Anda di halaman 1dari 14

HUNTING BARAKAH TO WALIULLAH

(Q.10:62 in the Context of Sufism Community in Mojokerto, East Java)

Irwan Ahmad Akbar*


UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang
Corresponding Author: irwanahmadakbar@gmail.com

Masdar Hilmy
UIN Sunan Ampel, Surabaya

Abstrak: Tradisi berburu barakah pada sosok waliyulloh oleh masyarakat Islam Jawa sebenarnya telah lama terjadi dan
dilakukan secara turun menurun. Tradisi ini biasa dilakukan oleh masyarakat dengan wajah Islam tradisional. Salah satu
yang menarik perhatian peneliti untuk melakukan penelitian, terkait adanya suatu komunitas tarekat berinisial SL, yang
berasal dari Mojokerto. Pimpinan komunitas ini sebut saja sebagai Kiai M. Dalam komunitas ini, Kiai M dikenal sebagai
sosok waliyullah tertinggi yang hidup bumi. Itu mengapa, banyak sekali anggota komunitas SL yang berlomba untuk semakin
mendekatkan diri agar mendapatkan barakah. Variabel yang membuat peneliti lebih tertarik lagi adalah betapa keyakinan
tersebut terbentuk melalui pesan-pesan naratif yang terikat oleh penafsiran terhadap Q.10:62. Dengan menggunakan teori
praktik sosial Bourdieu, penelitian ini berupaya menganalisis tiga fitur yakni, Arena dan habitus komunitas SL serta
modalitas masing-masing agensi dalam komunitas SL. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa Q.10: 62 adalah doxa yang
mewarnai Habitus Komunitas SL. Sehingga semakin menambah modalitas simbolik Kiai M sebagai pemegang otoritas
tertinggi. Itu mengapa banyak orang yang patuh terhadap sosok Kiai M ini.

Kata Kunci: Barakah, Waliyulloh, Arena, Habitus, Modal.

Introduction
Semula, Qur’an-hadits hanyalah menjadi teks yang dikaji sebagai objek penelitian. Namun baru-
baru ini kajian tersebut kemudian melahirkan sebuah cara pandang baru, di mana konstruksi
masyarakat dibentuk oleh interpretasi al-Qur’an dan hadits.1 Pada titik ini, Qur’an-hadits tidak lagi
menjadi teks kebendaan saja, melainkan keduanya mampu hidup dan mewarnai masyarakat Islam.2
Lebih jauh, keduanya mampu mengkonstruksi keyakinan, gaya hidup, cara pandang dan praktik
tertentu di dalam masyarakat Islam. Cara pandang baru ini semakin memperkaya khazanah kajian
kontemporer dalam antropologi Islam mengenai kajian terhadap fenomena “menjadi muslim setiap
hari” dan kesalehan masyakarat (islam mondain).3
Salah satu respons penulis dalam merengkuh cara pandang di atas adalah melakuakn penelitian
terhadap salah satu ayat di dalam al-Qur’an yang hidup di tengah masyarakat Islam. Ayat tersebut yakni
Q. Yunus (10): 62.4 Berkenaan dengan ayat tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa para wali Allah tidak

1 Ahmad Rafiq and Jose Naranjo, “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the Place of the Qur’an in
a Non-Arabic Speakig Community,” Applied Microbiology and Biotechnology 85, no. 1 (2014).
2 A Rafiq, “The Living Qur’an: Its Text and Practice in the Function of the Scripture,” Jurnal Studi Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan

Hadis, 2021.
3 Filippo Osella and Benjamin Soares, Islam, Politics, Anthropology, Islam, Politics, Anthropology, 2010,
https://doi.org/10.1002/9781444324402.
4 Q.(10):62
akan merasakan takut dan khawatir di dunia. Adapun dalam pandangan al-Zuhaili, para wali Allah ini
adalah orang-orang beriman yang tulus dan sepi dari tindakan maksiat.5 Sehingga mereka selalu
dinaungi pertolongan, taufik dan karamah. Pendapat ini kemudian hampir senada dengan al-Alusi.
Dalam pandangannya para wali Allah ini adalah hamba yang amat dekat dengan Allah.6 Itu mengapa
mereka tidak mungkin bersedih karena hatinya sangat bersih.
Berdasarkan hasil observasi penulis, Q. (10): 62 mampu mewarnai struktur barakah dalam
komunitas tarekat SL di Mojokerto, Jawa Timur.7 Mengenai barakah, para sarjana Islam sepakat, bahwa
sumber utama barakah adalah Allah Swt.8 Ismail menerangkan bahwa barakah berfungsi sebagai nilai
tambahan dari Tuhan bagi siapapun dan apapun yang dikehendakiNya.9 Nampaknya, pandangan
tersebut senada dengan al-Isfahani. Menurut al-Isfahani, barakah merupakan kebaikan Allah yang
senantiasa bertambah pada segala sesuatu.10 Maka, dalam konteks komunitas tarekat SL di Mojokerto,
barakah ini dimiliki oleh seorang pimpinan tarekat tersebut, yang penulis inisialkan sebagai Kiai M.
Proses pelingkupan barakah ini tentu tidak muncul dari ruang kosong. Melalui pesan-pesan naratif yang
berulang kali disampaikan, Q. (10): 62 digunakan sebagai dalil dalam mengukuhkan konsep waliyullah.
Singkatnya, Kiai M kemudian dianggap sebagai waliyulloh yang dilimpahi barakah. Oleh karena itu,
banyak para anggota tarekat tersebut berlomba-lomba untuk mendapatkan barakahnya. Apapun yang
menjadi ucapan dan perintah Kiai M ini, pasti akan dilaksanakan tanpa ada protes sedikitpun dari para
pengikutnya. Bahkan, dalam keyakinan komunitas tarekat ini, Kiai M sebagai guru dianggap lebih mulia
dibandingkan sosok orangtua. Karena guru dianggap membimbing raga dan jiwa para muridnya,
sedangkan orangtua hanya merawat raga anaknya saja. Hal inilah yang menjadi ketertarikan penulis
untuk meneliti lebih lanjut terkait sosok Kiai M yang diyakini sebagai waliyulloh yang berlimpah barakah.
Dalam pembentukan citra waliyulloh, penulis menemukan bahwa Q. (10): 62 memberikan andil besar
dalam menguatkan reputasi Kiai M sebagai pimpinan komunitas tarekat tersebut.
Berangkat dari penjelasan di atas, tentu, penulis tidak akan terlalu berpanjang lebar berfokus
pada barakah itu sendiri, seperti dalam penelitian Denffer, Wellhausen, dan Edmonds. Denffer
berargumen bahwa secara historis konsep barakah telah muncul semenjak periode awal formasi agama
Islam. Barakah ia artikan sebagai bentuk anugerah (blessing).11 Hal ini kemudian diperkuat oleh

َ ْ ُ َ ْ َ ْ ُ َ َ ْ ْ َ َ ٌ ْ َ َ ‫َ َ َّ َ ْ َ َ ه‬
َۚ‫اّٰلل لا خوف علي ِهم ولا هم يحزنون‬ ِ ‫ال ٓا ِان اوِلياۤء‬
(Unquestionably, [for] the allies of Allah there will be no fear concerning them, nor will they grieve)
5 Wahbah Az-Zuhaili, At-Tafsir Al-Munir, ed. Malik Ibrahim, First (Jakarta: Gema Insani, 2016).
6 Mahmud Al-Alusi, Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-’Azim Wa as-Sab’ Al-Mathani (Mesir: Dar at-Tiba’ah al-Muniriyah,
n.d.), 123.
7 Penulis sengaja menginisialkan nama komunitas tersebut sebagai bentuk kepatuhan penulis terhadap etika penelitian.

