Anda di halaman 1dari 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga makalah ini
bisa selesai pada waktuknya.

Terimah kasih juga kami ucapkan kepada teman teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari katan
sempurna, sehingga kami sangat kritik serta saran yang bersifat membangun demi terciptanya
makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Makassar, 27 Oktober 2019

Penyususn

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….......…….1

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………..2

BAB I PENDAULUAN……………………………………………………………………….3

1) Latar Belakang……………..………………………………………………………….3
2) Rumusan Masalah………………………………………………………….………….4
3) Tujuan Masalah………………………………………………….…………………….4

BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………....…5

1) Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah………………………………………………………..5


2) Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah………………………………………………..8
3) Al-Mahabbah dan Al-Ma’rifat……………………………………………….………11

BAB III PENUTUP ……………………………………………………………………….…14

1) Kesimpulan……………………………………………………………………..…14

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………………..15

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam Islam teratat sebagai


peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Hal ini karena generasi
sebelumnya merintis aliran arketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut dan
pengharapan kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama yang mengajukan
pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari
Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami
dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-
Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat Rabi’ah menyatakan doanya,
“Tuhanku, akankah Kau bakar kalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka? ” Tiba-tiba
terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu . jangablah engkau berburuk sangka
kepada Kami. Diantara syair cinta Rabi’ah yang paling masyhur adalah: “Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena
diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu, Cinta karena diri-Mu adalah
keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupu itu,
pujianlah bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya”.
Untuk memperjelah pengertian Al-hub yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub Al-hawa
dan hub anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu Thalib Al-
Makiy dalam Qud Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi, memberikan penafsiran
bahwa makna hub Al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-nikmat dan
kebaikan yang diberikan Allah SWT. Adapun yang dimaksud dengan nikmat-nikmat
adalah nikmat material, tidak spiritual, karenanya hub disini bersifat hub indrawi.
Walaupun demikian, hub Al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah,
tidak bertambah dan berkurang karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini
karena Rabi’ah tidak memandang nikmat itu sendiri, tetapi sesuatu yang ada dibalik
nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalh cinta yang tidak didorong
kesenangan indrawi, tetapi dorongan Dzay yang dicintai.

3
B. Rumusan Masalah

1) Bagaimana biografi Rabi’ah Al-Adawiyah?


2) Apa ajaran tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah?
3) Bagaimana Al-Mahabbah dan Al-ma’rifah?

C. Tujuan Masalah

1) Untuk mengetahui biografi Rabi’ah Al-Adawiyah


2) Untuk mengetahui ajaran tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah
3) Untuk mengetahui Al-Muhabbah dan Al-Ma’rifah

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Biografi Rabi’ah Al-Adawiyah


