A. Pendahuluan
Di waktu kita membicarakan cinta pada Allah (Mahabbatullah), maka akan
terbesit di benak kita seorang sufi wanita yang menjadi kekasih Allah dan kisahnya telah
melembaga sepanjang zaman. Dialah Rabiah al Adawiyah. Konsep cintanya –yang
tertuang dalam bentuk syair--selalu dijadikan refrensi oleh tokoh sufi yang datang
berikutnya--ketika membahas cinta pada Allah.
Selain itu, tampilnya Rabiah dalam wacan tasawuf, mempunyai signifikansi
dalam menyetarakan gender dalam dataran spiritual Islam. Bahkan, menurut Attar
(1966:40) kesungguhan dan kemampuannya dalam berjuang melawan diri sendiri dan
selanjutnya hanyut dalam telaga cinta Ilahy telah melampaui derajat orang laki-laki yang
saleh.
Ketenaran Rabiah –yang selalu identik dengan cainta dan air mata—tidak hanya
di dunia timur (Islam), tapi –menurut Scrimmel (1986:6)—juga di dunia barat. Di dunia
barat legendanya dibawah oleh Joinville yang merupakan duta lois IX pada abd ke-13.
Lebih dari itu, kisahnya juga sering diceritakan secara berulang-ulang; yang terakhir
kisahnya dilansir oleh sebuah cerpen Jerman masa kini yang berjudul “ Max mell dec
Schoven Hande “.
Selain itu, penting juga untuk diketahui bahwa menurut Smith (1994:2)—yang
pernah meneliti Rabiah untuk disertasi—pelacakan data yang akurat tentangnya sangat
sulit, mengingat kisah yang ada ditulis puluhan tahun setelah meninggalnya Rabiah. Juga
kisah tersebut hanya berupa penggalan-penggalan yang terkadang dalam beberapa kasus
masih patut dipertanyakan akurasinya. Namun demikian, tidak berarti mustahil bagi kita
untuk mengetahuinya lebih jauh, karena kemasyhurannya telah mengundang simpati
orang-orang untuk membicarakannya.
Makalah singkat ini, mencoba untuk menelusuri lebih jauh sosok Rabiah dan
ajaran ajarannya tentang al-hubb al-Ilahy yang merupakan tingkatan lebih lanjut
kehidupan asketik yang mulanya didasarkan pada khauf dan raja’.
B. Selayang Pandang tentang riwayat hidupnya
Rabiah al-Adawiyah--selanjutnya disebut Rabiah--nama lengkapnya adalah
Ummul Khair Rabiah Ibn Ismail al-Adawiyah al –Qaisyiyah (Taftazani,1983:84) atau
sering juga disebut al Bashriyah1. Ia lahir di Basharah. Mengenai tanggal dan tahun
kelahirannya tidak diketahui secara pasti, menurut Smith (1994: 22) ia lahir sekitar tahun
95 H/713 M dan 99 H/717 M. Ketidak pastian seperti itu juga terjadi pada tahun
wafatnya, ada yang mengatakan tahun 135 H, seperti dikutip oleh Ibn Qayyim al-Jauzi,
Abu Mahasin dan Murtadlo Surbandi. Tahun 180 H, seperti dikutip Zhahlabi dan Abdul
Rauf al- Menawi.; serta tahun 185 H, seperti ditulis oleh Ibn Khalikan, Ibn Syakir al-
Kurtubi dan Imaduddin Abul Fida’ Ismail Ibn Umar Ibn Katsir al-Qurasyi al-Dimasyqi
(Nurbarskh,1996:32). Dalam hal ini Nasution (1986;76) mengatakan tahun 185 H/801 M.
Kehidupan awal Rabiah begitu sangat memprihatinkan, Ia terlahir dalam keluarga
yang miskin papa, untuk kehidupan sehari-hari saja terkadang tidak mencukupi. Namun
demikian, kehidupan kesalehan dan ketakwaan selalu mewarnai kehidupannya
( Khamis,1994:5). Sewaktu usianya belum mencapai dewasa, orang tuanya
meninggalkannya untuk selamanya, tanpa meninggalkan harta sedikitpun, kecuali perahu
kecil yang selalu digunakan ayahnya untuk mengais uang untuk nafkah keluarganya.