Dikarenakan beberapa otoritas komunitas SL tidak menghendaki segala hal yang berkaitan dengan komunitas SL disebut
namanya.
8 Muhammad ibn Sa’d ibn Mani’ Al-Zuhri, Al-Tabaqat Al-Kubra (Beirut: Dar al-Fikr al-’Arabiy, n.d.).
9 Faisa Ismail, “Islam, Politics and Ideology in Indonesia,” Process of Muslim Acceptance of the Pancasila, 1995; Faisal Ismail,

“Islam Dan Dinamika Dialogis Keilmuan, Kebudayaan Dan Kemanusiaan,” IRCiSoD, 2021.
10 Abu al-Qassim al-Husayn ibn Muhammad al-Raghib Al-Asfahani, Mufradat Al-Fadh Al-Qur’an (Damaskus: Dar al-Qalam,

n.d.).
11 D Von Denffer, “Baraka as Basic Concept of Muslim Popular Belief,” Islamic Studies 15, no. 3 (1976): 167–86,

https://www.jstor.org/stable/20847004.
penjelasan Wellhausen bahwa barakah tidak pernah muncul sebelum kelahiran Islam.12 Adapun
penelitian Edmonds berfokus pada fenomena kesalehan sosial dalam praktik Salawatan Habib Syekh,
yang menurutnya merupakan jelmaan dari bentuk praktik “mencari barakah”. Menurut Edmonds,
praktik mencari barakah dalam kegiatan salawatan ini mampu menyatukan kelompok Islam moderat
dan salafi reformis dalam konteks perpolitikan di Indonesia. Boleh jadi, penelitian Edmonds ini adalah
penelitian yang warnanya paling dekat dengan penelitian penulis saat ini. Sekalipun ruang lingkupnya
berbeda jauh. Jika sasaran tembak Edmonds adalah barakah Habib Syekh yang mampu mewarnai dua
kelompok yang berseberangan, maka penelitian ini fokus pada Q. (10): 62 yang bekerja dalam
menstrukturkan barakah.
Oleh karena itu, berdasarkan penjelasan di atas, maka fokus penelitian ini adalah untuk membaca
bagaimana Q. (10): 62 hidup di tengah komunitas SL, khususnya dalam membentuk citra waliyulloh
yang dianggap penuh dengan barakah. Mengapa komunitas tersebut? Mojokerto merupakan sebuah
kota di salah satu Provinsi Jawa Timur yang diyakini oleh para pegiat tarekat sebagai pusatnya Jawa.
Dikarenakan dulu pusat Kerajaan Majapahit berada di Mojokerto. Selain itu, komunitas ini memiliki
praktik sosial yang unik dan menarik untuk dikaji.
Maka dalam membantu penelitian ini, penulis akan mengemploy teori praktik sosial Bourdieu
untuk mengupas barakah di komunitas tersebut. Pendekatan tersebut diperlukan karena penulis
membutuhkan tiga variabel dalam teori tersebut yakni, Habitus, Modal (Capitals), dan Arena (Field)
untuk menangkap fenomena di atas. Dengan ketiga variabel tersebut, penulis mampu menelusuri
bagaimana sebuah praktik/disposisi terbentuk, dalam hal ini adalah bagaimana praktik berburu barakah
dapat terbentuk di komunitas SL Mojokerto, Jawa Timur. Pada akhirnya, tujuan penelitian ini berusaha
mengurai bagaimana tafsir dari dalil normatif Qur’an-Hadits mengenai waliyulloh dalam dunia realitas.
Penelitian ini kemudian tergolong dalam kajian studi living Qur’an.
Method
Objek formal penelitian ini menggunakan teori praktik sosial yang dikemukakan oleh Pierre
Bourdieu. Dia melibatkan analisis pada level struktur masyarakat dan juga melibatkan analisis pada
level agensi individu. Elemen dasar teori Bourdieu dapat dirumuskan menjadi (habitus x modal)+arena
= praktik sosial.13 Ketiga variabel ini akan penulis gunakan untuk menganalisis hal-hal berikut ini:
Pertama, membaca Habitus komunitas tarekat SL. Habitus sendiri memiliki ciri-ciri: a) sistem
disposisi yang berkelindan kuat dengan agensi yang terdapat dalam arena (field); b) bertahan dalam
waktu yang panjang; c) dapat dialihpindahkan; d) merupakan proses penstrukturan dan; e) terdapat
kesadaran umum di alam bawah sadar masing-masing individu. Disebut sebagai sistem disposisi,
karena pada dasarnya alam bawah sadar merupakan sebuah kesadaran yang distrukturkan oleh agensi-
agensi yang ada dalam sebuah arena. Penstrukturan ini bersifat sangat lama, maka hal ini kemudian
mewujud menjadi sebuah bentuk “gaya berpikir” yang betul-betul mendarah daging dalam diri

12Julius Wellhausen, Prolegomena Zur Ältesten Geschichte Des Islam. Verschiedenes, Prolegomena Zur Ältesten Geschichte Des Islam.
Verschiedenes, 1985, https://doi.org/10.1515/9783110819632.
13 Philip Golub et al., “Pierre Bourdieu and Politics,” Filozofija i Drustvo 32, no. 4 (2021): 567–86,