a) Kelahiran dan Masa Kecil
Nama lengkap Rabi’ah adalah Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah
Al-Qaisiyah. Ia diperkirakan lahir pada tahun 95 H/ 713 M atau 99 H/ 717M di
suatu perkampungan dekat kota Basrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun
185 H/ 801M. tidak ada bukti otentik yang dapat menjelakan waktu kelahirannya
secara pasti. Harin Nasution, M. Mastury dan Abudin Nata menyebutkan bahwa
Rabi’ah lahir pada tahun 714 M. rabi’ah dilahirkan dalam keluarga yang miskin.
Ayahanda bernama Ismail. Konon keluarga Ismail hidup dengan penuh taqwa dan
iman kepada Allah SWT, tak henti-hentinya melakukan dzikir dan beribadah
melaksanakan ajaran-ajaran Islam.
Kondisi hidup dalam kemiskinan menyebabkan Ismail dan isrinya selalu
berdoa mohon dikaruniai anak laki-laki, yang diharapkan dapat memabantu,
mengurangi penderitaan yang dialami. Namun derita kemiskinannya semakin
terasa, karena sampai lahir tiga anak semuanya perempuan. Oleh karena itu,,
Ismail benar-benar meningkatkan ibadahnya dan memohon agar janin yang
dikandung istrinya, yang keempat adalah laki-laki. Allah SWT menghendaki lain.
Manusia boleh berusaha, tetapi Allah lah yang menentukan segalanya. Anak
keempat pun lahir perempuan. Itulah sebabnya, orang tuanya menamakannya
Rabi’ah. Maka pupuslah harapan Ismail. Kemiskinan benar-benar
menyelimutinya. Menyambut kelahiran Rabi’ah dengan derita, istri Ismail berkata
kepada suaminya: “ Kakanda tercinta, pergilah kerumah sebelah. Mungkin
mereka memiliki setetes minyak. Mungkin memiliki kain bekas yang pantas
dihadiahkan kepada kita, tolong mintalah. Biar anak kita yang baru lahir bisa kita
selimuti dengan sepotong kain “.
Keinginan istrinya itu dipenuhinya, namun tak seorang tetangga pun yang mau
membukakan pintu untuk memberikan atau meminjamkan sepotong kain, maka
Ismail menghibur istrinya: “Istriku tetangga kita sedang tidur nyenyak.
Bersyukurlah kepada Allah SWT karena selama hayat kita belum pernah

5
meminta-minta. Lebih baik selimuti saja anak kita dengan sepotong kain yang
masih basah itu. Percayalah dan tawakkallah kepada Allah SWT. Tentu Dia akan
memberikan jalan keluar buat kita, dan hanya Dialah yang memelihara serta
memberikan kecukupan kepada kita. Percayalah wahai istriku tercinta”.
Kalimat-kalimat diatas, digunakan oleh Abdul Mun’im Qandil untuk
menggambarkan bagaimana miskinnya keluarga Ismail saat Rabi’ah dilahirkan.
Ismail menamakan Rabi’ah, karena ia adalah anak keempat. Sedangkan
Adawiyah dilakobkan karena ia berasal dari bani Adawiyah. Istri dan ketiga
anaknya tidak setuju dengan nama tersebut, yang dianggap aneh dan jelek, maka
Ismail pun sangat sedih. Akan tetapi saat tidur, malam hari, Ismail bermimpi
bertemu Rasulullah SAW. Rasulullah SAW berkata:” Janganlah engkau bersedih,
karena putrimu itu akan menjadi seorang perempuan mulia, sehingga banyak
orang akan mengharapkan syafa’atnya”.
Kemudian Rasulullah SAW menyuruh ayah Rabi’ah untuk pergi menemui Isa
Zadan, Amir Basrah dengan menyiapkan sepucuk surat berisi pesan Rasulullah
SAW, seperti yang disampaikann dalam mimpinya. “Hai Amir, engkau biasanya
sholat 100 rakaat setiap malam. Dan setiap malam jumat 400 rakaat, tetapipada
hari jumat yang terakhir, engkau lupa melaksanakannya. Oleh karena itu,
hendaklah engkau membayar, 400 dinar kepada yang membawa surat ini sebagai
kifarat atas kelalaian itu”, pada pagi hari, ayah Rabi’ah menulis sepucuk surat
seperti yang dipesankan oleh Rasulullah SAW dan pergi ke istana Amir.
Dikarenakan tidak dapat langsung menemui Amir, surat itu diserahkan kepada
pengawal istana, yang langsung pergi menghadap. Ketika Amir membaca surat
dari ayah Rabi’ah, ia segera memerintahkan untuk segera menyerahkan 400 dinar.
Namun ia segera membatalkan perintahnya seraya berkata: “Biarlah saya sendiri
yang mengantarkan uang ini, sebagai penghormatan orang yang mengirim pesan
ini, dan saya akan mengawasi anaknya yang mulia ini”. Dengan peristiwa
tersebut, maka berubahlah persepsi Ismail dan istrinya terhadap anak
perempuannya yang keempat. Kemudian mereka menyambut kehadiran Rabi’ah
dengan bahagia.
Rabi’ah tumbuh dan berkembang dalam lingkungan keluarga yang terbiasa
dengan kehidupan yang saleh dan zuhud. Sejak kecil sudah tampak kecerdasan
Rabi’ah, sesuatu yang biasanya tak terlihat pada gadis kecil seusianya. Oleh
karena itu pula sejak kecil ia sudah menyadari kepapan dan penderitaan yang

