Anda di halaman 1dari 15

AJARAN MANUNGGALING KAWULO GUSTI DALAM PENERAPAN

KEHIDUPAN MANUSIA

Abdullah Akbar A, Alfiatun Najiah, Anas Abdillah, Adam Khoirul Anam


Institut Agama Islam Negeri Metro, Jl. Ki Hajar Dewantara 15A. Kota Metro
Email: farizpsj86@gmail.com
email: alfiatunnajiah38@gmail.com
email: anasabdillah217@gmail.com
email: adamkhoirulll23@gmail.com

Abstrak
Artikel ini membahas tentang ajaran Manunggaling Kawulo Gusti yang di
cetuskan oleh syekh Siti jenar hingga saat ini masih menjadi perbincangan di
kalangan masyarakat. Perbincangan tersebut memunculkan dua kubu pro dan
kontra terhadap ajaran ini, sehingga di butuhkan pemahaman yang komprehensif
dan mendalam dalam memahami ajaran Manunggaling Kawula Gusti.
Manunggaling kawulo Gusti merupakan sebuah aktifitas/proses/tindakan yang
mengarah ke Tunggal atau aktifitas menjadi satu/tunggal antara hamba dan
Tuhan yang digagas oleh Syekh Siti Jenar. Rumusan masalah pada penulisan ini
meliputi: Apa yang di maksud dengan Manunggaling Kawulo Gusti menurut
Syekh Siti Jenar, dan bagaimana ajaran Manunggaling Kawulo Gusti dalam
penerapan di kehidupan manusia. Penulisan ini mencoba mengeksplorasi
permasalahan utama menggunakan jenis penelitian metode Library Research
(studi pustaka), di mana penulis mengambil referensi dari buku dan jurnal
ilmiah, dan tulisan ini juga menggunakan metode analisis literatur pemikiran
Syekh Siti Jenar secara deskriptif. Tujuan penelitian ini adalah untuk
menjelaskan ajaran Manunggaling Kawulo Gusti dalam perspektif tasawuf yang
di cetuskan oleh Syekh Siti Jenar. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ajaran
tarekat Syekh Siti jenar di kategorikan sebagai tarekat a`maliyah yang berkenaan
dengan berbagai macam ajaran rahasia dalam Islam Bentuk ajarannya adalah
tidak adanya mursyid dalam mengamalkan ajarannya, sehingga beliau melarang
murid-muridnya untuk menganggap beliau sebagai mursyid.

Kata kunci: Manunggaling Kawulo Gusti, Ajaran, Syekh Siti Jenar

Abstract

This article discusses the teaching of Manunggaling Kawulo Gusti which was
coined by Syekh Siti Jenar and is still currently being discussed among the
public. This discussion gave rise to two camps for and against this teaching, so a
comprehensive and in-depth understanding is needed in understanding the
teachings of Manunggaling Kawulo Gusti. Manunggaling Kawulo Gusti is an
activity/process/action that leadss to tunggal or the activity of becoming
one/single initiated by Syekh siti Jenar. The formulation of the problem in yhis
writing includes what is meant by Manunggaling Kawulo Gusti according to
Syekh Siti Jenar, and how Manunggaling Kawulo Gusti`s teachings are applied
in human life. This writing tries to explore the main problems using the library
research method (library study), where the author takes references from books
and sscientific journals, and this paper also uses the literary analysis method of
Syekh Siti Jenar`s thoughts, descriptively. the aim of this research is to explain
the teachings of manunggaling kawulo gusti in the perspective of sufism which
was initiated by Syekh Siti Jenar. His teaching was that there were no murshids
in practicing his teachings, so he forbade his students to consider him a murshid.

Keywords: Manunggaling Kawulo Gusti, teachings, Syeikh Siti Jenar

Pendahuluan

Manunggaling kawula gusti memiliki filosofi bahwa bersatunya raja dengan


rakyatnya. Manunggaling kawula gusti terjadi apabila seseorang telah mampu
menyerahkan seluruh hidup untuk Tuhan, maka mampu membiarkan Tuhan mengurus
ciptaannya melalui diri ini menjadi salah satu instrument Tuhan dalam mengurus alam
semesta ini.

Nama Syekh Siti Jenar, dalam artikel ini disebut Jenar, memang populer di
kalangan kaum muslimin, khususnya orang Jawa, dan lebih khusus lagi bagi para
penganut kebatinan atau kejawen, dan sekaligus ia menjadi tokoh yang kontroversial.
Pandangan orang Jawa yang beragama islam pun terhadap tokoh ini cukup beragam, dari
yang menerima sampai yang menolak. Di satu sisi tokoh Jenar dapat dianggap positif
dalam meningkatkan jumlah pemeluk Islam. Mengapa. karena orang Jawa yang tidak
mau menerima agama Islam secara utuh seperti yang diajarkan Rasulullah Saw.
kemudian ajaran itu telah bercampur dengan adat istiadat Arab, dan mereka mau
menerima islam seperti yang diajarkan Jenar. Di sisi lain, orang Jawa yang menerima dan
meyakini islam sebagai suatu sistem nilai yang utuh, maka mengamalkan islam seperti
Jenar mengandung resiko tidak diakui sebagai umat nabi Muhammad SAW.

