Anda di halaman 1dari 15

ETIKA DAKWAH NABI YAHYA DAN NABI ISA

DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

SKRIPSI

Dibuat dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan

Untuk memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag.) dalam bidang

Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir

Oleh :

Nama : Nur Mustaqim

NIM : 2015080025

NIRM : 15/X/15.1.5/0501

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM (FSH)
UNIVERSITAS SAINS AL-QUR’AN (UNSIQ)
JAWA TENGAH DI WONOSOBO
2019

1
Nama : Nur Mustaqim

NIM : 2015080025

Judul : Etika Dakwah Nabi Yahya dan Nabi Isa Dalam Perspektif Al-Qur’an

Abstrak

Oleh : Nur Mustaqim

Penelitian ini menganalisa bagaimana etika para nabi terutama Nabi Yahya
AS dan Nabi Isa AS dalam berdakwah kepada kaumnya. Dimana kedua Nabi ini
mempunyai strategi, karakteristik dan cara yang berbeda dalam menyampaikan
dakwah dan mencari targetnya.
Masalah pokok penelitian ini adalah 1) bagaimana Kisah Nabi Yahya dan
Nabi Isa?. 2) bagaimana etika dakwah Nabi Yahya dan Nabi Isa dalam kisah yang
disampaikan dalam Al-Qur’an?. Proses penelitian menggunakan jenis penelitian
ini adalah bersifat kualitatif dan termasuk penelitian library research. Metode
penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yakni upaya merekonstruksi masa
lampau dari obyek yang diteliti itu, ditempuh melalui metode penelitian sumber
dari buku-buku pustaka dan sumber lainnya. Oleh karena penelitian ini
mengungkap kisah Nabi Yahya as dan Nabi Isa as dalam Al-Qur’an, maka peneliti
juga menggunakan pendekatan Ilmu Tafsir yakni memperjelas ayat Al-Qur’an
yang membutuhkan penjelasan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa strategi dakwah yang dilakukan
oleh Nabi Yahya as dan Nabi Isa as berbeda. Dimana Nabi Yahya as mencari
orang-orang terbaik diantara kaumnya dengan tujuan untuk menjaga mereka agar
tidak terperosok kepada keburukan, tidak ujub dengan apa yang telah mereka
lakukan dan tidak menghardik orang-orang yang belum baik. Sedangkan Nabi Isa
as mencari orang-orang yang buruk perangainya dengan tujuan agar mereka
sembuh dari penyakit moral yang diderita.
Kata Kunci : Etika, Dakwah, Nabi Yahya, Nabi Isa.

2
Pendahuluan

Al-Qur’an memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki

oleh kitab-kitab lain. Al-Qur’an merupakan kitab penyempurna dari kitab-

kitab lain. Keistimewaan dalam al-Qur’an juga berisi petunjuk dan pedoman

bagi manusia dalam menjalankan kehidupannya untuk meraih kebahagiaan

dunia akhirat.1 Salah satu dari bukti keistimewaan Al-Qur’an adalah kisahnya

yang selalu memberikan inspirasi dan tetap saja menarik serta relevan untuk

dikaji.

Sesungguhnya kisah yang terdapat dalam Al-Qur’an adalah nyata dan

sebagai peringatan bagi manusia. Seperti yang telah diceritakan di dalam Al-

Qur’an tentang kisah Nabi dan umat terdahulu. Allah SWT. telah

menceritakan kepada Rasulullah SAW dengan firman-Nya :

          
   
Artinya : “Demikianlah kami kisahkan kepadamu (Muhammad)
sebagian kisah umat yang telah lalu, dan Sesungguhnya Telah kami berikan
kepadamu dari sisi kami suatu peringatan (al-Qur’an).”(Q.S. Thaha : 99)

Pentingnya memahami makna tersirat itu akan memudahkan bagi

semua orang untuk selalu memperbaiki dirinya dari apa yang merek baca dari

Al-Qur'an, kisah Rasulullah dan para sahabat. Seseorang akan merasa selalu

dinasehati oleh Al-Qur’an dalam setiap membacanya dan akan selalu

berperilaku sesuai dengan ajaran agama. Karena dengan memahaminya

semua orang dapat mengamalkan dengan benar sebagai contoh yang baik.