6
dihadapi orang tuanya. Kendati demikian hal itu tidak mengurangi ketakwaan dan
pengabdian keluarga Rabi’ah terhadap Allah SWT. Dalam kehidupan sehari-hari,
ia selalu memperhatikan bagaimana ayahnya melakukan ibadah kepada Allah
SWT sesuai dengan yang telah dilihat dan didengarnya dari ayahnya. Prnah
Rabi’ah mendengar ayahnya berdoa memohon kepada Allah SWT dan semenjak
itu, lafal-lafal doa itu tidak pernah hilang dari ingatannya, selalu diulang-ulang
dalam doanya. Dengan akhlaq yang mulia, tidak jarang Rabi’ah membangkitkan
rasa kagum ayahnya. Ia tidak pernah mencaci orang atau menyakiti perasaan
manusia. Pernah pada suatu hari

b) Menjadi Budak
Konon, pada saat terjadinya bencana perang di Bashrah, ia dilarikan penjahat
dan dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Baru Adwah. Derita Rabi’ah,
gadis yatim piatu itu semakin bertambah ketika kota Bashrah dilanda musibah
kekeringan dan kelaparan. Banyak penduduk miskin meninggal kelaparan,
termasuk ketiga kakak Rabi’ah yang lemah, yang membuat ia menjadi gadis
sebatang kara. Musibah itu mengakibatkan merajalelanya berbagai bentuk
kejahatan dan perbudakan. Keberadaan Rabi’ah diketahui oleh orang jahat. Ia
dijadikan budak dan dijual seharga enam dirham. Orang yang membeli Rabi’ah
menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat.
Pada suatu hari ketika ia berjalan-jalan seseorang yang tak dikenal datang
menghampirinya. Rabi’ah mencoba melarikan diri, tiba-tiba ia jatuh tergelincir
sehingga tangannya terkilir. Rabi’ah menangis sambil menundukkan mukanya ke
tanah, Ya Allah, aku adalah seorang asing di negeri ini tidak mempunyai ayah
bunda, seorang tawanan yang tak berdaya, sedang tanganku cedera. Namun
semua itu tidak membuatku bersedih hati. Satu-satunya yang kuharapkan adalah
dapat memenuhi kehendakMu dan mengetahui apakah Engkau berkenan atau
tudak.”Rabi’ah janganlah engkau berduka.” Sebuah suara berkata kepadanya,
“esok lusa engkau akan dimuliakan, sehingga malaikat-malaikat iri keoadamu”.
Kemusian Rabi’ah pulang kerumah tuannya dan merawat cedera tangannya
hingga sembuh. Kurang jelas berapa lama Rabi’ah menjadi budak.

7
c) Setelah Merdeka
Dari sini ia dikenal dengan Al-Qaisiyah atau Al-Adawiyah. Pada suatu malam,
Rabi’ah bersujud dan memanjatkan doa. Tuannya yang kebetulan terjaga dari
tidur melihat dan mendengarnya doa tersebut. “Ya Allah, Engkau tahu bahwa
hasrat hatiku adalah dapat mematuhi perintah-Mu dan mengabdi kepada-Mu,
tetapi Engkau telah menyerahkan diriku dibawah kekuasaan seorang hamba-Mu
dan pada saat ia beribadah ada cahaya yang memancar diatas kepala Rabi’ah dan
menerangi seluruh ruangan rumah. Oleh karena tuannya melihat sendiri peristiwa
itu, maka saat hari mulai terang, ia memanggil Rabi’ah dan bersikap lembut
kepadanya. Rabi’ah dan diizinkan pergi untuk meninggalkannya. Setelah
dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan sebagai
seorang Zahidah dan Sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan ibadah
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah sebagai kekasihnya. Ia
memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi. Ia hidup dalam kemiskinan
dan menolak segala bantuan materi yang diberikan orang lain kepadanya. Bahkan
dalam doanya, ia tidak meminta hal-hal yang bersifat materi dari Tuhan.