https://doi.org/10.2298/FID2104567G.
individu.14 Berkenaan dengan analisis terhadap habitus komunitas SL, dalam hal ini penulis akan
membaca latar belakang berfikir yang dimiliki komunitas tersebut. Penulis akan membaca rupa alam
bawah sadar dalam komunitas ini. Kedua, membaca Arena (Field) sebagai ruang terjadinya produksi
kultural. Arena tidaklah ruang berbentuk fisik, namun Arena merupakan tempat bertemunya setiap
agensi yang saling berkontestasi berebut dominasi. Dalam Arena, terjadi semacam jual beli “dominasi
simbolik” antar agensi. Di titik inilah, alam bawah sadar melalui proses penstrukturan berdasar kode-
kode kultural yang dijual oleh agensi-agensi yang berada dalam Arena.15 Berkenaan dengan komunitas
SL, penulis akan membaca bagaimana rupa Arena dalam komunitas tersebut.
Ketiga, membaca Modalitas (Capitals) agensi yang ada dalam sebuah Arena. Modalitas agensi ini
terbagi dalam berbagai macam modal, seperti modal kultural, modal ekonomi, modal politik dan modal
simbolik. Di dalam Arena, terjadi perang simbolik yang dilakukan oleh agensi-agensi yang ada di
dalamnya. Agensi yang memiliki modal lebih tentu akan lebih mendominasi. Dominasi yang dimiliki
oleh agensi pemenang inilah, pada akhirnya mendisposisi dan membentuk sebuah selera dalam Arena
tersebut.16 Berkenaan dengan komunitas SL, penulis akan membaca modal simbolik yang dipunyai
oleh agensi-agensi yang terdapat dalam komunitas tersebut. Penulis juga akan memberikan klasifikasi
modalitas dalam beberapa poin. Keempat, setelah penulis menganalisis komunitas SL menggunakan tiga
variabel di atas, pada akhirnya penulis akan memberikan kesimpulan terhadap praktik sosial dalam
komunitas ini. Dari sini, pada nantinya akan terlihat bahwa praktik sosial tidak muncul dari ruang
kosong, melainkan sebuah proses terstruktur oleh hiruk pikuk pertarungan simbolik antar agensi di
dalam sebuah arena.
Pada akhirnya, penelitian ini akan memberikan uraian mendalam mengenai proses terbentuknya
praktik sosial dari komunitas SL di Mojokerto, Jawa Timur. Berikutnya, perlu disadari bahwa praktik
berburu barakah merupakan bentuk tafsir terhadap dalil normatif dari al-Qur’an dan Hadits. Dengan
begitu, penelitian ini akan berupaya memberikan sumbangsih terhadap bentuk tafsir realitas mengenai
barakah dalam ranah realitas.
Result and Discussion
Kontestasi antar Agensi dalam Arena
Komunitas SL merupakan komunitas tarekat yang sebenarnya adalah cabang kelompok tarekat
NKA yang berasal dari salah satu kota di Malang, Jawa Timur. Tarekat NKA memiliki pengikut yang
cukup besar dan tersebar di seluruh Indonesia, bahkan tidak sedikit dari luar negeri, seperti Malaysia.
Salah satu kota yang memiliki cukup banyak jamaah tarekat NKA adalah Mojokerto, Jawa Timur. Di
kota inilah Kiai M, selaku pendiri komunitas SL, terlahir dan hidup sampai sekarang. Sederhananya,
komunitas SL Mojokerto ini berisikan para anggota yang tergabung dalam tarekat NKA Malang. Dapat
dikatakan, komunitas SL adalah semacam paguyuban kedaerahan jamaah tarekat NKA. Namun

14 Gunhild Setten, “Habitus,” in International Encyclopedia of Human Geography, Second Edition, 2019, 287–90,
https://doi.org/10.1016/B978-0-08-102295-5.10188-X.
15 Inva Sariyati, “Kebaya Dalam Arena Kultulral,” Corak 2, no. 2 (2013), https://doi.org/10.24821/corak.v2i2.2339.
16 Ruruh Jatmiko and Muhammad Abdullah, “Habitus, Modal, Dan Arena Dalam Cerbung Salindri Kenya Kebak Wewadi

