Anda di halaman 1dari 14

RABIAH AL- ADAWIYAH ; AL HUBB AL- ILAHY

A. Pendahuluan
Di waktu kita membicarakan cinta pada Allah (Mahabbatullah), maka akan
terbesit di benak kita seorang sufi wanita yang menjadi kekasih Allah dan kisahnya telah
melembaga sepanjang zaman. Dialah Rabiah al Adawiyah. Konsep cintanya –yang
tertuang dalam bentuk syair--selalu dijadikan refrensi oleh tokoh sufi yang datang
berikutnya--ketika membahas cinta pada Allah.
Selain itu, tampilnya Rabiah dalam wacan tasawuf, mempunyai signifikansi
dalam menyetarakan gender dalam dataran spiritual Islam. Bahkan, menurut Attar
(1966:40) kesungguhan dan kemampuannya dalam berjuang melawan diri sendiri dan
selanjutnya hanyut dalam telaga cinta Ilahy telah melampaui derajat orang laki-laki yang
saleh.
Ketenaran Rabiah –yang selalu identik dengan cainta dan air mata—tidak hanya
di dunia timur (Islam), tapi –menurut Scrimmel (1986:6)—juga di dunia barat. Di dunia
barat legendanya dibawah oleh Joinville yang merupakan duta lois IX pada abd ke-13.
Lebih dari itu, kisahnya juga sering diceritakan secara berulang-ulang; yang terakhir
kisahnya dilansir oleh sebuah cerpen Jerman masa kini yang berjudul “ Max mell dec
Schoven Hande “.
Selain itu, penting juga untuk diketahui bahwa menurut Smith (1994:2)—yang
pernah meneliti Rabiah untuk disertasi—pelacakan data yang akurat tentangnya sangat
sulit, mengingat kisah yang ada ditulis puluhan tahun setelah meninggalnya Rabiah. Juga
kisah tersebut hanya berupa penggalan-penggalan yang terkadang dalam beberapa kasus
masih patut dipertanyakan akurasinya. Namun demikian, tidak berarti mustahil bagi kita
untuk mengetahuinya lebih jauh, karena kemasyhurannya telah mengundang simpati
orang-orang untuk membicarakannya.
Makalah singkat ini, mencoba untuk menelusuri lebih jauh sosok Rabiah dan
ajaran ajarannya tentang al-hubb al-Ilahy yang merupakan tingkatan lebih lanjut
kehidupan asketik yang mulanya didasarkan pada khauf dan raja’.
B. Selayang Pandang tentang riwayat hidupnya
Rabiah al-Adawiyah--selanjutnya disebut Rabiah--nama lengkapnya adalah
Ummul Khair Rabiah Ibn Ismail al-Adawiyah al –Qaisyiyah (Taftazani,1983:84) atau
sering juga disebut al Bashriyah1. Ia lahir di Basharah. Mengenai tanggal dan tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, menurut Smith (1994: 22) ia lahir sekitar tahun
95 H/713 M dan 99 H/717 M. Ketidak pastian seperti itu juga terjadi pada tahun
wafatnya, ada yang mengatakan tahun 135 H, seperti dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jauzi,
Abu Mahasin dan Murtadlo Surbandi. Tahun 180 H, seperti dikutip Zhahlabi dan Abdul
Rauf al- Menawi.; serta tahun 185 H, seperti ditulis oleh Ibn Khalikan, Ibn Syakir al-
Kurtubi dan Imaduddin Abul Fida’ Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi
(Nurbarskh,1996:32). Dalam hal ini Nasution (1986;76) mengatakan tahun 185 H/801 M.
Kehidupan awal Rabiah begitu sangat memprihatinkan, Ia terlahir dalam keluarga
yang miskin papa, untuk kehidupan sehari-hari saja terkadang tidak mencukupi. Namun
demikian, kehidupan kesalehan dan ketakwaan selalu mewarnai kehidupannya
( Khamis,1994:5). Sewaktu usianya belum mencapai dewasa, orang tuanya
meninggalkannya untuk selamanya, tanpa meninggalkan harta sedikitpun, kecuali perahu
kecil yang selalu digunakan ayahnya untuk mengais uang untuk nafkah keluarganya.
Beberapa tahun kemudian, kota Bashrah yang dulunya makmur, kemudian
dilanda bergolakan dan bencana kekeringan. Hal itu telah membuat Rabiah terpisah
dengan saudari-saudarinya. Lebih memprihatinkan lagi, Rabiah ditangkap oleh
segerombolan perampok dan dijual dengan harga 6 dirham (Attar,1966:41) kepada
Kabilah Atik (taftazani,1983:84).
Kehidupan menjadi budak yang begitu menyakitkan, ditambah lagi dengan bekal
kehidupan kesalehan yang merupakan didikan orang tuanya membuat Rabiah semakin
dekat pada Tuhan; Ia selalu mengadukan segala persoalan yang dihadapinya pada Allah
1
Untuk membedakan dengan Rabiah al-Adawiyah al-Syamsiyah, seorang sufi wanita
yang lahir di Syam dan mempunyai suami yang bernama Ahmad Ibn al-
Hawari(Surur,1957:34-37). Walaupun Ibn Jauzi mengatakan bahwa bahwa Rabiah al –