d) Perawan Seumur Hidup


Rabi’ah Al-Adawiyah telah dewasa dalam pertapaan dan tidak pernah berpikir
untuk berumah tangga. Bahkan akhirnya memilih hidup zuhud, menyendiri,
beribadah kepada Allah SWT. Ia tak pernah menikah karena tak ingin perjalannya
menuju Tuhan mendapat ringtangan. Ia pernah memanjatkan doa: “Ya Allah, aku
berlindung kepadamu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk
menyembah-Mu dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku
dengan-Mu. Prinsip Rabi’ah untuk tidak menikah tersebut dapat dipertahankan
hingga akhir hayatnya.

2. Ajaran Tasawuf Rabi’ah Al-Adawiyah


Rabi’ah Al-Adawiyah dalam perkembangan mistisme dalam Islam tercatat
sebagai peletak dasar tasawuf berdasarkan cinta kepada Allah SWT. Hal ini karena
generasi sebelumnya merintis aliran asketisme dalam Islam berdasarkan rasa takut
dan pengharapam kepada Allah SWT. Rabi’ah pula yang pertama-tama mengajukan
pengertian rasa tulus ikhlas dengan cinta yang berdasarkan permintaan ganti dari

8
Allah SWT. Sikap dan pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah tentang cinta dapat dipahami
dari kata-katanya, baik yang langsung maupun yang disandarkan kepadanya. Al-
Qusyairi meriwayatkan bahwa ketika bermunajat. Rabi’ah menyatakan doanya,
“Tuhanku, akankah kau bakar qalbu yang mencintai-Mu oleh api neraka? “Tiba-tiba
terdengar suara, “Kami tidak akan melakukan itu. Janganlah engkau berburuk sangjka
kepada kami. “ diantara syair cinta Rabi’ah yang paling mansyur adalah “Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta, cinta karena diriku dan karena diri-Mu. Cinta karena
diriku adalah keadaan senantiasa mengingatkan-Mu, Cinta karena diri-Mu adalah
keadaanku mengungkapkan tabir sehingga Engkau kulihat. Baik ini maupun itu,
pujianlah bukanlah bagiku. Bagi-Mu pujian untuk kesemuanya.
Untuk memperjelas pengertian Al-hubb yang diajukan Rabi’ah, yaitu hub Al-
hawa dan hub anta ahl lahu, perhatikanlah tafsiran beberapa tokoh berikut. Abu
Thalib Al-Makiy dalam Qut Al-Qulub sebagaimana dijelaskan Badawi, memberikan
penafsiran bahwa makna hub Al-hawa adalah rasa cinta yang timbul dari nikmat-
nikmatdan kebaikan yang diberikan Allah. Adapun yang dimaksud nikmat-nikmat
adalah nikmat material, tidak spiritual, karenanya hub disini bersifat hub indrawi.
Walaupun demikian, hub Al-hawa yang diajukan Rabi’ah ini tidak berubah-ubah,
tidak bertambah dan berkuramg karena bertambah dan berkurangnya nikmat. Hal ini
karena Rabi’ah tidak memandanng nikmat itu sendiri, tetapi sesuatub yang ada dibalik
nikmat tersebut. Adapun Al-hubb anta ahl lahu adalah cinta yang tidak didorong
kesenangan indrawi, tetapi didorong Dzat yang dicintai. Cinta yang kedua ini tidak
mengharapkan balasan apa-apa. Kewajiban-kewajiban yang dijalankan Rabi’ah
timbul karena perasaan cinta kepada Dzat yang dicintai.
Sementara itu, Al-Ghazali memberikan ulasan tentang syair Rabi’ah sebagai
berikut:
“ Mungkin yang dimaksud oleh Rabi’ah dengan cinta karena dirinya adalah
cinta kepada Allah SWT karena kebaikan dan karunia-Nya di dunia ini. Sedangkan
cinta kepada-Nya adalah karena ia layak dicintai keindahan dan keagungan-Nya yang
tersingkap kepadanya. Cinta yang kedua merupakan cinta yang paling luhur dan
mendalam serta merupakan kelezatan melihat keindahan Tuhan. Hal ini seperti yang
disabdakan dalam hadis qudsi, “Bagi hamba-hamba-Ku yang saleh Aku menyiapkan
apa yang tidak terlihat mata, tidak terlihat telinga, dan tidak terbesih di qalbu
manusia”.

