Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Syekh Siti Jenar merupakan salah satu tokoh tasawuf yang memiliki pengaruh
besar di Indonesia terutama untuk masyarakat Islam di pulau Jawa. Bagaimana ajaran,
kebenaran, dan pemikirannya telah menjadi subjek penelitian banyak orang sehingga tak
jarang memunculkan berbagai perdebatan serta memunculkan banyak versi mengenai
sejarah dan keberadaan Syekh Siti Jenar.
Ada yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar adalah tokoh fiksi dalam berbagai
cerita rakyat dan syair dan keberadaannya masih misterius karena dia tidak meninggalkan
karya tulis karangannya sendiri seperti kebanyakan tokoh Sufi lainnya. Dan hal itu
menjadi salahsatu alasan sebagian pihak meragukan keberadaan Syekh Siti Jenar dalam
ruang sejarah di Jawa. Disisi lain ada yang berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar
merupakan tokoh real dimana dalam sejarahnya dia dikaburkan eksistensinya dan
dibelokkan kebenarannya demi kepentingan kolonialisme.
Sebagai seorang pemikir, gagasan dan pemikiran keagamaan Syeikh Siti Jenar
sesungguhnya dinilai, khususnya oleh kalangan Wali Sango, sebagai amat liberal dan
kontroversial. Syeikh Siti Jenar dinilai melawan arus besar keagamaan yang dibangun
oleh kolaborasi kekuasaan (Kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah) dan elit
agamawan yang terdiri atas para wali sembilan. Doktrin yang dianggap baku, dan
karenanya tabu di ungkit maupun direkonstruksi oleh siapapun, menjadi semacam patron
yang harus ditaati dan diikuti oleh setiap umat.
Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa sesungguhnya sejarah tentang Syekh
Siti Jenar masih kontroversi dan tetap menjadi misteri hingga sampai saat ini. Namun hal
tersebut malah menjadi daya tarik tersendiri dan membuat semakin banyak orang
berusaha untuk mempelajari, mengkaji, mendalami, membahas, dan mendiskusikan
mengenai Syekh Siti Jenar.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar adalah mistikus Islam terbesar di Indonesia (Jawa) yang
sebenarnya memiliki gagasan-gagasan spiritual mendalam.. Ada beberapa pendapat
mengenai asal usul Syekh Siti Jenar beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut:
Muhammad Sholikhin dalam bukunya berpendapat bahwa, Syekh Siti Jenar
merupakan salah satu keturunan ulama dari Malaka. Dia lahir sekitar tahun 1426 M di
lingkungan pakuwan Caruban (Cirebon sekarang). Orangtuanya adalah seorang ulama
asal Malaka, Syekh Datuk Shaleh yang merupakan salah satu keturunan ulama terkenal
Syekh Isa al-Muhajir al-Bashari al-‘Alawi, yang semua keturunannya menyebar ke
berbagai pelosok dunia dalam menyiarkan agama Islam. Masa kecil Syekh Siti Jenar
berada dalam asuhan Ki Danusela sampai usia 5 tahun, pada sekitar tahun 1431 M,
Syekh Siti Jenar kecil (San Ali) diserahkan kepada Syekh Datuk Kahfi, pengasuh
padepokan Giri Amparan Jati. Di padepokan ini Syekh Siti Jenar diajarkan tentang
kerohanian Islam dan berbagai pelajaran keagamaan, antara lain: Nahwu, Sharaf,
Balaghah, Ilmu Tafsir, Mustlahah Hadist, Ushul Fiqh, dan Manthiq.
Abdul Munir Mulkam juga mengatakan dalam bukunya bahwa, Syekh Siti Jenar
berasal dari Cirebon, Syekh Siti Jenar memiliki nama asli Ali Hasan. Beliau anak dari
raja pendeta yang bernama Resi Bungsu. Pada saat itu ayah dari Syekh Siti Jenar marah
dan menyihirnya menjadi seekor cacing dan di buang ke sungai. Pada waktu itu Sunan
Bonang dan Sunan Kalijaga sedang mengajar ilmu luhur kepada para muridnya, tiba-tiba
perahu yang di tumpanginya bocor. Lalu di tambalah perahu tersebut dengan tanah,
ternyata di dalam tanah tersebut terdapat cacing jelmaan Syekh Siti Jenar yang disihir
oleh ayahnya, karena Sunan Bonang tahu bahwa ada yang menguping, lalu Sunan
Bonang merubah cacing tersebut ke wujud asalnya yaitu Syekh Siti Jenar.
Hampir tidak dapat dipastikan kebenaran sumber-sumber informasi tentang
riwayat hidup dan ajaran Syekh Siti Jenar, karena memang tidak jelas dan tidak mudah
pula untuk diungkapkan secara pasti. Banyak kajian sejarah yang mengulas tentangnya
yang berbeda-beda. Sangat berlainan antara satu dengan yang lain (kontradiktif).
Kalaupun ada pula yang sama atau hampir sama, sumber rujukannya ya itu-itu saja.