Beberapa tahun kemudian, kota Bashrah yang dulunya makmur, kemudian
dilanda bergolakan dan bencana kekeringan. Hal itu telah membuat Rabiah terpisah
dengan saudari-saudarinya. Lebih memprihatinkan lagi, Rabiah ditangkap oleh
segerombolan perampok dan dijual dengan harga 6 dirham (Attar,1966:41) kepada
Kabilah Atik (taftazani,1983:84).
Kehidupan menjadi budak yang begitu menyakitkan, ditambah lagi dengan bekal
kehidupan kesalehan yang merupakan didikan orang tuanya membuat Rabiah semakin
dekat pada Tuhan; Ia selalu mengadukan segala persoalan yang dihadapinya pada Allah
1
Untuk membedakan dengan Rabiah al-Adawiyah al-Syamsiyah, seorang sufi wanita
yang lahir di Syam dan mempunyai suami yang bernama Ahmad Ibn al-
Hawari(Surur,1957:34-37). Walaupun Ibn Jauzi mengatakan bahwa bahwa Rabiah al –
Adawiyah al-Syamsiyah sebenarnya bernama Rayiah, bukan Rabiah
(Nurbarskh,1996:80). Dalam hal ini para sejarawan sering mengacaukan kisah antara
keduanya.
(Khamis,1994:10). Selain itu, keinginannya untuk bebas dan terlepas dari belenggu
perbudakan, supaya dapat beribadah pada Allah juga menjadi pendorong untuk selalu
bermunajat pada Allah, seperti tercermin dalam doanya, seperti dikutip Attar (1966:42):
“Ya Allah, Engkau tahu bahwa hasrat hatiku untuk dapat mematuhi perintahn-Mu, jika
aku dapat mengubah nasib diriku ini, niscaya aku tidak akan beristirahat barang
sebentarpun untuk mengabdi kepada-Mu. Tetapi Engkau telah menyerahkan diriku
kebawah kwkuasaan seorang hamba-Mu”.
Menurut beberapa riwayat, bersamaan dengan doanya itu, majikannya melihat
sinar lentera diatas kepala Rabiah, sehingga membuat majikannya merasa takut dan
kawatir, yang akhirnya memberikan kebebasan pada Rabiah (Smith, 1994:24 ).
Setelah menghirup udara kebabasan Rabiah—sesuai degan janjinya pada Allah—
memilih jalan hidup menjadi zahid dan sufi. Ia mengajarkan tentang cinta pada Allah ( al
hubb al-Ilahy) dalam kehidupan zahid.
Kehidupan asketis Rabiah dapat dilihat seperti tercermin dalams uatu kisah bahwa
suatu ketika seorang hartawan datang kepada Rabiah dan berkata: mintalah kepadaku
segala kebutuhanmu, Rabiah menjawab, aku ini begutu malu untuk meminta hal-hal
duniawi bagi pemiliknya, maka bagaimana aku meminta hal itu kepada yang bukan
pemiliknya.
Attar (1966:47) juga mengisahkan bahwa pada suatu hari beberapa orang
mengunjungai perempuan wali ini, tampak oleh mereka bahwa Rabiah sedang
memotong-motong daging dengan giginya. Meraka berkata pada Rabiah, tidakkah
engkau memiliki pisau, Rabiah menjawab; ketakutanku berpisah dengan-Nya,
membuatku tidak pernah memiliki sebilah pisaupun di rumah.
Kisah tersebut merupakan indikasi bahwa Rabiah selalu berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mencampakkan keinginan duniawi yang bersifat sementara,
untuk mencapai tujuan hidupnya yang hakiki yakni dapat bersama dengan Allah tanpa
ada penghalangnya.
Dalam kisah lain juga disebutkan bahwa seorang shahabatnya, Malik b. Dinar,
pada suatu hari mendapati Rabiah sedang berbaring di atas sebuah tikar tua dan lusuh,
sebuah batu bata terletak di bawah kepalanya sebagai bantal, dan disebelahnya ada
sebuah kendi tua sudah pecah yang digunakan sebagai tempat minum dan berwudlu.