Karya Pakne Puri Tinjauan Bourdieu,” Sutasoma : Jurnal Sastra Jawa 9, no. 1 (2021): 100–115,
https://doi.org/10.15294/sutasoma.v9i1.47060.
uniknya, Sekalipun komunitas SL ini berpusat di Mojokerto, banyak anggotanya yang berasal dari luar
Mojokerto, seperti Jawa Tengah, Jawa Barat, bahkan Sumatra. Berdasarkan penelusuran penulis, awal
mulanya Kiai M ini merupakan jamaah senior dalam tarekat NKA Malang. Saking seniornya, sosok
Kiai M dianggap telah nyawiji, tuntas dan menguasai seluruh keilmuan dari tarekat NKA Malang. Suatu
hari, Kiai M mendapatkan ilham untuk membentuk. Ilham tersebut berpesan bahwa tidak lama lagi
gurunya (pimpinan tarekat NKA Malang) akan meninggalkan dunia. Kiai M khawatir jika sanad
keilmuan gurunya akan hilang di dunia, karena menurutnya, sosok gurunya adalah sosok pemimpin
para wali (wali qutub).
Dalam rangka memenuhi misi tersebut, Kiai M memerintahkan salah satu pengikut setianya
bernama F untuk menjalankan dua misi. F ini sebenarnya adalah jamaah junior Kiai M dalam tarekat
NKA Malang. Kesetiaan F pada Kiai M terbentuk karena Kiai M dikenal sebagai sosok yang memiliki
darah turunan raja-raja Majapahit. Kebetulan kakek Kiai M bernama Mbah MT dianggap memiliki
kekeramatan yang luar biasa. Belum lagi ternyata, pimpinan tarekat NKA Malang (guru dari Kiai M)
adalah murid dari Mbah MT (kakek Kiai M). Konon, salah satu kekeramatan Kiai M adalah dia selalu
mencatat satu persatu para wali qutub yang masih hidup di buku khususnya. Cerita yang berkembang
menjelaskan bahwa Mbah MT selama hidupnya tidak pernah terlihat keluar dari kamar, karena
sosoknya sudah menyatu dengan Tuhan. Berdasarkan inilah F sangat amat setia mengikuti Kiai M,
bahkan menganggapnya sebagai guru utama F. Menurut F, Kiai M adalah walinya para wali.
Dua misi yang diemban oleh F adalah, pertama melebur sebagai mahasiswa Poltekkes Malang.
Hal ini dilakukan dari tahun 2007-2011. Kemudian misi kedua, melebur sebagai mahasiswa UIN
Yogyakarta dan santri Pondok Munawwir. Hal ini dilakukan dari tahun 2012-2014. Kedua misi
tersebut bertujuan untuk merekrut kalangan mahasiswa dan santri agar bergabung menjadi bagian dari
jamaah tarekat NKA Malang. Dari setiap rekrutan, masing-masing merekrut lagi kawan-kawannya dan
begitu seterusnya sampai kemudian terkumpul sebanyak 98 orang. Pada tahun 2015, komunitas tarekat
SL terbentuk di Mojokerto, dan berpusat di kediaman Kiai M. Semenjak itu, komunitas SL mulai aktif
mengadakan beberapa kegiatan rutin, meliputi tirakatan rutin setiap malam Jumat Manis, tafakkur
berjamaah, dan beberapa ritual yang diyakini dapat menyembuhkan penyakit orang. Adapun setiap
tahun, komunitas SL ini selalu mengadakan kegiatan seperti lomba, bakti sosial sebagai rangkaian acara
untuk menyambut haul (perayaan hari kematian) Mbah MT dan tokoh-tokoh besar dari tarekat NKA
Malang. Setiap tahun, anggota komunitas SL ini selalu bertambah. Tercatat hampir 1.000 anggota
sampai sekarang jika dilihat dari aspek keramaian perayaan haul.
Kiai M dianggap memiliki otoritas tertinggi dalam perkumpulan ini. Beberapa anggota
komunitas SL, salah satunya F maupun anggota lain yang dianggap memiliki integritas tinggi dalam
memperjuangkan semangat dalam menghidupi SL, kemudian diberi sebutan/gelar Abah. Sebutan
Abah menunjukkan status bahwa dirinya sudah menguasai ilmu tarekat NKA. Bagi anggota lain, sosok
yang diberi label Abah dianggap sebagai tangan kanan Kiai M yang dianggap memiliki keilmuan yang
tinggi dan telah wushul (terkoneksi dengan Tuhan). Perekrutan efektif dilakukan karena kalangan yang
diajak memiliki masalah yang besar. Iming-iming dari bergabungnya dengan komunitas SL dan
mengamalkan ilmu-ilmu yang diajarkan dalam tarekat NKA Malang adalah terbebas dari segala
masalah yang ada. Semakin bertambahnya anggota, semakin bertambah pula anggota yang dianggap
berpotensi menyandang gelar Abah. Tercatat berdasar penelusuran penulis terdapat 15 anggota yang
menyandang gelar Abah. Adapun berdasar pembacaan penulis, setidaknya terdapat 8 anggota lain yang
berpotensi menyandang gelar tersebut. Tergantung siapa yang paling setia dan rajin berjuang dalam
komunitas SL tersebut. Karena motto komunitas ini adalah mati sak jeroning urip (mati di dalam keadaan
hidup). Motto ini diyakini sebagai sebuah jalan keluar solutif bagi setiap masalah. Sebab, pusat masalah
berada di dalam diri sendiri. Jika diri sendiri bermasalah, bagaimana bisa menyelesaikan masalahnya
sendiri apalagi masalah orang lain. Setidaknya untuk mampu menjadi lampu yang menerangi, orang
tersebut harus mampu menjadi terang terlebih dahulu. Inilah ajaran komunitas SL yang terus menerus
digaungkan pada para anggotanya.
Berdasarkan penjelasan di atas, komunitas SL sebagai Arena tentu terjadi perebutan dominasi
dari setiap agensi di dalamnya. Setidaknya terdapat empat jenis agensi yang berkelindan di dalam Arena
komunitas SL yakni, Kiai M sebagai pendiri dan guru tertinggi; para penyandang gelar Abah salah
satunya F; para anggota yang berpotensi menyandang gelar Abah dan; anggota lain baik yang telah
lama bergabung maupun rekrutan baru. Tentu dalam konteks perebutan dominasi antar agensi di
komunitas SL, Kiai M lah sebagai pemenangnya. Karena dia dianggap sebagai otoritas tertinggi. Tidak
ada yang mampu membantah dan melawan titahnya, sekalipun dia penyandang gelar Abah. Bahkan F
yang dianggap orang nomor dua dalam komunitas tersebut, sedikitpun tidak pernah melawan perintah
Kiai M, kecuali satu hal, ketika Kiai M menjodohkan F untuk mempersunting wanita pilihan Kiai M.
Konon setelah penolakan F, dirinya mengalami gejolak hebat dalam kehidupannya. Sebagai orang
kedua, F dianggap sama otoritatifnya layaknya Kiai M, sekalipun di hadapan para penyandang gelar
Abah lain, F tetap dianggap lebih tinggi dari mereka.
Hal yang menarik adalah, terjadinya perebutan dominasi di tengah para anggota lama maupun
baru dalam mendapatkan gelar Abah. Mereka berlomba-lomba melakukan ritual lebih intensif, seperti
puasa ngebleng, ndawud, ngerowot; mbisu; kholwat; melek wengi; mandi malam; tafakkur dan beberapa tirakat
lain agar memiliki derajat keilmuan yang tinggi sehingga kemudian dianggap wushul oleh Kiai M. Jika
dianggap telah wushul, tentu akan lebih sering dekat dengan Kiai M, akses bertemu lebih mudah, dan
mendapat privilige lebih dibanding anggota lain. Singkat kata, cara ini adalah satu-satunya agar para
anggota mendapat akses mendapat barakah lebih mudah. Sehingga, kehidupan mereka menjadi lebih
baik.

Kiai M Penyandang
“Abah”

Calon
Penyandang
“Abah”

Anggota

Struktur Habitus dalam Komunitas SL


Habitus merupakan sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable,
transposable dispotition) yang memiliki fungsi sebagai dasar umum bagi praktik-praktik terstruktur dan
terpadu secara objektif.17 Disebut sebagai disposisi sebab dalam ranah proses, pembentukan habitus
mesti melalui stukturisasi alam bawah sadar. Pada akhirnya, hal tersebut menjadi kesadaran dan
dipahami sebagai kebenaran oleh seorang individu. Disebut sebagai durable sebab proses strukturisasi
ini berlangsung lama. Strukturisasi ini sesungguhnya dilakukan oleh struktur-struktur objektif yang
solid dan terpadu.18 Maka jika Habitus berada dalam pikiran para agensi, sementara Arena berada di
luar pikiran mereka. Habitus menghasilkan dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Habitus tercipta
melalui praktik (tindakan). Habitus adalah struktur yang terinternalisasi sehingga ia mengendalikan
pikiran dan pilihan tindakan. Singkat kata, habitus adalah struktur yang menstruktur sosial dan sebagai
struktur yang terstruktur. Sehingga habitus bukanlah kodrat bawaan alami individu maupun
masyarakat.
Berkenaan mengenai habitus mengenai barakah, Satu-satunya sumber barakah adalah Allah.
Barakah hakikatnya mampu berpindah melalui berbagai medium. Mushaf al-Qur’an sendiri dapat
dianggap sebagai objek yang bertindak sebagai media dalam mendapatkan barakah. Barakah dapat
menempel pada medium lain baik dia benda mati maupun makhluk hidup. Dalam konteks masyarakat
Islam di Jawa, salah satu medium yang dianggap mampu mengantarkan barakah adalah Waliyulloh. Kata
wali itu sendiri berdasar al-Qur’an dapat bermakna penolong19, pemimpin20, pelindung21 dan kawan
dekat.22 Dalam pendapat ibn ‘Arabi, waliyulloh sosok yang telah tenggelam dalam ma’rifat pada Allah,
sebab itu tidak ada pikiran selain Allah dalam hatinya.23 Itu mengapa seorang waliyulloh tidak pernah
takut terhadap kengerian akhirat, tidak pula bersedih hati terhadap apa yang terjadi di dunia. Sebab
dirinya telah tenggelam dalam cahaya Allah dan melupakan segalanya kecuali Allah.24 Dari tradisi
pemahaman para sarjana muslim klasik, kemudian semakin bergeser mengenai makna waliyulloh
khususnya di dalam struktur pemahaman masyarakat Islam Jawa.
Pada awalnya, waliyulloh biasanya diasosiasikan dengan keberadaan wali songo, sebagai sosok
soleh yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.25 Sosok walisongo dianggap memiliki
kekeramatan yang luarbiasa. Itu mengapa, banyak sekali para peziarah kubur yang mengharap
barakahnya. Pemahaman seperti ini kemudian bertahan sampai sekarang. Masyarakat Jawa meyakini
jika waliyulloh adalah orang saleh yang menguasai ilmu syariat maupun hakikat dan memiliki
kekeramatan tertentu. Karena dianggap keramat, kemudian banyak orang yang mendatangi tokoh yang

17 Xiaowei Huang, “Understanding Bourdieu - Cultural Capital and Habitus,” Review of European Studies 11, no. 3 (2019):
45, https://doi.org/10.5539/res.v11n3p45.
18 Henri Bergson, Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness, Time and Free Will: An Essay on the

Immediate Data of Consciousness, 2014, https://doi.org/10.4324/9781315830254.