Di antara dua kutub ekstrem itu ada banyak ragam sikap masyarakat terhadap
Jenar, sesuai dengan kadar keyakinan masing-masing terhadap islam. Di sini masalahnya,
bahwa berbagai sikap itu sangat terkait dengan sumber yang digunakan dalam mengkritisi
pemikiran dan ajaran Jenar. Dengan ungkapan lain, sumber-sumbernya telah
memengaruhi pengetahuan bahkan kepercayaan masyarakat tentang sosok Jenar. Untuk
itu bagaimana kita menggunakan sumber-sumber rujukan dan melakukan analisa kritis
terhadapnya agar tidak menolak atau membenarkan pemikiran dan ajaran Jenar secara
proporsional.
Dibutuhkan pemahaman secara objektif sehingga kekontroversialan itu dapat
diminimalisir. Kesalahpahaman penafsiran masyarakat awam terhadap corak
Manunggaling Kawula Gusti ini menarik untuk di kaji guna mendapatkan kebenaran
tentang pengetahuan sejarah secara lebih tepat. Dalam tulisan ini sejumlah masalah akan
dikaji, apa pemikiran dan ajaran syekh Siti Jenar, bagaimana ajaran Manunggaling
Kawulo Gusti dalam penerapan di kehidupan manusia.

Metode

A. Metode Penelitian

Dalam penulisan ini Penulis menggunakan metode Libarary Research (riset


kepustakaan). Melalui metode ini Penulis mengambil sumber atau rujukan dari berbagai
jurnal dan buku yang berkaitan dengan ajaran Manunggaling Kawulo Gusti dalam
penerapan kehidupan manusia guna memperkuat pernyataan dalam penulisan ini. Karya
tulis ini diharapkan nantinya mampu memberikan banyak arti kepada pembaca karena
adanya pembacaan dan perspekif baru, khususnya kajian dalam aspek kebahasaan yang
digunakan oleh Siti Jenar. Dengan demikian, Penulis memaparkan sedikit sejarah Siti
Jenar dan pemikirannya serta ajaran-ajarannya, sehingga dapat ditarik kesimpulan
maksud dari istilah Manunggaling Kawula Gusti serta juga dapat diambil suatu manfaat
(nilai aksiologisnya) untuk masa kini dan mendatang, misalnya mendapatkan sumber
kajian yang lebih objektif serta mendapatkan pengetahuan yang lebih tepat.

B. Pendekatan Penelitian

Pada penulisan ini, Penulis melakukan pendekatan studi keilmuan guna


menjelaskan permasalahan yang digunakan dalam objek penelitian. Adapun pendekatan
yang Penulis lakukan adalah: Pendekatan Filosofis, yaitu mendekati objek permasalahan
secara universal dan sistematis untuk menemukan hakikat objek sepanjang kemampuan
Penulis. Pendekatan Holistik, yaitu pendekatan yang dipakai untuk memahami
konsepkonsep ajaran Manunggaling Syekh Siti Jenar yang akan dilihat dalam kerangka
keseluruhan pemikirannya.

C. Metode Pengumpulan Data

Observasi, metode ini sering kali diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan
secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Teknik observasi
sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik hendaknya dilakukan pada obyek.
Dalam menggunakan metode observasi caar efketif yang digunakan Penulis adalah
menyusun format yang berisi item-item dalam bentuk teks.

Dokumentasi, teknik ini adalah cara mengumpulkan data melalui peninggalan


tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku yang berhubungan
dengan penulisan karya tulis ilmiah ini.

Hasil dan Pembahasan

A. Riwayat Hidup Syekh Siti Jenar

Syekh Siti Jenar sampai sekarang dikenang sebagai sosok yang legendaris,
kontroversial, sekaligus misterius yang pernah hidup di tanah Jawa. Kontroversial dan
misterius dikarenakan tidak adanya sebuah kepastian referensi tentang diri Siti Jenar, baik
itu tahun hidupnya, kematiannya, dan konflik yang terjadi antara Jenar dengan
Walisongo. Hal tersebut dapat terjadi karena Jenar tidak pernah menuangkan gagasan dan
kisah hidupnya dalam selembar kertas. Sehingga, beragam versi tentang Jenar pun
bermunculan.

Dalam buku Bratakesawa yang dikutip oleh Mulkhan menjelaskan bahwa Siti
Jenar merupakan seorang anak yang memiliki nama asli Ali Hasan alias Abdul Jalil. Ali
Hasan merupakan putra dari Resi Bungsu, seorang pendeta kerajaan kala itu. Suatu
ketika, sang ayah marah besar atas kesalahan yang dilakukan anaknya, sehingga seorang
ayah mengutuk anaknya menjadi seekor cacing. Pada waktu yang bersamaan, sunan
Bonang sedang mengajarkan ilmu ghaib kepada sunan Kalijaga di atas perahu yang
bocor. Sunan Bonang berniat menambal perahu tersebut dengan tanah rawa, ternyata di
dalam tanah yang dibuat untuk menambal perahu tersebut dihuni seekor cacing. Sunan
Bonang lantas mengetahui ada makhluk lain yang mendengar ajarannya, lantas sunan
Bonang mengubah cacing itu menjadi manusia dan diberi nama Siti Jenar (Mulkhan,
1999).

