenangan
maupun kesengsaraan yang dapat mengganggunya dari perenungan kepada Allah. 22

Rabi‟ah menyebutkan terdapat dua bentuk pembagian cinta di dalam tahapan cinta yang
dinilai merupakan tahapan tertinggi dan puncak dari ajaran tasawufnya. Yang terdapat di
dalam syair beliau yang berbunyi:

“Aku mencintai-Mu dengan dua cinta. Cinta yang timbul dari kerinduan hatiku dan cinta
dari anugrah-Mu. Adapun cinta dari kerinduanku Menenggelamkan hati berzikir pada-
Mu daripada selain Kamu. Adapun cinta yang dari anugrah-Mu Adalah anugrah-Mu
membukakan tabir sehingga aku melihat wajah-Mu Tidak ada puji untuk ini dan untuk
itu bagiku Akan tetapi dariMu segala puji baik untuk ini dan untuk itu”23

4. Kualitas dan Ukuran Mahabbah


20
Kamaruddin Mustamin, “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah,” Farabi 17, no. 1 (2020): 70.
21
Ibid, 70
22
Ibid, 70-71
23
Ibid 72
a. Tingkatan Mahabbah Sifatiyah
Mahabbah Sifatiyah merupakan cinta yang disebabkan oleh ketertarikan terhadap
sifat-sifat dari yang dicintainya. Misalnya cantik, gagah, lincah, pandai, simpatik dan lain
sebagainya. Cinta bentuk ini sangat mudah untuk berubah dan terkena pengaruh. Dan
apabila sifat-sifat yang merupakan daya tarik tersebut hilang ataupun berubah atau tidak
terlihat, maka cinta tersebut pun akan berubah atau benar-benar hilang. Bahkan bisa jadi
cinta dengan bentuk sepeti itu dapat berubah menjadi sebuah kebencian. 24
b. Tingkatan Mahabbah fi‟liyyah
Mahabbah fi‟liyyah yaitu cinta yang disebabkan karena melihat dari apa yang
tampak di luar saja seperi pekerjaan, kekayaan ataupun jabatan orang yang dicintai. Cinta
bentuk ini pula tidak akan abadi dan mudah saja untuk berubah seperti mahabbah
sifatiyah. 25
c. Tingktan Mahabbah Dzatiyyah
Mahabbah Dzatiyyah ini merupakan bentuk cinta terhadap wujud atau dzan yang
dicintai seseorang, sehingga bagaimana pun keadaan, bentuk serta rupanya, dzat tersebut
akan terus dicintai. Inilah apa yang disebut sebagai cinta sejati, jika cinta dalam bentuk
ini diterapkan dalam proses pendidikan Islam dan diimplementasikan, maka dapat
tercermin sikap-sikap yang menunjukkan diri sebagai Khalifah sejati.26

D. Pengaruh Konsep Mahabbah terhadap Perkembangan Tasawuf

Konsep Mahabbah yang dipelopori oleh Rabi‟ah al-Adawiyah tampaknya bersifat unik dan
ideal. Hal ini disebabkan karena konsep yang dibentuk oleh Rabi‟ah ini berbeda dengan konsep
tasawuf lainnya pada masa itu. Maka tidak dapat dipungkiri kemunculan konsep tersebut
membawa dampak yang amat besar terhadap perkembangan sufisme di periode-periode

24
Miftahul Fikri, Neni Hastuti, and Sri Wahyuningsih, Rabi’ah Al-Adawiyah (tidak ada: Najmubooks Publishing,
2020), 105.
25
Ibid 105
26
Ibid 105
selanjutnya. Banyak pula cendikiawan tasawuf yang mengkaji secara mendalam konsep
mahabbah tersebut karena dianggap menarik dan unik 27.

Apabila diteliti lebih mendalam lagi, filsafat mahabbah Rabi‟ah sangat berbeda dengan
pemahaman sufistik secara umumnya.melalui pandangannya terhadap cinta kepada sang
pencipta, beliau telah melewati padang ma‟rifat yang begitu luas dengan berbagai upaya
penyucian dirinya yang pada akhirnya mengantarkan beliau menemukan Allah. Tasawuf
memiliki peran besar dalam melakukan revolusi rohani di dalam dunia Islam, kemudian Rabi‟ah
menggambarkan kembali wujud yang sebenarnya tentang pemahaman konsep cinta. 28

Di dalam buku Margaret Smith yang berjudul “Rabi'a The Mystic and Her Fellow-Saints in
Islamic”, ajaran-ajaran Rabi‟ah sering kali dijadikan rujukan bagi para pengkaji Tasawuf Islam.
Begitu pula syair-syair sufistik beliau yang menjadikannya terpandang dan mempunyai otoritas
yang tinggi terhadap Tasawuf terkait cinta kepada sang Ilahi29.