19 Q. Ali ‘Imran: 122, Q. Al-Maidah: 55, Q. al-Taubah: 23. Baca: Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Tangerang: Lentera

Hati, 2005).
20 Q. Ali ‘Imran: 28, Q. Al-Nisa’: 139, Q. Al-A’raf: 3. Dalam Shihab.
21 Q. Fussilat: 31, Q. Al-Baqarah: 107. Dalam Shihab.
22 Q. Al-Maidah: 51, Q. Al-An’am: 121, Q. Al-Nisa’: 76. Dalam Shihab.
23 Al-Qurthubî and Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Khazrajî, Al-Jâmi’ Li Ahkam Al-Qur’an, vol. 10 (Beirut: Dar

al-Fikr al-’Arabiy, 1993).


24 Fakhr ad-Din Abu ’Abdullah Muhammad ibn ’Umar ar-Razi, Mafatih Al-Ghaib, ed. Muhammad ’Ali Baidlawi (Beirut:

Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2004).


25 Moh. Ashif Fuadi, “Islamization and the Transition of Power in Nusantara According to Kiai Abul Fadhol’s Aḥlā Al-

Musāmarah,” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 16, no. 1 (2021): 80–104,


https://doi.org/10.15642/islamica.2021.16.1.80-104.
diyakini wali tadi dengan membawa berbagai masalah kehidupan mereka, bahkan setelah mereka
meninggal sekalipun. Dengan mendatangi sosok yang dikenal sebagai waliyullah tersebut, mereka
meyakini akan mendapatkan barakah. Harapannya seluruh persoalan yang terjadi pada mereka dapat
usai segera. Selain itu terdapat beberapa bentuk praktik yang bertujuan untuk mendapatkan barakah
dalam masyarakat Jawa, seperti ziarah kubur, meminum air doa, mencium tangan seorang kiai, sampai
berkhidmah/mengabdi pada sosok yang diyakini keramat.
Selain cara pandang di atas, waliyulloh juga biasanya diasosiasikan sebagai pimpinan tarekat
(mursyid) tertentu. Tarekat dalam ruang lingkup Jawa, dimulai bersamaan dengan masuknya ajaran
Islam ke Nusantara. Beberapa ahli mengutarakan bahwa tarekat pertama berkembang sekitar abad 16
M.26 Beberapa tarekat yang tercatat meliputi, tarekat Qadiriyyah, tarekat Syathariyyah, tarekat
Naqsyabandiyyah, tarekat Khalwatiyyah, tarekat Samaniyah hingga Tarekat ‘Alawiyyah. Bukti paling
awal mengenai hal tersebut adalah catatan syair-syair Hamzah Fansuri dari Aceh. Disinyalir, catatan
tersebut sudah ada pada periode 1550-1605. Fansuri adalah seorang pujangga sufi penganut tarekat
Qadiriyyah.27 Pada era sekarang, tarekat dipayungi oleh organisasi tarekat yang terakui (JATMAN) yang
didirikan oleh para tokoh NU pada 10 Oktober 1957. Tercatat terdapat 45 tarekat yang terakui
(mu’tabarah) kurikulum keilmuannya.
Tarekat NKA yang disebutkan pada poin sebelumnya, termasuk salah satu dari tarekat yang
terakui oleh JATMAN. Itu mengapa jumlah jamaahnya pun banyak dan tersebar di berbagai daerah di
Indonesia. Salah satu jumlah jamaah yang terbesar berasal dari Mojokerto. Sehingga, Kiai M sebagai
santri senior tarekat NKA, mendirikan komunitas SL sebagai wadah baru. Namun, uniknya komunitas
SL sendiri memiliki anggota yang cukup banyak dan tersebar di Jawa-Sumatra. Karena semakin besar,
komunitas SL ini sering mengadakan acara sendiri terpisah dari induknya, yakni tarekat NKA. Rata-
rata acara keagamaan dilakukan di kediaman Kiai M yang notabene sebagai pusat komunitas ini. Kiai
M sebagai pimpinan kharismatik selalu dipatuhi ucapannya. Karena diyakini sebagai waliyullah yang
dengan barakahnya semua masalah pasti selesai. Dominasi struktural Kiai M tidak dapat diganggu
gugat. Perannya sangat mutlak dan posisinya tidak mampu tergeser oleh otoritas lainnya sekalipun bagi
penyandang gelar Abah. Sehingga hal ini mewarnai alam bawah sadar para pengikutnya bahwa dia
sosok yang suci. Oleh karena terus menerus penilaian kesucian Kiai M digaungkan oleh para anggota
komunitas SL, lambat laun mewarnai pemahaman komunal. Hal ini membuktikan, bahwa habitus
berjalan dua arah secara radikal, aspek mikro yang mempengaruhi makro, maupun aspek makro yang
mempengaruhi mikro. Dari alam bawah sadar mewarnai pemahaman komunitas, ataupun pemahaman
komunitas yang membentuk alam bawah sadar para anggotanya. Kiai M diyakini sebagai sosok suci
sehingga membentuk alam bawah sadar para pengikutnya, ataupun pemahaman komunitas SL yang
yang semakin menguatkan keyakinan mengenai kesucian Kiai M.