1
Mukni’ah, Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz, 2011), hal. 199-200

3
Kisah yang disebutkan dalam Al-Qur’an ini memuat berbagai aspek yang

dibutuhkan manusia, di antarannya adalah etika.2

Penulis melihat bahwa ayat-ayat yang menceritakan tentang kisah-

kisah nabi terdahulu memiliki kandungan makna tentang akhlak yang sangat

dalam. Salah satu kisah yang di dalamnya mengandung makna akhlak

diantaranya adalah ayat-ayat tentang kisah Nabi Yahya AS dan Nabi Isa AS

dalam menyampaikan dakwah.

Kedua Nabi ini mempunyai karakteristik yang berbeda dalam

menyampaikan dakwahya. Nabi Yahya AS mencari orang-orang yang baik

sedangkan Nabi Isa AS mencari orang-orag yang buruk perangainya. Kita

perlu merenungi, para Nabi berdakwah sesuai karakternya masing-masing.

Ada yang mengedepankan kesabaranya, kepemimpinanya, kecerdasanya dan

lain sebagainya. Dari ulasan tersebut kita dapat mengambil hikmah bahwa

manusia itu beragam namun mempunyai peluang yang sama utnuk mendapat

petujuk dari Allah SWT.

Rumusan Masalah

1. Bagaimana kisah Nabi Yahya dan Nabi Isa dalam Al-Qur’an?

2. Bagaimana etika dakwah Nabi Yahya dan Nabi Isa dalam kisah yang

disampaikan dalam Al-Qur’an?

2
Ulul Amri Safri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an (Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada, 2012), hal. 125.

4
Tinjauan Umum Etika dan Dakwah

A. Etika

1. Pengertian Etika

Dari segi bahasa kata etika sendiri berasal dari bahasa Yunani

ethos yang mempunyai arti watak kesusilaan.3 Kamus Umum Bahasa

Indonesia menyebutkan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan tentang

asas-asas akhlak.4 Dari kedua arti tersebut dapat disimpulkan

bahwasanya etika berhubungan dengan upaya menentukan baik

buruknya tingkah laku manusia.

2. Aliran-aliran Etika

a. Etika Naturalisme, adalah perbuatan yang menjadikan fitrah manusia

menjadi patokanya. Baik fitrah lahir maupun fitrah batin.

b. Etika Hedonisme, adalah aliran yang berpendapat bahwasanya

norma baik dan buruk adalah kebahagiaan, karena suatu perbuatan

yang menimbulkan kebahagiaan adalah baik dan tidaknya perbuatan

manusia itu sendiri.

c. Eika Utilitarisme, adalah aliran yang menilai baik dan buruknya

perbuatan manusia ditinjau dari seberapa manfaat bagi manusia yang

lain di sekitarnya.

d. Etika Idealisme, adalah aliran yang berpendapat bahwa perbuatan

manusia didasarkan atas prinsip kerohanian (idea) yang lebih tinggi.

3
Achmad Charris Zubair, Kuliah Etika, (Jakarta: Rajawali Pers, 1980), Hal. 13
4
W.J.S. Poerwadarmita, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), Hal. 278

5
e. Etika Vitalisme, yaitu orang yang kuat dapat melaksanakan dan

menekankan kehendaknya agar berlaku dan di taati oleh orang lain.

f. Etika Religionsisme, aliran ini berpendapat bahwasanya sesuatu

yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak

Tuhan. Keimanan kepada Tuhan berperan penting karena tidak

mungkin manusia melakukan kebaikan sesuai dengan kehendak

Tuhan, jika ia tidak beriman kepada-Nya.

g. Etika Evalusi (Evalution), aliran ini mengatakan bahwa segala

sesuatu yang ada di alam semesta ini mengalami perkembangan dari

apa adanya menuju kepada kesempurnaan.5

3. Etika dalam pandangan Islam


Agama Islam memandang etika sangat mulia, karena merupakan

perintah dari yang Maha Kuasa. Etika mempunyai peranan penting

dalam pengakuan terhadap kekuasaan Allah swt. yaitu taubat,

melemahkan nafsu, dan menghambakan diri pada-Nya.6

Etika dalam Islam berdasar pada Al-Qur’an dan Hadits yang

disebut akhlak. Allah menciptakan kebaikan di dunia ini tergantung

etika atau akhlak manusia sendiri, Jika manusia mengutamakan

kebenaran, kejujuran dan keadilan, maka dunia ini akan mendatangkan

kesejahteraan. Begitu pula sebaliknya, jika manusia menjadikan

kerusakan dunia maka kehancuran pula balasan yang akan mereka

terima.

5
Drs. Muhammad Alfan, Filsafat Etika Islam, (Banda Aceh: Tim CV. Citra Kreasi Utama,
Desember, 2007), Hal. 71-74
6
Ahmad Amin. Etika Ilmu Akhlak, (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), Hal. 149-150.