9
Cinta Rabi’ah kepada Allah SWT begitu mendalam dan memenuhi seluruh
relung hatinya, sehingga membuatnya hadir bersama Tuhan. Hal ini seperti terungkap
dalam syairnya “Kujadikan Kau teman berbincang dalam kalbu. Tubuhku pun
nerbincang dengan temanku. Dengan temanku tubuhku bercengkrama selalu. Dalam
kalbu terpancang selalu kekasih cintaku”.
Bagi mannusia yang rasa cintanya kepada Allah SWT tidak secara tulus
ikhlas, Rabi’ah selalu mengatakan: “Dalam batin, kepada-Nya engkau durhaka, tetapi
dalam lahir kau nyatakan cinta. Sungguh aneh segala ini. Andaikan cinta-Mu memang
tulus dan sejati tentu yang Ia perintahkan kau taati, sebab pecinta selalu patuh dan
bakti kepada yang dicinai.
Dalam kesempatan bermunajat, Rabi’ah kerap kali menyampaikan, “Wahai
Tuhanku, tenggelamkan aku dalam mencintai-Mu, sehingga tidak ada yang
menyibukkanku selain diri-Mu.”
Sewaktu fajar menyingsing, Rabi’ah berkata: Tuhanku, malam telah berlalu
dan siang telah siap menampakkan diri. Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima
hingga aku merasa bahagia, ataukah Engkau tolk sehingga aku merasa bersedih. Demi
kemaha kuasaan-Mu, inilah yang akan aku lakukan selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir aku dari depan pintu-Mu, aku tidak akan pergi karena cintaku
pada-Mu telah memenuhi hatiku.” Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini. Adalah
al-muhabbah dan bahkan menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama
yang mengajarkan al-hubb dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf hal ini
barangkali ada kaitannya dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan
penuh kasih, rasa estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada
masa itu. Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf
yang pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis. Dari
syair berikut ini dapat ditangkap apa yang ia maksud dengan al-muhabbah.
“Kasihku, hanya Engkau yang kucinta, Pintu hatiku telah tertutup bagi selain-
Mu, Walau mata jasadku tak mampu melihat Engkau, namun mata hatiku
memandangmu selalu. “Cinta Kepada Allah adalah satu-satunya cinta menurutnya
sehingga ia tidak bersedia membagi cintanya untuk yang lainnya. Rabi’ah berkata:
“Cintaku kepada Allah telah menutupi hatiku untuk mencintai selain Dia.” Bahkan
sewaktu ia ditanya tentang cintanya kepada Nabi Muhammad SAW, ia menjawab: “
Sebenarnya saya sangat mencintai Rasulullah SAW, tetapi kecintaanku kepada Khaliq
telah melupakanku untuk mencintai siapa saja selain Dia.” Pernyataan ini ia pertegas