Membentuk

26 Zainurofieq Zainurofieq, “Gerakan Politik Kaum Tarekat Dalam Sejarah Indonesia,” Jurnal Iman Dan Spiritualitas 1, no.
4 (2021), https://doi.org/10.15575/jis.v1i4.15027.
27 Roni Faslah and Novia Yanti, “Hamzah Fansuri; Sejarah, Pemikiran Dan Pengaruhnya,” Mau’izhah 12, no. 1 (2022): 49,

https://doi.org/10.55936/mauizhah.v12i1.89.
Q.10: 62 sebagai Doxa yang Mewarnai Habitus
Konsep doxa Bourdieu didasarkan oleh seperangkat asumsi implisit dan kepercayaan-
kepercayaan yang bersifat taken for granted (pukul rata) dalam komunitas maupun kultur tertentu.28 Doxa
dapat pula diartikan sebagai bentuk common sense ataupun wisdom konvensional yang membentuk
persepsi seseorang dan bagaimana mana manusia menilai dunia di sekelilingnya. Dalam pendapat
Bourdieu, doxa bekerja di wilayah alam bawah sadar dan sangat mengakar kuat dalam mewarnai
habitus, perangkat disposisi, tindakan, dan perilaku seseorang melalui proses sosialisasi maupun
pengalaman. Begitu dalamnya doxa tertanam di dalam pikiran manusia, sehingga sulit sekali untuk
menyadarinya. Bourdieu berargumen bahwa doxa berperan sangat kuat dalam membentuk
pemahaman manusia dari realitas sosial. Doxa juga dapat membatasi kemampuan manusia untuk
melihat melampaui kerangka budaya dominan yang membentuk pikiran manusia.29 Sebagai contoh,
dalam suatu komunitas di mana individualisme sangat mengakar kuat, boleh jadi sulit bagi komunitas
itu untuk melakukan sesuatu yang bersifat gotong royong atau aktifitas yang bernilai kolektif. Kasus
lain adalah peradaban di mana kapitalisme mendominasi sistem ekonomi, boleh jadi sulit bagi
masyarakat di sana untuk mencoba jalur alternatif sistem ekonomi yang mementingkan keadilan sosial
dan kesejahteraan bersama.
Bourdieu juga berargumen bahwasannya doxa terkadang dibentuk melalui institusi dan media
yang mengkampanyekan cara berpikir tertentu sembari memarginalkan perspektif lainnya. Hal ini
dapat menghasilkan semacam konformitas pemikiran tertentu yang kemudian membatasi penerimaan
terhadap ide dan perspektif yang lebih luas.30 Pada intinya, konsep doxa Bourdieu menyajikan alat yang
kuat untuk dapat memahami bagaimana norma-norma dan asumsi budaya membentuk persepsi dan
penilaian manusia terhadap dunia di sekelilingnya.
Dalam konteks habitus dan Arena komunitas SL, Kiai M selaku pendiri dan pimpinan komunitas
tersebut, tampil sebagai salah satu agensi pemenang dalam merebut dominasi antar agensi yang lain.
Hal ini kemudian membentuk alam bawah sadar pengikutnya untuk meyakini Kiai M sebagai sosok
suci yang tidak boleh dibantah. Pemahaman ini lambat laun membentuk kesepakatan komunal, bahwa
Kiai M merupakan pribadi yang bersih. Dua arah yang saling berdialektika ini, di mana keyakinan
membentuk alam bawah sadar pengikut, dan keyakinan pengikut membentuk pemahaman kolektif.
Dengan begini, Kiai M semakin kokoh berdiri di panggung tertinggi sebagai pemenang dalam
mendominasi agensi lain.
Dalam proses penstrukturan di atas, tentu Kiai M tidak hanya berucap dari ruang hampa. Di
setiap momentum kegiatan komunitas SL, pertemuan non-resmi atupun sekadar duduk bersama, Kiai
M sebenarnya sedikit berbicara. Berdasarkan hasil investigasi mendalam peneliti, agensi yang paling

28 Amurabi Oliveira and Camila Ferreira da Silva, “Pierre Bourdieu, Professor of Sociology at the College de France,”
Educacao e Pesquisa 48 (2022), https://doi.org/10.1590/S1678-4634202248253814.
29 Golub et al., “Pierre Bourdieu and Politics.”
30 Setten, “Habitus.”
bertanggung jawab membentuk pemahaman terdalam bagi para anggota komunitas SL adalah F yang
dianggap sebagai orang kedua. F adalah pihak yang sangat vokal dalam menyuntikkan citra suci sosok
kiai M. Belum lagi beberapa penyandang gelar Abah lain, seperti Ust. D dan Cak R. Ust. D sebagai
penyandang gelar Abah selain F, memiliki talenta orasi yang baik. Di setiap momentum kegiatan
rutinan, Ust. D selalu menyampaikan Q. (10): 62. Menurutnya waliyulloh hatinya telah seimbang,
sehingga mendapatkan cobaan dan kenikmatan apapun, hatinya tidak akan bergeming, baik merasa
bahagia maupun bersedih. Semuanya biasa saja. Karena sosok waliyulloh telah dibukakan pintu kasyaf
sehingga dia mengerti banyak hal. Asumsi ini diperkuat dengan narasi penggambaran kekeramatan
kakek-kakeknya Kiai M. Baginya Kiai M adalah orang terpilih karena terlahir dari keluarga berdarah
biru, solih, ‘alim, baik, bersih dan telah mendapat kesadaran tertinggi. Dalam setiap apapun, selain
rutinan Q. 10: 62 selalu dinarasikan untuk membentuk kesadaran dalam anggota komunitas SL bahwa
Kiai M adalah seorang waliyulloh besar. Dibuktikan oleh keseharian Kiai M yang selalu tampil
sederhana, halus bicaranya, dan lembut perilakunya. Beberapa kali pula, Kiai M mendapat ilham yang
kebetulan sekali terjadi. Seperti bentuk ilham di awal penjelasan sebelumnya. Tidak lama kemudian
guru Kiai M (mursyid tarekat NKA Malang) meninggal dunia karena sakit. Beberapa kejadian yang
lain yang dianggap keramat, semakin membentuk keyakinan mengakar dalam komunitas SL. Secara
tidak langsung, lambat laun keyakinan ini melahirkan keyakinan lain, yakni jika tidak manut perintah
Kiai M akan mendapat kualat (kesialan, lawan dari barakah). Dengan begitu, Q. (10): 62 berhasil tampil
sebagai doxa yang membantu menstrukturkan alam bawah sadar para anggota komunitas SL agar
senantiasa selalu berkhidmah pada Kiai M, dan tidak menjauhinya. Semua titahnya bersifat mutlak,
jika menolak maka akan mendapatkan kesialan (kualat) yang tidak berujung.

Q.10: 62 = Doxa

Modalitas Simbolik Kiai M dalam Komunitas SL


Konsep modal pertama kali dicetuskan oleh Bourdieu. Secara hakikat, konsep modal termasuk
dalam khazanah ilmu ekonomi. Namun bagi Bourdieu beberapa cirinya mampu menjelaskan
hubungan kekuasaan. Adapun ciri-ciri tersebut meliputi: pertama, modal terakulumasi melalui investasi;
kedua, modal dapat dipindahtangankan melalui warisan; ketiga, modal dapat memberi keuntungan
sesuai dengan kesempatan yang dipunyai oleh pemiliknya untuk mengoperasikan penempatannya.31
Kemudian, Bourdieu mengembangkan konsep modal yang dia definisikan sebagai semacam kekuatan
yang didapatkan melalui relasi dan interaksi sosial. Bourdieu berargumen jika modal muncul dari
berbagai sumber, dan individu tertentu dapat mengakumulasikannya melalui posisi sosial, koneksi
sosial maupun praktik kultural mereka.32
Konsep modalitas Bourdieu pada hakikatnya menantang paham tradisi ekonomi yang telah
mapan di mana modalitas dipahami sebatas sebagai aset finansial saja. Sebaliknya, dia memperluas