2
Nama Syekh Lemah Abang juga tertulis dalam dokumen Kropak Ferrara, sebuah
dokumen kuno yang belum lama ditemukan. Oleh karena itu, walaupun asal-usul dan jati
diri Syekh Siti Jenar tidak dijelaskan dalam dokumen tersebut, namun menjadi lebih jelas
bahwa tokoh ini memang ada dalam jajaran Walisongo. Abdul Munir Mulkhan yang
banyak menulis buku dan mempopulerkan nama Jenar di awal abad ke-21 ini, masih
meragukan apakah nama Jenar benar-benar pernah hidup di bumi Nusantara ini, walau
pun dikenal luas oleh masyarakat Jawa. Namun menurut Prof. Hasanu Simon, keraguan
tersebut hilang karena adanya dokumen Kropak Ferrara di atas. Namun demikian
riwayat hidup dan ajarannya masih gelap, sementara ada kelompok masyarakat Indonesia
yang berlebihan membesar-besarkan tokoh ini, khususnya sejak era pasca Demak
Bintara.
Pada intinya, bahwa jati diri dan asal usul Syekh Siti Jenar sampai sekarang
belum jelas, belum ada sumber yang dianggap sahih. Dalam beberapa publikasi, nama
Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang. Dalam bahasa
Jawa, jenar berarti kuning, sedang brit berasal dari abrit artinya merah, sama dengan
abang yang juga berarti merah.11 Menurut Rahimsyah, Jenar juga bernama Syekh Abdul
Jalil atau Syekh Jabaranta itu adalah Syekh Datuk Sholeh. Sedangkan menurut Munir
Mulkhan Jenar bernama asli Ali Hasan alias Syekh Abdul Jalil, berasal dari Cirebon.
Ayahnya seorang raja pendeta bernama Resi Bungsu.

B. Nama Lain atau Julukan Syekh Siti Jenar


Syekh Siti Jenar sebagai salah satu tokoh yang berpengaruh di Tanah Jawapun
memiliki banyak nama dan sebutan yang disandangkan kepada dirinya. Sholikhin
menguraikan beberapa nama yang diberikan kepada dirinya antaralain:
1. Syekh Abdul Jalil, yaitu nama yang diperoleh di Malaka stelah menjadi ulama
penyebar Islam di tanah tersebut
2. Syekh Jabaranta, yaitu nama yang dikenal di Palembang, Sumatera, dan Daratan
Malaka
3. Prabu Satmata, yaitu berarti gusti yang tampak oleh mata, nama yang muncul dari
keadaan ‘mabuk’ spritual atau penghayatan spritual serta nama yang
diperkenalkan kepada para murid Jenar
4. Syekh Lemah Abang, yaitu gelar yang diberikan masyarakat Lemah Abang, satu
komunitas dan kampung model yang dipelopori Syekh Siti Jenar guna melawan
hegemoni kerajaan

3
5. Syekh Nurjati
6. Syekh Birit
7. Syekh Siti Luhung
Nama-nama tersebut bukanlah berarti bahwa Syekh Siti Jenar sering berganti-
ganti nama, melainkan nama tersebut diberikan oleh orang lain atas sosok Syekh Siti
Jenar yang diambil dari nama tempat dia menyebarkan ajarannya. Syekh Siti Jenar hidup
dalam lingkungan orang-orang yang sangat memegang teguh syari’at Islam. Ayah Syekh
Siti Jenar adalah seorang muslim syari’at sejati, begitupun orang-orang di sekitar
kehidupan Syekh Siti Jenar seperti para wali.

C. Pemikiran Syeikh Siti Jenar


Keberadaan Syeikh Siti Jenar diantara wali-wali (ulama-ulama suci penyebar
agama Islam yang mula-mula di jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa
penulis ia tidak sebagai wali. Hanya saja secara objetif, dengan menilik berbagai ajaran-
ajarannya, maka jelas bahwa penampikan posisi Syeikh Siti Jenar sebagai wali tersebut
kurang menemukan dan saran kuat. Berikut ini penulis kemukakan beberapa segmen
ajaran Syeikh Siti Jenar yang mendatangkan kontraversi.
Mengenai berbagai konsepsi tentang ketuhanan, jiwa, alam semesta, fungsi akal,
dan jalan kehidupan dalam pandangan Syeikh Siti Jenar terdapat gambaran ajaran yaitu
secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Bahwa dalam diri manusia terdapat potensi kuat akan aplikasi sifat-sifat ilahi, dan
untuk kehidupannya manusia memiliki sifat-sifat dan sebagai zat Tuhan, dimana
sebagai manusia mempunyai 20 sifat yang dikumpulkan di dalam budi lestari
yang menjadi wujud mutlak dan disebut dzat, tidak ada asal-usul serta tujuannya
kecuali dalam dunia ilahi.
2. Hyang Widi (Tuhan yang Kuasa Penuh) sebagai suatu wujud yang tak tampak,
pribadi yang tidak berawal dan berakhir, bersifat baka, langgeng tanpa proses
evolusi, kebal terhadap sakit dan sellalu sehat, ada diman-mana, bukan ini dan itu,
taka da yang mirip atau menyamainya, kekuasaan dan kekuatan tanpa sarana,
kehadirannya dari ketiadaan, uar dan dalam tiada berbeda, tidak dapat
diinterpresentasikan, menghendaki sesuatu tanpa dipersoalkan terlebih dahulu,
mengetahui keaadaan jauh diatas kemampuan paca indra, ini semua ada dalam