Versi lain yang dipaparkan oleh Sholihin menyatakan bahwa syekh Siti jenar
diperkirakan hidup antara tahun 1426-1517 M. Siti Jenar lahir sekitar tahun 1426 M di
lingkungan Pakuwuan Caruban (pusat kota Caruban Larang saat itu) atau sekarang lebih
dikenal dengan Keraton Cirebon. Sosok Jenar dilahirkan dengan nama kecil San Ali,
bukan Hasan Ali ataupun Ali Hasan seperti yang ditulis oleh beberapa peneliti. Ayah
Jenar adalah seorang ulama yang berasal dari Dataran Malaka dengan nama Syekh Datuk
Shaleh bin Syekh Isa Alawi (Sholikhin, 2004).

Siti Jenar hidup dalam lingkungan orang-orang yang memegang teguh ajaran
syari`at Islam. Ayah Jenar merupakan seorang muslim syari`at sejati, begitu pula orang-
orang sekelilingnya (Chodjim, 2013). Pada intinya, bahwa jati diri da nasal usul Siti Jenar
sampai sekarang belum jelas, belum ada sumber yang dianggap shahih. Dalam beberapa
publikasi, nama Jenar kadang-kadang disebut Syekh Siti Brit atau Syekh Lemah Abang.
Dalam pengertian Bahasa Jawa, Jenar berarti kuning, sedangkan Brit berasal dari kata
Abrit yang berarti merah sama dengan arti kata Abang yang berarti merah (Derani, 2020).

B. Pemikiran Syekh Siti Jenar

Pemikiran Jenar dapat dikelompokkan ke dalam beberapa gagasan, yaitu tentang


Tuhan, hidup dan mati, jalan mengenal Tuhan, dan bagaimana menjalani kehidupan di
dunia ini. Sebuah gagasan yang lebih mengedapankan dimensi spiritual keagamaan
daripada berbagai aturan formal ritual. Namun, karena itu menjadi popular di kalangan
masyarakat kebanyakan, kaum tertindas dan pinggiran serta kaum awam dari kelas social
yang lebih tinggi. Berangkat dari situlah oleh Munir disebut dengan “Ma’rifat Siti Jenar”
yang lebih banyak diapresiasi oleh masyarakat kelas bawah yang dalam sejarah social di
Indonesia dikenal sebagai wong cilik dan kaum awam yang sering disebut sebagai kaum
abangan (M.Mulkhan, n.d.).

Pandangan Siti Jenar mengenai Tuhan memang erat kaitannya dengan istilah
Manunggaling Kawula Gusti. Pandangannya tentang ketuhanan untuk maksud
memperoleh gambaran yang jelas tentang konsep manunggaling kawula Gusti. Konsep
mistik istilah ini dalam budaya Jawa secara teologis menjelaskan tentang tata laksana
hubungan manusia dengan Tuhan, secara sosiologis menjelaskan tentang tata laksana
hubungan manusia dengan sesama, dan secara ekologis menjelaskan tentang tata laksana
hubungan manusia dengan lingkungan. Nampaknya pandangan Jenar dengan para
penganut pandangan wahdatul wujud tidak jauh berbeda (Muryanto, 2004).

Selanjutnya, dalam pandangan Jenar mengenai manusia, beliau mengajarkan


bahwa dengan seseorang menyadari bahwa manusia sebagai wakil Tuhan di bumi, “maka
hendaknya masing-masing kalian berpegang pada tatanan hukum ilahi (syari`at) yang
bersumber dari sabda Allah dan teladan Nabi. Disinilah Siti Jenar menekankan inti
ajarannya, yang pada intinya agar manusia beralih dari tatanan lama yang tidak
memanusiakan manusia kepada tatanan baru, yakni tatanan ilahi yang sebagaimana
diteladankan oleh Rasulullah di masa awal Islam.

Manusia harus mengenal dirinya sendiri dan menyadari kemana tujuan hidupnya.
Keinginan Jenar adalah mengajari manusia untuk bisa mengenal dunia sebagaimana
adanya. Ajaran ketuhanan Jenar sebenarnya merupakan bentuk pemahaman batin dalam
menjalani hidup sebagai seorang muslim. Bagi Jenar, iman bukanlah sekedar
kepercayaan, atau menelan mentah-mentah bunyi ayat kitab suci. Iman yang demikian
dianggap sebagai keyakinan palsu, karena hanya sebatas retorika dan teori semata. Iman
yang sesungguhnya adalah iman yang didasari dengan penghayatan, pengalaman, serta
keyakinan dari dalam batin. Islam yang diajarkan oleh Jenar adalah Islam yang esensial,
yang khas dan sesuai dengan karakternya. Jenar tidak melihat dari keyakinan mana para
muridnya itu. Hindu, Budha, Islam, Kejawen semuanya berbondong-berbondong untuk
belajar kepada Jenar. Hal ini karena corak kebertuhanan Jenar yang tidak membeda-
bedakan agama dari segi tempat, namun lebih mengutamakan isinya.