10
lagi melalui syairberikut ini dan sekaligus memperjelas makna al-hubb itu sendiri.
“Daku tenggelam dalam merenung kekasih jiwa, sirna segalanya selain Dia, Karena
kekasih, sirna rasa benci dan murka.”
Suatu hari Rabi’ah ditanya orang, apakah ia mencintai Allah dan ia menjawab,
ya memang saya mencintai-Nya. Kemudian ia ditanya lagi, apakah ia benci terhadap
setan. Rabi’ah mengatakan, karena cintaku kepada Allah SWT telah menyebabkan
aku tidak mempunyai kesempatan untuk membenci setan. Menurut Rabi’ah, pecinta
yang sesunggunnya harus selalu berusaha mendekatkan diri kepada yang dicintai serta
harus selalu dapat mengisi hatiya. Ia menyatakan. “Dalam relung hatiku Engkau
teman berbincangku, Walau ragawi aku berbincang dengan sejawatku, Dengan
mereka aku bersenda gurau selalu. “ Dengan dan melalui al-hubb ia ingin memandang
wajah Tuhan yang selalu ia rindu, ingin dibukakan tabir yang memisah dirinya
dengan Tuhan.

3. Al-Mahabbah dan Al-Ma’rifah


Seperti telah dijelaskan, bahwa bagian terpenting dari tujuan sufi adalah
memeperoleh hubungan langsung dengan Tuhan sehingga dirasakan dan disadari
berada di hadirat Tuhan. Keberadaan di hadirat Tuhan itu diyakini sebagai
kenikmatan dan kebahagiaan yang hakiki. Akan tetapi dalam mengartikan hadirat
Tuhan itu, ternyata terdapat perbedaan konseptual, perbedaan ini bersumber dari
ketidaksamaan mereka mengenai hakekat tuhan dan manusia. Sebagian sufi
berpendapat bahwa Allah SWT adalah puncak Kecantikan dan Kesempurnaan,
sementara yang lain menyatakan sebagai iradah, Nurul Anwar dan juga disebut Ilmu
atau Ma’rifah. Di pihak lain diyakini bahwa minisis dan alam ini adalah mazhohir
atau radiasi dari hakikat Tuhan, jiwa atau roh manusia adalah pancaran dari Nurul
Anwar.
Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucian jiwa purgative
(takhalli) dan berlanjut kepada kontemplativa (tahalli) yang berujung ketingkat
illuminative (tajalli). Ketiga proses ini harus diisi dengan melalui stasiun-stasiun atau
al-maqomat. Keseluruhan rangkaian al-maqamat itu adalah latihan oleh kerohanian
melalui serangkaian amal ibadah yang ketat dank has sufi. Oleh Karen aitu tipe
tasawuf semacam itu digolongkan kepada tasawuf amali. Untuk melakukan usaha