Adawiyah al-Syamsiyah sebenarnya bernama Rayiah, bukan Rabiah
(Nurbarskh,1996:80). Dalam hal ini para sejarawan sering mengacaukan kisah antara
keduanya.
(Khamis,1994:10). Selain itu, keinginannya untuk bebas dan terlepas dari belenggu
perbudakan, supaya dapat beribadah pada Allah juga menjadi pendorong untuk selalu
bermunajat pada Allah, seperti tercermin dalam doanya, seperti dikutip Attar (1966:42):
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku untuk dapat mematuhi perintahn-Mu, jika
aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang
sebentarpun untuk mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku
kebawah kwkuasaan seorang hamba-Mu”.
Menurut beberapa riwayat, bersamaan dengan doanya itu, majikannya melihat
sinar lentera diatas kepala Rabiah, sehingga membuat majikannya merasa takut dan
kawatir, yang akhirnya memberikan kebebasan pada Rabiah (Smith, 1994:24 ).
Setelah menghirup udara kebabasan Rabiah—sesuai degan janjinya pada Allah—
memilih jalan hidup menjadi zahid dan sufi. Ia mengajarkan tentang cinta pada Allah ( al
hubb al-Ilahy) dalam kehidupan zahid.
Kehidupan asketis Rabiah dapat dilihat seperti tercermin dalams uatu kisah bahwa
suatu ketika seorang hartawan datang kepada Rabiah dan berkata: mintalah kepadaku
segala kebutuhanmu, Rabiah menjawab, aku ini begutu malu untuk meminta hal-hal
duniawi bagi pemiliknya, maka bagaimana aku meminta hal itu kepada yang bukan
pemiliknya.
Attar (1966:47) juga mengisahkan bahwa pada suatu hari beberapa orang
mengunjungai perempuan wali ini, tampak oleh mereka bahwa Rabiah sedang
memotong-motong daging dengan giginya. Meraka berkata pada Rabiah, tidakkah
engkau memiliki pisau, Rabiah menjawab; ketakutanku berpisah dengan-Nya,
membuatku tidak pernah memiliki sebilah pisaupun di rumah.
Kisah tersebut merupakan indikasi bahwa Rabiah selalu berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mencampakkan keinginan duniawi yang bersifat sementara,
untuk mencapai tujuan hidupnya yang hakiki yakni dapat bersama dengan Allah tanpa
ada penghalangnya.
Dalam kisah lain juga disebutkan bahwa seorang shahabatnya, Malik b. Dinar,
pada suatu hari mendapati Rabiah sedang berbaring di atas sebuah tikar tua dan lusuh,
sebuah batu bata terletak di bawah kepalanya sebagai bantal, dan disebelahnya ada
sebuah kendi tua sudah pecah yang digunakan sebagai tempat minum dan berwudlu.
Melihat pemandangan seperti itu Malik meresa pilu, kemudian berkata pada Rabiah “
Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan
meminta kepada mereka. Ia mengatakan : Wahai Malik, engkau salah besar, bukankah
yang memberi makan aku dan mereka sama ?, Malik menjawab, ya, memang sama, lalu
Rabiah mengatakan lebih lanjut, apakah Allah lupa pada hambanya yang miskin karena
kemiskinannya, dan apakah Dia ingat pada hamnya-Nya yang kaya karena
kekayaannya ?, Malik menjawab, tidak. Kemudian Rabiah berkata lagi, karena Dia
mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkannya, apa yang diinginkan-Nya,
kita harus menerimanya (Smith,1994:45).
Lebih dari itu, Rabiah karena saking cintanya pada Allah , sampai lupa diri untuk
hidup berkeluarga sebagimana layaknya wanita lainnya. Memang, ada sebagian penulis
yang mengatakan bahwa ia pernah bersuami, tetapi pendapat itu terbantah dengan
pendapat yang mengatakan bahwa itu tidak mungkin, mengapa demikian ?, karena
Rabiah selalu menolak setiap lamaran yang datang kepadanya2. Seperti waktu menolak
lamaran Gubernur Bashrah, ia berkata: Seandainya engkau memberikan seluruh warisan
hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah kepadamu, walau
sekejap matapun. Begitu juga ketika menjawab pertanyaan dari seseorang yang ingin
mengetahui hal ihwalnya tidak kawin, ia menjawab: Ikatan perkawinan hanya dengan
wujud, akan tetapi, adakah wujud dalam dirimu ?, aku bukanlah milik diriku sendiri, aku
adalah milik-Nya ( Nurbarsh,1996:29).
Jawaban Rabiah itu, merupakan indikasi bahwa ia benar-benar tidak kawin,
kalaupun ada yang beresikukuh mengatakan kawin,mungkin saja itu adalah Rabiah al-
Syamsyiyah istri dari Ahmad Ibn Hawari.