4
dirinya yang bersifat wujud dalam satu kesatuan Hyang Suksma ada dalam
dirinya.
3. Bahwa dalam diri manusia yang luhur dan luhung terkandung unsur esensial dari
zat yang luhur bersemangat, sakit, kebal dari kematian, manunggal dengannya,
menguasai wujud penampilannya, tidak mendapat suatu kesulitan, berkelana
kemana-mana, tidak merasa haus dan lesu, tanpa sakit dan lapar, tiada
menyembah Tuhan yang lain kecualli setia terhadap hati nurani, segala sesuatu
yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak zat Allah.
4. Segala sesuatu yang terjadi adalah ungkapan dari kehendak zat Allah, Maha Suci,
sholat lima waktu dengan memuji dan dzikir adalah kehendak pribadi manusia
dengan dorongan dan badan halusnya, sebab Hyang suksma itu sebetulya ada
pada diri manusia.
5. Sebagai akibat dari semua itu, maka wujud lahiriah manusia dalam pandangan
Syeikh Siti Jenar “Muhammad”, memiliki keRasullan, Muhammad bersifat suci,
sama-sama merasakan kehidupan, merasakan manfaat pacaindra.
6. Kehendak, angan-angan serta ingatan insaniyah merupakan suatu bentuk akal
yang tidak kebal atas kegilaan, tidak jujur dan membuat kepalsuan demi
kesejahteraan pribadi, bersifat dengki-memaksa, melanggar aturan, jahat dan suka
disanjung, sombong yang berakhir tidak berharga dan menodai penampilannya.
7. Bumi langit dan sebagainya adalah kepunyaan seluruh manusia jasad busuk
bercampur debu menjadi najis, nafas terhembus di segala penjuru dunia, tanah
dan air serta api kembali sebagai asalnya, menjadi baru; maka di alam dunia ini,
manusia sebenarnya terlena dalam alam kematian.16
Pandangan Syekh Siti Jenar yang menganggap alam kehidupan manusia di dunia
sebagai kematian, sedangkan setelah menemui ajal disebut sebagai kehidupan sejati, yang
mana ia adalah manusia dan sekaligus Tuhan, sangat menyimpang dari pendapat Wali
Songo, dalil dan hadits, sekaligus yang berpedoman pada hukum Islam yang bersendikan
sebagai dasar dan pedoman kerajaan Demak dalam memerintah yang didukung oleh para
Wali. Siti Jenar dianggap telah merusak ketentraman dan melanggar peraturan kerajaan,
yang menuntun dan membimbing orang secara salah, menimbulkan huru-hara, merusak
kelestarian dan keselamatan sesama manusia.
Ungkapan mati sajroning urip, menurut Syekh Siti Jenar, mengajak manusia agar
senantiasa eling lan waspada, bersahaja, mengendalikan diri, mengurangi kenikmatan
badaniah duniawi, bersedia lara lapa tapa brata dan bersyukur meski dalam keadaan