Melihat pemandangan seperti itu Malik meresa pilu, kemudian berkata pada Rabiah “
Aku memiliki teman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akan
meminta kepada mereka. Ia mengatakan : Wahai Malik, engkau salah besar, bukankah
yang memberi makan aku dan mereka sama ?, Malik menjawab, ya, memang sama, lalu
Rabiah mengatakan lebih lanjut, apakah Allah lupa pada hambanya yang miskin karena
kemiskinannya, dan apakah Dia ingat pada hamnya-Nya yang kaya karena
kekayaannya ?, Malik menjawab, tidak. Kemudian Rabiah berkata lagi, karena Dia
mengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkannya, apa yang diinginkan-Nya,
kita harus menerimanya (Smith,1994:45).
Lebih dari itu, Rabiah karena saking cintanya pada Allah , sampai lupa diri untuk
hidup berkeluarga sebagimana layaknya wanita lainnya. Memang, ada sebagian penulis
yang mengatakan bahwa ia pernah bersuami, tetapi pendapat itu terbantah dengan
pendapat yang mengatakan bahwa itu tidak mungkin, mengapa demikian ?, karena
Rabiah selalu menolak setiap lamaran yang datang kepadanya2. Seperti waktu menolak
lamaran Gubernur Bashrah, ia berkata: Seandainya engkau memberikan seluruh warisan
hartamu, tidak mungkin aku memalingkan perhatianku dari Allah kepadamu, walau
sekejap matapun. Begitu juga ketika menjawab pertanyaan dari seseorang yang ingin
mengetahui hal ihwalnya tidak kawin, ia menjawab: Ikatan perkawinan hanya dengan
wujud, akan tetapi, adakah wujud dalam dirimu ?, aku bukanlah milik diriku sendiri, aku
adalah milik-Nya ( Nurbarsh,1996:29).
Jawaban Rabiah itu, merupakan indikasi bahwa ia benar-benar tidak kawin,
kalaupun ada yang beresikukuh mengatakan kawin,mungkin saja itu adalah Rabiah al-
Syamsyiyah istri dari Ahmad Ibn Hawari.
2
Diantara mereka yang pernah melamar Rabiah adalah Abdul Wahid b. Zayd, seorang
teolog dan ulama terkenal dengan kezuhudannya yang hidup dalam pengasingan guna
mencari jalan Allah; Muhammad b. Sulaiman al-Hasyimi, salah satu Amir Abbasyiyah
(w.172 H) Smith,1994: )
Selain itu, Rabiah juga sangat rajin melaksanakan ibadah, bahwa ia selalu shalat
sepanjang waktu, kalau suatu waktu ia tertidur sampai terbit fajar, ia mengatakan pada
jiwanya sendiri,” duhai jiwaku, berapa lama kau tertidur, sehingga hampir saja engkau
tidak bangkit lagi selamanya kecuali oleh terompet kebangkitan
“(Taftazani,1979:85).Oleh karena itu, tempat sujudnya selalu basah oleh air mata
(Yunasril,1987:62). Peristiwa seperti itu terjadi sampai akhir hayatnya.
Perlu untuk diketahui, bahwa Rabiah memiliki murid dan shahabat-shahabat yang
selalu mengunjungi rumahnya baik siang maupun malam. Mereka berdiskusi,
mendengarkan ajaran dan doa-doa sang guru. Kebanyakan shahabatnya adalah laki-laki,
seperti Sufyan al-Tsauri (w.778 M), Abd. Aziz Ibn Sulaiman Abu al-Rasibi (w. 767 M),
Shalih b. Abdul Azis dan Kilab b. Hari. Selain itu ada juga yang menghubungkankannya
dengan Malik b. Dinar—murid dari Hasan Basri, seperti kisah sebelumnya dan juga ada
yang mengatakan berteman dengan Dun nun al_mishri (smith,1994)
3
“Allah akan mendatangkan suatu umat yang dicintai-Nya dan yang mencintai-Nya”.
4
“Jika kamu cinta pada Allah, maka turutilah aku dan Allah akan mencintai kamu”
Begitulah sekelumit tentang cinta, yang perlu digaris bawahi bahwa cinta yang
murni pada Allah pada akhirnya dapat menenggelamkan segala keingainannya sendiri
dan tenggelam dalam lautan cinta pada Allah.
E. Penutup
Begitulah gambaran tetang gambaran cinta Rabiah al-Adawiyah, yang perlu
diperhatikan bahwa pertama, cinta harus menutup sesuatu yang lain kecuali yang
dicintai artinya bahwa seorang sufi harus memalingkan punggungnya dari dunia dengan
segala daya tariknya agar tidak dapat menarik dari Sang Pencipta. Kedua, cinta pada
Allah harus bersih dari berbagai macam tendensi, tetapi yang dicari hanyalah melakukan
keinginnan Allah dan menyempurnakannya agar dapat menyenangkan-Nya, sehingga
Akhirnya Allah dapat menyatakan Diri-Nya sendiri di dalam keindahan yang sempurna
dan pada akhirnya si pecinta mampu menyatu dengan yang dicintai.
Selain itu, ajaran cinta tanpa pamrih yang telah diajarkan Rabiah ini, akhirnya
selalu menjadi refrensi bagi sufi-sufi lain yang datang setelahnya.
____________________
Daftar Pustaka
Al Attar, Fariduddin.1966. Muslim Saints and Mystics, (Episode from the Tazkirat al-
Auliya’, susunan a.j. rbery.London: Routledge and Kegan Paul.
Al Kalabazhi, Abu Bakar muhammad. 1969. Kitab al-Taarif li Mazhab Ahli al-
Tashawuf.Mesir: Maktabah Kulliyah al-Zhahiriyah.
Al-Ghazali.Tanpa tahun.Ihya’ Ulum al-Din. Juz Iv.Singapura: Sulaiman Mari.
Al-Hujwiri.1995. Kasyful Mahjub. Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf. Terjemahan
oleh Suwardjo Mathari dan Abdul Hadi WM. Dari The Kasyful Mahjub, the
Oldest Persian Tretise on sufism.1982. Bandung: Mizan
Al-Sarraj, Abi Nashr Abdullah Ibn Ali.1914. Kitab Al-Luma’fi Al Tashawwuf. Leiden.
Al-Taftazani, Abul Wafa’ al Ghanimi. 1983. Madkhal ila al-Tashawuf al Islam.Kairo:Dar
al-Tsaqafah li al-Nasrwa al-Tauzi’.
Khamis,Athiyah.1994. Penyair Wanita Sufi Rabiah al-Adawiyah. Terjemahan oleh
Drs.Aliuddin dari Rabiah al-Adawiyah. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Murata,Sachiko.1996. The Tao Islam, kitab Tinjauan tentang Revolusi Gender dalam
Kosmologi dan Teologi Islam. Terjemahan oleh Rahmani Astuti dan
Ms.Nashrullah dari The Tao of Islam. Bandung: Mizan.
Nasution,Harun. 1986. Islam ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: UII Press
----------, 1995: Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam.Jakarta: Bulan Bintang
Nicholson,Rynold A. 1966. The Idea of personality in Sufism. Delhi:Idarat Adariyat.
Nurbarskh,Javad.1983.Wanita-Wanita Sufi. Terjemahan oleh Ms,Nashrullah dan Ahsin
Muhanmad dari Sufi Women.1983. Bandung; Mizan
Scrimmel,Annimare.1986. Dimensi-Dimensi Mistik Dalam Islam. Terjemahan oleh
Sapardi Djolo Damono dari Mystical Dimention of Islam.1980. Jakarta:Pustaka
Firdaus.
Smith,Margareth.1994. Rabiah The Life and Work of Rabiah and Other Women Mystics
in Islam. England: One World Oxford.
Makalah
Disampaikan Dalam Diskusi Maka kuliah
Sejarah Pemikiran Islam II
Hari Rabu, 13 Mei 1998
Oleh
Syahrul A’zham Mf
Nim.297-PI-007
Pembimbing
Prof.Dr. Harun Nasution
Dr.Suwito, MA