2
Diantara mereka yang pernah melamar Rabiah adalah Abdul Wahid b. Zayd, seorang
teolog dan ulama terkenal dengan kezuhudannya yang hidup dalam pengasingan guna
mencari jalan Allah; Muhammad b. Sulaiman al-Hasyimi, salah satu Amir Abbasyiyah
(w.172 H) Smith,1994: )
Selain itu, Rabiah juga sangat rajin melaksanakan ibadah, bahwa ia selalu shalat
sepanjang waktu, kalau suatu waktu ia tertidur sampai terbit fajar, ia mengatakan pada
jiwanya sendiri,” duhai jiwaku, berapa lama kau tertidur, sehingga hampir saja engkau
tidak bangkit lagi selamanya kecuali oleh terompet kebangkitan
“(Taftazani,1979:85).Oleh karena itu, tempat sujudnya selalu basah oleh air mata
(Yunasril,1987:62). Peristiwa seperti itu terjadi sampai akhir hayatnya.
Perlu untuk diketahui, bahwa Rabiah memiliki murid dan shahabat-shahabat yang
selalu mengunjungi rumahnya baik siang maupun malam. Mereka berdiskusi,
mendengarkan ajaran dan doa-doa sang guru. Kebanyakan shahabatnya adalah laki-laki,
seperti Sufyan al-Tsauri (w.778 M), Abd. Aziz Ibn Sulaiman Abu al-Rasibi (w. 767 M),
Shalih b. Abdul Azis dan Kilab b. Hari. Selain itu ada juga yang menghubungkankannya
dengan Malik b. Dinar—murid dari Hasan Basri, seperti kisah sebelumnya dan juga ada
yang mengatakan berteman dengan Dun nun al_mishri (smith,1994)