5
sempit. Perjuangan hidup di alam padang yang fana ini, menurut Serat Bima Suci,
berkaitan dengan usaha untuk memahami sangkan paraning dumadi atau asal dan tujuan
kehidupan, yaitu husnul khatimah atau akhir perjalanan hidup yang membahagiakan.
Syekh Siti Jenar juga mengajarkan agar seseorang dapat lebih mengutamakan prinsip
ikhlas dalam menjalankan ibadah. Orang yang beribadah dengan mengharapkan surga
atau pahala berarti belum bisa disebut ikhlas. Sebagaimana aliran tarekat lain, tarekat
Syekh Siti Jenar juga mengenal fana, istilah untuk pengalaman manusia ketika mencapai
puncak hubungan dengan Tuhan. Proses ini sulit digambarkan, karena merupakan
pengalaman batin yang tak terbayangkan oleh manusia. Syekh Siti Jenar
mengembangkan ajaran cara hidup sufi yang bertentangan dengan cara hidup Walisongo.
Pertentangan praktek sufi Syekh Siti Jenar dengan Walisongo terletak pada penekanan
aspek formal ketentuan Syariah yang dilakukan oleh Walisongo.
Pandangan Syekh Siti Jenar bahwa ia tidak wajib shalat dan segala rukun dalam
Islam dan aturan formal yang disusun dalam ilmu syariah, bukan hanya didasari oleh
konsepnya tentang kesatuan manusia-Tuhan, melainkan juga didasari oleh pandangannya
tentang makna hidup dan mati. Syekh Siti Jenar memandang bahwa aturan syariah hanya
berlaku bagi manusia yang hidup dan bukan bagi mereka yang telah mati. Pandangan ini
sekilas mirip dengan pandangan kebanyakan ulama lainnya, namun sesungguhnya
berbeda.
Letak perbedaan diantara ajaran keduanya ada pada konsep tentang siapa manusia
yang disebut hidup dan siapa manusia yang dipandang mati dan dimana letak kehidupan
dan kematian. Bagi Syekh Siti Jenar, alam dunia ini adalah tempat kematian manusia,
sehingga hukum syariah tidak berlaku di sini. Hukum syariah baru berlaku nanti di sana
sesudah manusia menemui ajalnya. Karena itu, Syekh Siti Jenar memandang bahwa
neraka dan surga sudah ada di dunia sekarang. Ia berupa pertentangan berpasangan yaitu
susah-senang, bahagia-menderita, rugi-untung, dan pertentangan berpasangan lainnya
yang merupakan kenampakan surga di dunia. Bagi Syekh Siti Jenar, hakikat manusia itu
ialah jiwanya yang terperangkap dalam raga, sehingga manusia terus menerus
menghadapi kesengsaraan. Manusia baru akan memperoleh kebebasan dari segala
penderitaan sesudah menemui ajal dimana kehidupan hakiki baru dimulai.
Syekh Siti Jenar memandang bahwa tempat dan posisi Tuhan ada di dalam diri
manusia. Pandangan seperti ini juga bisa ditemukan dalam pandangan dan praktik sufi
terkenal Al-Hallaj yang melahirkan konsep tentang wahdatul wujud. Ajaran Syekh Siti
Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya tentang hidup dan mati, Tuhan