Sementara pandangan Jenar mengenai jiwa adalah suara hati nurani yang
merupakan ungkapan dari zat Tuhan yang harus ditaati dan dituruti perintahnya. Siti
Jenar membedakan antara apa yang disebut jiwa dan akal. Jiwa, selian merupakan
ungkapan kehendak Tuhan, juga merupakan penjelmaan dari Tuhan itu di dalam jiwa itu
sendiri, sehingga badan atau raga dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. Sementara akal,
adalah kehendak, angan-angan dan ingatan yang kebenarannya tidak sepenuhnya dapat
dipercaya karena selalu berubah-ubah. Lain halnya dengan akal, jiwa yang bersal dari
Tuhan itu mempunyai sifat yang kekal atau langgeng sesudah manusia mati yang
melepaskannya dari belenggu badan manusia.

Gagasan Jenar yang mencakup bidang ketuhanan, kemanusiaan dan alam semesta
bersumber dari konsep bahwa manusia adalah jelmaan zat Tuhan. Hubungan jiwa (dari
Tuhan) dan raga berakhir sesudah manusia menemui ajal atau kematian di dunia. Setelah
itulah manusia bisa manunggal dengan Tuhan dalam keabadian. Pada saat itu, semua
bentuk badan atua tubuh jasmani ditinggal karena barang baru yang dikenai kerusakan
dan semacam barang pinjaman yang harus dikembalikan pada yang punya, yaitu Tuhan
itu sendiri (Mulkhan, 1999).
C. Ajaran Tarekat Syekh Siti jenar

Ajaran tarekat yang disampaikan Jenar (dalam hal ini disebut dengan nama Abdul
Jalil oleh Agus Sunyoto) adalah ajaran tarekat a`maliyyah yang disebarluaskan berkenaan
dengan ajaran rahasia. Ajaran tarekat ini dimaksudkan untuk menempuh jalur menuju
Allah secara cepat dan tepat yang disebarluaskan kepada masyarakat dan menjadi inti
pengajaran Jenar yang ia sendiri telah menempuh secara nyata dalam berbagai
pengalaman spiritual.

Dalam ajaran tarekat a`maliyyah ini tidak ada mursyid dalam bentuk jasad
manusia, sehingga Jenar melarang murid-muridnya untuk menganggap dirinya sebagai
mursyid. Adapun mursyid dari masing-masing manusia menurut Jenar adalah ruh yang
harus diaktifkan, dan hal ini berada di dalam diri setiap manusia. Sementara keberadaan
Jenar, sebagaimana ia memperkenalkan keberadaan dirinya kepada muridnya, hanyalah
sebsgai guru (pembimbing) rohani yang berkewajiban membimbing murid untuk
mengenal mursyid di dalam diirnya. Jika mursyid dalam dirinya sudah aktif, maka tidak
diperlukan lagi kehadiran mursyid dalm bentuk fisik manusia, itulah sebabnya, ia hanya
berkenan dipanggil dengan Syekh (Sunyoto, 2004).

Akhir dari perjalanan mistik Jenar adalah ajaran ma`rifat yang tertinggi yakni
ajaran manunggaling kawulo Gusti. Pada perkembangan selanjutnya, ajaran ini
dimodifikasi dengan format yang beraneka ragam. Salah satu variannya dituangkan
dalam bentuk cerita “Bimapaksa” dan cerita “Dewa Ruci”. Perumpamaan kemanunggalan
manusia dengan Tuhan adalah seperti cermin dengan yang bercermin, bayangan yang
berada dalam cermin itu namanya adalah kawula atau hamba, dan cermin ibarat Tuhan.
Konsep Manunggaling Kawula Gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan (wahdatul
wujud) yang dipergunakan untuk menggambarkan dalam kepustakaan Islam kejawen
adalah curiga manjing warangka, warangka manjing curiga, yang maksudnya adalah
manusia masuk dalam diri Tuhan laksana Aryasena masuk dalam tubuh Dewaruci, atau
sebaliknya, warangka manjing curiga. Yakni Tuhan masuk dalam diri manusia, seperti
halnya dewa Wisnu pada diri Krisna (Purwadi, 2005).

