Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

Sumber Ajaran Islam

Disusun oleh :

Siska Aprilia – 1308620080

Vivien Fatimah Azzahra – 1308620056

Zahra Nur Aziza – 1308620077

PROGRAM STUDI BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Islam adalah agama yang berlaku untuk seluruh umat manusia dan tidak terbatas oleh
waktu yang memiliki sumber ajaran islam yang dijadikan pedoman, dasar, acuan, atau
pedoman syariat islam. Agama Islam memiliki sumber ajaran pokok dari Al-Quran yang
memuat wahyu Allah dan al-Hadis yang memuat Sunnah Rasulullah. Karena dijadikan
pedoman utama, ajaran-ajaran tersebut selalu sesuai dengan perkembangan zaman tanpa perlu
perubahan pada isinya.
Agama berperan penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat, karena agama
memberikan sebuah sistem nilai yang memiliki derivasi pada norma-norma masyarakat untuk
memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam mengatur pola perilaku manusia, baik dalam
lingkup individu atau masyarakat (Amran, 2015).
Ajaran agama Islam mengatur tingkah laku kaum muslimin dalam kehidupan dunia ini agar
tercapainya keselamatan di akhirat kelak. Ijtihad merupakan upaya sungguh-sunguh yang
dilakukan oleh seorang faqih dengan mengerahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum
syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbâth. Orang yang melakukan ijtihad disebut
mujtahid. Proses ijtihad pada masa awal memiliki hubungan yang erat dengan al-Qur’an
(Safe’i, 2017).
Dalam mengkaji ajaran Islam, berbagai aspek perlu dikaji secara menyeluruh, sehingga
dapat menghasilkan pemahaman Islam yang absah. Tingkat pemahaman Islam seseorang akan
mempengaruhi pola pikir, dan perilaku dalam berbangsa dan bernegara.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa saja sumber ajaran agama Islam?
1.2.2 Apa fungsi Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam?
1.2.3 Apa fungsi Al-Hadis sebagai sumber ajaran Islam?

1.3 Tujuan Penulisan


1.3.1 Mengetahui sumber-sumber ajaran Islam.
1.3.2 Memahami fungsi Al-Quran sebagai sumber ajaran Islam.
1.3.3 Memahami fungsi Al-Hadis sebagai sumber ajaran Islam.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian dan Prinsip Ajaran Agama Islam
2.1.1 Prinsip Universal dalam Pendidikan Islam
Kata Universal dalam kamus bahasa Indonesia berarti umum berlaku untuk semua orang
atau berlaku seluruh dunia. Prinsip universal dalam pendidikan Islam adalah prinsip yang
bersifat umum, yang berhubungan dengan pelaksanaan pendidikan Islam. Prinsip ini tidak
terlepas dari nilai-nilai ajaran Islam, yaitu yang terbentuk dalam tiga dimensi yang senantiasa
harus dijaga hubungannya dengan manusia. Prinsip universal dalam pendidikan Islam meliputi
masalah ketuhanan, sosial kemasyarakatan, kesadaran dan lingkungan (Herman, 2014).
1. Masalah Ketuhanan
Setiap agama kepercayaan yang ada dan dianut oleh umat manusia di atas dunia ini,
senantiasa berhubungan dengan keyakinan akan adanya kekuatan luar biasa yang
datang dari diri manusia. Islam sebagai agama, maka dalam pelaksanaan
pendidikannya mengarahkan agar perkembangan manusia sesuai dengan normanorma
ajaran Islam. Mengenai norma-norma ajaran Islam telah jelas sebagaimana yang
dikandung dalam al-Qur’an yang merupakan sumber pertama dan utama ajaran Islam,
dan sumber kedua Hadis.
Keberadaan manusia di dunia ini adalah adalah sebuah ciptaan, sehingga manusia
yang beriman diharapkan mampu untuk mendekatkan diri sedekat-dekatnya secara
jasmani dan rohani kepada penciptanya. Oleh karena itu, dalam menopang
kelangsungan hidupnya, manusia membutuhkan kebutuhan berbagai hal, seperti bahan
makanan dan minuman, bahan pakaian, bahan bangunan, alat transportasi, alat
komunikasi, alat mempertahankan diri. Berbagai sumber kehidupan berasal dari Alam
dan itu semua adalah ciptaan Allah Swt. Pendidikan yang dilaksanakan dalam Islam
juga memiliki keterkaitan erat dengan kata tarbiyah dengan kata rabba sehingga
pendidikan Islam dalam bahasa Arab adalah Tarbiyah Islamiyah. Dilihat dari stuktur
katakata yang digunakan dalam peristilahan pendidikan Islam tersebut,
mengindikasikan bahwa Tuhan juga bersifat mendidik, mengasuh, memelihara, dan
mencipta.
Agama mengasumsikan atau melihat suatu persoalan dari segi normatifnya,
sedangkan sains dan agama meneropongnya dari segi objeknya. Agama melihat
problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melihat
problematika dan solusinya melalui eksperimen dan rasio manusia semata-mata. Oleh
sebab itu, dalam pendidikan Islam maka manusia seyogyanya mengetahui eksistensi
keberadaaannya, dari mana ia, untuk apa ia diciptakan, dan akan kemana pada
akhirnya.

2. Masalah Sosial Kemasyarakatan


Manusia adalah makhluk individu, sekaligus juga sebagai makhluk sosial. Islam
memandang adanya persenyawaan antara kehidupan perseorangan dan kehidupan
sebagai anggota masyarakat. Melalui pendekatan ini, interaksi antara pendidikan dan
masalah sosial dikaji secara seksama.
Dalam pelaksanaan pendidikan Islam, maka Islam menjamin hak-hak
kemanusiaan, seperti hak hidup, hak kebebasan, hak belajar, hak persamaan, hak
memiliki, dan hak kehormatan. Omar Mohammad al-Taomy alSaibani merinci
pandangan Islam terhadap manusia atas delapan prinsip:
1) Prinsip kepercayaan bahwa manusia makhluk yang termulia di alam jagat raya;
2) Prinsip kepercayaan akan kemuliaan terhadap manusia;
3) Prinsip kepercayaan bahwa manusia itu hewan yang berfikir;
4) Prnsip kepercayaan bahwa manusia mempunyai tiga dimensi yaitu badan, akal,
dan ruh;
5) Prinsip kepercayaan bahwa manusia dalam pertumbuhannya terpengaruh oleh
factor-faktor warisan dalam alam lingkungan;
6) Prinsip kepercayaan bahwa manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan;
7) Prinsip kepercayaan bahwa ada perbedaan perseorangan di antara manusia;
8) Prinsip kepercayaan bahwa manusia mempunyai keluwesan sikap dan selalu
berubah.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Islam sangat sarat
dengan nuansa dan pesan sosial kemasyarakatan dalam pelaksanaan pendidikan Islam
dengan memandang manusia di samping sebagai makhluk individu, juga sekaligus
merupakan makhluk sosial yang membutuhkan pendidikan.
3. Masalah kesadaran dan pemanfaatan lingkungan
Persoalan lingkungan merupakan persoalan yang dapat digunakan untuk
menunjang kehidupan manusia dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. Akan tetapi
mengindikasikan adanya bahaya ancaman yang dapat ditimbulkan akibat perusakan
lingkungan akibat ulah manusia itu sendiri.
Omar Mohammad al-Taomy al-Saibani merinci pandangan Islam terhadap jagat
raya pada sepuluh prinsip, yaitu:
1) Prinsip kepercayaan yang mengatakan bahwa pendidikan yaitu proses dan usha
mencari pengalaman dan perubahan yang diingini oleh tingkah laku;
2) Prinsip kepercayaan bahwa jagat raya berarti segala sesuatu kecuali Allah Swt.;
3) Prinsip kepercayaan bahwa wujud yang mungkin ialah dengan benda dan ruh;
4) Prinsip kepercayaan bahwa jagat raya ini berubah dan berada dalam gerakan
yang terus menerus;
5) Prinsip kepercayaan bahwa jagat raya ini berjalan menurut undang-undang yang
pasti;
6) Prinsip kepercayaan bahwa ada hubungan antara sebab dengan akibat;
7) Prinsip kepercayaan bahwa ala mini ialah teman terbaik bagi manusia dan alat
yang terbaik bagi kemajuannya;
8) Prinsip kepercayaan bahwa alam ini baru;
9) Prinsip kepercayaan bahwa Allah Swt., pencipta alamini;
10) Prinsip kepercayaan bahwa Allah Swt., bersifat segala, dengan segala sifat yang
sempurna.
Prinsip-prinsip tersebut mendeskripsikan urgensi dan relevansi pendidikan Islam
yang memuat factor ekosistem sebagai wadah dan wahana Dalam pelaksanaan
pendidikan Islam, alam adalah merupakan salah satu wahana pelaksanaan pendidikan
Islam sesuai dengan eksistensinya, yaitu diserahkan kepada manusia untuk
mengelolanya dalam rangka pelaksanaan ibadah kepada Allah Swt. (Nasir S, 2020).

2.2 Al-Qur’an sebagai Sumber Ajaran Islam


Fungsi al-Qur’ān secara universal adalah sebagai asas agama Islam, di Al-Qur’an terdapat
asas setiap ilmu dengan bahasa manusia pada zaman dahulu, sekarang, bahkan di masa
yang akan datang. Dari sudut isi atau substansinya, fungsi Al-Qur’ān sebagai berikut:
a. Al-Ḥudā (petunjuk). Dalam artian dapat dijadikan sebagai petunjuk bagi manusia
secara umum. Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 185 :
“Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’ān yang berfungsi
sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk
itu...”
Kemudian, Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 2 yang berbunyi, “Kitab
Al-Qur’ān ini tidak ada keraguan di dalamnya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.”
Dapat diartikan bahwa Al-Qur’an merupakan petunjuk bagi orang-orang yang
bertakwa.
b. Al-Mau’iẓah (nasihat). Dalam Al-Qur’ān dikatakan bahwa ia berfungsi sebagai nasihat
bagi orang-orang bertakwa. Allah Swt. Berfirman dalam QS. Ali Imran [3]: 138, “Al-
Qur’ān ini adalah penerangan bagi seluruhmanusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi
orang-orang yangbertakwa.”
c. Al-Furqān (pemisah). Allah Swt. berfirman dalam QS. al-Baqarah [2]: 185, “Bulan
Ramadhan adalah bulan diturunkannya al-Qur’ān yang berfungsi sebgaipetunjuk itu
dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)...”
Dapat disimpulkan, Al-Qur’an dapat dijadikan sebagai pedoman dan bahkan pemisah
antara yang hak dan yang batil, atau antara yang benar dengan yang salah (Syaripudin,
2016).

Merujuk pada pembahasan para ulama’, sebagian dari mereka ada yang membagi hukum
dalam al-Qur’an, sebagaimana pernyataan Wahbah Zuhaili di dalam kitab Ushul al-Fiqh al-
Islamiyi yang juga dikutip oleh Ernawati, diantaranya:
a. Hukum Akidah (I’tiqadiyah) merupakan suatu hal yang berkaitan dengan keyakinan
manusia kepada Allah swt. dan juga kepada para malaikat, kitab, rasul, serta hari akhir.
b. Hukum Etika (Khuluqiyyah) adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan kepribadian
diri, seperti, rendah hati, sikap dermawan, kejujuran dan menghindari sifat-sifat buruk
lainnya seperti halnya dusta, iri, dengki, dan sombong.
c. Hukum Amaliyah (Amaliyah) atau suatu perilaku sehari-hari yang berhubungan dengan
sesama manusia. Hukum Amaliyah dibagi menjadi dua bagian, yakni:
1. Muamalah ma’a Allah atau pekerjaan yang berhubungan dengan Allah, seperti shalat,
puasa, zakat, haji, nadzar, dan lain sebagainya.
2. Muamalah ma’a anNaas atau pekerjaan yang berhubungan langsung dengan manusia
baik secarapribadi maupun kelompok. Contohnya, kontrak kerja, hukum pidana, dan
lain sebagainya (Jaya, 2019).

2.3 Sunnah sebagai Sumber Ajaran Islam


As-Sunnah secara etimologi adalah jalan yang ditempuh, sedangkan secara
terminologi adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi shalallahu alahi wasalam, baik
berupa perbuatan, perkataan atau pernyataan di dalam masalah-masalah yang berhubungan
dengan hukum syariat. Para ushuliyyin mendefinisikan sunnah dengan sabda, perbuatan,
ketetapan, sifat yang dapat dijadikan sebagai sumber syariat. Adapun sunnah menurut para
fuqaha adalah suatu sifat hukum atas suatu perbuatan yang apabila dikerjakan memperoleh
pahala, sementara jika ditinggalkan maka tidaklah berdosa.

2.3.1 Fungsi Sunnah


Banyak literatur yang menjelaskan tentang fungsi sunnah yang seluruhnya mengarah pada
lima fungsi:
1. Sunnah berfungsi sebagai bayan ta’kid, artinya bahwa sunnah memiliki
fungsi memperkokoh uraian hukum yang telah ditetapkan dalam al-Qur’an,
seperti perintah menunaikan shalat, zakat, puasa, dan haji.
2. Sunnah berfungsi sebagai bayan tafshil/bayan tafsir, di sini sunnah
berfungsi menjelaskan dan memerinci petunjuk yang global dalam al-
Qur’an, seperti tata cara menunaikan shalat dan menjalankan ibadah haji.
3. Sunnah berfungsi sebagai bayan tasyri’, mengandung maksud bahwa
sunnah dapat menentukan suatu hukum secara mandiri yang belum
dijelaskan kepastian hukumnya oleh al-Qur’an, seperti hukum menghimpun
pernikahan antara bibi dan keponakan perempuan yang dijelaskan melalui
hadis Rasulullah SAW.
4. Sunnah berfungsi sebagai bayan al-muthlaq atau bayan al-taqyid, yakni
untuk memberikan batasan-batasan terhadap ayat-ayat yang bersifat mutlak.
5. Sunnah berfungsi sebagai bayan al-takhshish, yakni untuk mengkhususkan
ayat-ayat al-Qur‟an yang masih bersifat umum (‘amm).
2.3.2 Dasar Sunnah sebagai Sumber Ajaran Islam
Banyak ayat Al-Qur’an atau hadis yang menjelaskan bahwa sunnah merupakan
salah satu sumber ajaran islam. Ada beberapa dalil yang menunjukkan atas
kehujahan sunnah dijadikan sebagai sumber ajaran Islam, yaitu sebagai berikut.
a. Dalil Al-Qur’an
Banyak sekali ayat-ayat al-Qur’an yang memerintahkan untuk patuh kepada
Rasul dan mengikuti Sunnahnya. Perintah patuh kepada Rasul berarti perintah
mengikuti Sunnah sebagai hujjah, antara lain:

b. Dalil Hadits
Hadits yang dijadikan dalil kehujjahan Sunnah juga banyak sekali, diantaranya
sebagaimana sabda Nabi s.a.w.

c. Kesepakatan ulama (ijma’)


Umat islam telah sepakat bahwa sudah menjadi kewajiban umat Islam untuk
mematuhi apa yang dibawa oleh Rasulullah SAW, baik ketika beliau masih
hidup atau sesudah wafat.
d. Sesuai dengan petunjul akal
Konsekuensi mempercayai Muhammad sebagai Rasulullah mengharuskan
menerima dan menaati segala yang beliau perintahkan dan meninggalkan yang
beliau larangan

2.3.3 Klasifikasi Sunnah


1. Sunnah qauliyyah
Sunnah dalam bentuk sabda yang disampaikan oleh Rasulullah SAW.
kepada para sahabat, lalu para sahabat ini menyampaikan kepada para sahabat
lainnya. Misalnya, tatkala Rasulullah SAW. bersabda, “Sesungguhnya segala
perbuatan itu tergantung pada niatnya.” Pada dasarnya sunnah qauliyyah ini
bersifat umum yang berlaku untuk Rasulullah SAW. sendiri dan juga berlaku bagi
umat pada masa itu serta masa-masa sesudahnya. Ini dikarenakan sejatinya sabda
Rasulullah SAW. tidak terikat dengan waktu. Kecuali jika ada keterangan lain
yang menjelaskan bahwa sabda rasulullah itu berlaku untuk orang tertentu atau
hanya berlaku untuk masa tertentu pula.
2. Sunnah fi’liyyah
Sunnah dalam bentuk tindakan atau perbuatan yang dilaksanakan dan
diteladankan oleh Rasulullah SAW., seperti tindakan Rasulullah SAW. dalam
meneladankan gerakan shalat, pentasharrufan zakat, dan manasik haji. Tidak
hanya itu masih banyak tindakan Rasulullah SAW. lainnya seperti beliau
mewajibkan diri sendiri untuk selalu melaksanakan shalat dhuha, shalat witir, dan
shalat tahajjud di tiap malam.
3. Sunnah taqririyah
Sunnah dalam bentuk ketetapan beliau SAW., tatkala para sahabat sedang
melakukan suatu perbuatan di hadapan beliau atau sepengetahuan beliau SAW.
namun didiamkan atau tidak dicegah, maka hal itu merupakan pengakuan dari
Rasulullah SAW. Seperti peristiwa ketika para sahabat memakan dhab, dan
Rasulullah SAW. mengetahui dan tidak melarang mereka. Diamnya Rasulullah
SAW. dalam hal ini dimaknai bahwa beliau pernah melarang perbuatan itu
sebelumnya dan tidak diketahui pula keharamannya. Diamnya Rasululah SAW.
dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah ibahah atau meniadakan keberatan
untuk diperbuat. Sebab jika perbuatan itu dilarang, namun Rasulullah SAW.
mendiamkannya padahal beliau mampu untuk mencegahnya, maka berarti
Rasulullah SAW. berbuat kesalahan, padahal beliau adalah seorang yang
terhindar dari kesalahan (ma’shum) (Syarifuddin, 2000: 81).
2.3.4 Kedudukan Sunnah sebagai Sumber Ajaran Islam
Berdasarkan dalil-dalil di atas, jelaslah bahwa kedudukan Sunnah sebagai
sumber ajaran islam sangatlah kuat dan siapa yang mengingkarinya tergolong kafir.
Hal ini tidak berarti mengurangi kedudukan Al-Qur’an sebagai sumber ajaran
islam, sebab di dalam Al-Qura’an masih banyak ayat yang bersifat umum dan
global yang memerlukan penjelasan. Penjelasan itu diberikan Rasul, yaitu berupa
Sunnah. Peran Sunnah terhadap Al-Qur’an:
1. Sunnah sebagi penjelas dan merinci ayat-ayat Al-Qura’an yang masih global
dan memberikan batasan terhadap ayat Al-Qura’an yang dalam pelaksanaannya
belum ada batasan
2. Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam Al-
Qura’an
3. Sunnah memperkuat ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam nash Al-
Qura’an
2.4 Ijtihad sebagai Sumber Ajaran Islam
Ijtihad berasal dari kata Ijtahada-yajtahidu- ijtihādan yang berarti mengerahkan
segala kesanggupan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Sedangkan ijtihad menurut
sebagian ulama ushul fiqh, Ijtihad adalah mencurahkan segala kesanggupan dan
kemampuan semaksimal mungkin itu adakalanya dalam istinbat (penetapan) hukum syariat
adakalanya dalam penerapan hukum.
2.4.1 Fungsi Ijtihad
Fungsi ijtihad adalah untuk mendapatkan sebuah solusi hukum jika ada suatu
masalah yang harus di tetapkan hukumnya, akan tetapi tidak di temukan baik di
Alquran atau hadis. Dari segi fungsi ijtihad memiliki kedudukan dan legalitas
dalam Islam. Ijtihad dapat dilakukan apabila ada suatu masalah yang hukumnya
tidak terdapat di dalam Alquran maupun hadist, maka dapat dilakukan ijtihad
dengan menggunakan akal pikiran dengan tetap mengacu pada Alquran dan
hadist.orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Walaupun dengan demikian,
ijtihad tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang artinya hanya orang-orang
tertentu saja, yang memenuhi syarat khusus yang boleh berijtihad. Beberapa Syarat
tersebut di antaranya adalah :
- Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam
- Mempunyai pemahaman yang baik, baik itu bahasa Arab, ilmu tafsir, usul
fiqh, dan tarikh (sejarah)
- Paham cara meng-istinbat-kan (perumusan) hukum dan melakukan
qiyas.
- Berakhlaqul qarimah.

2.4.2 Klasifikasi Ijtihad


Ditinjau dari segi pelakunya ijtihad dibagi menjadi dua, yaitu: ijtihad
perorangan dan ijtihad jam’i. Ijtihad perorangan yaitu suatu ijtihad yang dilakukan
oleh seorang mujtahid dalam suatu persoalan hukum. Sedangkan ijtihad jam’i atau
ijtihad kelompok adalah ijtihad yang dilakukan oleh sekelompok mujtahidin dalam
menganalisa suatu masalah untuk menentukan suatu hukum. Dilihat dari
lapangannya ijtihad dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
a. Ijtihad pada masalah-masalah yang ada nassnya tapi bersifat zhanni.
b. Ijtihad untuk mencapai suatu hukum syara’ dengan penetapan kaidah kulliyah
yang bisa diterapkan tanpa adanya suatu nass.
c. Ijtihad bi ar-ra’i yaitu ijtihda yang berpegang pada tanda-tanda dan wasilah yang
telah ditetapkan syara’ untuk menunjuk pada suatu hukum.
2.4.3 Landasan Ijtihad
Adapun sunnah yang menjadi dasar ijtihad diantaranya hadits ‘Amr bin al-
Ash yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, dan Ahmad yang
menyebutkan bahwa Nabi Muhammad bersabda: “Apabila seorang hakim
memutuskan perkara kemudian ia berijtihad lalu Maka ia mendapatkan dua pahala.
Dan apabila seorang hakim memutuskan perkara kemudian ijtihadnya dinilai salah,
maka ia mendapatkan satu pahal .” (HR. Bukhari)
2.4.4 Kedudukan Ijtihad
a. Hasil ijtihad tidak mutlak/relatif bisa berubah bahwa ijtihad tidak mutlak karena
mengingat hasil ijtihad merupakan analisa akal, maka sesuai dengan sifat dari
akal manusia sendiri yang relatif, maka hasilnya relatif pula. Pada saat sekarang
bisa berlaku dan pada saatnya yang lain bisa tidak berlaku.
b. Hasil ijihad tidak berlaku umum, dibatasi oleh tempat, ruang dan waktu. Dalam
ketentuan ini generasi terhadap suatu masalah tidak dapat dilakukan. Umat islam
bertebaran diseluruh dunia dalam berbagai situasi dan kondisi alamiah yang
berbeda. Lungkungan sosial dan budayanya pun sangan beraneka ragam. Ijtihad
suatu daerah belum tentu berlaku di daearah lain.
c. Proses ijtihad harus mempertimbangkan motifasi, akibat dan permasalahan
umum (umat)
d. Hasil ijtihad tidak boleh berlaku untuk masalah ibadah mahdhlah, sebab masalah
tersebut telah ada ketetapannya dalam Al-Qur’an dan sunnah. Dengan demikian
kaidah yang penting dalam melakukan ijtihad adalah bahwa ijtihad tersebut tidak
boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunnah.

2.5 Membangun Paradigma Qur’ani dalam Peradaban Modern

2.5.1 Konsep dan Karakteristik Paradigma Qur’ani


Secara etimologis kata paradigma dari bahasa Yunani yang asal katanya
adalah para dan digma. “Para” mengandung arti disamping, di sebelah dan keadaan
lingkungan. ‟Digma” berarti sudut pandang, teladan, arketif dan ideal. Dapat
dikatakan bahwa paradigma adalah cara pandang, cara berpikir, cara berpikir
tentang suatu realitas. Adapun secara terminologis paradigma adalah cara berpikir
berdasarkan pandangan yang menyeluruh dan konseptual terhadap suatu realitas
atau suatu permasalahan dengan menggunakan teoriteori ilmiah yang sudah baku,
eksperimen, dan metode keilmuan yang bisa dipercaya. Dengan demikian,
paradigma Qurani adalah cara pandang dan cara berpikir tentang suatu realitas atau
suatu permasalahan berdasarkan Al-Quran.
Berikutnya, Mengapa Al-Quran dijadikan paradigma? Semua orang
menyatakan bahwa ada suatu keyakinan dalam hati orangorang beriman, Al-Quran
mengandung gagasan yang sempurna mengenai kehidupan; Al-Quran mengandung
suatu gagasan murni yang bersifat metahistoris. Menurut Kuntowijoyo (2008), Al-
Quran sesungguhnya menyediakan kemungkinan yang sangat besar untuk
dijadikan cara berpikir. Pengembangan eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan
berdasarkan paradigma Al-Quran jelas akan memperkaya khazanah ilmu
pengetahuan umat manusia. Kegiatan itu mungkin bahkan tentu saja akan menjadi
rambahan baru bagi munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Premis-premis
normatif Al-Quran dapat dirumuskan menjadi teori-teori yang empiris dan rasional.
Struktur transendental Al-Quran adalah sebuah ide normative filosofis yang dapat
dirumuskan menjadi paradigma teoretis. Paradigma Qurani akan memberikan
kerangka bagi pertumbuhan ilmu pengetahuan empiris dan ilmu pengetahuan
rasional yang orisinal, dalam arti sesuai dengan kebutuhan pragmatis masyarakat
Islam yaitu untuk mengaktualisasikan misinya sebagai khalifah di muka bumi.

2.5.2 Alasan Paradigma Qur’ani sangat Penting bagi kehidupan modern

Al-Quran bagi umat Islam adalah sumber primer dalam segala segi
kehidupan. Al- Quran adalah sumber ajaran teologi, hukum, mistisisme, pemikiran,
pembaharuan, pendidikan, akhlak dan aspek aspek lainnya. Tolok ukur benar /
salah, baik / buruk, dan indah / jelek adalah Al-Quran. Jika mencari sumber lain
dalam menentukan benar / salah, baik / buruk, dan indah / jelek, maka seseorang
diangap tidak konsisten dalam berislam, suatu sikap hipokrit yang dalam
pandangan Al-Quran termasuk sikap tidak terpuji.

Untuk apa Al-Quran diturunkan? Apa tujuan Al-Quran diturunkan? Yusuf


al Qardhawi menjelaskan bahwa tujuan diturunkan Al-Quran paling tidak ada tujuh
macam, yaitu:

1) Meluruskan Akidah Manusia Secara rinci menjaga akidah itu mencakup aspek-
aspek sebagai berikut.
a. Menegakkan Pokok-Pokok Tauhid Menegakkan tiang-tiang tauhid sebagai
landasan beragama sangat penting eksistensinya sebab bersikap sebaliknya
yaitu syirik merupakan sikap yang sangat tercela, bahkan hukum Islam
memandang syirik sebagai suatu tindak pidana (jarīmah) yang sangat
terlarang. Mengapa syirik termasuk dosa besar? Sebab dalam syirik ada
kezaliman terhadap kebenaran, dan penyimpangan terhadap kebenaran
hakiki, serta ada pelecehan terhadap martabat kemanusiaan yang
mengagungkan dunia atau tunduk kepada sesama makhluk. Itulah sebabnya
Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni sikap syirik
dan Allah akan mengampuni dosa selain itu bagi siapa saja yang Allah
kehendaki.” (QS AnNisa`/4: 48). “Sesungguhnya sikap syirik adalah
kezaliman yang sangat besar.” (QS Luqman/31: 13). “Jauhilah perbuatan
keji yaitu menyembah berhala, dan jauhi pula berkata palsu, dengan penuh
penyerahan kepada Allah dan tidak bersikap syirik kepada-Nya. Barang
siapa melakukan syirik kepada Allah, maka seakan-akan ia terjun dari langit
lalu disambar burung, atau diombang-ambing angin ke tempat yang tidak
menentu.” (QS Al-Hajj/22: 30- 31). Al-Quran mengajak manusia beribadah
hanya kepada Allah sementara syirik cenderung kepada kebatilan dan
khurafat. Al-Quran menginformasikan kepada kita bahwa Nabi Muhammad
bahkan semua para nabi mengajak kaumnya untuk beribadah hanya kepada
Allah. Allah berfirman, “Beribadahlah kepada Allah, tidak ada bagi kamu
satu Tuhan pun selain Allah.” (QS Al-A araf/7: 59, 65, 73, 85) (QS
Hud/11:50, 61, 84).
b. Mensahihkan Akidah tentang Kenabian dan Kerasulan, Meluruskan akidah
atau dapat dikatakan membenarkan akidah itu mencakup aspek-aspek
sebagai berikut.

1). Menjelaskan keperluan manusia terhadap kenabian dan kerasulan. Allah


berfirman, Tidaklah Kami turunkan al-kitab kepadamu kecuali agar kamu
menjelaskan kepada mereka apa yang mereka ikhtilafkan. (QS An-Nahl/16:
64). Keadaan manusia adalah umat yang satu lalu. Allah mengutus para nabi
sebagai pembawa kabar gembira dan pembawa peringatan, dan Allah
menurunkan bersama mereka Al-Kitab dengan hak agar ia menghukumi
apa-apa yang mereka ikhtilafkan. (QS Al-Baqarah/2: 213).

2) Menjelaskan tugas-tugas para rasul khususnya dalam hal kabar gembira


dan pemberi peringatan. Para rasul sebagai pembawa kabar gembira dan
pemberi peringatan. (QS An-Nisa`/4: 165). Para rasul bukanlah Tuhan,
bukan pula anak-anak Tuhan, mereka hanyalah manusia biasa yang dipilih
Tuhan untuk menerima wahyu. Katakanlah Muhammad, sesungguhnya aku
(Muhammad) adalah manusia biasa seperti kamu hanya aku diberi wahyu,
sesungguhnya Tuhan kamu adalah Tuhan yang satu. (QS AlKahfi/18: 110).

3) Menghilangkan keraguan dari persepsi masyarakat silam tentang


penampilan para rasul. Tidaklah kamu itu melainkan manusia biasa seperti
kami. (QS Ibrahim/14: 10). Seandainya Allah berkehendak, tentu Allah
menurunkan malaikat (sebagai utusan). (QS Al Mu minun/23: 24). ‟ Al-
Quran menolak persepsi mereka tentang para rasul dengan firman-Nya
sebagai berikut. Berkatalah kepada mereka rasul-rasul mereka; Tidaklah
kami semua kecuali manusia biasa tetapi Allah memberikan anugerah
kepada siapa saja yang Allah kehendaki dari hambahamba-Nya. (QS
Ibrahim/14: 11). Katakanlah kalau di muka bumi ini ada malaikat-malaikat
yang berjalan dengan tenang (seperti manusia), tentu Kami akan
menurunkan dari langit untuk mereka malaikat sebagai rasul. (QS Al-
Isra`/17: 95).

4) Menjelaskan akibat bagi orang-orang yang membenarkan para rasul dan


akibat bagi orangorang yang mendustakan para rasul. Di dalam Al-Quran
ada kisah yang panjang yang merupakan bagian dari kisah-kisah para rasul
bersama umat mereka yang ujungnya kecelakaan bagi orang-orang yang
mendustakan para rasul dan keselamatan bagi orang-orang yang beriman
kepada para rasul. Dan (telah Kami binasakan) Kaum Nabi Nuh tatkala
mereka mendustakan para rasul, maka Kami tenggelamkan mereka dan
Kami jadikan mereka sebagai ayat bagi manusia yang lain. Dan Kami
sediakan bagi orang-orang yang berlaku zalim siksa yang menyakitkan. (QS
AlFurqan/25: 37).

Kemudian Kami selamatkan rasul-rasul Kami dan orang-orang yang


beriman. Demikianlah adalah hak bagi Kami menyelamatkan orang-orang
beriman. (QS Yunus/10:103). Meneguhkan Keimanan terhadap Akhirat dan
Keyakinan Akan Adanya Balasan yang Akan Diterima di Akhirat Informasi
yang diangkat dalam Al-Quran baik dalam ayat madaniyyah maupun
makkiyyah bahwa iman terhadap akhirat dan segala sesuatu yang ada di
akhirat berupa hisab, surga, dan neraka adalah bagian dari tujuan
diturunkannya Al-Quran. Al-Quran telah menetapkan beberapa gaya dalam
upaya meneguhkan akidah ini dan mensahihkan akidah ini.

1) Menegakkan argumen-argumen akan terjadinya “pembangkitan” dengan


menjelaskan kekuasaan Allah mengembalikan makhluk sebagaimana
semula. Dialah yang memulai penciptaan kemudian Ia mengembalikannya
sebagaimana semula dan Ia mudah untuk melakukannya. (QS Ar-Rum/30:
27).

2) Mengingatkan manusia akan penciptaan benda-benda yang amat besar


sangatlah mudah bagi Allah, apalagi menghidupkan kembali manusia yang
sudah mati, tentunya sesuatu yang amat mudah bagi Allah. Tidakkah
mereka berpikir sesungguhnya Allah, Dialah yang menciptakan langit dan
bumi, dan tidaklah sulit bagi-Nya menghidupkan yang sudah mati, ingatlah
sesungguhnya Allah berkuasa atas segala sesuatu. (QS Al-Ahqaf/46: 33).

3) Menjelaskan hikmah adanya pembalasan di akhirat sehingga jelas


ketidaksamaan orang yang berbuat baik dan yang berbuat buruk, termasuk
balasan bagi orang baik dan orang jahat. Dengan demikian, tampaklah
bahwa kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan kesiasiaan. Apakah
kamu menyangka bahwa Kami menciptakan kamu hanya main-main, dan
kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami. (QS Al-Mu minun/23: 115) ‟
Apakah manusia menduga akan ditinggalkan begitu saja secara sia-sia. (QS
Al-Qiyamah/75: 36). Dan tidaklah Kami ciptakan langit, bumi, dan segala
isinya sia-sia: itu adalah sangkaan orang-orang kafir: neraka wael adalah
keberakhiran orang-orang kafir. (QS Shad/38: 27). Tidak mungkinlah Kami
menjadikan orang-orang beriman dan beramal saleh seperti orangorang
yang berbuat kerusakan atau Kami menjadikan orang-orang
bertakwaseperti orangorang yang berbuat kerusakan. (QS Shad/38: 28).

4) Menjelaskan balasan yang ditunggu oleh orang-orang mukmin yang baik


yaitu pahala dan keridaan, dan balasan yang disediakan bagi orang-orang
kafir yaitu siksa dan kerugian. Itulah sebabnya Al-Quran sering
menceritakan kiamat dan segala kedahsyatannya. Al-Quran juga
menginformasikan catatan amal yang memuat segala kegiatan manusia baik
yang bernilai maupun yang tidak bernilai (jelek), timbangan, hisab, surga
dengan segala kenikmatannya, neraka dengan segala penderitaannya dan
kesinambungan kehidupan manusia secara jasmani dan rohani di akhirat.

5) Menggugurkan mitologi yang dimunculkan musyrikīn bahwa Tuhan-


Tuhan mereka dapat memberi syafaat pada hari Kiamat kelak, begitu juga
dugaan ahli kitab bahwa orang-orang suci mereka dapat memberi syafaat.
Inilah yang dibatalkan oleh Islam bahwa sesungguhnya tidak ada syafaat
tanpa izin Allah, tidak ada syafaat kecuali bagi orang beriman, dan manusia
tidak akan mendapatkan kecuali amalnya sendiri, dan tidak akan pernah
menanggung dosa orang lain. Orang berdosa tidak akan menanggung dosa
orang lain; Dan tidak ada bagi manusia kecuali apa yang telah ia kerjakan.
(QS An-Najm/53: 38-39). Tidak bermanfaat bagi mereka (kuffār) syafaat
orangorang yang memberi syafaat. (QS AlMuddatstsir/74: 48). Siapakah
yang dapat memberi syafaat di sisi-Nya kecuali atas izin-Nya. (QS Al-
Baqarah/2: 255). Mereka tidak akan memberi syafaat kecuali kepada orang
yang Allah ridai.” (QS AlAnbiya`/21: 28). “Mereka akan mendapatkan apa-
apa yang telah mereka kerjakan dan Tuhanmu tidak akan berbuat zalim
kepada siapa pun. (QS Al-Kahfi/18: 41).

2. Meneguhkan Kemuliaan Manusia dan Hak-Hak Manusia


a. Meneguhkan Kemuliaan Manusia Al-Quran menguatkan bahwa manusia
adalah makhluk mulia. Allah menciptakan Adam dengan kedua tangan-Nya
sendiri. Ia meniupkan roh-Nya kepada Adam, dan Allah menjadikan Adam
sebagai khalifah dan keturunan Adam berperan sebagai pengganti Adam dalam
kekhilafahan. Allah berfirman, “Dan Kami telah memuliakan keturunan Adam
dan Kami bawa mereka (untuk menguasai) daratan dan lautan, dan Kami
rezekikan kepada mereka yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas
kebanyakan sebagian yang telah Kami ciptakan.” (QS Al-Isra`/17: 30).
“Tidakkah kamu berpikir sesungguhnya Allah telah menaklukkan untuk kamu
segala apa yang ada di langit dan di bumi dan Allah menyempurnakan untuk
kamu nikmat lahir dan batin.” (QS Luqman/31: 20). “Dan Allah telah
menaklukan buat kamu segala apa yang ada di langit dan di bumi, semuanya
dari Allah.” (QS Al-Jatsiah/45: 12). Ayat-ayat lain dapat Anda baca misalnya:
QS Al-Baqarah/2: 30, QS Al-A raf/: 31, QS ‟ Fussilat/41: 38, QS Al-Ahzab/33:
67, QS-Taubah/9: 31, QS Ali Imran/3: 64, QS Ali-Imran/3: 79.
b. Menetapkan Hak-Hak Manusia Dalam upaya menguatkan kemuliaan manusia,
pada empat belas abad silam, Al-Quran telah menetapkan hak-hak asasi
manusia sebagaimana yang menjadi “nyanyian” kelompok yang menamakan
diri pejuang hak asasi manusia sekarang ini. Allah menciptakan manusia bebas
berekspresi untuk berpikir dan berpendapat. Allah berfirman, “Katakanlah,
„Perhatikanlah apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. ” ‟ (QS
Yunus/10: 101). “Katakanlah sesungguhnya kami hanyalah member nasihat
dengan satu perkara; hendaklah kamu beramal karena Allah, berduaan atau
sendiri-sendiri, lalu berpikirlah.” (QS Saba/34: 46). Hak-hak lainnya adalah hak
hidup: QS Al-An am/6: 151, QS Al-Isra`/17: 33, QS Al- ‟ Ma`idah/5: 31. Hak
untuk bekerja dan menjelajahi dunia: QS Al-Mulk/67: 15, QS AlJumu ah/62:
9-10, QS Al-Baqarah/2: 198. Hak untuk menikmati hasil usaha sendiri dengan
‟ halal: QS An-Nisa`/4: 32, QS An-Nisa`/4: 29. Hak memiliki tempat tinggal
yang layak: QS An-Nur/24: 27-28. Hak untuk terjaga darahnya, hartanya, dan
hak miliknya: QS An-Nisa`/4: 29. Hak untuk terjaga harga dirinya dan
kemuliaannya: QS Al-Hujurat/49: 11. Hak mempertahankan diri: QS Al-
Baqarah/2: 194. Hak mendapatkan keadilan: QS An-Nisa`/4: 58, QS Al-
Ma`idah/4: 8, QS An-Nisa`/: 105-107. Hak terpenuhi keperluan hidup jika ia
memang lemah atau fakir: QS Al-Ma arij/70: 24, 25, QS At-Taubah/9: 102. Hak
untuk setuju ‟ atau menolak kepada ulil amri (pemerintah): QS An-Nisa`/4: 59.
Hak menolak kemungkaran: QS Hud/11: 112, QS Al-Ma`idah/5 78-79, QS Al-
Mumtahanah/60: 12, QS Al-Anfal/8: 25, QS Asy-Syu ara`/26/26: 151-152, dan
seterusnya. ‟
c. Meneguhkan Hak-Hak Duafa (Orang-Orang Lemah secara Ekonomi). Al-
Quran menetapkan hak-hak manusia secara umum dan Al-Quran secara khusus
mengangkat hak-hak orang lemah agar tidak teraniaya (terzalimi) oleh orang-
orang kuat atau tidak diabaikan oleh para penegak hukum. Sangat banyak ayat-
ayat Al-Quran yang membahas masalah ini baik ayat-ayat makkiyyah maupun
ayat-ayat madaniyyah. Anda bisa membuka dan menelaah ayat-ayat Al-Quran,
antara lain sebagai berikut ini. QS Adh-Dhuha/93: 9, QS Al-Muddatstsir/74:
42-44, QS Al-Ma un/107: 1-3, QS Al- ‟ Haqqah/69: 32-34, QS Al-Fajr/89: 17-
18, QS Al-Isra`/17: 34, QS An-Nisa`/4: 10, QS AtTaubah/9: 60, QS Al-Anfal/8;
41, QS Al-Hasyr/59: 7, QS At-Taubah/9: 103, QS AlBaqarah/2: 177, QS Al-
Isra`/17: 26, QS Al-Baqarah/2: 215, QS An-Nisa`/4: 36, QS AnNisa`/4: 74-76

2.5.2 Urgensi dan Esensi Paradigma Qur’ani dalam kehidupan modern

Ciri utama kehidupan modern adalah adanya pembangunan yang berhasil


dan membawa kemajuan, kemakmuran, dan pemerataan. Pembangunan yang
berkesinambungan yang berimplikasi terhadap perubahan pola hidup masyarakat
ke arah kemajuan, dan kesejahteraan itu merupakan bagian dari indicator kehidupan
modern. Lebih rinci, Nurcholis

Madjid (2008) menyatakan bahwa tolok ukur pembangunan yang berhasil adalah
sebagai berikut.

1. Tingkat produksi dan pendapatan lebih tinggi.

2. Kemajuan dalam pemerintahan sendiri yang demokratis, mantap, dan sekaligus


tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan dan kehendak-kehendak rakyat.
3. Pertumbuhan hubungan sosial yang demokratis, termasuk kebebasan yang luas,
kesempatan-kesempatan untuk pengembangan diri, dan penghormatan kepada
kepribadian individu.
4. Tidak mudah terkena komunisme dan totaliarianisme lainnya, karena alasan-
alasan tersebut.
Dalam konsep Islam, kemajuan dan kemodernan yang integral adalah
sesuatu yang harus diraih dan merupakan perjuangan yang tak boleh berhenti.
Berhenti dalam proses pencapaiannya berarti berhenti dalam perjuangan, suatu
sikap yang dilarang dalam Islam. Namun, karena umat Islam memiliki sumber
norma dan etik yang sempurna yaitu kitab suci Al-Quran, maka Al-Quran harus
dijadikan paradigm dalam melihat dan mengembangkan segala persoalan.
Paradigma Qurani dalam pengembangan Iptek, misalnya, jelas akan
memungkinkan munculnya ilmu-ilmu alternatif yang khas yang tentu saja tidak
sekularistik. Paradigma Qurani dalam pengembangan budaya, juga akan
melahirkan budaya masyarakat yang Islami yang tidak sekuler dalam proses, hasil,
dan aktualisasinya. Pengembangan ekonomi yang berlandaskan paradigma Qurani
jelas akan melahirkan konsep dan kegiatan ekonomi yang bebas bunga dan
spekulasi yang merugikan. Prinsip ekonomi Islam adalah tidak boleh rugi dan tidak
boleh merugikan orang lain (lā dharāra wa lā dhirāra). Riba dan gharar jelas
merupkan sesuatu yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu.
Paradigma Qurani dalam menyoroti segala persoalan harus tetap menjadi
komitmen umat Islam agar umat tidak kehilangan jati dirinya dalam menghadapi
tantangan modernitas. Kehidupan modern yang pada hakikatnya merupakan
implementasi kemajuan Iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) akan memberi
manfaat dan terus berkembang untuk membawa kemajuan yang harus dipandu dan
diarahkan oleh wahyu (Al-Quran) agar umat tidak terjebak dalam kehidupan
sekularis. Hal ini jelas bukan tujuan kemajuan Islam itu sendiri.
Sekularisasi hanya akan mengikis keimanan yang ada di hati umat dan akan
melahirkan generasi yang ambivalen (bersikap mendua) dalam kehidupan. Di satu
sisi ia sebagai seorang muslim, di sisi lain ia meminggirkan ajaran Islam dari
dirinya dan kehidupannya sehingga Islam lepas dari aktivitas hidupnya, yaitu suatu
sikap hipokrit yang harus dijauhkan dari kepribadian umat Islam. Umat Islam akan
maju kalau Al-Quran menjadi tuntunan dan Rasulullah sebagai panutan. Umat
Islam akan tertinggal, dan masuk pada situasi stagnasi kalau Al-Quran dijauhkan
dari kehidupan dirinya. Paradigma Qurani adalah proses menghadapi realitas
sekaligus tujuan yang harus digapai dalam perjalanan hidup umat Islam.
Sejarah membuktikan kemunduran umat Islam pada abad kedelapan belas,
yang biasa disebut abad stagnasi keilmuan, adalah karena beberapa faktor. Pertama,
justru karena umat Islam meninggalkan peran Al-Quran sebagai paradigma dalam
menghadap segala persoalan. Kedua, hilangnya semangat ijtihad di kalangan umat
Islam. Ketiga, kesalahan lainnya, menurut Muhammad Iqbal, karena umat Islam
menerima paham Yunani mengenai realitas yang pada pokonya bersifat statis,
sedangkan jiwa Islam bersifat dinamis dan berkembang. Keempat, para ilmuwan
keliru memahami pemikiran Al-Ghazali, yang dianggapnya alGhazali
mengharamkan filsafat dalam bukunya “Ta āfutul Falāsifah ḫ ”, padahal Al-Ghazali
menawarkan sikap kritis, analitis dan skeptis terhadap filsafat, agar dikembangkan
lebih jauh dalam upaya menggunakan paradigma Qurani dalam pengembangan
falsafah. Faktor kelima, karena sikap para khalifah yang berkuasa pada zaman itu
tidak mendukung pengembangan keilmuan karena takut kehilangan pengaruh yang
berakibat terhadap hilangnya kekuasaan mereka.
Dengan meminjam istilah Bung Karno, para khalifah mengambil abu
peradaban Islam bukan apinya dan bukan rohnya. Sebaliknya, Barat mengambil
apinya dan meninggalkan abunya. Karena sikap demikian, kehidupan politik umat
Islam pun, pada abad itu menjadi lemah, pecah, dan semrawut di tengah hegemoni
kekhilafahan Islam yang mulai memudar dalam menghadapi peradaban Barat yang
mulai menggeliat dan perlahan maju dengan percaya diri.
Perkembangan berikutnya, dunia Islam masuk dalam perangkap
kolonialisme Barat dan bangsa Barat menjadi penjajah yang menguasai segala
aspek di dunia Islam. Dewasa ini dunia Islam telah masuk ke fase modern.
Langkah-langkah untuk lebih maju agar tidak tertinggal oleh peradaban
Barat,kiranya pemikiran Ismail Razi al-Faruqi perlu dikaji. Menurut Al-Faruqi,
sebagaimana ditulis Juhaya S Praja (2002: 73), kunci sukses dunia Islam tentu saja
adalah kembali kepada Al-Quran. Al-Faruqi menjabarkannya dengan langkah
sebagai berikut.
1. Memadukan sistem pendidikan Islam. Dikotomi pendidikan umum dan
pendidikan agama harus dihilangkan.
2. Meningkatkan visi Islam dengan cara mengukuhkan identitas Islam melalui dua
tahapan; Tahap pertama yaitu mewajibkan bidang studi sejarah peradaban Islam;
Tahap kedua yaitu Islamisasi ilmu pengetahuan.
3. Untuk mengatasi persoalan metodologi ditempuh langkah-langkah berupa
penegasan prinsip-prinsip pengetahuan Islam sebagai berikut.
a. The unity of Allah
b. The unity of creation
c. The unity of truth and knowledge
d. The unity if life
e. The unity of humanity
Berikutnya, al-Faruqi menyebutkan bahwa langkah-langkah kerja yang harus
ditempuh adalah sebagai berikut.
1. Menguasai disiplin ilmu modern
2. Menguasai warisan khazanah Islam
3. Membangun relevansi yang Islami bagi setiap bidang kajian atau wilayah
penelitian pengetahuan modern.
4. Mencari jalan dan upaya untuk menciptakan sintesis kreatif antara warisan Islam
dan pengetahuan modern.
5. Mengarahkan pemikiran Islam pada arah yang tepat yaitu sunatullah.
BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan teori diatas dapat disimpulkan bahwa sumber ajaran islam berasal dari Al
Quran, as Sunnah dan ijtihad. Sumber ajaran islam ini memiliki peran masing-masing dalam
menegakkan dan mengajarkan ilmu ajaran islam kepada umat-Nya. Selain mengetahui Al
Quran sebagai salah satu sumber ajaran agama islam, diperlukan juga paradigma qur’ani
dalam kehidupan modern yang bahwasanya telah terpengaruh oleh budaya dan kebiasaan
dari luar islam. Ajaran agama Islam sangat diperlukan dalam mengatur tingkah laku kaum
muslimin dalam kehidupan dunia
DAFTAR PUSTAKA
Amran, A. (2015). Peranan Agama Dalam Perubahan Sosial Masyarakat. Hikmah. 2(1), 23-
29.
Herman. (2014). Prinsip-Prindip dalam Pendidikan Agama Islam. Jurnal Al-Ta’dib, 7(2), 99-
119.
Jaya, S. A. F. (2019). Al-Qur’an dan Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam. Indo-Islamika, 9(2),
204-216.
Nasir S. (2020). Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam: Universal, Keseimbangan, Kesederhanaan,
Perbedaan Individu, dan Dinamis. Istiqra’. 7(2), 146-160.
Safe’i, A, (2017). REDEFINISI IJTIHAD DAN TAQLID: Upaya Reaktualisasi dan
Revitalisasi Perspektif Sosio-Historis. ‘Adliya, 11(1), 26-40.
Syaripudin, A. (2016). Al-Qur'an sebagai Sumber Agama Islam. Jurnal Bidang Kajian Islam,
2(1).
Syarifuddin, dkk, 2000, Sains Geografi. Jakarta, Bumi Aksara
Rasma, Periska. dkk. (2015). BAGAIMANA MEMBANGUN PARADIGMA QURANI?.
Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Palembang.

Anda mungkin juga menyukai