6
dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut. Para ulama mengkhawatirkan
adanya kesalahpahaman dalam menerima ajaran yang disampaikan oleh Syekh Siti Jenar
kepada masyarakat awam dimana pada masa itu ajaran Islam yang harus disampaikan
adalah pada tingkatan ‘syariat’. Sedangkan ajaran Siti Jenar sudah memasuki tahap
‘hakekat’ dan bahkan ‘ma’rifat’ kepada Allah (kecintaan yang sangat kepada Allah).
Dalam ajarannya ini, pendukungnya berpendapat bahwa Syekh Siti Jenar tidak
pernah menyebut dirinya sebagai Tuhan. Manunggaling Kawula Gusti dianggap bukan
berarti bercampurnya Tuhan dengan Makhluknya, melainkan bahwa Sang Pencipta
adalah tempat kembali semua makhluk. Dan dengan kembali kepada Tuhannya, manusia
telah menjadi sangat dekat dengan Tuhannya.
Dalam ajarannya ‘Manunggaling Kawula Gusti’ dijelaskan bahwa di dalam diri
manusia terdapat ruh yang berasal dari ruh Tuhan sesuai dengan ayat Al Qur’an yang
menerangkan tentang penciptaan manusia “Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat:
“Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh-Ku; maka hendaklah kamu
tersungkur dengan bersujud kepadanya” (Q.S. Shaad; 71-72). Dengan demikian ruh
manusia akan menyatu dengan ruh Tuhan dikala penyembahan terhadap Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran ayat Al Qur’an dari para murid Syekh Siti inilah yang
menimbulkan polemik bahwa di dalam tubuh manusia bersemayam ruh Tuhan, yaitu
polemik paham ‘Manunggaling Kawula Gusti’.
Secara konsisten, semua ajaran diajarkan Syekh Siti Jenar kepada para murid, serta
siapa saja yang berguru kepadanya. Dalam tingkat tertinggi, pengikutnya sampai merasa
bahwa tidak ada dirinya sendiri, yang ada hanya Allah. Yang aneh adalah tidak ada
rujukan mengenai penyebaran dan pengembangan ajaran ini. Bimbingan hanya
disampaikan dari guru ke murid secara turun-temurun.
Konsep manunggaling kawulo gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul
wujud) yang digunakan dalam kepustakaan Islam Kejawen, adalah curiga manjing
warangka, warangka manjing curiga. Yakni, manusia masuk ke dalam diri Tuhan,
laksana Arya Sena masuk dalam tubuh Dewaruci atau sebaliknya, warangka manjing
curiga. Yakni Tuhan masuk ke dalam diri manusia, seperti halnya dewa Wisnu nitis ke
dalam diri Kresna. Paham nitis tersebut, yakni masuknya roh dewa ke dalam diri
manusia, atau roh manusia ke dalam diri binatang, tertera dalam serat wirid hidayat jati.
Konon, toh manusia yang sesat tidak bisa kembali ke dalam singgasana Tuhan,
melainkan akan nitis ke dalam alam brakasakan (jin), bangsa burung, binatang dan air.
7
Menurut Syekh Siti Jenar, bagi mereka yang telah menemukan kesatuan dengan
hakikat hidup atau Zat Tuhan, segala bentuk peribadahan adalah kepalsuan. Karena
Tuhan bebas dari hokum kealaman, maka manusia yang telah menyatu dengan Zat Tuhan
akan mencapai keabadian yang tidak mengalami kerusakan. Konsep manunggaling
kawulo gusti oleh Syekh Siti Jenar disebut dengan winong aning unong.
Seterusnya konsep manunggaling kawulo gusti diterangkan: Mungguh pamoring
kawulo lan gusti iku, kaya dene paesan karo sing ngilo. Wayangan kang ana sajroning
pangilo, iya iku jenenge kawulo. Terjemahan: “Menyatunya manusia dengan Tuhan itu
ibarat cermin dengan orang yang bercermin. Bayangan dalam cermin itu adalah
manusia. Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan Islam Kejawen, yang menyangkut
hubungan manusia dengan Tuhan, umumnya mengandung rumusan yang tumpah tindih.
Tuhan dilukiskan memiliki sifat-sifat yang sama dengan manusia dan manusia
digambarkan sama dengan Tuhan.”
Pemahaman akan kemanunggalan dalam logika sintesis, tentu sangat penting dalam
praktik keberagamaan seseorang. Hanya dengan pemahaman seperti itulah konsep
ketuhanan bias diimplementasikan menjadi dasar ilmu pengetahuan yang merupakan alat
memahami alam semesta. Tanpa logika itu, bisa jadi pemahaman akan Tuhan terjebak
hanya pada penggambaran Tuhan dengan segala sifat dan af’al-Nya.
Implementasi konsep ketuhanan Manunggaling Kawulo Gusti adalah menjadikan
spiritualitas sebagai kekuatan yang mampu membongkar stagnasi kebudayaan materalis.
Dan hal itu, tidak akan bisa kita lakukan tanpa melakukan sintesa kebudayaan. Konsep
manunggaling kawulo gusti di atas memahami bahwa kebudayaan Islam harus bersintesa
dengan kebudayaan lokal manapun sehingga keduanya bisa melebur dalam shibghatullah
(celupan Allah yang memanunggalkan).
Secara pribadi, konsep ketuhanan Manunggaling Kawulo Gusti yang membangun
logika sintesis mendorong tiap-tiap pribadi umtuk selalu dinamis berkarya. Sebagaimana
doa, kita diharapkan untuk banyak-banyak minta doa kepada orang lain karena kita tidak
tahu dari mulut mana doa itu akan dikabulkan. Dengan demikian, kita tidak bisa hanya
memasrahkan kebahagiaan hidup hanya pada sata karya kebaikan saja. Implementasi
konsep di atas adalah: perbanyaklah karya kebaikan karena kita tidak tahu dari karya
mana kebahagiaan dunia akherat akan kita dapatkan.