Bagi umumnya orang, rumus-rumus Tuhan dalam ilmu tauhid dan ibadah formal
tersebut terlalu asbtrak dan tidak bersentuhan dengan hajat hidup. Mereka menempatkan
Tuhan sebagai penguasa alam dan dengan cara apa saja yang bisa mereka lakukan. Tuhan
bagi mereka adalah makna penguasa yang paling dekat dan mudah diajak berdialog dan
senantiasa membela kepentingan rakyat kebanyakan atau wong cilik tersebut. Dengan
demikian, ajaran Siti Jenar memang terkait dengan praktik hidup sufi sebagai model
kehidupan pemeluk Islam baik dalam berhubungan dengan Tuhan ataupun dalam
kerangka hubungan social kemasyarakatan. Termasuk juga kehidupan poliik dan ekonomi
dalam hubungan sosial.

Selanjutnya, berkenaan dengan ajaran Jenar dapat juga dikaji dengan pendekatan
ilmu tasawuf yang mengelompokkan tasawuf ke dalam dua macam: tasawuf sunni dan
tasawuf falsafi. Ajaran Jenar sama halnya dengan ajaran Ibn Al-Arabi tentang wahdatul
wujud tentang konsep hulul-nya al hajj, dama arti sama-sama dapat dimasukkan ke dalam
jenis tasawuf falsafi. Yaitu suatu jenis tasawuf yang masuk ke dalam suatu system
berpikir para sufi terdahulu dalam merefleksikan ajaran-ajaran tasawuf, dimana lebih
berorientasi pada teori-teori yang ada dan menggunakan pendekatan filsafat secara kritis,
sistematis, radikal, dan universal.

Tasawuf falsafi merupakan sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan
(ma`rifat) dengan pendekatan rasa dan rasio (filsafat) hingga menuju ke tingkatan yang
lebih tinggi, dan menuju ke jenjang yang lebih tinggi yaitu wahdatul wujud (kesatuan
wujud).

Sebagai seorang pemikir, gagasan dan pemikiran Siti Jenar sesungguhnya dinilai,
khususnya oleh kalangan walisongo sebagai amat liberal dan kontroversial. Syekh Siti
Jenar dianggap melawan arus besar keagamaan yang dibangun oleh kolaborasi kekuasaan
(kerajaan Demak Bintara pimpinan Raden Fatah) dan elit agamawan yang terdiri atas
walisongo (Dahri, 2005). Dengan demikian, berkenaan dengan ajaran Manunggaling
Kawula Gusti bukan semata ajaran mistik, terbukti dari aplikasi ajaran tersebut baik oleh
Jenar sendiri maupun murid dan pengikut-pengikutnya, mereka mampu menjadi manusia
yang shalih dalam hal spiritualitas religious, bermanfaat secara sosial dan menjadi acuan
bagi peradaban pada zamannya, memiliki etos kerja yang tinggi dan aktif dalam gerakan
kemanusiaan melawan segala bentuk kezhaliman.

D. Konsep Ajaran Manunggaling kawulo Gusti

Suluk atau perjalanan menuju Allah merupakan proses peralihan jiwa dari yang
kotor dan tercemar menuju jiwa yang suci, peralihan akal dari non-syar’i menuju syari,
peralihan dari hati yang kafir menuju hati yang tentram, tenang dan sehat. Juga
merupakan perubahan nilai dari roh yang jauh dari Allah dan semakin dekat dengan
Allah.(Sholikhin, 2014).

Biasanya Syekh Siti Jenar menerangkan tentang asal usul kehidupan (sangkaning
dumadi) untuk awal awal pengenalan ajarannya kepada muridnya. Kemudian
menjelaskan tentag awal pintu dari kehidupan dari yang tampak dalam fisik sampai yang
tidak tampak yakni rohani manusia. Dan selanjutnya adalah ajaran yang menjelaskan
tentang kehidupan kekal dan abadi dan menjelaskan kematian yang dialami manusia
dalam kehidupan didunia. Setelah itu Syekh Siti Jenar menjelaskan bahwa kematian
dalam hidup dapat dikehendaki sendiri dengan syarat kehendaknya harus menyatu dengan
kehendaknya Hyang Manon, lewat penutupan dari berabagai jalan kehidupan untuk
menyatu dengan al-Hāq. Tiba pada yang paling puncak adalah penjelasan mengenai
adanya Tuhan yang Maha Luhur, yang mencipatakan alam semesta beseta isinya, dan
merupakan tempat bermuara para manusia sempurna (paraning dumadhi).

Syekh Siti Jenar beranggapan bahwa ilmu rahsaning (rasa) yang menjadi pokok
ajarannya harus disampaikan kepada masyarakat luas tanpa memandag pangkat, drajat
dan strata. Tidak boleh teradapat ilmu yang disembunyikan dari seluruh lapisan
masyarakat, semua orang berhak mendapatkan ilmu dari Allah dan dari orang yang
diberikan karunia oleh Allah tentang ilmu tersebut. Meskipun sudah diingatkan oleh
Sunan Giri, sampai di era Demak berdiri kokoh Ia tetap mengajarkan ajarannya dan terus
memperlebar jangkauannya kepada masyarakat luas (Solikhin, 2014).

