Anda di halaman 1dari 23

Pemimpin Non-Muslim dalam Mayoritas Islam

Makalah

Diajukan kepada dosen pengampu


Mata Kuliah Kajian Fiqih Kontemporer
dalam rangka penyelesaian studi semester satu
Program Studi Pendidikan Agama Islam

IAIN PALOPO

Disusun Oleh:

Fitrah Fauziah
2305010016

Dosen Pengampu:

Dr. Kartini, M.Pd.


Dr. Bastanul Iman, RN., M.A.

PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PALOPO
2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah swt. atas segala nikmat, karunia

dan hidayah-Nya. Sholawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah saw.

Berkat limpahan dan rahmat-Nya penulis mampu menyelesaikan tugas makalah

ini guna memenuhi tugas mata kuliah Kajian Fiqih Kontemporer.

Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna, penulis berharap makalah ini

dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai

“Pemimpin non-Muslim dalam Mayoritas Islam”. Ucapan terima kasih penulis

sampaikan kepada dosen pengampu mata kuliah Kajian Fiqih Kontemporer

Ustadzah Dr. Kartini, M.Pd. dan Ustadz Dr. Bastanul Iman, RN., M.A. atas

bimbingan dan arahan, sehingga makalah ini dapat terselesaikan sebagaimana

mestinya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.

Palopo, Sabtu 8 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................... 2
C. Tujuan Penulisan....................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A. Pengertian Pemimpin dan Non-Muslim.................................... 3
B. Hukum Memilih Pemimpin Non-Muslim dalam Islam............ 7
BAB III PENUTUP....................................................................................... 16
A. Simpulan................................................................................... 16
B. Saran.......................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 18

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Situasi perpolitikan nasional saat ini telah dan sedang memanas. Salah satu

isu yang sering muncul adalah kepemimpinan muslim dan non-Muslim, sehingga

muncul isu-isu miring tentang kenon-musliman seorang kandidat atau keluarga

kandidat. Hal ini tentu saja menarik untuk dianalisis dari sudut pandang hukum

Islam.

Sejarah menuliskan, boleh dan tidaknya non-muslim diangkat menjadi

pemimpin kaum muslim sesungguhnya merupakan fenomena klasik yang

senantiasa mengundang perdebatan di kalangan ulama dan peminat studi-studi

politik Islam dari masa ke masa. Di satu sisi, sebagian ulama menganggap bahwa

non-muslim tidak boleh diangkat sebagai pemimpin kaum muslimin karena

beberapa ayat dalam al-Quran secara jelas menyatakan demikian. Di sisi lain, ada

pula beberapa ulama yang memandang bahwa esensi perdebatan bukan terletak

pada apakah pemimpin harus orang Islam atau tidak, namun yang terpenting

adalah apakah seorang pemimpin mampu untuk memimpin masyarakat

memperoleh kesejahteraan dan keadilan yang notabene merupakan perintah al-

Qur’an dan hadis Nabi saw.

Hal tersebutlah yang menjadi dasar dalam makalah ini penulis membahas

tentang pemimpin nom-muslim dalam mayoritas Islam.

1
2

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini sebagai berikut.

1. Apa pengertian pemimpin dan non-muslim?

2. Apa hukum memilih pemimpin non-muslim dalam Islam?

3. Bagaimana pemimpin non-muslim dalam perspektif Islam?

C. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan dalam penulisan makalah ini sebagai berikut.

1. Untuk mengetahui pengertian pemimpin dan non-Muslim.

2. Untuk mengetahui hukum memilih pemimpin non-Muslim dalam Islam.

3. Untuk mengetahui pemimpin non-muslim dalam perspektif Islam.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemimpin dan Non-Muslim

1. Pemimpin

Pemimpin berasal dari kata “pimpin’ dalam bahasa inggris, yaitu “lead”,

setelah ditambah awalan ”pe” menjadi “pemimpin” yaitu “leadership” dan

kepemimpinan yakni “leadership”. Secara istilah pemimpin merupakan orang

yang mempengaruhi, membimbing, menuntun serta membujuk pihak lain untuk

mencapai tujuan bersama, sehingga dengan demikian yang bersangkutan menjadi

awal struktur dan pusat proses kelompok atau organisasi. 1 Istilah kepemimpinan,

dalam kamus bahasa Indonesia berasal dari kata “pimpin” yang mempunyai arti

dituntun dan dibimbing. Sedangkan kata pemimpin itu sendiri mempunyai arti

“orang yang memimpin.” Jadi kepemimpinan adalah cara untuk memimpin.2

Pemimpin dalam pandangan orang kuno adalah mereka yang dianggap

paling pandai tentang berbagai hal yang ada hubungannya kepada kelompok, serta

pemimpin harus pandai melakukan kebiasaan suatu kelompok tersebut (seperti

pandai berburu, cakap dan pemberani dalam berperang).3

1
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Edisi III, Cet. II;
Jakarta: Balai Pustaka, 2002), 874.
2
Departememen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IV;
Jakarta: Balai Pustaka, 1994), 967.
3
Ngalim Purwanto, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), 38.