D. Karakteristik Tasawuf Syekh Siti Jenar

8
Ajaran Syekh Siti Jenar yang paling kontroversial terkait dengan konsepnya
tentang hidup dan mati, Tuhan dan kebebasan, serta tempat berlakunya syariat tersebut.
Syekh Siti Jenar memandang bahwa kehidupan manusia di dunia ini disebut sebagai
kematian. Sebaliknya, yaitu apa yang disebut umum sebagai kematian justru disebut
sebagai awal dari kehidupan yang hakiki dan abadi. Konsekuensinya, ia tidak dapat
dikenai hukum yang bersifat keduniawian (hukum negara dan lainnnya), tidak termasuk
didalamnya hukum syariat peribadatan sebagaimana ketentuan syariah. Dan menurut
ulama pada masa itu memahami inti ajaran Siti Jenar bahwa manusia di dunia ini tidak
harus memenuhi rukun Islam yang lima, yaitu: syahadat, shalat, puasa, zakat dan haji.
Baginya, syariah itu baru berlaku sesudah manusia menjalani kehidupan paska kematian.
Syekh Siti Jenar juga berpendapat bahwa Allah itu ada dalam dirinya, yaitu di
dalam budi. Pemahaman inilah yang dipropagandakan oleh para ulama pada masa itu.
Mirip dengan konsep Al-Hallaj (tokoh sufi Islam yang dihukum mati pada awal sejarah
perkembangan Islam sekitar abad ke-9 Masehi) tentang Hulul yang berkaitan dengan
kesamaan sifat manusia dan Tuhan. Dimana Pemahaman ketauhidan harus dilewati
melalui 4 tahapan;
1. Syariat (dengan menjalankan hukum-hukum agama seperti sholat, zakat
dan lain-lain);
2. Tarekat, dengan melakukan amalan-amalan seperti wirid, dzikir dalam
waktu dan hitungan tertentu;
3. Hakekat, dimana hakekat dari manusia dan kesejatian hidup akan
ditemukan; dan
4. Ma’rifat, kecintaan kepada Allah dengan makna seluas-luasnya. Bukan
berarti bahwa setelah memasuki tahapan-tahapan tersebut maka tahapan di
bawahnya ditiadakan. Pemahaman inilah yang kurang bisa dimengerti
oleh para ulama pada masa itu tentang ilmu tasawuf yang disampaikan
oleh Syekh Siti Jenar. Ilmu itu baru bisa dipahami setelah melewati
ratusan tahun pasca wafatnya sang Syekh.
Keselarasan hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam menjadi ajaran pokok
Syekh Siti Jenar. Hubungan manusia dengan Tuhan yang bersifat teologis tercermin
dalam ungkapan manunggaling kawulo gusti dan curiga manjing warangka. Hubungan
manusia dengan alam yang bersifat antropoekologis tercermin dalam ungkapan,
mengasah mingising budi, memasuh malaning bumi, dan memayu hayuning bawana,

9
yang bermuara pada pembentukan jalwa sulaksana, insane kamil, sarira bathara, manusia
paripurna yang imbang lahir batin, jiwa-raga, intelektual-spiritual, dan kepala-dada.

E. Pengaruh Ajaran Syekh Siti Jenar


Pengikut Syekh Siti Jenar yang mengamalkan ajaran tarekat al-Akmaliyah sampai
sekarang maish banyak terdapat di wilayah Jawa. Selain al-Aklamiyah, ada juga
kelompok terkat al-Anfusiyah, al-Hakmaliyah, dan sebagian kelompok tarekat
Syathariyah. Mereka tergabung dalam kelompok-kelompok kecil, seperti di Nganjuk,
Banyuwangi, Malang, Kediri, Madura, dan Tulungagung. Demikian pula di Yogyakarta,
Klaten, Banten, Cirebon, dan sebagainya. Bahkan, ajaran wujudiyah juga banyak dianut
oleh sebagian cendekiawan yang mendalami ilmu-ilmu fisika, metafisika, dan kosmologi.
Tetapi, para pengikut ajara Syekh Siti Jenar ersebut sampai sekarang masih banyak yang
enggan memperlhatkan jati dirinya, karena masih trauma oleh “cap” sejarah yang selama
ini dialamatkan kepada Syekh Siti Jenar dan ajarannya. Aktivitas mereka terkoordinir
dengan baik, walau terkadang antara satu dengan yang lain tidak saling mengenal.
Mereka tidak memakai bendera tertentu, juga tanpa padepokan. Memang, beberapa
waktu terakhir ini terapat semacam “padepokan” yang disebut sebagai “Langar Siti
Jenar” di Yogyakarta. Namun, sampai sekarang aktivitasnya belum mengarah sebagai
pusat penyebaran ajaran Syekh Siti Jenar.
Menurut penuturan para penganut dan pengamal ajaran Syekh Siti Jenar yang
sampai dewasa ini masih ada, tarekat ini tetap ada dan diajarakan pada sekitar tahun
1527, beberapa tahun setelah Syekh Siti Jenar wafat. Sanadnya muwatir, bersambung
sampai kepada Rasulullah SAW memalui sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq.
Prinsip utama ajarannya adalah Manunggaling Kawula Gusti, yakni derajat
tertinggi bisa tercapai ketika manusia benar-benar lepas dari basyar (tubuh)-nya. Tak ada
wirid dengan bilangan tertentu. Jemaahnya selalu diingatkan untuk wajib mengingat
Allah kapan pun dan di mana pun, sembari melakukan aktivitas apa pun. Tak ada desah
nafas tanpa menyebut Allah. Semua orang bebas untuk bertemu Allah. Tak ada guru,
kiai, ataupun mursyid, yang terpenting hanyalah mengetahui tata cara dan prinsipnya.
Guru hanya berfungsi sebagai pembimbing bukan penuntun. Baiat hanya difungsikan
sebagai tanda selesainya pelajaan tentang prinsip tarekat. Ajaran ini dapat diserap dengan
cepat, biasanya untuk orang yang cerdas, dalam tempo setengah jam pun sudah bisa