Dalam proses menuju ma’rifat’ tidaklah mudah, perjalanannya dipenuhi dengan


tinkungan yang tajam dan bebatuan yang besar. Perjalanan spiritual memerlukan waktu
yang panjang dan harus dilakukan secara intens dengan kearifan yang tinggi, kesabaran,
keikhlasan dan lain-lain. Perjalanan menuju Allah yakni proses perubahan dan peralihan
dari jiwa yang tidak atau kurang sempurna menuju jiwa yang lebih dan sangat sempurna
adalah salah satu komponen atau tahapan dalam proses tersebut. Tercapainya hati yang
tenang dan tentram bukanlah puncak dari semua proses perjalanan menuju Allah.

Rukun perjalanan menuju Allah yang utama ada dua sendi, yaitu ilmu dan dzikir,
diantara keduanya terdapat proses amal shalih. Jika kedua rukun ini tidak terpenuhi maka
tidak akan tercapai tujuan tersebut. Ilmu sebagai penerang jalan dan dzikir adalah bekal
dan penunjang dalam perjalanan yang nantinya akan semakin tinggi llagi tigkatannya.
Syeikh Siti Jenar menyatakan, “Adanya Allah karena zikir. Zikir membuat lenyap Zat,
Sifat, Asma, dan Af`al (perbuatan) Yang Mahatahu. Digulung menjadi „antaya‟ dan rasa
dalam diri. Dia itu saya! Timbul pikiran menjadi zat yang mulia”.

Ilmu sangat dibutuhkan dalam mengetahui persoalan yang bersifat Ilahiyah dan
hikmah-hikmah-Nya, sedangkan dzikir dibutuhkan agar selalu didampingi oleh-Nya
dalam setiap proses dan perjalanan yang panjang tersebut.

Berawal dari sini muncullah dua golongan besar dalam penempuhan jalan rohani
ini. Pertama adaah golongan yang lebih memperbanyak dan memperhatikan zikir disertai
ilmu. Kedua adalah golongan yang memperbanyak dan menekuni ilmu disertai dengan
zikir. Kedua golongan tersebut sama-sama mampu mencapai tujuan akhir dengan izin
Allah.24

Manungaling kawula gusti dapat digambarkan bahwa hanya hati yang suci dan
terbaik yang mampu menangkap wujud ada yang Maha Kuasa. Dalam konsep Jawa yang
disebut Allah itu adalah “tan kinoyo ngopo”, tak dapat diumpamakan seperti sesuatu, oleh
karena itu dia maha suci dari usaha “meng-kayak-kayak-kan”, menyerupakan ini dan itu.
Pernah kita mendengar ungkapan seperti “gusti Allah”, “gusti”, “gusti kang Mahasuci”
dibedakan dalam perbincangan mistik Jawa (Mulkhan, n.d.)

Konsep Manunggaling kawula gusti atau kesatuan manusia dengan Tuhan


(wahdat al-wujūd) yang digunakan dalam kepustakaan Islam Kejawen adalah curiga
manjing warangka, warangka manjing curiga. Yakni, manusia masuk kedalam diri Tuhan,
sebagaimana Arya Sena yang dikisahkan masuk kedalam tubuh Dewaruci atau
sebaliknya, warangka manjing curiga. Dimana Tuhan masuk ke dalam diri manusia,
seperti halnya dewa Wisnu nitis ke dalam diri Krisna. Nitis yang dimaksud adalah
masuknya roh dewa ke dalam diri manusia yang dikehendaki, atau roh manusia ke dalam
diri binatang, tertera dalam serat wirid hidayat jati. Konon, toh manusia yang sesat tidak
bisa kembali ke dalam singgasana Tuhan, melainkan akan nitis ke dalam alam brakasakan
(jin), bangsa burung, binatang, dan air (Djaya, 2007).

Syekh Siti Jenar sendiri telah menjelaskan konsep manunggaling kawula gusti
dengan uni nong aning unong. Yakni selagi mereka yang telah menemukan kesatuan
dengan hakikat hidup atau Dzat Tuhan, segala bentuk peribadatan adalah kepalsuan.
Karena Tuhan bebas dari hukum kealaman, maka manusia telah menyatu dengan Dzat
Tuhan akan mencapai keabadian yang tidak mengalami kerusakan. Inti dari jalan ma’rifat
Syekh Siti Jenar adalah keterpusatan seluruh diri kepada Allah dengan menyatukan iradat
dan kodrat diri kepada Allah serta menyatukan semua sifat, asma’, dan af’al diri dengan
Allah melalui metode utama yakni semedi. Hal ini dapat dilogika dengan mengacu pada
pola spiritualitas Nabi Muhammad Saw. Yakni dimulai dengan semedi (khalwat) di Gua
Hira, mendapatkan wahyu, pengejewantahan nilai spiritual dalam kehidupan, mengalami
mi’raj, dan turun menjadi manusia. Inilah konsep yang disebar luaskan oleh Syekh Siti
Jenar di wilayah Asia Tenggara.