6
B. Dakwah

1. Pengertian Dakwah

Dari segi bahasa, kata dakwah berasal dari bahasa arab, yaitu ‫دعا‬

‫ يييدعو دعييوة‬yang mempunyai rarti mengajak, menyeru dan memanggil.

Sedangkan secara istilah, dakwah adalah suatu kegiatan yang dilakukan

secara sadar baik individu ataupun kelompok, untuk; pertama,

mengajak orang pada ajaran Islam bagi mereka yang belum muslim.

Kedua, meningkatkan kualitas pemahaman dan pengamalan ajaran

agama Islam bagi kaum muslimin sendiri dalam melaksanakan perintah

dan menjauhi larangan-Nya.7

2. Sejarah Kemunculan Dakwah

Aktifitas dakwah sudah dimulai sejak dari zaman para Nabi

sebelum Nabi Muhammad SAW. Allah mengirimkan seorang Rasul

untuk umat manusia dan menyampaikan agama Islam sebagai agama

yang benar yang memperbaiki akhlak serta akidah umat terdahulu.8

Agama islam sudah disebut sejak para nabi sebelum nabi

Muhammad. Nabi Ibrahim sendiri yang disebut sebagai bapak agama ia

mengakui bahwa ia adalah seorang muslim atau penganut agama Islam.

Dengan demikian, agama yang diakui Allah di atas muka bumi ini sejak

dari zaman para Nabi sampai akhir zaman nanti hanyalah satu, karena

Tuhan Allah sendiri adalah satu.

7
Didin Hafidhuddin, Islam Apliklatif (Jakarta: Gema Insani, 2003) hal. 192-193
8
Muhammad Said, Sirah Nabawiyah, (Jakarta: Rabbani Pers, 1995) hal 60

7
Keadaan ini berlanjut sampai pada zaman Nabi Musa, Isa dan

Nabi Muhammad SAW. Kemudian pada masa Nabi Muhammad lah

agama itu telah disempurnakan sehingga mampu bertahan sampai akhir

zaman tanpa mengalami perubahan. Sedikitpun. Jadi sifat agama Islam

yang disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sesuai dengan kemajuan

berfikir dan kebudayaan umat manusia yang bersifat universal, bukan

hanya terbatas untuk kaum dan zaman tertentu seperti agama-agama

sebelumnya, karena Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin yang

membawa berkah bagi seluruh umat manusia baik yang beriman

maupun tidak.9

3. Strategi Dakwah

Strategi dakwah adalah metode yang dipergunakan dalam

aktivitas dakwah. Ada beberapa metode dakwah yang biasa digunakan

oleh para da’i:

a. Metode Dakwah Qur’ani

Metode dakwah Qur’ani adalah memahami dan menguasai

tafsir secara etimologi, sehingga dengan metode ini da’i dapat

mengetahui keistimewaan dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang menjadi

pedoman dakwah, seperti yang digambarkan dalam Q.S. Al-Nahl -

125

     


        

9
Firdaus, A.N., Panji-panji Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994), hal. 19-20

8
        
 
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan
hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui
tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Q.S. Al-Nahl -
125)

Pada ayat di atas, terdapat tiga thariq (metode) dakwah yang

secara tegas yang diberikan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad

SAW. dan pelaku dakwah lainnya, yaitu: bi al-hikmah, maw’izah al

hasanah dan mujādalah.10

b. Metode Dakwah Rasulullah

Beberapa metode yang dilakukan oleh Rasulullah:

1. Mengetahui medan atau target melalui penelitian dan analisis.

2. Melalui perencanaan pembinaan, pendidikan, pembangunan dan

pengembangan masyarakat.

3. Bertahap, diawali dengan cara diam-diam, kemudian cara terbuka.

Diawali dari keluarga, sahabat, dan teman dekat kemudian

masyarakat secara umum.

4. Melalui strategi hijrah, yakni menghindarkan situasi yang negatif

menuju suasana yang positif.

5. Melakukan kerjasama dengan komponen yang dapat mendukung

dan membantu mensukseskan kegiatan dakwah.

6. Melalui cara akomodatif, toleran dan saling menghargai.

7. Menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, kebebasan dan demokrasi.


10
Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 157.

9
8. Melalui pendekatan misi, maksudnya adalah mengirim personil

untuk menyampaikan risalah.

4. Tujuan Dakwah

Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-

etika Islam. dan pentingnya komparasi antara akal dan wahyu dalam

menentukan nilai-nilai moral terbuka untuk diperdebatkan. Bagi

kebanyakan muslim segala yang dianggap halal dan haram dalam Islam,

dipahami sebagai keputusan Allah tentang benar dan baik. Dalam Islam

terdapat tiga nilai utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladan.

Tujuan dari dakwah yang dilakukan seorang da’i adalah untuk

menanamkan nilai-nilai pendidikan keagamaan kepada masyarakat.

Sehingga dari situ, mereka mengenal akan nilai-nilai sosial, spiritual

dan tanggung jawab sosial. Pendidikan agama diartikan sebagai suatu

kegiatan yang bertujuan untuk membentuk manusia agamis dengan

menanamkan aqidah keimanan, amaliah, dan budi pekerti atau akhlak

yang terpuji untuk menjadi manusia yang bertaqwa kepada Allah Swt.

C. Etika dalam Dakwah

Dalam aktivitas dakwah diperlukan kode etik yang berfungsi sebagai

rambu-rambu etis para da’i agar dakwah yang dilakukannya benar-benar

efektif dan menimbulkan kesan yang positif dari khalayak mad’u yang

10
didakwahinya.11 Adapun etika dalam berdakwah ini memilki beberapa

ketentuan sebagai berikut:

1. Konsekuen

Seorang da’i hendaknya konsekuen dengan apa yang telah ia

katakan, jangan sampai ia bertindak seperti filsafat lampu lilin yang

menyala, ia seolah menerangi kepada kegelapan di sekitarnya sementara

dirinya sendiri dalam keadaan celaka.12

2. Bertoleransi

Seorang da’i hendaknya memiliki jiwa yang toleran, mampu

menghargai perbedaan keyakinan, tidak mengganggu keyakinan dan

praktek ibadah di luar agamanya.

3. Tidak mencela sesembahan non-muslim

Islam sangat melarang umatnya menghina atau mencela

penyembahan agama orang lain karena menghina adalah sifat manusia

yang mengikuti hawa nafsu. Ketentuan ini didasarkan pada Qs. Al-

An’am: 108

        


        
      
 
Artinya : ”Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan
yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki
Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami
jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian
kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada
mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Al-An’am : 108)

11
M. Munir, Metode Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006.) hal. 30
12
Ibid, hal. 36

11
Allah melarang Nabi Muhammad Saw dan orang-orang yang

beriman mencela Tuhan kaum musyrikin, hal ini untuk menghindari

balasan orang-orang musyrik dengan celaan terhadap Tuhan orang

mukmin, padahal Allah adalah Rabb, yang tiada tuhan selain dia.

4. Adil

Seorang da’i harus bersikap adil dan tidak boleh pilih kasih antar

sesama, baik karena kekayaan, pangkat, status sosial, dan lainya.

5. Ikhlas

Yang dimaksud ikhlas ialah tidak memungut imbalan, tetapi kalau

sudah unsur transfer ilmu dari guru ke murid artinya ada unsur jasa maka

tidak ada ketentuan yang melarangnya, apalagi sebelumnya telah saling

meridhokan untuk dibayarkan atas jasa yang diberikan.

6. Menutup diri dari teman yang bermaksiat

Ketentuan ini sebagai langkah waspada atas kemungkinan yang

tidak diharapkan. Artinya jika dengan berteman menimbulkan

kemadharatan yang besar atau lebih besar terutama bagi keselamatan

agamanya lebih baik ditinggalkan hubungan pertemanan itu.

7. Tidak mencari popularitas

Seorang da’i hendaknya tidak memiliki keinginan untuk menjadi

terkenal, tenar dan popular, sanjungan dari manusia yang ditakutkan akan

menjerumus pada perbuatan riya atau syirik kecil.

Etika Dakwah Nabi Yahya dan Nabi Isa

12
Terdapat perbedaan yang saling bertolak belakang dari cara atau

strategi dakwah yang dilakukan Nabi Yahya as dan Nabi Isa as kepada

kaumnya. Imam Ahmad bin Hanbal menyebutkan riwayat ketika Nabi Isa dan

Nabi Yahya mendatangi sebuah desa. Berikut riwayatnya dalam kitab al-

Zuhd:

‫لحسدثللناَ لعيبمد س ه‬
‫ لكاَلن يليحليىَ لوهعيلسىَ لعللييههلماَ السسللمم‬:‫ لحسدثللناَ مسيفلياَمن يبمن معيليينلةل لقاَلل‬،ِ‫ لحسدثللناَ أهبي‬،‫ا‬

،َ‫ لويليسأ لمل يليحليىَ لعين هخلياَهر أليهلهلها‬،َ‫ فليللسأ للل هعيلسىَ لعللييهه السسللمم لعين هشلراهر أليهلهلها‬،‫يلأيتهلياَهن ايلقليريللة‬

‫ب أملداهويِ ايللمير ل‬
َ‫ضى‬ ‫ إهنسلماَ أللناَ طلهبي ب‬:‫س؟ِ لقاَلل‬
‫ لهلم تلينهزمل لعللىَ هشلراهر السناَ ه‬:‫فليملقاَمل للمه‬
Artinya:”Abdullah bercerita, ayahku bercerita kepadaku, Sufyan bin
‘Uyainah bercerita, ia berkata: (Suatu saat) Yahya dan Isa ‘alaihimassalam
mendatangi sebuah desa. Isa ‘alaihissalam menanyakan tentang penduduk
desa yang jahat-jahat, sedangkan Yahya menanyakan penduduk desa yang
baik-baik. Kemudian Isa ditanya: “Kenapa kau pergi (mencari) orang-orang
jahat?” Nabi Isa menjawab: “Sesungguhnya aku tabib (dokter) yang
(ditugaskan untuk) menyembuhkan orang-orang yang sakit.”13

Dari riwayat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa para

nabi masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda dalam

menyampaikan dakwah kepada kaumnya. Ada yang mengedepankan

kesabarannya, kepemimpinannya, kecerdasannya, dan seterusnya. Termasuk

Nabi Isa dan Nabi Yahya. Hikmah dari cara berdakwah yang dilakukan Nabi

Yahya as dan Nabi Isa as yaitu semua manusia terlahir dengan beragam sifat

dan perangai, dari keberagaman tersebut semua memiliki peluang yang sama

menjadi bertakwa, shalih dan dirahmati.

Penutup

13
Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd,(Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992), hal. 86

13
Dari uraian di atas penulis berpendapat bahwa perbedaan cara

berdakwah yang dilakukan oleh Nabi Yahya dan Nabi Isa as sangat relevan

dengan keadaan umat Islam saat ini. Dimana umat Islam harus mempunyai

da’i yang mampu berperan aktif dalam berbagai bidang kehidupan. Banyak

fenomena saat ini seorang da’i yang berdakwah kepada orang-orang fasik,

mereka mendatangi tempat kemaksiatan, namun keberanian itu hanya dimiliki

oleh sebagian Ulama’.

Semisal ada seorang da’i berprestasi di daerah yang Islamnya sudah

maju, mungkin ia hanya mendapat fasilitas dari lingkungan tersebut.

Sementara seorang guru ngaji biasa yang hidup di lingkungan yang Islamnya

masih tertinggal ia mampu menjadi Muassis Ma’had, Muassis Masjid. Yang

hidup di lingkungan yang Islamnya maju mungkin hanya mendapat fasilitas-

fasilitas, sementara yang hidup di daerah tertinggal mampu memberikan

kontribusi yang sangat berharga.

Daftar Pustaka

Alfan, Muhammad, Filsafat Etika Islam, Banda Aceh: Tim CV. Citra Kreasi Utama, Desember,
2007.
Amin, Ahmad. Etika Ilmu Akhlak, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Anas, Ahmad, Paradigma Dakwah Kontemporer, Aplikasi dan Praktisi Dakwah sebagai Solusi
Problematikan Kekinian, Cet. I, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006.
Charris, Zubair Achmad, Kuliah Etika, Jakarta: Rajawali Pers, 1980.
Firdaus, A.N., Panji-panji Dakwah, Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Hafidhuddin, Didin, Islam Apliklatif, Jakarta: Gema Insani, 2003.

14
Halim, Mahmud Ali Abdul, dakwah fardhiyah: metode membentuk pribadi musli, Jakarta: Gema
Insani, 2004.
Imam Abu Bakr Ahmad al-Baihaqi, Syu’ab al-Îmân, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017.
Imam Ahmad bin Hanbal, al-Zuhd, Kairo: Dar al-Rayyan li al-Turats, 1992.
Mukni’ah, Materi Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2011.
Munir, M., Metode Dakwah, Jakarta: Kencana, 2006.
Poerwadarmita, W.J.S., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1991.
Quthb, Sayyid, Indahnya al-Qur’an Berkisah, terj. Fathurrahman Abdul Hamid, Jakarta: Gema
Insani Press,2004.
Safri Ulul Amri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’an, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2012.
Said Muhammad, Sirah Nabawiyah, Jakarta: Rabbani Pers, 1995.

15

Anda mungkin juga menyukai