10
mengusai prinsip tarekat ini. Pelajaran paling lama mencapai jangka waktu setengah
bulan. Inti pelajarannya adalah pengetahuan tentang prinsip sangkan, paran, dan dumadi.
Manunggaling Kawula Gusti adalah paham yang mendasar bagi orang Jawa-
Kepercayaan Kejawen. Adapun paham Manunggaling Kawula Gusti yang diartikan
bersatunya hamba dengan Tuhan, dinisbatkan kepada ajaran Syekh Siti Jenar. Dengan
demikian, ajaran Manunggaling kawula gusti Syekh Siti Jenar adalah Cikal Bakal Paham
Kejawen.
Kejawen merupakan campuran (sinkretisme) kebudayaan Jawa asli dengan agama
pendatang yaitu Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Diantara campuran tersebut yang
paling dominan adalah agama Islam itu sendiri. Bicara soal kejawen atau aliran kebatinan
tidak bisa lepas dari istilah-istilah seperti Manunggaling Kawula Gusti, Serat Dewa Ruci,
Sedulur Papt Lima Pancer, Sangkang Paraning Dumadi, Wahyu, kasekten, kramat, tapa
brata, ngruwat dan lain-lain.
Menurut Dr. Purwadi, M. Hum, selama ini Syekh Siti Jenar hanya dikenang dari
Kumandang ajaran Manunggaling kawula gusti. Dalam pandangan Syekh Siti Jenar,
Tuhan bersemayam didalam dirinya, karena “kawula” dan “gusti” telah menyatu.
Seseorang tidak perlu lagi melaksanakan sholat. Syekh Siti Jenar tidak mau
melaksanakan sholat karena kemauannya sendiri.
Menurut Syekh Siti Jenar, pada waktu seseorang melaksanakan sholat, budinya
bisa mencuri. Ketika sedang berzikir, bisa jadi budinya melepaskan hati, dan menaruh
hati kepada seseorang, bahkan terkadang memikirkan dan mengharapkan dunia. Inilah
yang menurut Syekh Siti Jenar membuat dirinya berbeda. Ia telah menjadi Yang Maha
Suci, yang tidak dapat dipikirkan dan dibayangkan.
Persoalannya menjadi lain ketika para murid Syekh Siti Jenar mengembangkan
ajaran ini, dengan beragam pemahaman. Ada yang ekstrem, ada yang lunak. Yang
ekstrem adalah yang meninggalkan sholat. Dalam pandangan ini, anak keturunan Sunan
Gunung Jati, Syekh Siti Jenar adalah seorang wali.
Syekh Siti Jenar berpendapat bahwa :
a. Batu dan kayu itu memiliki zat Tuhan
b. Manusia itu memiliki zat Tuhan
c. Baik makhluk halus maupun makhluk yang tampak, semuanya adalah ciptaan
Tuhan
d. Segala yang dapat dilihat merupakan ciptaan Tuhan yang tampak, sedangkan
yang lain merupakan makhluk halus.

11
F. Kritik terhadap Tasawuf Syekh Siti Jenar
Berbagai pandangan yang dikemukakan Jenar sebenarnya bukanlah barang asing
di kalangan pemikir dan ulama, baik di negeri ini atau pun di berbagai belahan dunia
Islam. Dalam sejarah awal Islam dapat disebutkan sejumlah pemikir besar dan tokoh sufi
seperti bisa dikaji dari pemikiran Ibn `Arabi, al-Hallaj, dan banyak pemikir sufi lainnya.
Mereka pada umumnya memandang bahwa Tuhan tidak cukup dipahami dengan ilmu
tauhid yang disusun dalam kategori logis dan rasional. Demikian pula halnya dengan
berbagai ajaran ritual atau ibadah dan akhlak, yang tak sekadar berkaitan dengan rukun-
rukun tindakan atau perilaku empirik.
Bagi umumnya rakyat kebanyakan, rumus-rumus Tuhan dalam ilmu tauhid dan
ibadah formal tersebut terlalu abstrak dan tidak bersentuhan dengan hajat hidup. Mereka
menempatkan Tuhan sebagai penguasa alam dan dengan cara apa saja yang mereka bisa
lakukan. Tuhan bagi mereka adalah maha penguasa yang dekat dan mudah diajak
berdialog dan senantiasa membela kepentingan rakyat kebanyakan atau wong cilik
tersebut. Dengan demikian, memang ajaran Jenar terkait dengan praktik hidup sufi
sebagai model kehidupan pemeluk Islam baik dalam berhubungan dengan (menyembah)
Tuhan ataupun dalam kerangka hubungan sosial kemasyarakatan. Termasuk dalam
hubungan sosial itu berbagai masalah kehidupan politik dan juga ekonomi. Bahwa
praktek hidup sufi terus berkembang melahirkan pemikiran dan pemahaman serta ajaran
yang satu dengan lainnya saling berbeda bahkan bertentangan.
Demikian juga ajaran wahdah al-wujûd Jenar juga tidak sedikit mengundang
reaksi yang cukup keras, terutama dari kalangan ahli fiqh. Ketika ajaran sufi itu
dikembangkan secara menyimpang dari ajaran Jenar yang asli, yakni Syekh Datuk Abdul
Jalil oleh orang-orang yang setelahnya (dalam hal ini penulis mengikuti pendapat Agus
Sunyoto, orang yang mengaku-aku sebagai Syekh Lemah Abang, yakni Hasan Ali dan
yang mengaku-aku sebagai Syekh Siti Jenar, yakni Ali Hasan Anshar), kegelisahan para
wali, bahkan di antara kalangan elite penguasa Kerajaan Demak pun muncul. Dan pada
akhirnya terjadilah eksekusi mati terhadap Jenar (dalam hal ini orang yang mengaku-aku
sebagai Syekh Lemah Abang, yakni Hasan Ali dan yang mengaku-aku sebagai Jenar,
yakni Ali Hasan Anshar). Setelah kematian orang yang mengakuaku/ memalsu Jenar,
juga muncul suatu peristiwa berupa ancaman hukuman mati terhadap Ki Kebokenongo
murid Jenar. Fenomena itu menunjukkan bahwa ajaran Jenar tidak memperoleh tempat di
kalangan istana kerajaan Demak, namun menjadi berubah bersama surutnya peran wali.

12
Di satu sisi ajaran yang lebih formal seperti dalam tradisi fiqh merupakan fenomena
umum kepenganutan Islam di kalangan istana, berbeda dengan fenomena keberagamaan
rakyat yang lebih apresiatif terhadap ajaran tasawuf seperti berkembang di lingkungan
Jenar. Dan dari sini munculnya oposisi keberagamaan rakyat atas keberagamaan elite
yang kelak terus mewarnai seluruh episode sejarah gerakan dan politik Islam di
Indonesia. Namun, hal ini juga menunjukkan suatu pergolakan pemikiran dan politik
serta sosial-ekonomi pemeluk Islam antara elite penguasa dan masa rakyat yang sedang
tumbuh di kawasan Nusantara yang kini masih memasuki tahapan politik. Dan salah satu
gagasan Jenar yang dapat menimbulkan ketegangan atau permusuhan dari kalangan
Sultan dengan Dewan Walisanganya adalah berkenaan dengan konsep masyarakat
egalitarianisme, termasuk rekonstruksinya mengenai hak-hak kepemilikan tanah.

13
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Syekh Siti Jenar merupakan salahsatu tokoh tasawuf yang memiliki pengaruh
besar di Indonesia terutama untuk masyarakat Islam di pulau Jawa. Bagaimana ajaran,
kebenaran, dan pemikirannya telah menjadi subjek penelitian banyak orang sehingga tak
jarang memunculkan berbagai perdebatan serta memunculkan banyak versi mengenai
sejarah dan keberadaan Syekh Siti Jenar.
Hampir tidak dapat dipastikan kebenaran sumber-sumber informasi tentang
riwayat hidup dan ajaran Syekh Siti Jenar, karena memang tidak jelas dan tidak mudah
pula untuk diungkapkan secara pasti. Banyak kajian sejarah yang mengulas tentangnya
yang berbeda-beda. Sangat berlainan antara satu dengan yang lain (kontradiktif).
Kalaupun ada pula yang sama atau hampir sama, sumber rujukannya ya itu-itu
saja.
Keberadaan Syeikh Siti Jenar diantara wali-wali (ulama-ulama suci penyebar
agama Islam yang mula-mula di jawa) berbeda-beda, dan malahan menurut beberapa
penulis ia tidak sebagai wali. Hanya saja secara objetif, dengan menilik berbagai ajaran-
ajarannya, maka jelas bahwa penampikan posisi Syeikh Siti Jenar sebagai wali tersebut
kurang menemukan dan saran kuat.

14
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, R. (2012). Syekh Siti Jenar Pemutar Balikan Sejarah, Perjalanan Hidup dan
Ajarannya. Solo: AQWAM.
Chodjim, A. (2005). Syekh Siti Jenar Makna "Kematian". Jakarta: Serambi.

Chodjim, A. (2014). Syekh Siti Jenar Makrifat dan Makna Kehidupan. Jakarta: Serambi.

Djaya, A. K. (2007). Pewaris Ajaran Syekh Siti Jenar”membuka pintu makrifat.


Yogyakarta:Kreasi Wacana.

Gaurama, S. (1990). Segi-Segi Hukum Hak Milik Intelektual. Bandung: Eresco.

Hutauruk. (1988). Hak Cipta Terbaru. Jakarta: Erlangga.

Mulkhan, A. M. (2000). Syekh Siti Jenar Pergumulan Islam-Jawa. Yogyakarta: Bentang


Budaya.

15

Anda mungkin juga menyukai