Pandangan Syekh Siti Jenar terhadap tuhan sangat erat kaitannya dengan konsep
Manunggaling Kawula Gusti. Meskipun Ia juga memiliki pemkiran-pemikiran lainnya
baik yang terkait dengan ketuhanan maupun kehidupan. Ajaran syekh siti jenar banyak
yang menyalahi syariat agama islam. Seperti sholat, ajaran syariat sholat yang dibawa
olehnya bukan seperti syari’at yang telah diajrkan oleh wali songo. Syekh siti jenar shalat
dari sisi jasmaniah-fisik memiliki keterbatasan dalam semua hal; tempat, waktu, kesucian
badan, pakaian dan sebagainya, maka shalat dari segi rohani tidk terbatas dan tidak
dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu. Shalat ruhaniah tidak terikat oleh ruang dan
waktu masjid untuk sholat rohani terlatak di dalam hati. Jamaahnya terdiri dari anggota-
anggota batin atau daya-daya rohaniah yang berzikir. Imam dalam shalat rohani adalah
kemauan dan niat yang kuat. Dan kiblatnya adalah Allah. Inilah yang dimaksud dengan
shalat dhaim yang di ajarkan oleh Syeikh Siti Jenar. Syaikh Siti Jenar berpendapat bahwa
di dunia ini manusia akan ditemukan dengan benntuk surga dan neraka, manusia adalah
wakil Allah dan harus menyadarinya agar segera memperbaiki dan menghiasi dengan
amalan amalan kebajikan dan agar terhindar pula dari kesialan dan kemadharatan. Bagi
Syekh Siti Jenar, Wali Songo telah salah dalam memahami ajaran hidup dan mati, serta
surga dan neraka yang tidak berada di alam ini, tetapi di alam akhirat nanti. Karena itu,
Syekh Siti Jenar tidak henti hentinya menyebarkan ajarannya, walaupun ditentang oleh
mereka sekalipun (Hadisuwarno, 2018).

Thariqoh yang dianut oleh syekh siti jenar adalah thoriqoh sattariyah, ia mulai
mengenal dan menganut paham ini ketika belajar di Makkah. Ia melihat pandangan
mengenai apa yang ia yakini sekarang ini adalah dari mengikuti ajaran thoriqoh tersebut,
siang dan malam selalu mensucikan prilakunya dan menguasai ilmu luhur demi menjadi
wakil Allah di Bumi. Murid-muridnya sangatlah banyak, hanya saja yang paling terkenal
dan yang paling memahami serta mempraktekkan ajarannya. Mereka adalah Ki
Pringgoboyo, Ki Chantulo, Ki Donoboyo, dan Ki Bisono. Keempat muridnya tersbut
memahami betul bahwa manusia adalah wakil Allah dan juga mempraktekkan untuk
senantiasa mensucikan diri siang dan malam demi menguasai ilmu luhur sebagaimana
yang dikerjakan oleh Syeikh Siti Jenar.

Penampilan Syaikh Siti Jenar sangatlah sederhana, tidak suka kemewahan dan
rendah hati, namun ilmunya sangat dalam. Inilah yang menjadikan muridnya semakin
banyak dan terdiri dari berbagai golongan mulai dari rakyat biasa sampai dengan
kalangan bangsawan. Ki Ageng Pengging yang merupakan Keturunan Raja dari kerajaan
Majapahit juga murid Syaikh Siti Jenar.

Para orang-orang yang tinggal di Kesultanan Demak Bintoro melakukan hal yang
sangat tidak wajar setelah menjadi murid dari syeikh Siti Jenar. Mereka melanggar
hukum, berbuat onar dan seperti sudah kehilangan akal sehat karena tujuannya adalah
untuk mengakhiri kehidupan di dunia yang merupakan kematian baginya dan menuju
kepada kmatian yang merupakan awal dari kehidupan yang kekal. Kemudian Raden
Fattah berdiskusi dengan para Wali Sanga di Masjid Demak. Disini Raden Fattah
mencritakan prilaku aneh murid murid Syeikh Siti Jenar dan meminta pendapat kepada
para wali songo terkait tindak lanjut yang harus dilakukan. Kemudian Sunan Bonang
menyarankan agar masalah ini diselesaikan oleh para Wali Songo saja dan inilah
munculnya ide untuk pemanggilan Syeikh Siti Jenar di Masjid Demak dengan tujuan
diajak berdiskusi terkait pemahaman sufi-nya yang menyalahi aturan syariat.

Setelah melakukan diskusi yang panjang, akhirnya diutuslah wali lima dan 40
santrinya untuk mengahadap ke Syekh Siti Jenar dan menyampaikan surat panggilab.
Namun, setelah sampai di rumahnya para wali 5 tersebut masuk dan muritnya menunggu
diluar dan untuk mengamankan. Saat menemuinya para wali mengucapkan salam lebih
dari 3 kali dan tidak dijawab olehnya. Sampai pada akhirnya sunan bonang mengambil
inisiatif untuk dudk didepan syekh siti jenar yang sedang bersila dan dipegang
pundaknya. Para wali menyampaikan maksud tujuannya kemari dan Syaikh Siti Jenar
masih bersikukuh untuk tidak mau datang ke masjid Demak. Ia hanya akan menuruti apa
yang hatinya iinginkan.