11
yang berat itu, seseorang arus dilandasi rasa cinta kepada Allah SWT dalam arti yang
sesungguhnya.
Al-Hubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu berdampingan dengan
ma’rifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu adalah tingkat pengenalan
kepada Tuhan yang disebut ma’rifat. Al-hubb mengandung pengertian terpadunya
seluruh kecintaan hanya kepada Allah SWT yang menyebabkan adanya rasa
kebersamaan dengan-Nya. Seluruh jiwa dan segenap ekspresinya hanya diisi oleh rasa
cinta dan rindu yang tumbuh karena keindahan dan kesempurnaan Dzat Allah, tanpa
motivasi lain kecuali hanya kasih Allah, sebagaimana disenandungkan oleh Rabi’ah
Al-Adawiyah (w.185) dalam syairnya:
“Tuhanku, bila aku mengabdi-Mu karena takut neraka, campakkanlah aku
kesana andaikata aku mengabdi-Mu hanya karena mengejar surga-Mu hanya karena
kasihku pada-Mu, janganlah tutup wajah-Mu dari pandanganku.”
Kondisi kecintaan yang tanpa pamrih demikian hanya akan tercapai dengan
melalui proses perjalanan panjang dan barat (riyadhoh dan mujahadah) sehingga
pengenalannya kepada Allah SWT menjadi sangat jelas dan pasti. Yang dihayati dan
dirasakan bukan lagi cinta tetapi diri yang dicinta.oleh karena itu menurut al-Ghazali,
mahabbah adalah pintugerbang mencapai ma’rifat kepada Tuhan. Paham al-Hubb atau
mahabbah buat pertama kali diperkenalkan oleh Rabi’ah al-Adawiyah. Menurut
Rabi’ah, al-hubb itu adalah rindu dan pasrah kepada Allah SWT. Seluruh ingatan dan
perasaan kepada Allah SWT. Hal ini dapat dilihat dalam ungkapan-ungkapannya ia
cetuskan melalui gubahan kata yang indah, antara lain:
“Tuhanku, aku terbenam dalam kasihku pada-Mu, tiada sesuatu yang dapat
melenyapkan ingatan pada-Mu. Tuhanku, cahaya bintang gemerlapan, orang-orang
pada tidur lelap dan pintu istana ditutup rapat, yang saling mencintai telah asyik
berduaan, sedangkan aku kini, bersimpul di hadirat-Mu. Tuhanku, mala mini telah
berlalu, siang akan segera menyusul, aku gelisah gunda-gulana, apakah amalku
Engkau terima yang membuatku bahagia, ataukah Engkau tolak yan akan membuatku
nestapa. Demi kemahaperkasaan-Mu ya Tuhan, aku akan terus mengabdi pada-Mu
selama hayatku. Seandainya Engkau usir aku dari ambang pintu-Mu aku tak akan
beranjak karena cintaku pada-Mu telah membelenggu jiwaku. Demikianlah ungkapan
cinta Rabi’ah kepada Allah SWT yang telah merasuk sukmanya sehigga segala
aktivitasnya tertuju hanya kepadaNya. Selanjutnya ia bersenandung:

12
“Kasihku, hanya Engkau harap dambaku. Alirkan karunia-Mu bagiku yang
bernida, kaulah harapanku, kedamaianku, kebahagiaanku, hatiku hanya pada-Mu
semata”. Bagi Rabi’ah rasa cinta kepada Allah menjadi satu-satunya motivasi dalam
setiap perilakunya dan kesaligus merupakan tujuan pengabdiannya kepada Allah
SWT. Nampaknya bagi Rabi’ah ada dua macam cinta seperti ia katakana:
“Aku mencintai-Mu dengan dua drongan cinta, kucinta Engkau lantaran aku
cinta dan rindu dan aku cinta karena Engkau patut dicintai. Adapun cinta rindu, karen
ahanya Engkau kukenang selalu bukan selain-Mu. Adapun cinta karena Engkau layak
dicinta, karena Engkau sibakkantabir penutup tatapan sembahku sehingga Engkau
nyata bagiku. Bagiku tentang ini, itu tidak ada puji, namun bagi-Mu segala puji.”
Menurut Rabi’ah al-Adawiyah, tujuan satu-satunya yang wajar dan
sewajarnya dicintai ialah Allah SWT. Agar dapat sampai kepadanya, seorang sufi
harus lebih dahulu mendidik dirinya supaya mencinta segala keindahan lama ini,
merenungkannya dan meresapkannya secara mendalam. Sebab, keindahan dan
kecantikan itu adalah ciri-ciri dari Dzat yang dicintai, sehingga Ma’ruf al-Khariki
berpendapat, bahwa cinta tidak bisaa dielajari dari manusia, cinta Allah SWT, karen
ia sendiri adalah sumber arasi dari segala keindahan.
Seorang sufi tidak berhenti sampai disitu saja, tetapi dia akakn berlanjut terus
mendekat atau bersatu dengan yang dicintainya. Dalam menuju kesana itu, ia melalui
tingkat yang aneka ragam sambil menjauhkan dirinya dari segala macam kejahatan.
Seorang sufi harus menjadikan dirinya seorang yang bermoral mulia dan suci,
keadaan ini akan mengantarkannya kepada keindahan yang sempurna. Sifat-sifat yang
ada pada dirinya akan berangsur-angusr hilang dan akan terbukalah tabir yang
mengitarinya dengan Tuhan sehingga tercapai ma’rift dan terbukalah jalan untuk
ittihad. Berdasarkan alas an itu, Ibn al-Faridh tidak membedakan antara al-Hubb dan
ma’rifat. Menurutnya, pelepasan diri dari pengaruh rasio sehingga hati dapat leluasa
untuk bekerja senidiri berdasarkan iradat Allah SWT. Hal ini berarti, bahwa cinta itu
bukan bersumber dari hati atau akal, tetapi cinta adalah sesuatu yang samawi dan
angat suci.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1) Nama, lengkap Rabi’ah bin Ismail Al-Adawiyah Al-Bashriyah Al-Qaisiyah. Ia
diperkirakan lahir pada tahun 95 H/713 M atau 99H/717 M di suatu
perkampungan dekat kota Bashrah (Irak) dan wafat di kota itu pada tahun
185H/801 M.
2) Konon pada saat terjadinya bencana peran di Bashrah, ia dilarikan penjahat dan
dijual kepada keluarga Atik dari suku Qais Baru Adwah. Derita Rabi’ah, gadis
yatim piatu itu semakin bertambah ketika kota Bashrah dilanda musibah
kekeringan dan kelaparan. Banyak penduduk miskin meninggal kaelaparan,
termasuk kakak Rabi’ah yang lemah, yang membuat ia menjadi gadis sebatang
kara.
3) Setelah dimerdekakan tuannya, Rabi’ah hidup menyendiri menjalani kehidupan
sebagai seorang Zaidah da sufiah. Ia menjalani sisa hidupnya hanya dengan
ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai kekasihnya. Ia
memperbanyak tobat dan menjauhi hidup duniawi.
4) Ia tak pernah menikah karena tak ingin perjalannya menuju Tuhan mendapat
rintangan. Perkawinan baginya adalah rintangan. Ia pernah memanjatkan doa: Ya
Allah, aku berlindung kepadamu dari segala perkara yang menyibukkanku untuk
menyembah-Mu. Dan dari segala penghalang yang meregangkan hubunganku
dnegan-Mu. Prinsip Rabi’ah untuk tidak menikah tersebut dapat di[ertahankan
hingga akhir hayatnya.
5) Ajaran yang terpenting dari sufi wanita ini, adalah al-mahabbah dan bahkan
menurut banyak pendapat, ia merupakan orang pertama yang mengajarkan al-hubb
dengan isi dan pengertian yang khas tasawuf hal ini barangkali ada kaitannya
dengan kodratnya sebagai wanita yang berhati lembut dan penuh kasih, rasa
estetika yang dalam berhadapan dengan situasi yang ia hadapi pada masa itu.
Cinta murni kepada Tuhan merupakan puncak ajarannya dalam tasawuf yang
pada umumnya dituangkan melalui syair-syair dan kalimat-kalimat puitis.
6) Untuk bisa mencapai hadirat Tuhan, harus melalui penyucianjiwa atau purgative
(takhalli) dan berlanjut kepada kontemplativa (tahalli) yang berujung ketingkat
illuminative (tajalli). Ketiga proses ini haris diisi dengan melalui stasiun-stasiun
atau al-maqomat. Al-Hubb atau mahabbah adalah satu istilah yang selalu
berdampingan dengan ma’rifat, karena nampaknya manivestasi dari mahabbah itu
adalah tungkat pengenalan kepada Tuhan yang disebut ma’rifat.

14
DAFTAR PUSTAKA

15

Anda mungkin juga menyukai