31 Pierre Bourdieu, “Distinction,” in Social Theory Re-Wired: New Connections to Classical and Contemporary Perspectives: Second
Edition, 2016, https://doi.org/10.4324/9781315775357; Pierre Bourdieu, “Distinction: A Social Critique of the Judgement
of Taste,” in Inequality: Classic Readings in Race, Class, and Gender, 2018, 287–318, https://doi.org/10.4324/9781315680347-
10.
32 Bourdieu, “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.”
definisi modal meliputi, modal sosial, kultural dan modal simbolik.33 Melalui ketiganya, seseorang
mampu mengumpulkan dan menggunakannya untuk kepentingan pribadi. Berkenaan dengan modal
ekonomi, Bourdieu menjelaskan jika itu adalah sumber finansial seperti uang dan kekayaan, di mana
seseorang dapat menggunakannya untuk mendapatkan manfaat dan pelayanan. Adapun mengenai
modal kultural berkenaan dengan pengetahuan, kemampuan maupun praktik budi daya (cultural
practice)34 yang mana individu tertentu mendapatkannya melalui kehidupan sosial dan pendidikan.
Misalnya ahli bahasa, seni, musik dan pegiat literatur. Sedangkan mengenai modal sosial berkaitan
dengan jaringan sosial dan hubungan yang seseorang miliki dengan orang lain. Hal ini kemudian
membantu mewujudkan akses terhadap sumber, informasi dan kesempatan yang diinginkan individu
dengan modal sosial.
Dari ketiga konsep simbol di atas, sebenarnya terdapat satu modal lagi yakni modal simbolik.
Modal simbolik sering diasosiasikan dengan bentuk pengakuan oleh individu, kelompok, institusi
maupun non-institusi. Simbol itu sendiri memiliki kemampuan untuk membentuk realitas dan mampu
menggiring orang untuk mempercayai, mengakui dan mengubah pandangan mereka tentang realitas
seseorang, kelompok, institusi maupun non-institusi. Modal simbolik mengacu pada derajat akumulasi
prestise, kharisma, ketersohoran, kensekrasi yang dibangun melalui dialektika pengetahuan
(connaissance) dan pengenalan (reconnaisance).35 Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan simbolik, yakni
kekuasaan yang memungkinkan seseorang untuk mendapatkan kesetaraan dengan apa yang diperoleh
melalui kekuasaan fisik dan ekonomi, disebabkan oleh akibat khusus suatu mobilisasi.36 Modal
simbolik layaknya kantor luas yang mewah, lengkap dengan mobil bagus beserta sopirnya, di mana hal
tersebut semakin menunjukkan status sosial yang tinggi bagi pemiliknya. Seperti gelar pendidikan yang
dicantumkan di kartu nama seseorang.
Dalam konteks kontestasi antar agensi di dalam komunitas SL, Kiai M tampil sebagai pemenang,
dilanjut dengan F sebagai tangan kanannya, disusul oleh para penyandang gelar Abah, calon
penyandang gelar Abah dan anggota lain yang baru maupun lama bergabung dalam tarekat NKA
Malang. Dalam penjelasan sebelumnya, seseorang yang diperkenankan bergabung menjadi anggota
komunitas SL adalah mereka yang telah dibaiat dalam tarekat NKA. Guru baiat (mursyid) Kiai M,
merupakan sosok yang dipercaya sebagai walinya para wali (wali qutub). Sedangkan, kakek Kiai M,
Mbah MT merupakan guru baiatnya mursyid Kiai M. Mbah MT dikenal sebagai sosok yang keramatnya
luar biasa. Mbah MT dianggap gurunya para wali qutub. Ditambah Mbah MT yang notabene adalah
kakek Kiai M, memiliki darah biru keturunan para raja Majapahit.
Sebenarnya sosok Kiai M sendiri tidak terlalu vokal di depan komunitas SL. Sering kali dalam
setiap kali acara dan kegiatan komunitas SL, Kiai M terlihat duduk di tempat paling belakang. Kiai M
juga sering didapati tidur di atas dipan bambu yang ditaruh di atas got air. Hal ini kemudian semakin
menambah anggapan terkait kekeramatan Kiai M. Agensi dalam konteks Arena komunitas SL yang
paling bertanggung jawab dalam membentuk kesadaran adalah Abah F dan Ust. D. Jika Abah F
membentuk narasi kekeramatan Kiai M melalui jalur non majelis, maka Ust. D melalui jalur majlis.

33 Bourdieu.
34 Praktik budi daya merupakan suatu perwujudan dari pengetahuan dan nilai-nilai yang dilakukan masyarakat sehari-
harinya.
35 Nur Ika Fatmawati, “Pierre Bourdieu Dan Konsep Dasar Kekerasan Simbolik,” Madani Jurnal Politik Dan Sosial

Kemasyarakatan 12, no. 1 (2020): 41–60, https://doi.org/10.52166/madani.v12i1.1899.


36 Fatmawati.
Keduanya memiliki andil besar dalam membentuk citra Kiai M sebagai waliyulloh tertinggi yang hidup
di bumi ini. Belum lagi diperkuat dengan Q. 10: 62 yang kemudian mewujud menjadi doxa di dalam
komunitas SL. Uniknya, semakin pasif Kiai M semakin memiliki arti filosofis yang pasti memberikan
pesan ilahiat. Salah satu contoh, ketika Kiai M sedang duduk tiba-tiba meminta maaf dengan suara
amat pelan dan menggetarkan. Sikap seperti ini semakin menimbulkan ketakjuban dari para
pengikutnya dan meyakini pasti terdapat pesan ilahiat tersembunyi di balik sikap Kiai M. Banyak hal
yang bahkan dilakukan oleh Kiai M dianggap memiliki pesan ilahiat tertentu. Seluruh ucapan, tindakan
dan diamnya Kiai M dianggap layaknya sunnah Nabi yang perlu diikuti dan berdosa jika ditinggalkan.
Dalam titik ini, Kiai M tampil sebagai agensi yang memiliki modal simbolik terbesar. Bahkan melalui
modal simbolik ini, Kiai M dengan mudah mengakses modal lain, seperti modal ekonomi, kultural dan
sosial. Dengan fakta ini menjelaskan, bahwa agensi dengan modal simbol dapat dengan mudal
mendapatkan modal lain. Padahal realitasnya,
ModalKiai M tidak kaya, tidak memiliki skill tertentu, dan
Ekonomi
hidup tersembunyi di pelosok Mojokerto. Namun, karena Kiai M diyakini kuat sebagai waliyulloh
tertinggi yang hidup di muka bumi ini, maka segala hal yang dilakukan Kiai M mendapatkan respons
takjub dari para pengikutnya. Itu mengapa, Kiai M berhasil tampil sebagai agensi dengan modal dan
kuasa simbolik.