Syekh Siti Jenar melanjutkan perkataannya bahwa ia hanya menuruti perintah


hatinya, selain itu tidak ada yang ia turuti, meskipun yang memerintah adalah seorang
raja atau wali sekalipun. Akhirnya setelah melalui berbagai dialog Syaikh Siti Jenar
memenuhi panggilan wali dan bahkan memilih untuk menjalani hukuman mati dengan
caranya sendiri. Dan setelah kematian Syaikh Siti jenar disusul kematian 4 murid Syaikh
Siti Jenar dengan memilih caranya tersendiri.

Meskipun banyak yang mengannggap bahwa ajaran manunggaling kawula Gusti


itu sesat, tetapi banyak pula yang beranggapan bahwa Ia merupakan sosokintelektual
yang telah mencapai esensi Islam itu sendiri, Ajaran-ajarannya tertuang dalam karya
sastra buatannya yang disebut pupuh. Ajaran yang sangat mulia dari Siti Jenar adalah
budi pekerti (Sholikin, 2014).

Kesimpulan

Nama Syekh Siti Jenar menjadi populer atau terkenal dikarenakan pernyataannya
yang dianggap sesat bagi sebagian orang, dimana pernyataan tersebut kemudian dikenal
dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti. Di satu sisi, Syekh Siti Jenar dianggap
positif dalam meningkatkan jumlah pemeluk Islam., dimana mayoritas orang Jawa yang
pada masa itu tidak menerima ajaran agama Islam secara utuh seperti apa yang diajarkan
Rasulullah SAW, yang kemudian oleh syekh Siti Jenar disesuaikan dengan adat istiadat
masyarakat Jawa, sehingga mereka menerima ajaran beliau. Di sisi lin, orang Jawa mau
menerima dan meyakini Islam sebagai suatu sistem ajaran yang utuh, maka mengamalkan
dengan cara apa yang diamalkan oleh syekh Siti Jenar mengandung resiko tidak diakui
sebagai ummat Nabi Muhammad SAW.

Manunggaling kawula gusti memiliki filosofi bahwa bersatunya raja dengan


rakyatnya. Manunggaling kawula gusti terjadi apabila seseorang telah mampu
menyerahkan seluruh hidup untuk Tuhan, maka mampu membiarkan Tuhan mengurus
ciptaannya melalui diri ini menjadi salah satu instrument Tuhan dalam mengurus alam
semesta ini, dan hingga perbincangan hingga kajian mengenai seorang Syekh Siti Jenar
dan ajarannya masih terus berlangsung, sehingga ajaran yang dicetuskannya mewarnai
khazanah perbendaharaan di Indonesia.
Daftar Pustaka

Chodjim, A. (2013). Syekh Siti Jenar: Makrifat Kasunyatan.

Dahri, H. (2005). Meluruskan Pemikiran Tasawuf Upaya Mengembalikan Tasawuf


Berdasarkan Al-Qur’an dan Al-sunnah. Wahyu Press.

Derani, S. (2020). Syekh Siti Jenar : Pemikiran dan Ajarannya. Buletin Al-Turas, 29(2),
325–348.

Djaya, A. K. (2007). Pewaris Ajaran Syeikh Siti Jenar “Membuka Pintu Makrifat.”
Kreasi Wacana.

Hadisuwarno, S. (2018). Biografi Lengkap Syekh Siti jenar (Cet. 1). Laksana.

M.Mulkhan, A. (n.d.). Makrifat Siti Jenar: Teologi Pinggiran dalam Kehidupan Wong
Cilik. Grafindo Khazanah Ilmu.

Mulkhan, A. M. (n.d.). Ajaran dan Jalan Kematian Syeikh Siti Jenar.

Mulkhan, A. M. (1999). Syekh Siti Jenar pergumulan Islam Jawa. Yayasan Bentang
Budaya.

Muryanto, S. (2004). Ajaran MANUNGGALING KAWULA-GUSTI (A. D. H. P. Kususma


(ed.)). Kreasi Wacana.

Purwadi. (2005). Ilmu kasampurnan Syekh Siti Jenar.

Sholikhin, M. (2004). Sufisme Syekh Siti Jenar: Kajian Kitab Serat dan Suluk Siti Jenar.
Narasi.

Sholikhin, M. (2014). Ajaran Makrifat Syeikh Siti Jenar (Cet. 1). Narasi.

Sholikin, M. (2014). Manunggaling Kawula Gusti; Filsafat Kemanunggalan Syeikh Siti


Jenar (Cet. 1). Narasi.

Solikhin, M. (2014). Sufisme Syeikh Siti Jenar; Kajian Kitab Serat dan Suluk Syeikh Siti
Jenar (1st ed.). Narasi.

Sunyoto, A. (2004). Suluk sang pembaharu: perjuangan dan ajaran Syaikh Siti Jenar
(buku lima). LKiS.

Anda mungkin juga menyukai