Anda di halaman 1dari 3

Rabi’ah Al-Adawiyah

Islam mengenal banyak tokoh sufi yang kental akan kehidupan zuhudnya. Salah satunya
adalah Rabia’ah Al;Adawiyah. Beliau dilahirkan pada tahun 95 Hijriyah di kota Bashrah,Irak.
Kota ini dikenal akan potensi ilmu pengetahuannya sehingga melahirkan banyak tokoh penting
seperti ulama,ahli fiqih,ahli zahid,dan lain sebagainya.

Rabi’ah Al-Adawiyah menjadi salah satu tokoh yang populer di kalangan masyarakat
irak. Konsep sufinya yang paling dikenal adalah “Mahabbatullah” yang artinya kecintaan
terhadap Allah ta’ala. Rabi’ah lahir dari keluarga yang sangat miskin, ia merupakan anak
terakhir dari 4 bersaudara. Sehingga ia dinamakan Rabi’ah yang artinya keempat.

Rabi’ah Al-Adawiyah memiliki nama asli yang lengkap Ummu Al-Khair Rabi’ah binti
Ismail Al-Adawiyah Al-Qissiyah, ia lahir dari keluarga Ismail yang penuh dengan takwa dan
iman kepada Allah SWT. Mereka tidak henti-hentinya melakukan dzikir dan patuh dengan
ajaran-ajaran islam. Kezuhudannya dalam memandang dunia membuat mereka tidak risau
sedikitpun saat menghadapi cobaan.

Dalam kesehariannya, Rabi’ah selalu memperhatikan bagaimana sang ayah melakukan


ibadah kepada Allah dengan membaca al-qur’an dan berdzikir. Ia pun melakukan ibadah yang
sama sebagaimana dicontohkan oleh ayahnya.

Sejak kecil Rabi’ah sudah seperti orang dewasa, ia seakan-akan telah paham dan dapat
merasakan kondisi yang dialami oleh orang tuanya, sehingga ia menjadi pendiam, tidak banyak
menuntut kepada orang tuanya, sebagaimana layaknya gadis kecil yang menginjak remaja.
Keistimewaan dan kekuatan daya ingat Rabi’ah juga telah dibuktikan sejak masa kanak-kanak.
Al-Qur’an dihafalnya sejak usia 10 tahun. Kecepatan Rabi’ah dalam menghafal Al-Qur’an ini
dapat dimaklumi, karena ia sangat suka menghafal. Bila telah berhasil menghafal ia duduk lalu
mengulanginya kembali dengan penuh khusyu’, penuh iman yang mendalam dan pemahaman
yang sempurna.

Tidak jarang pula ayah Rabi’ah melihat putrinya mengasingkan diri, bermuka muram
dan sedih, selalu dalam keadaan terjaga untuk beribadah kepada Allah tak ubahnya seperti
tokoh-tokoh sufi yang terkenal. Permasalahan berikut yang patut untuk dikaji adalah
bagaimana pendidikan Rabi’ah pada masa anak-anak. Dalam beberapa literatur disebutkan
bahwa Rabi’ah tidak pernah sekolah secara “formal” semisal al-kuttab, namun Rabi’ah dididik
secara langsung oleh orang tuanya.

Ayah Rabi’ah menghendaki agar anaknya terpelihara dari pengaruh-pengaruh yang


tidak baik, yang bisa menjadi penghalang bagi pertumbuhan jiwanya, dan bisa menyekat
kesempurnaan batiniyahnya. Maka Rabi’ah sering dibawa oleh ayahnya ke sebuah Mushalla
yang berada di pinggiran kota Basrah. Kegiatan tersebut dimaksudkan agar Rabi’ah terhindar
dari polusi akhlaq yang melanda kota Basrah. Letak mushalla itu jauh dari kebisingan dari
hiruk pikuk keramaian. Di tempat inilah ayah Rabi’ah sering melakukan ibadah dan munajat,
berdialog dengan sang Khaliq Yang Maha Kuasa.

Di tempat yang tenang dan tenteram tersebut, seseorang akan mudah mencapai
kekhusyukan dalam beribadah dan bisa mengkonsentrasikan pemikiran pada keagungan dan
kekuasaan Allah. Inilah kiranya yang dapat dikategorikan sebagai “pendidikan khusus” yang
diperoleh semasa kecil, dengan ayahnya sebagai guru. Sistem yang diterapkan oleh ayah
Rabi’ah dalam mendidik putrinya merupakan bagian dari pendidikan informal yang diperoleh
dalam lingkungan keluarga. Kondisi kehidupan keluarga Rabi’ah yang saleh dan zuhud
merupakan satu lingkungan yang besar pengaruhnya bagi pendidikan putri kecil tersebut.

Sepanjang sejarah, konsep Cinta Ilahi (mahabbatullah) yang diperkenalkan Rabi’ah


telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan. Meski konsep dan ajaran cinta Rabi’ah sebatas
untaian kata penuh makna dan hakikat dari sekadar kata cinta.

Selain itu, Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuk sya’ir-
sya’ir Cinta Ilahi yang kerap ia senandungkan. Namun begitu, sya’ir-sya’ir sufistiknya justru
banyak dikutip oleh para penulis biografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M)
dengan karyanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M) dengan
karyanya Wafayatul A’y an (Obituari Para Orang Besar), Yafi’i asy-Syafi’i (w. 1367 M)
dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayat ash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam
Kehidupan Para Orang Saleh), dan Fariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat
al-Auliya’
Rabi'ah memilih untuk tidak menikah karena ia takut tidak bisa bertindak adil terhadap
suami dan anak-anaknya kelak karena hati dan perhatiannya sudah tercurahkan kepada Allah.
Tidak ada satupun di dunia ini yang dicintai Rabi'ah kecuali Allah. Sehingga atas dasar itulah,
Rabi'ah memuntuskan untuk tidak menikah hingga akhir hidupnya.

Sekembalinya Rabi'ah dari Mekah untuk melaksanakan ibadah haji, kesehatan Rabi'ah
mulai menurun. Ia tinggal bersama sahabatnya, Abdah binti Abi Shawwal, yang telah
menemaninya dengan baik hingga akhir hidupnya. Rabi'ah tak pernah mau menyusahkan orang
lain, sehingga ia meminta kepada Abdah untuk membungkus jenazahnya nanti dengan kain
kafan yang telah ia sediakan sejak lama. Menjelang kematiannya, banyak orang-orang saleh
ingin mendampinginya, namun Rabi'ah menolak. Rabiah diperkirakan meninggal dalam usia
83 tahun pada tahun 801 Masehi / 185 Hijriah dan dimakamkan di Bashrah, Irak.

Anda mungkin juga menyukai