Karya-karya tulis tokoh Tasawuf klasik seperti al-Qushairi, Abu Thalib alMakki, al-Ghazali
dan al-Shuhrawadi ditemukan pembahasan khusus yang berhubungan dengan tema cinta yang
merujuk kepada konsep Mahabbah Rabi‟ah. Misalnya pada Abu Thalib al-Makki dalam
karyanya yang berjudul “Qut al-Qulub” yang menjadikan konsep Mahabbah Rabi‟ah sebagai
rujukan utamanya di dalam studi Tasawuf. Ia telah memposisikan al-Mahabbah di dalam fase
atau tingkatan sufi dalam mencapai tingkatan ma‟rifat. Bahkan al-Makki juga membahas lebih
dalam lagi pemikiran dari Rabi‟ah yang berhubungan dengan tema cinta secara lebih mendalam,
khususnya pada pembahasan tentang al-khullah.30

Misalnya pula pada Konsep cinta al-Hallaj, yang juga menjadikan konsep mahabbah Rabi‟ah
menjadi referensi utamanya meskipun terdapat beberapa perbedaan pada titik tekannya. Di satu
sisi konsep cinta al-Hallaj sama dengan konsep mahabbah Rabi‟ah, yaitu bahwa “bagi siapa pun
yang mencintai Allah, maka harus siap berkorban apa pun di atas jalan cinta”. Bagi Binu Arabi,
Rabi‟ah dapat disejajarkan tingkatannya setara dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani dan Abu
Su'ud bin Syibl. Binu Arabi pun berkomentar bahwa Rabi‟ah adalah satu-satunya orang yang

27
Miftahul Fikri, Neni Hastuti, and Sri Wahyuningsih, Rabi’ah Al-Adawiyah (tidak ada: Najmubooks Publishing,
2020), 88.
28
Ibid, 88.
29
Ibid, 89.
30
Ibid, 90.
berhasil menelusuri dan mengklasifikasi makna hakikat cinta dan merupakan penafsir paling
sukses kaitannya dengan tema cinta sufi. Ada dua teori utama yang diusung oleh tokoh Tasawuf
berpengaruh ini yakni, al-ḥubb al-ilahi dan al-khullah mencintai Tuhan dan menjalin kekerabatan
dengan-Nya. 31

Prolog
Rabi‟ah al-Adawiyah merupakan seorang sufi wanita pertama yang mengangkat konsep
Mahabbah sebagai fokus tasawufnya, beliau lahir di keluarga yang kurang berkecukupan tetapi
hal itu tidak membuat beliau merasa tertekan dan menjauh dari penciptanya, bahkan beliau
semakin memdekatkan diri kepada Allah. beliau tidak pernah berguru ataupun mendapatkan
pendidikan yang layak meskipun begitu ayah beliau selalu mengajarkan kepadanya ajaran-ajaran
agama yang menjadi bekal baginya untuk masuk kedunia sufi. Karya-karya beliau berupa syair-
syair dan ungkapan-ungkapan, sebelumnya beliau tidak pernah membukukan tentang pemikiran
tasawufnya tersebut selang beberapa waktu lamany setelah beliau wafat barulah murid-muridnya
menuliskan tentang pemikirannya tersebut. Pemikirannya tentang mahabbah dari Rabi‟ah al-
Adawiyah banyak mendapatkan perhatian dari pada sufi di masa itu, karena konsep mahabbah
Rabi‟ah berbeda dari kebanyakan konsep tasawuf saat itu. Pemikiran mahabbah oleh Rabi‟ah al-
Adawiyah mengajarkan tentang makna al-hubb yang haqiqi yaitu kecintaan terhadap penciptanya
dan tidak boleh memalingkan cinta selain kepada sang pencipta. Konsep tasawuf inilah yang
memiliki banyak pengaruh terhadap konsep tasawuf lainnya di dunia sufi pada periode-periode
selanjutnya.

31
Ibid 90-91
Referensi

Fikri, Miftahul, Neni Hastuti, and Sri Wahyuningsih. Rabi’ah Al-Adawiyah. tidak da:

Najmubooks Publishing, 2020.

Mahzumi, Fikri. “Konsep Cinta Sufi Rabi‟ah Al-Adawiyah.” Miyah 11, no. 2 (2015).

Maimun, Ach. “Mahabbah Dalam Tasawuf Rabi‟ah Al-Adawiyah: Apresiasi Atas Rintisan

Mistik Sejati Dalam Islam.” Millah 3, no. 2 (2004).

Mustamin, Kamaruddin. “Konsep Mahabbah Rabi‟ah Al-Adawiyah.” Farabi 17, no. 1 (2020).

Rihanah,Siti. 2011. “Biografi dan Pemikiran Rabi‟ah al-Adawiyah (99H/717M-158H/801M)”

Skripsi: Adab dan Humaniora, Sejarah dan Peradaban Islam, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai