Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

Landasan Kepemimpinan Kiai dalam Khazanah Keislaman

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah materi: Kepemimpinan Pesantren

Dosen Pengampu:

Dr. Ulya Fikriyati, Lc., M.Ag.

Disusun Oleh:

Fatimah Alya

PROGRAM PASCASARJANA STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

INSTITUT ILMU KEISLAMAN ANNUQAYAH (INSTIKA)

GULUK-GULUK SUMENEP

2023
Landasan Kepemimpinan Kiai dalam Khazanah Pesantren

Fatimah Alya
(Pascasarjana Institut Ilmu Keislaman Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep)

Abstrak
Dalam kepemimpinan terdapat seorang pemimpin yang memainkan peranan
yang sangat penting, tidak hanya secara internal bagi organisasi yang
bersangkutan akan tetapi juga dalam menghadapi berbagai pihak luar
organisasi. Di dalam Islam pun kepemimpinan sudah dicontohkan oleh
Rasulullah SAW, para sahabat, panglima perang dan seterusnya. Begitu juga
dalam pesantren yang mana kiai merupakan pemimpin utama yang mengatur
segala kegiatan pesantren. Dalam mengemban amanah kepemimpinannya
seorang kiai pesantren hendaknya selalu berlandaskan kepada al-Qur’an,
Hadist, dan qaulu al-Ulama yang terdapat dalam kutub al-Turost yang
menjadi warisan pesantren. Dengan metode penelitian library research
makalah ini berupaya membahas bagaimanakah landasan kiai pesantren
dalam khazanah Islam?. Terdapat surat an Nisa’ ayat 59 dan al-Baqarah ayat
30, yang menjadi landasan utama yang didukung oleh hadist Rasulullah
SAW dan qaulu al-ulama lainnya yang terdapat dalam kutub al-Turost.
Kata Kunci: landasan kepemimpinan kiai pesantren, landasan al-Qur’an,
Hadist, dan kutub al-Turost.

2
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kepemipinan (leadership) adalah bagian dari sebuah karakter seseorang yang
dapat mempengaruhi orang lain yang telah diberikan wewenang untuk memimpin
dalam mencapai suatu tujuan, bahkan menurut kodratnya setiap manusia dilahirkan
untuk menjadi seorang pemimpin.1 Pemimpin dan kepemimpinan merupakan dua hal
yang tak bisa terpisah antara satu dengan yang lainnya, karena bagian satu saling
membutuhkan kepada yang lain.
Berbicara tentang kepemimpinan kiai di pesantren, kiai merupakan aktor terdepan
dalam memimpin pesantrennya, kiai sangat menentukan dalam mewarnai,
membentuk tipologi pesantren yang dia pimpin. Oleh karena itu, karakteristik suatu
pesantren bisa terlihat dari profil kiainya. Kiai ahli ilmu alat akan mendominasi
pendidikan pesantrennya dengan khazanah keislaman ilmu alat, kiai alhi fiqih akan
mewarnai pesantrennya dengan kajian fiqih agar para santrinya pakar dalam ilmu
fiqih, begitu juga dengan keahlian lainnya yang akan menjadi fokus kajian di
pesantren yang diasuhnya.2
Pesantren, atau yang dikenal sebagai pondok pesantren, adalah lembaga
pendidikan Islam tradisional di Indonesia untuk mempelajari, memahami,
mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan
pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman hidup sehari-hari.3 Pesantren juga
disebut sebagai kerajaan kecil dimana kiai merupakan pemimpin mutlak yang
menentukan maju mundurnya sebuah pesantren, karena dialah perintis, pendiri,
pengelola, pengasuh, pemimpin, dan juga terkadang pemilik tunggal pesantren
tersebut.
Kepercayaan masyarakat yang begitu tinggi terhadap kiai yang didukung oleh
kemapuannya untuk memecahkan segala permasalahan ummat baik dari sosio-psikis-
kultural-politik-religius menyebabkan kiai menempati posisi elit dalam sebuah
struktur sosial dan politik di masyarakat. Penghormatan kepada kiai bisa
mengalahkan penghormatan masyarakat kepada pejabat umum setempat. Petuah dan
dawuhnya memiliki daya pikat yag luar biasa, sehingga sangat memudahkan baginya
untuk mendapatkan banyak pengikut baik secara kebetulan maupun terorganisasi,

1
Jaja Jahari, Kepemimpinan Pendidikan Islam, (Bandung: Yayasan Darul Hikam, 2020), hlm. 1.
2
Mahfudz, Model Kepemimpinan Kiai Pesantren, dari Tradisi Hingga Membangun Budaya Religius,
(Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2020), hlm. 9.
3
Mastuhu, Dinamika Pendidikan Pesantren, Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan
Pesantren, (Disertasi Program Pasca Sarjana IPB, 1989), hlm. 55.

3
yang meliputi semua lapisan masyarakat dari kalangan lanjut usia maupun anak-
anak.4
Di tengah krisis kepemimpinan yang terjadi saat ini, sistem pemerintahan dan
kenegaraan Indonesia yang tidak memiliki moralitas yang cukup dan layak,
pengembalian peran tokoh bermoral seperti kiai menjadi sesuatu yag amat sangat
penting yang tidak saja hanya menjadi penjaga moralitas umat akan tetapi juga
menciptakan karakter dan budaya bangsa Indonesia yang religius.
Namun beberapa terakhir ini banyaknya kasus menyimpang yang terjadi di
beberapa pesantren yang pelaku utamanya adalah seorang kiai yang memimpin
pesantren tersebut, baik dari kasus money loundrey, kekerasan seksusal, bahkan
penggelapan dana. Kasus terbaru yang membuat geger masyarakat Jember kecamatan
Ajung dilansir oleh www.kompas.com pada 14 Januari 2023 yang memuat sebuah
redaksi bahwa kiai pesantren tersebut diduga berselingkuh, mencabuli dan
melecehkan 15 santriwatinya.
Dari kasus tersebut sebaiknyalah kita kembali kepada niat awal dalam mendirikan
pesantren yang dikuatkan dengan landasan dari al-Qur’an, al-Hadits maupun dari
kutub al-Turats agar peran dan posisi kiai bahkan pesantrennya tetap eksis untuk
menghadapi segala macam tantangan di era yang serba digital ini.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan merumuskan beberapa pokok
pembahasan yang dijadikan objek penelitian. Rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah bagaimanakah landasan kepemimpinan kiai pesantren dalam khazanah
keislaman?

Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian dari rumusan masalah yang telah dipaparkan di muka
adalah dapat menjelaskan landasan kepemimpinan pesantren dalam khazanah
keislaman.
Metodologi penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam makalah ini adalah library research
baik bersumber dari buku, jurnal, dan literatur-literatur ilmiah.

4
Mahfudz, Model Kepemimpinan Kiai Pesantren..., hlm. 11.

4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Landasan kepemimpinan kiai pesantren
Salah satu faktor yang menjadi penentu keberhasilan sebuah organisasi
ataupun sebuah komunitas adalah kepemimpinan, oleh karenanya komponen yang
paling utama dalam organisasi adalah seorang pemimpin. Dalam Islam
kepemimpinan bukanlah hal yang baru, sudah banyak rekam sejarah tentang kisah-
kisah pemimpin teladan dalam Islam, baik Nabi sendiri, para sahabat, panglima
perang dan pemimpin-pemimpin Islam pada generasi selanjutnya. Seperti
Muhammad al-Fatih, Sa’ad bin Abi Qaqqash, Thariq bin Ziyad dan lain sebagainya.
Pesantren Lahir sejak Islam pertama kali masuk di Nusantara. Pesantren
berkembang oleh pendakwah pada masa awal islam berkembang, dan merekalah yang
berkontribusi besar dalam meletakkan dasar peradaban pesantren. Ketika para dai
muslim datang di nusantara membuat masyarakat (yang telah memiliki peradaban
Hindu-Budha) mendapatkan suatu hal baru yang datang dari agama baru, Islam.
Perjumpaan dan dialektika inilah yang melahirkan pesantren.5 Pemimpin dalam
pesantren disebut kiai oleh kebanyakan orang, terkhususnya pesantren di daerah
Madura, dan tanah Jawa (ajengan, tuan guru, gus, mas, dan sebagainya tergantug
daerahnya). Sosok kiai merupakan figur sentral yang menjadi fokus utama dalam
menjalankan visi dan misi pergerakan kegiatan dan tradisi pesantren.6
Salah satu ayat yang menjadi landasan kepemimpinan adalah QS. Al-Baqarah:
30
ََ‫َقَالَوَآَأَتَجَعَلَ َفَيَهَاَمَنَ َيَفَسَ َد َفَيَهَاَوَيَسَفَكَ َالدَمَآءَ َوَنحَنَ َنَسَبَح‬.َ‫وَإَذَ َقَالَ َرَبَكَ َلَلَمَلََئَكَةَ َإَنَيَ َجَاعَلَ َفَيَاَلَرَضَ َخَلَيَفَة‬
َ )30َ:‫بَحَمَدَكََوَنَقَدَسََلَكََقَالََإَنَيََأَعََلمََمَالََتَعَلَمَوَنََ(البقرة‬
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menciptkaan khalifah di atas bumi”. Mereka (Malaikat) berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat
kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih
dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”.” (QS. Al-Baqarah:
30).7

5
Aguk Irawan M.N, Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara, dari Era Sriwijaya Sampai Pesantren
Tebu Ireng dan Ploso, (Bandung: Mizan Media Utama (MMU), 2018), hlm. 83
6
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Cet II, (Bandung: Penerbit Mizan,
1995), hlm. 18.
7
Ma’had Tahfidz Yanba’ul Qur’an Kudus, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, (Kudus: CV.
Mubarokatan Thoyyibah, t), hlm. 5.

5
Pengertian khalifah dalam ayat di atas menurut ar-Razi yang dikutip oleh
Umar bin Shihab ada dua: pertama, Adam sebagai pengganti jin, ketika jin ditiadakan
setelah menempati dunia terdahulu. Kedua, Adam sebagai penguasa bumi, sebagai
pengganti Allah dalam menegakkan hukum-hukumnya di atas bumi.8
Sedangkan dalam tafsir al-Misbah disebutkan bahwa arti dari kata khalifah
adalah menggantikan siapa yang datang sebelumnya. Ada pula yang memahami
bahwa khalifah adalah menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya dan
menerapkan semua ketetapan-Nya, hal itu bukan diartikan sebagai ketidak kuasaan
Allah untuk menjadikan manusia sebagai pengganti Tuhan, namun Allah bermaksud
memberikan penghormatan dan ujian kepada manusia. Ada juga yang mengartikan
kata khalifah sebagai pengganti makhluk lain yang telah menghuni bumi ini.
Meskipun beragam pendapat tentang makna khalifah, namun kekhalifahan ini
merupakan wewenang yang dianugerahkan oleh Allah SWT kepada makhluk yang
bernama Adam dan anak cucunya, jika demikian maka seharusnyalah makhluk yang
diserahi untuk melaksanakan semua tugasnya harus sesuai dengan petunjuk Allah
yang memberi tugas. Semua kebijaksanaan dan putusan yang tidak sesuai dengan
kehendak-Nya adalah pelanggaran terhadap makna dan tugas khalifah tersebut.9
Begitu juga dalam surat Al-Nisa’ ayat 59:

َ‫ن‬
َ َ‫ىَللاَوَالرَسَوَلََإ‬
َ َ‫ئَفَرَدَوَهَََإل‬
َ َ‫ولىَاَلَمَرََمَنَكَمََفََإنََتَنازَعَتَمََفَيََشَي‬
َ َ‫يآاَيَهاََالَذَيَنََامَنَوَاَأَطَيَعَواَللاََوَأَطَيَعَواَالرَسَوَلََوَأ‬
َ َ)59(ََ‫كَنَتَمََتَؤَمَنَوَنََبَاللََوَاَليَوَمََاَآلخَرََذَالَكََخَيَرََوَأَحَسَنََتَأَوَيَل‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul (Nya), dan ulil amri
diantara kamu. Kemudian jika kamu berlain pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.”10

Abdullah bin Abbas menjelaskan ayat ini diturunkan berkenaan dengan


diutusnya Abdullah bin Hudzaifah bin Qais bin Adiََuntuk menjadi pemimpin
pasukan perang oleh Rasulullah SAW. (Ibnu Katsir: 778 H) karena pada masa itu
orang Arab di sekitar Mekah belum mengenal pemerintahan. Mereka memandang
rendah bila sebagian orang mematuhi sebagian yang lain layaknya kepatuhan

8
Umar Shihab, Kontekstualisasi al-Qur’an; Kajian Tematik Ayat-Ayat Hukum dalam al-Qur’an,
(Jakarta: Penamadani, 2005), hlm. 121.
9
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah Vol 1. (Jakarta: Lentera Hati, 2012), hlm. 173
10
Ma’had Tahfidz Yanba’ul Qur’an Kudus, Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya, (Kudus: CV.
Mubarokatan Thoyyibah, t), hlm. 86.

6
terhadap penguasa. Pada masa Rasulullah SAW, mereka masih memandang bahwa
ketataan tersebut tidak pantas diberikan kepada selain beliau.11 Disebutkan pula
dalam kitab tafsir Al-Adzim jilid 3 karya Ibnu Katsir ayat ini diturunkan ketika Nabi
mengutus Khalid bin Walid untuk memimpin peperangan. Ketaatan kepada
pemimpin mendapat porsi nomor tiga setelah Allah dan Rasul-Nya, sehingga dapat
diartikan selama pemimpin tidak memerintahkan kepada kemaksiatan atau hal yang
bertentangan dengan syari’at maka wajib ditaati dan didengarkan perintahnya.12

ََ‫لى َللا‬
َ َ‫عَنَ َرَسَ َو َل َللاَ َص‬,‫ َعنَعبدللاَبنَعمَر‬,َ‫َحَدَثَناَنافَع‬,َ‫َعَنَ َعَبَيَدَ َللا‬,‫َحدَثَناَيَحَيَى‬,
َ َ‫َحَدَثَناَمَسَدَد‬:‫قاَلَ َأَبَوَ َ َداوَد‬
ََ‫َفَإَذَاَأَمَرَ َبَمَعَصَيَةَ َفَل‬,َ‫َمَالَمَ َيَؤَمَرَ َبَمَعَصَيَة‬,َ‫َالسَمَعَ َوَالطَاعَةَ َعَلَىَاَلمَرَءَ َاَلمَسَلَمَ َفَيَمَاَأَحَبَ َوَكَرَه‬:َ‫عَلَيَهَ َوَسَلَمَ َقَال‬
َ .‫َوَأَخَرَجَاهََمَنََحَدَيَثََيَحَيىََالقطان‬.َ‫سَمَعََوَلََطَاعَة‬

“Dari Abdullah bin Umar, dari Rasulullah SAW, Nabi bersabda: mendengar
dan menaati kepada seorang muslim dalam hal yang ia suka maupun yang ia benci,
selama tidak diperintahkan untuk bermaksiat, jika diperintahkan untuk bermaksiat
maka tidak boleh didengarkan dan ditaati.”13

Kalimat ulil amri mengandung arti para pemimpin dan para ulama, selama para
ulama dan para pemimpin tidak memerintahkan kepada kemaksiatan maka wajiblah
kita mendengarkan perkataannya dan selalu menaati segala keputusan mereka baik
suka maupu tidak suka, baik saat susah maupun senang.

َ‫َفَإَذَاَفَ َع َل‬.َ‫لمَانة‬
َ َ‫َوَيَؤَدَيَ َا‬.َ‫علىَ ََالَمَامَ َأَنَ َيَحَكَمَ َبَالَعَدَل‬
َ َ َ‫َحَق‬:َ‫بَرضَيَ َللاَ َعَنَ َه َأَنَ َه َقَال‬
َ َ‫ن َعَلَيَبَنَ َأَبَيَ َطَال‬
َ َ‫رَوَيَ َع‬
َ َ‫َثَمََأَمَرََبَطَاعَتَه‬.َ‫َلَنََللاََتَعَالىََأَمَرَناَبَأَدَاءََاَلَمَانةََوَاَلعَدَل‬.َ‫ذَلَكََوَجَبََعَلىََاَلمَسَلَمَيَنََأَنََيَطَيَعَوه‬

“Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra. sesungguhnya dia berkata:
“Menjadi hak seorang pemimpin untuk menghakimi secara adil, dan melaksanakan
amanah. Apabila dia telah mengerjakan hal itu maka wajib bagi kaum musli untuk
menaatinya, karena Allah SWT telah memerintahkan kepada kita untuk
melaksanakan amanah dan keadilan kemudian Allah juga memerintahkan untuk
menaatinya (penimpin).”

Dan ketaatan kita juga berlaku bagi para ahli al-Qur’an, ahli ilmu, ahli fiqih
dan para ulama, karena merekalah orang-orang yang selalu mengatur dan mengayomi

11
Ahmad Musthafa al-Farran, Tafsir al-Imam al-Syafi’i, (Jakarta Timur: Almahira, 2008), hlm. 160.
12
Ibnu Katsir, Tafsir al-Adzim, j IV, hl. 465, Cet. Makkah Th. 1889.
13
Al-Imam al-Bukhori, Shahih al-Bukhori, j. IV, Cet. 5, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2007) ,
hlm. 125.

7
segala permasalahan ummat. Sedangkan menurut Ibnu Kaisan ketaatan kepada para
ulama lebih utama daripada ketaatan kepada para umara.14

Seperti disebutkan pula oleh Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Husain bin
Amr al-Masyhur dalam kitabnya Bughyah al-Mustarsyidin, hukum taat kepada
pemimpin ada 2 macam, yaitu:

1. Wajib dipatuhi secara mutlak (mengaplikasi sekaligus meyakini dengan hati),


jika perintahnya tidak bertentangan dengan syari’at (hukum halal dan haram),
dan menjadi berdosa jika tidak melaksanakan perintahnya.
2. Boleh dipatuhi, (artinya tidak berdosa apabila tidak melaksanakan perintahnya).
Seperti perintah pemimpin yang tidak termaktub dalam syari’at (hukum mubah),
maka boleh diaplikasikan saja dan bisa diingkari dengan hati (ingkar bi al-
qolbi).15
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama Nusantara tentang konsep
Ulil Amri pada surat Annisa ayat 59, diantaranya:
1. Menurut Syeikh Nawawi Banten. Pertama, pemimpin perang. Kedua, orang
pandai dan bijaksana yaitu Khulafa’ur Rasyidin. Dan ketiga, ulama, guru dan
pemerintah.
2. Menurut Hamka, Ulil Amri adalah pemerintah yang mengatur tatanan Negara.16
3. Menurut M. Quraish Shihab adalah orang-orang yang mengurus hal
kemasyarakatan, bukan dalam ranah aqidah saja atau hanya agama murni. Dan
tidak terbatas hanya pada satu orang atau satu kelompok saja.17

Hadist yang berkaitan dengan kepemimpinan seperti yang diriwayatkan oleh


Imam Bukhari:

َ‫َفالمير َالذيَعلىَالناسَراعَوهو‬,‫َكلكمَراعَوكلكمَمسؤولَعنَرعيته‬:‫قالَرسولَللاَصلىَللاَعليهَوسلم‬
َ‫علىَ بيتَ بعلهاَ وولدهاََوهي‬
َ َ‫َ والمرأةَ راعية‬.‫َ والرجلَ راعَ علىَ أهلَ بيتهَ وهوَ مسؤولَ عنهم‬.‫مسؤولَ عنهم‬
)‫َ(رواهَالبخاري‬.‫َوالعبدَراعَعلىَمالَسيدهَوهوَمسؤولَعنَرعيته‬.‫مسؤولةَعنهم‬

“Setiap kamu adalah pemimpin yang akan dimintai tanggung jawaban atas
kepemimpinannya. Seorang amir yang mengurus keadaan rakyat adalah pemimpin.

14
Wahbah Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj, (Damaskus: Darul Fikr,
2005), hlm. 135.
15
Sayyid Abdurrahman Bin Muhammad Husain Bin Umar Al-Masyhur bi Ba’alawi, Bughyah al-
Mustarsyidin, Vol I, (Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 2005), hlm. 189.
16
Diana Sa’datul Hidayah, Skripsi Kepemimpinan dalam Pandangan Mufassir Nusantara, Fakultas
Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama Islam Negeri Jember, 2021, hl. 75.
17
M. Quraish Syihab, Tafsir al-Mishbah jilid 1... hl. 461.

8
Ia akan dimintai pertanggungjawaban tentang rakyatnya. Seorang lelaki adalah
pemimpin terhadap keluarga di rumahnya. Seorang wanita adalah pemimpin atas
rumah suaminya. Ia akan diminta pertanggungjawaban tentang hal itu. Seorang
hamba adalah pemimpin terhadap harta benda tuannya, ia akan diminta
petanggungjawaban tentang harta tuannya. Ketahuilah, kamu semua adalah
pemimpin dan semua akan diminta pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
(HR. Imam Bukhari)َ.

Dari hadist tersebut dapat difahami bahwasanya seorang pemimipinَ َ


mempunyai tugas yang berat dan kompleks yang akan diminta pertanggung
jawabannya, maka seharusnyalah bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang
amanah, yang ahli agar bisa bertanggung jawab terhadap kepemimpinannya. Seperti
yang diperintahkan oleh Allah SWT:

ََ‫إَنَ َللاََيَأَمَرَكَمَ َأَنَ َتَؤَدَواَاَلَمَاناتَ َإَلَىَأَهَلَهَاَوَإَ َذاَحَكَمَتَمَ َبَيَنَ َالنَاسََأَنَ َتَحَكَمَوَاَبَالَعَدَلَ َإَنََللاَ َنَعَمَاَيَعَظَكَمَ َبَهَ َإَنََللا‬
َ )85َ:‫َ(النساء‬.‫كَانََسَمَيَعَاَبَصَيَرَا‬

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruhmu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi ganjaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat.”18

Karena beratnya amanah yang akan dipikul oleh seorang pemimpin maka
seharusnyalah kita sebagai masayarakat yang baik harus memiliki kriteria pemimpin
ideal yang layak menjadi ulil amri yang bisa kita taati, beberapa syarat ulil amri yang
dijelaskan dalam kutub al Turost, diantaranya terdapat dalam kitab kifatu al-Akhyar
karangan Imam Taqiyu al-Din Abu Bakar bin Muhammad al-Hasani, beliau
mengatakan:
َ‫لكتَابَ َوَالسَنَةَ َمََا‬
َ َ‫وَشَرَطَ َاَلقَاضَيَ َمَسَلَ َم َمَكَلَفَ َحَرَ َذَكَرَ َعَدَ َل َسَمَيَعَ َبَصَيَرَ َناطَقَ َكَافَ َمَجَتَهَدَ َوَهَوَ َأَنَ َيَعَرَفَ َمَنَ َا‬
َ,َ‫َوَاَلمَتَصَلََوَاَلمَرَسَل‬,َ‫َوَمَتَوَاتَرََالسَنَةََوَغَيَرَه‬,‫َوَناسَخَ َهَوَمَنَسَوَخَ َه‬,‫َوَمَجَمَلَ َهَوَمَبَيَن َه‬,‫َوَخَاصَ َهَوَعَامَ َه‬,ََ‫يَتَعَلَقََبَاَلَحَكَام‬
َ‫َوَأَقَوَالَ َاَلعَلَمَاءَ َمَنَ َالصَحَابَةَ َفَمَنَ َبَعَدَهَمَ َإَجَمَاعَاَوَاخَتَلَفَا‬,‫َوَلَسَانَ َاَلعَرَبَ َلَغةَ َوَنحَوَا‬,‫وَحَالَ َالرَوَاةَ َقَوَةَ َوَضَعَفَا‬
َ‫ َ(كفاية‬.َ‫شوَكَةَ َفَاسَقَا َأوَمَقَلَ َداَنفَذَ َقَضَاؤَهَ َلَلضَرَوَرَة‬
َ َ ‫َبَأَنَوَاعَهَ َفَإَنَ َتَعَذَرَ َجَمَعَ َهَذَهَ َالشَرَوَطَ َفَوَلَىَسَلَطَانَ ََل َه‬,َ‫وَاَلَقيَاس‬
)َ 393َ.‫َص‬:‫الخيار‬
“Dan syarat seorang hakim (qadhi) adalah seorang muslim, mukallaf, merdeka, laki-
laki, adil, dapat mendengar, berwawasan luas, pandai berbicara yang sempurna,

18
Ma’had Tahfidz Yanba’ul Qur’an Kudus, Al-Qur’an al-Karim..., hlm. 90.

9
mujtahid dan dia mengetahui kitab (al-Qur’an), sunnah yang berhubungan dengan
hukum-hukum, baik yang khash dan ‘aam, mujmal dan mubayyan, nasikh dan
mansukh, hadist mutawatir dan lainnya, muttashil dan mursal, keadaan para rawi
kuat dan lemahnya, dapat berbicara bahasa Arab baik dari segi bahasa maupun tata
bahasanya, dan perkataan para dari kalangan para sahabat atau setelah mereka,
baik secara ijma’, ikhtilaf, dan qiyas. Jika tidak memungkinkan menggabungkan
semua syarat tersebut maka kepemimpinan tersebut diberikan kepada seorang yang
syaukah (kekuatan dan kecakapan), fasiq, atau gadungan untuk menyelesaikan
sebuah pemasalahan jika dalam keadaan darurat”19
Betapa banyak persyaratan untuk menjadi seorang pemimpin, karena memang
pemimpin memiliki peranan yang sangat penting, tak hanya menjadi suri tauladan
yang menjadi cermin bagi seluruh anggota dan masyarakatnya, pemimpin juga
memegang tombak tertinggi dalam merumuskan visi dan misi organisasi,
menjalankan sebuah kegiatan, memutuskan sebuah putusan untuk kemaslahatan
bersama, yang mana hal itu dilakukan untuk mencapai tujuan bersama.
ََ‫(فَاَنَ َاسَتَوَلَى)َعَلَيَهَاَذَوَ َشَوَكَةَ َقَهَرَ َالنَاسَ َبَهَاَوَهَوَ َ(غَيَرَ)َلَذَيَ َتَلَكَ َشَرَوَطَ َكَكَوَنَهَ َفَاسَقَاَبَلَ َأَوَامَرَأَةَ َكَمَاَهَو‬
َ‫ي‬
َ َ‫َوَتَجَبَ َطَاعَةَََاَلَمَامَ َوَلَوَ َجَائَرَاَ اَلَ َفَىَحَرَامَ َأ‬.....َ َ‫ظَاهَرَ َ(صَحَ)َ اَسَتَيَلَئَ َه َوَانَعَقَدَتَ َبَهَ َاَمَامَتَ َه َلَلضَرَوَرَة‬
َ )483.‫َص‬:‫مَادَامََلَهَمََاَخَتَيَارََوَقَدَرَةََعَلَىَاَلَمَتَناعََكَمَاَهَوََظَاهَرََ(المنهاجَالنووي‬
“Apabila yang menguasai kepemimpinan (menjadi pemimpin) adalah orang yang
syaukah (memiliki kekuatan atau kekerasan) dengan cara memaksa masyarakat
untuk memilihnya, sedangkan dia tidak pantas menjadi pemimpin (tidak memenuhi
syarat-syarat pemimpin) seperti orang fasiq atau perempuan, maka
kepemimpinannya tetap dianggap sah dan terealisasi karena dianggap darurat... Dan
wajib menaati pemimpin sekalipun dia adalah orang yang dzalim kecuali dalam hal-
hal yang diharamkan, selagi masih bisa untuk memilih dan berusaha untuk menolak
perintah tersebut.”
Hadist ini menjelaskan tentang pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat
menjadi pemimpin baik itu karena fasik atau berbuat dzalim bahkan jika
pemimpinnya adalah wanita maka kepemimpinannya dihukumi sah dan perintahnya
harus ditaati selama bukan perintah dalam kemaksiatan, hal ini berlaku jika dalam
keadaan darurat.

19
Al-Imam Taqiyu al-Din Abi Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatu al-Akhyar Fi Halli Ghayati al-
Ikhtishar, J, I, (Surabaya: Nuru al-Huda, t.), hlm. 483.

10
َ‫َلَقَدَ َنفَعَنَيَللاَ َبَكَلَمَةَ َسَمَعَتَهَاَمَنَ َرَسَوَلَ َللاَ َصَلىَ َللاَ َعَلَيَهََوَسَلَمََأَيَامََاَلجَمَ َل‬:َ‫عَنَ َأَبَيَ َبَكَرَ َةَرَضَيََللاَ َعَنَ َهَقَال‬
َ‫ن َأَهَ َل‬
َ َ‫سلَمَ َأ‬
َ َ‫َ لَمَاَبََلغَ َرَسَوَلَ َللاَ َصَلىَ َللاَ َعَلَيَهَ َو‬:َ‫َ قَال‬.َ‫َ فَأَقَاتَلَ َمَعَهَم‬,َ‫بَعَدَََمَاَكَدَتَ َأَنَ َاَلحَقَ َبَأَصَحَابَ َاَلجَمَل‬
20
.َ‫َلنََيَفَلَحََقَوَمََوَلَوَاَأَمَرَهَمََامَرَأَة‬:
َ َ‫فَارَسََقَدََمَلَكَوَاَعَلَيَهَمََبَنَتََكَسَرَىَقَال‬
“Abu Bakar ra. berkata: “Sungguh Allah telah memberikan manfaat kepadaku
pada peristiwa perang Jamal dengan satu kalimat yang dahulu pernah aku dengar
dari Rasulullah SAW tatkala aku hampir bergabung dengan para penunggang
unta (tentara Sayyidah Aisyah ra. lalu berperang bersama mereka).” Dia
melanjutkan, “Tatkala sampai kepada Rasulullah SAW bahwa orang-orang Persia
dipimpin oleh putri Kisra, beliau bersabda, “Tidak akan beruntung suatu kaum
yang menyerahkan tampuk urusan mereka kepada seorang perempuan.”
Dari penjelasan hadist tersebut dapat disimpulkan bahwa tidak akan sukses
suatu kepemimpinan yang dipimpin oleh seorang perempuan.
KESIMPULAN
Landasan tentang kepemimpinan yang berasal dari al-Qur’an, hadist maupun
qaul al-ulama yang terdapat dalam kutub al-turost yang banyak dikaji di pesantren
Nusantara merupakan pedoman bagi kita dalam menyikapi kepemimpinan tersebut,
baik dalam memilih kriteria pemimpin, ketaatan kepada pemimpin maupun sikap
memimpin itu sendiri.
Pemimpin (ulil amri) merupakan penentu suksesi kepemimpinan suatu organisasi
atau kelompok oleh karena tugas pemimpin yang begitu kompleks maka wajib bagi
seluruh lapisan masyarakat untuk memilih dan mengangkat pemimpin yang tepat dan
memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh agama, seperti harus seorang
muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki, adil, dapat mendengar, berwawasan luas,
pandai berbicara yang sempurna, mujtahid dan dia mengetahui kitab (al-Qur’an),
sunnah yang berhubungan dengan hukum-hukum, baik yang khash dan ‘aam, mujmal
dan mubayyan, nasikh dan mansukh, hadist mutawatir dan lainnya, muttashil dan
mursal, keadaan para rawi kuat dan lemahnya, dapat berbicara bahasa Arab baik dari
segi bahasa maupun tata bahasanya, dan perkataan ulama baik dari para sahabat atau
orang-orang yang setelahnya baik yang ijma’, ikhtilaf, dan qiyas.
Begitu juga menjadi kewajiban mutlak bagi setiap orang untuk mentaati aturan
dan perintah pemimpin, dengan artian jika perintah tersebut tidak melanggar syari’at
agama dan bukan kemaksiatan.

20
Musa Syahin Lasyin, Taysiru Shahih al-Bukhori, J. II. (Kairo: Maktabah al-Syuruq al-Dauliyah,
2003), hlm. 486.

11
Daftar Pustaka

Abu Bakar, Taqiyu al-Din. t. Kifayatu al-Akhyar, j. I, Surabaya: Nurul Huda.

Al-Bukhori, al-Imam. 2007. Shahih al-Bukhori, j. IV, Cet. 5. Lebanon.

Irawan M.N, Aguk. 2018. Akar Sejarah Etika Pesantren di Nusantara, dari Era
Sriwijaya Sampai Pesantren Tebu Ireng dan Ploso, Bandung: Mizan Media
Utama (MMU).

Jahari, Jaja. 2020. Kepemimpinan Pendidikan Islam, Bandung: Yayasan Darul


Hikam.
Katsir, Ibnu. 1889. Tafsir al-Adzim, Makkah, t.
Mahfudz. 2020. Model Kepemimpinan Kiai Pesantren, dari Tradisi Hingga
Membangun Budaya Religius, Yogyakarta: Pustaka Ilmu.

Mastuhu. 1994. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian tentang Unsur
dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren. Seri INIS XX. Jakarta, t.

Musthafa al-Farran, Ahmad. 2008. Tafsir al-Imam al-Syafi’i. Jakarta Timur:


Almahira.

Muhammad Husain, Sayyid Abdurrahman Bin. 2005. Bughyah al-Mustarsyidin, Vol


I, Lebanon: Dar al-Kutub al-Ilmiah.

Sa’datul Hidayah, Diana. 2021. Skripsi Kepemimpinan dalam Pandangan Mufassir


Nusantara, Fakultas Ushuluddin Adab dan Humaniora Institut Agama Islam
Negeri Jember.

Shihab, Umar. 2005. Kontekstualisasi al-Qur’an; Kajian Tematik Ayat-Ayat Hukum


dalam al-Qur’an, Jakarta: Penamadani.

Syahin Lasyin, Musa. 2003. Taysiru Shahih al-Bukhori, J. II, Kairo: Maktabah al-
Syuruq al-Dauliyah.

Syihab, M. Quraish. 2012. Tafsir al-Mishbah Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. jilid
1, Jakarta: Lentera Hati.

Van Bruinessen, Martin. 1995. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, Cet II,
Bandung: Penerbit Mizan.

Yanba’ul Qur’an Kudus, Ma’had Tahfidz. T. Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahnya,


Kudus: CV. Mubarokatan Thoyyibah.

Zuhaili, Wahbah. 2005. Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Minhaj.


Damaskus: Darul Fikr.

12

Anda mungkin juga menyukai