Kiai M Modal Simbol Modal Kultural

Modal Sosial

Conclusion
Kiai M adalah sosok kharismatik yang diyakini oleh para anggota komunitas SL sebagai waliyulloh
tertinggi yang hidup di masa kini. Sebagai waliyulloh tentu banyak anggota yang berlomba mendekatkan
diri pada Kiai M agar mendapat barakah yang berlimpah. Komunitas SL adalah Arena yang berisikan
beberapa agensi yang berebut dominasi. Kiai M tampil sebagai pemenang karena citra M distrukturkan
melalui doxa Q. 10: 62 yang mana hal ini semakin membentuk modal simbolik dari Kiai M. Faktanya
Modal simbolik yang dimiliki Kiai M memungkinkan dirinya untuk mendapatkan akses terhadap
modal lain, yakni modal ekonomi, kultural dan sosial. Pada akhirnya, Kiai M semakin tampil sebagai
sosok bersih yang senantiasa dipatuhi oleh para pengikutnya.

Bibliography
Al-Alusi, Mahmud. Ruh Al-Ma’ani Fi Tafsir Al-Qur’an Al-’Azim Wa as-Sab’ Al-Mathani. Mesir: Dar at-
Tiba’ah al-Muniriyah, n.d.
Al-Asfahani, Abu al-Qassim al-Husayn ibn Muhammad al-Raghib. Mufradat Al-Fadh Al-Qur’an.
Damaskus: Dar al-Qalam, n.d.
Al-Qurthubî, and Abu Abdillah Muhammad ibn Ahmad Al-Khazrajî. Al-Jâmi’ Li Ahkam Al-Qur’an.
Vol. 10. Beirut: Dar al-Fikr al-’Arabiy, 1993.
Al-Zuhri, Muhammad ibn Sa’d ibn Mani’. Al-Tabaqat Al-Kubra. Beirut: Dar al-Fikr al-’Arabiy, n.d.
ar-Razi, Fakhr ad-Din Abu ’Abdullah Muhammad ibn ’Umar. Mafatih Al-Ghaib. Edited by
Muhammad ’Ali Baidlawi. Beirut: Dar al-Kutub al-’Ilmiyyah, 2004.
Ashif Fuadi, Moh. “Islamization and the Transition of Power in Nusantara According to Kiai Abul
Fadhol’s Aḥlā Al-Musāmarah.” ISLAMICA: Jurnal Studi Keislaman 16, no. 1 (2021): 80–104.
https://doi.org/10.15642/islamica.2021.16.1.80-104.
Az-Zuhaili, Wahbah. At-Tafsir Al-Munir. Edited by Malik Ibrahim. First. Jakarta: Gema Insani, 2016.
Bergson, Henri. Time and Free Will: An Essay on the Immediate Data of Consciousness. Time and Free Will:
An Essay on the Immediate Data of Consciousness, 2014. https://doi.org/10.4324/9781315830254.
Bourdieu, Pierre. “Distinction: A Social Critique of the Judgement of Taste.” In Inequality: Classic
Readings in Race, Class, and Gender, 287–318, 2018. https://doi.org/10.4324/9781315680347-10.
———. “Distinction.” In Social Theory Re-Wired: New Connections to Classical and Contemporary
Perspectives: Second Edition, 2016. https://doi.org/10.4324/9781315775357.
Denffer, D Von. “Baraka as Basic Concept of Muslim Popular Belief.” Islamic Studies 15, no. 3
(1976): 167–86. https://www.jstor.org/stable/20847004.
Faslah, Roni, and Novia Yanti. “Hamzah Fansuri; Sejarah, Pemikiran Dan Pengaruhnya.” Mau’izhah
12, no. 1 (2022): 49. https://doi.org/10.55936/mauizhah.v12i1.89.
Fatmawati, Nur Ika. “Pierre Bourdieu Dan Konsep Dasar Kekerasan Simbolik.” Madani Jurnal Politik
Dan Sosial Kemasyarakatan 12, no. 1 (2020): 41–60.
https://doi.org/10.52166/madani.v12i1.1899.
Golub, Philip, Frédéric Lebaron, Ivica Mladenović, Franck Poupeau, Gisèle Sapiro, and Zona Zarić.
“Pierre Bourdieu and Politics.” Filozofija i Drustvo 32, no. 4 (2021): 567–86.
https://doi.org/10.2298/FID2104567G.
Huang, Xiaowei. “Understanding Bourdieu - Cultural Capital and Habitus.” Review of European Studies
11, no. 3 (2019): 45. https://doi.org/10.5539/res.v11n3p45.
Ismail, Faisa. “Islam, Politics and Ideology in Indonesia.” Process of Muslim Acceptance of the Pancasila,
1995.
Ismail, Faisal. “Islam Dan Dinamika Dialogis Keilmuan, Kebudayaan Dan Kemanusiaan.” IRCiSoD,
2021.
Jatmiko, Ruruh, and Muhammad Abdullah. “Habitus, Modal, Dan Arena Dalam Cerbung Salindri
Kenya Kebak Wewadi Karya Pakne Puri Tinjauan Bourdieu.” Sutasoma : Jurnal Sastra Jawa 9, no.
1 (2021): 100–115. https://doi.org/10.15294/sutasoma.v9i1.47060.
Oliveira, Amurabi, and Camila Ferreira da Silva. “Pierre Bourdieu, Professor of Sociology at the
College de France.” Educacao e Pesquisa 48 (2022). https://doi.org/10.1590/S1678-
4634202248253814.
Osella, Filippo, and Benjamin Soares. Islam, Politics, Anthropology. Islam, Politics, Anthropology, 2010.
https://doi.org/10.1002/9781444324402.
Rafiq, A. “The Living Qur’an: Its Text and Practice in the Function of the Scripture.” Jurnal Studi
Ilmu-Ilmu Al-Qur’an Dan Hadis, 2021.
Rafiq, Ahmad, and Jose Naranjo. “The Reception of the Qur’an in Indonesia: A Case Study of the
Place of the Qur’an in a Non-Arabic Speakig Community.” Applied Microbiology and Biotechnology
85, no. 1 (2014).
Sariyati, Inva. “Kebaya Dalam Arena Kultulral.” Corak 2, no. 2 (2013).
https://doi.org/10.24821/corak.v2i2.2339.
Setten, Gunhild. “Habitus.” In International Encyclopedia of Human Geography, Second Edition, 287–90,
2019. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-102295-5.10188-X.
Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbah. Tangerang: Lentera Hati, 2005.
Wellhausen, Julius. Prolegomena Zur Ältesten Geschichte Des Islam. Verschiedenes. Prolegomena Zur Ältesten
Geschichte Des Islam. Verschiedenes, 1985. https://doi.org/10.1515/9783110819632.
Zainurofieq, Zainurofieq. “Gerakan Politik Kaum Tarekat Dalam Sejarah Indonesia.” Jurnal Iman
Dan Spiritualitas 1, no. 4 (2021). https://doi.org/10.15575/jis.v1i4.15027.

Anda mungkin juga menyukai