B. Pandangan umum tentang mahabbatullah.


Sebelum membahas tentang hubb Ilahy yang diajarkan oleh Rabiah, ada baiknya
kita memcoba meninjau konsep hubb Ilahy secara umum. Kajian ini dimaksudkan untuk
mengetahui secara lebih mendalam pendapat umum tentang hubb Ilahy, kemudian dapat
digunakan untukmemahami bagaimana sisi kedalaman hubb ilahy ajaran Rabiah.
Al-Hujwiri (1995:273) mengatakan bahwa menurut riwayat mahabbah (cinta)
berasal dari kata hibbah, yang berarti benih-benih yang jatuh ke bumi padang pasir.
Sebutan hubb juga diartika demikian mengingat cinta adalah juga merupakan sumber
kehidupan sebagai mana benih merupakan sumber bagi tanaman.
Riwayat lain mengatakan, bahwa diambil dari kata hubb yang berarti tempayan
yang penuh dengan air tenang, karena kalau cinta berpadu dan memenuhi hati tidak akan
ada lagi pikiran selain pada yang diicintai. Sebagaimana ungkapa Syibly “ cinta disebut
mahabbat karana ia mengahapus dari hati segala sesuatu kecuali yang dicintai.
Secara definitif al-Qusyairi dalam Smith ( 1994,114 ) menganggap cinta sebagai
kecenderungnan hati terhadap sang kekasih ( Allah) sampai akhirnya terjalin hati sang
pecinta dengnan kehendak yang dicintai. Ungkapan seperti itu juga diungkapkan oleh al-
Junaid dalam al-Kalabazi ( 1969:130 ).
Lebih detail lagi Nasution (1996:70) mengatakan bahwa Mahabbah mempunyai
pengertian; pertama, memeluk kepatuhan pada Tuhan dan memebenci sekap melawan
pada-Nya; kedua, menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasihi, dan ketiga,
mengesongkan hati dari segala-g alanya kecuali dari yang dikasihi.
Mahabbah (cinta) juga terdapat pendasarannya dalam al-Qur’an diantaranya surat
al-Maidah ayat 543, dan surat Ali Imra ayat 304. Begitu juga dalam Hadits Nabi yang
berbunyi : Hambaku senantiasa mendekatkan diri pada-Ku dengan perbuatan-perbuatan
sehingga Aku cinta padanya. Orang yang Ku cintai menjadi telinga, mata dan tanganku.
Dalam hal ini al Sarraj (1914:8-89) membagi cinta kedalam tiga tingkatan.
Pertama, cinta biasa, artinya hanya mengingat Tuhan dengan zikir. Kedua, cinta orang
shiddiq yaitu cinta orang yang kenal Tuhan dengan segala kebesaran, kekuasaan dan
ilmu-Nya. Cinta ini dapat menyingkap tabir yang memsahkan diri seseorang dari Tuhan
sehngga dapat melihat sega rahasianya., Ia merasa sering berdialog dengan Tuhan sampai
menghilangkan kehendak dan sifatnya sendiri, dan selalu diliputi perasaan cinta dan rindu
pada Tuhan. Ketiga, cinta orang arif, yaitu cinta orng yang betul-betul tahu tentang Tuhan
, dia hanya merasa dan mencintai diri yang dicinta, sihingga akhirnya sifat-sifat yang
dicintai masuk dalam diri si pecinta.
Termasuk dalam konsep mahabbah adalah, kepuasan hati (ridla), kerinduan
(Syauq) dan keintiman (uns). Ridla merupaka ketaatan tanpa disertai penyankalan, dari
seorang pecinta terhadap kehendak yang dicintai, syauq merupakan keinduansang pecinta
untuk bertemu dengan kekesih. Sedangkan uns merupakan hubungan intim yang terjalin
antara dua kekasih sepiritual. (Smith,1994: 313). Dari tahapan-tahapan tersebut seseorang
nantinya akan dapat meraih ma’rifat dengan mana ia akan ampu menyingkap keindahan
Allah dan menyatu dengan-Nya tidak hanya di dunia tetapi abadi hingga kehidupan
akhirat.

3
“Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”.
4
“Jika kamu cinta pada Allah, maka turutilah aku dan Allah akan mencintai kamu”
Begitulah sekelumit tentang cinta, yang perlu digaris bawahi bahwa cinta yang
murni pada Allah pada akhirnya dapat menenggelamkan segala keingainannya sendiri
dan tenggelam dalam lautan cinta pada Allah.

D.Konsep Mahabbatullah Rabiah al-Adawiyah


Sebagaimana telah disebutkan terdahulu, bahwa Rabiah adalah merupakan
peletak dasar kehidupan asketis yang didasarkan pada mahabbah (cinta ), dengan mana
sebelumya --yakni masa Hasan Basri--kehidupan asketis didasarkan pada rasa takut
(khauf) dan penuh pengharapan (raja’) ( Nasution,1985:167). Selain itu, juga dianggap
sebagai orang pertama yang membuat bahasa cinta menjadi kosa kata rohani Islam
(Murata,1996: 329 ).
Menurut Khamis (1994:64 ) cinta Rabiah pada mulanya masih dipengaruhi oleh
tendensi untuk mendapatkan syurga dan takut pada neraka. Itu dapat dipahami dari
munajat Rabiah, misalnya : Tuhanku akan terbakarlah olleh api neraka kalbu yang
mencintai-Mu ?, tiba-tiba ada dia mendengr suara: ‘kami tidak sama sekali melakukan
itu, janganlah kau buruk sangka kepada kami “ (Taftazani,1983:86).
Memang, Rabiah terlihat telah menjadi obyek dari rasa takut (khauf),
pengaruhnya tampak padanya saat disebut neraka, karena kepercayaannya pada hari
pengadilan nanti yang pasti akan dilalui oleh orang-orang yag berdosa, suatu keputusan
dimana ia dalam keadaan yang lebih lemah. Ia merasa takut apabila ia ditakdirkan harus
menghadapi masa itu, dan pada suatu saat ia berdoa bahwa ia tidak akan dihukum di
nereka sert terbujuk oleh pemikiran jahat.
Menurut riwayat lain dikatakan bahwa Rabiah tidak mampu mengangkat
kepalanya memandang syurga selama empat puluh tahun lamanya, tanpa ta’zhim pada
Allah. Setiap saat dia mendengar panggilan shalat, terdengar olehnya suara terompet
sangkakala pada hari kebangkitan dan setiap setiap memandang putihnya salju, seakan-
akan tampak dimatanya halaman-halama catatan yang mendebarkan hati. Ketika ia
ditanya; apakah yang paling didambakan dari semua itu, ia menjawab hanya untuk
mengingat kesedihannya terhadap apa yang telah ia kerjakan ( Smith,1994: 93).
Hal demikian memang wajar, karena perguatan spiritual yang sempurna tidak
mungkin dicapai dalam waktu sekejap, tapi harus diusahakan dengan melalui tahapan-
tahapan yang begitu lama. Rabiah juga secara sungguh-sugguh berusaha untuk
melepaskan rintangan rintangan-rintangan untuk mencapai tujuan utamanya. Akhirnya,
Rabiah menganggap sebagai suatukebodohan apabila dalam beribadah kepada Allah
selalu dilandasi oleh pikiran untuk melepaskan diri dari hukuman dan untuk meraih
penghargaan; bahkan dianggapnya seperti pekerja kasar (Taftazani,1983:85). Baginya
Allah saja yang patut ditakuti dengan penuh ta’zhim karena kesucian-Nya, begitu juga
dengan harapan hanya kepada Allah sendiri semata dalam bayang-banyang keridlaan-
Nya.
Dari uraian itu, cukup jelas bahwa ajaran Rabiah tentang harapan dan rasa takut
mempunyai kaitan erat dengan dengan ajaran cinta tanpa pamrihnya pada Allah. Ia juga
dicatat sebagai orang pertama yang mengemukakan dokterin ini di antara sufi lainnya dan
memberikan aksentuasi pada elemin ini sebagai bagian penting dalam berhubungan
denganAllah.
Hal demikian dapat dlihat dari doa-doanya pada Allah antara lain: Ya Allah, jika
aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku dalam neraka, dan jika aku
menyembah-Mu karena mengharapkan Syurga, campakkan aku dari dalam syurga, tapi
jika aku mnyembah-Mu demi engkau semata, janganlah engkau engan memperkihatkan
keindahan wajah-Mu yang abadi padaku. (Attar,1966: 51, Nicholson,1996:115).
Semakin jelas bahwa Rabiah mendasarkan kepatuhannya pada Allah dengan
tulus, dan itu juga yang menjadi inti ajaran cintanya. Rabiah mengajarkan cinta sejati
yang demikian itu kepada orang-orang disekitarnya.
Smith (1994:123) mengutip tulisan Aflaki –penyair Persia—menceritakan
bagaimana Rabiah mengajarkan cinta sejati itu:
“Pada suatu hari sejumlah orang melihat Rabiah sambil berlari dengan memebawa
obar api di satu tangannya dan membawa ember yang berisi air pada tangannya yang lain.
Mereka bertanya : Wahai perempuan tua, hendak kemanakah kiranya dan apa maksudmu
itu. Rabiah menjawab: Aku akan menyalakan api dalam Syurga dan menyiramkan air ke
dalam neraka sehingga hijab diantara keduanya akan tersingkap pada orang yang
berziarah dan lebih meyakinkan mereka. Kemudian hamba yang setia akan mampu
menatapn Nya tanpa ada tendensi dan motivasi tertentu, baik pengharapan maupun rasa
takut. Lalu bagaimana jadinya andaikata tendensi harapan syurga dan takut neraka
hilang?, maka tidak akan ada seorang pun yang menyembah dan taat pada Allah.”
Dalam pandangan Rabiah mahabbah (cinta) berasal dari keazalian dan akan
menuju pada keabadian dan tidak seorangpun dari tujuh puluh dunia ini yang mampu
meminum setetes pun dari cinta ini hingga akhirnya menyatu dalam Allah. Hal itu sesuai
dengan firman Allah yang berbunyi: Dia mencintai mereka dan menreka mencintai-Nya
(Q.s.5 : 59)
Mengenai tiga komponin dalam mahabbatullah yakni ridla, syauq dan uns, secara
rinci Rabiah mengatakan bahwa ridla merupakan kecenderungan dalam hati serta puas
terhadap keinginan dan ketentuan yang dicintai.(Depag,1993:974). Hal itu sesuai dengan
riwayat dari Abu Thalib—dalam Smith (1994: ). Sewaktu Sufyan al-Tsauri bersama
Rabiah, ia berkata: Ya Allah semoga engkau ridla dengan kami semua. Rabiah dengan
serta merta menjawab, tak malukah engkau memohon ridla Allah, sementara engkau
sendiri belum ridla pada-Nya. Kemudian sufyan menjawab, aku mohon ampun pada-Mu
ya Allah. Ja’far juga bertanya, bilakah seorang hamba akan ridla pada Allah. Rabiah
menjawab, bila seorang hamba merasa senang di saat susah sebaagiman kesenangannya
di waktu senang.
Sedangkan Syauq diartikan sebagai ridu kepada yang dicintai, baik itu melalui
ugkapan tesurat maupu tersirat, atau dengan kata lain diartikan sebagai rintihan kerinduan
seorang pecinta kepada sang kekasih tanpa henti-hentinya hingga sang kekasih
meridlainya.
Uns dikatakan sebagai perasaan intim dan dekat degan yang dicintainya, sehingga
tidak akan ada lagi ruang untuk mencintai yang lainnya (Smith,1994:122). Pengertian
seperti itu tercermin dalam perkataannya.
Aku telah menjadikan-Mu shahabat hatiku
Tetapi tubuhku tersedia bagi mereka yang menginginkan aku sebagi teman
Dan tubuhku sangat ramah pada setiap tamu yang datang
Tetapi kekasihku adalah tamu bagi jiwaku.
Cinta Rabiah pada Allah tidak menyisakan sedikitpun relung hati dan pikirannya
untuk memikirkan sesuatupun selain Allah, bahkan pada Rasulullah sekalipun. Dikatakan
bahwa pada suatu saat seseorang datang kepada Rabiah dan ingin mengetahui bagaimana
cinta Rabiah pada Rasullah, Rabiah mengatakan bahwa ia sebenarnya sangat mencintai
Rasululah, tapi cintanya pada Alah telah mengalihkan pandangannya untuk mencintai
ciptan-Nya.
Pertanyaan serupa—menurut Attar (1966) juga pernah ditanyakan oleh seseorang
yang mengetahui sejauh mana cinta Rabiah pada Allah. Apakah engkau sangat mencintai
Allah ?, Rabiah menjawab, ya aku sagat mencintai-Nya. Lalu ditanya lagi, apakah engkau
juga membenci syetan sebagai musuhmu, Rabiah menjawab, cintaku pada Allah tidak
menyisakan ruang di dalam hatiku untuk membenci syetan.
Selain itu Rabiah sendiri juga pernah menceritakan bahwa pada suatu saat ia
bermimpi bertemu Rasululah SAW. dan beliau bertanya : Wahai Rabiah, apakah engkau
mencitaiku ?, ia menawab, Wahai Rasullallah, siapakah yang tidak mencintaimu, tetapi
cintaku kepada Allah begitu besar, hingga tidak menyisakan tempat untuk mencintai atau
membenci kecuai Allah (Nicholson,1976:63, Smith,1994:124).
Kisah-kisah tersebut menunjukkan bahwa cinta Rabiah pada Allah telah merasuk
dalam hati sehingga dapat mengesampingkan segala sesuatu selain –Nya. Dalam usaha
menjaga dan memupuk cintanya itu Rabiah selau berdoa pada Allah, seperti, Aku
berlindung kepada-Mu dari sagala sesuatu yang dapat menarikku dari diri-Mu dan dari
setiap rintangan yang dapat menghalangiku pada-Mu (Smith,1994: 125)
Selain doa-doa yang dipanjatkan, ajaran cinta Rabiah juga dapat disimak dari
syair-syair yang disenandungkannya,misalnya antara lain;
Aku mencintaimu dengan dua cinta
Cinta karena diriku dan cinta kerena diri-Mu
Cinta karena diriku
Adalah keadaanku senantiasa mengingat-Mu
Cinta karena diri-Mu
Adalah keadan-mu menyingkapkan tabir hingga engkau dapat ku lihat
Baik untuk ini maupun untuk iu pujian bukanlah bagiku
Hanya bagi-Mu segala macam pujian (Khulushi,Tanpa tahun:324, Nasution,
1995:73 ).
Dalam kaitan ini al-Ghazali (tanpa tahun:302) memberikan komentar mugkin
yang dimaksud dengan cinta karena diriku (cinta rindu) adalah cinta kepada Allah kerena
kebaikan dan karunianya kepadanya. Sedangkan cinya karena Dia patut dicintai ialah
cinta karena keindahan dan keagungan-Nya yang telah tersingkap padanya. Cinta yang
kedua inilah yang paling luhur dan mendalam serta merupaka kelezatan melihat
keindahan Tuhan. Hal ini sesuai dengan Hadits Qudsi yang berbuniy: “ hamba-hamba-
Ku yang shaleh, Aku menyiapkan apa yang tidak terlihat oleh mata, tidak terdengar oleh
telinga dan tidak tersirat dalam kalbu manusia.”
Kedua macam cinta tersebut--menurut Taftazani (1983:86) --dapat dipahami
dengan memahami hadits qudsi yang berbunyi: “ Barang siapa tindakannya dalam
mengingat-Ku membuatnya lupa memohon kepada-Ku, Aku akan menganugerahinya
karunia terbaik yang dimohon oleh orang-orang yang memohon.” Disini Rabiah
sepertinya ingin menyatakan bahwa keterpesonaannya dalam mengingat Allah, bukan
dengan tujuan untuk memohon kepada-Nya, karena Allah telah menjanjikan akan
memberikan yang terbaik. Sementara Rabiah sendiri tidak menginginkannya sama sekali.
Rabiah hanya menginginkan cinta tanpa pamrih dan lepasdari gejolak dalam jiwa. Dalam
hal ini Rabiah telah melewati tingkatan hanya mengingat Allah tanpa tendensi sesuatu
pun. Setelah itu barulah ia sampai pada cinta yang kedua--cinta karena ia patut dicintai--
sehingga ia dapat melihat Allah (ma’rifah) dan menyerahkan diri sepenuhnya pada Allah.
Memang cinta yang pertama akan mudah ternodai oleh keinginan pribadi, tapi
cinta yang kedua mengandung keinginan jiwa untuk mencari keagungan Allah semata
dan melaksanakan kehendak yang dicintai, bahkan walaupun harus menyakiti diri sendiri,
karena dengan dengan menatap penyaksian Abadi kepuasan akan didapati.

E. Penutup
Begitulah gambaran tetang gambaran cinta Rabiah al-Adawiyah, yang perlu
diperhatikan bahwa pertama, cinta harus menutup sesuatu yang lain kecuali yang
dicintai artinya bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari dunia dengan
segala daya tariknya agar tidak dapat menarik dari Sang Pencipta. Kedua, cinta pada
Allah harus bersih dari berbagai macam tendensi, tetapi yang dicari hanyalah melakukan
keinginnan Allah dan menyempurnakannya agar dapat menyenangkan-Nya, sehingga
Akhirnya Allah dapat menyatakan Diri-Nya sendiri di dalam keindahan yang sempurna
dan pada akhirnya si pecinta mampu menyatu dengan yang dicintai.
Selain itu, ajaran cinta tanpa pamrih yang telah diajarkan Rabiah ini, akhirnya
selalu menjadi refrensi bagi sufi-sufi lain yang datang setelahnya.

____________________

Daftar Pustaka
Al Attar, Fariduddin.1966. Muslim Saints and Mystics, (Episode from the Tazkirat al-
Auliya’, susunan a.j. rbery.London: Routledge and Kegan Paul.
Al Kalabazhi, Abu Bakar muhammad. 1969. Kitab al-Taarif li Mazhab Ahli al-
Tashawuf.Mesir: Maktabah Kulliyah al-Zhahiriyah.
Al-Ghazali.Tanpa tahun.Ihya’ Ulum al-Din. Juz Iv.Singapura: Sulaiman Mari.
Al-Hujwiri.1995. Kasyful Mahjub. Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Terjemahan
oleh Suwardjo Mathari dan Abdul Hadi WM. Dari The Kasyful Mahjub, the
Oldest Persian Tretise on sufism.1982. Bandung: Mizan
Al-Sarraj, Abi Nashr Abdullah Ibn Ali.1914. Kitab Al-Luma’fi Al Tashawwuf. Leiden.
Al-Taftazani, Abul Wafa’ al Ghanimi. 1983. Madkhal ila al-Tashawuf al Islam.Kairo:Dar
al-Tsaqafah li al-Nasrwa al-Tauzi’.
Khamis,Athiyah.1994. Penyair Wanita Sufi Rabiah al-Adawiyah. Terjemahan oleh
Drs.Aliuddin dari Rabiah al-Adawiyah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Murata,Sachiko.1996. The Tao Islam, kitab Tinjauan tentang Revolusi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dan
Ms.Nashrullah dari The Tao of Islam. Bandung: Mizan.
Nasution,Harun. 1986. Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UII Press
----------, 1995: Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang
Nicholson,Rynold A. 1966. The Idea of personality in Sufism. Delhi:Idarat Adariyat.
Nurbarskh,Javad.1983.Wanita-Wanita Sufi. Terjemahan oleh Ms,Nashrullah dan Ahsin
Muhanmad dari Sufi Women.1983. Bandung; Mizan
Scrimmel,Annimare.1986. Dimensi-Dimensi Mistik Dalam Islam. Terjemahan oleh
Sapardi Djolo Damono dari Mystical Dimention of Islam.1980. Jakarta:Pustaka
Firdaus.
Smith,Margareth.1994. Rabiah The Life and Work of Rabiah and Other Women Mystics
in Islam. England: One World Oxford.

RABIAH AL-ADAWIYAH; AL-HUBB AL-ILAHY

Makalah
Disampaikan Dalam Diskusi Maka kuliah
Sejarah Pemikiran Islam II
Hari Rabu, 13 Mei 1998
Oleh
Syahrul A’zham Mf
Nim.297-PI-007

Pembimbing
Prof.Dr. Harun Nasution
Dr.Suwito, MA

Jurusan Pemikiran Islam


Program Pascasarjana
IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta
1998

Anda mungkin juga menyukai