3
4

Pengertian pemimpin pada dasarnya dapat di katakan sebagai orang yang

mampu menggerakkan, mempengaruhi, mengajak, mengarahkan, menasehati,

membimbing, memerintah, melarang dan menghukum serta membina dengan

maksud agar yang dipimpin mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan secara

efektif dan efisien. Hal tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan sedikitnya

mencakup empat hal yang saling berhubungan, yakni adanya pemimpin dan

karakteristiknya, adanya pengikut, adanya situasi kelompok atau organisasi

tempat pemimpin, serta adanya tujuan yang ingin dicapai.4

Perspektif Islam menurut Al-Qur’an, istilah pemimpin merujuk pada

terminologi khalifah, imamah dan ulil amri. Kata khalifah menurut bahasa, yakni

khalafa yang bermakna menggantikan atau pewaris. Kata ini digunakan dalam

sejarah pemerintahan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, dan

Bani Abbasiyah sebagai kepemimpinan politik Islam. Imamah berasal dari kata

imam, dijelaskan bahwa termino imam berarti pemimpin shalat. Imam juga berarti

pemimpin, penunjuk jalan dan didahulukan urusannya, demikian juga khalifah

sebagai imam rakyat.5

Ulu Al-Amr terdiri atas dua kata yakni ulu dan al-amr. Ulu bermakna

pemilik, dan al-amr bermakna “perintah, atau tuntunan melakukan sesuatu”. 6 Dari

sini, maka kata ulu al-amr diterjemahkan “pemilik urusan” dan “pemilik

kekuasaan” atau “hak memberi perintah.” Kedua makna ini sejalan, karena siapa
4
Veithzal Rivai, Zainal ,dkk. Kepemimpinan dan Perilaku Organisas,i (Edisi IV; Jakarta:
Rajawali Pers, 2014), 3.
5
Abu Al-A’la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, diterjemahkan Muhammad Al-Baqir
dengan judul Khilafah dan Kerajaan (Cet. VI; Bandung: Mizan, 1996), 82.
6
Amir Hamzah, “Kriteria Pemimpin Menurut Al-Qur’an”, (Jurnal Al-Qalam: Jurnal
Kajian Islam & Pendidikan Vol. 10. No.2, 2018), 19.
5

yang berhak memberi perintah berarti ia juga mempunyai kekuasaan mengatur

sesuatu urusan dan mengendalikan keadaan. Melalui pengertian semacam inilah,

maka ulu al-amr disepadankan dalam arti “pemimpin”.

Berdasarkan beberapa pengertian maka penulis berkesimpulan bahwa

pemimpin merupakan orang pandai yang dapat mempengaruhi orang lain dan

memiliki kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan keadaan.

2. Non-Muslim

Secara harfiah, muslim dapat diartikan sebagai penganut agama islam.

Sedangkan kata non berarti bukan, tidak. Oleh karena itu, non-muslim memiliki

arti bukan penganut agama Islam.7 Dengan demikian, penulis menyimpulkan

bahawa yang dimaksud dengan non-muslim adalah orang yang tidak menganut

agama Islam, mencakup sejumlah agama dengan segala bentuk kepercayaan dan

variasi ritualnya.

Al-Qur’an dalam ayat 17 surah Al-Hajj dan ayat 1 surah Al-Bayyinah

terdapat lima kelompok yang dikategorikan sebagai non-muslim, yaitu: Kafir

yaitu orang yang tidak mengesakan Allah swt dan tidak mempercayai Nabi

Muhammad saw sebagai Nabi dan Rasul, atau yang tidak beragama Islam. 8 Ahl al-

kitâb (kitâby), yaitu orang-orang yang meyakini keesaan Allah swt namun

mengingkari kerasulan Muhammad saw atau tidak mengakui kebenaran Al-

Qur’an sebagai wahyu dari Allah swt.9


7
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008), 692.
8
https://nasional.sindonews.com/ : Tokoh Muhammadiyah Istilah Non Islam dan Kafir”
(Liputan) , 7 Juli 2023.
9
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: PT Elex
Media Komputindo, 2014), 203.
6

Agama Majûsi, yaitu mereka yang menyembah kepada api dan bintang,

dan mempercayai adanya dua Tuhan. Tuhan yang dimaksud adalah Ahuramazda

(kebaikan) yang dilambangkan dengan cahaya, serta Tuhan Ahriman (kejahatan)

yang dilambangkan dengan api.10 Shâbi-in yaitu orang yang mengikuti syariat

nabi-nabi zaman dahulu atau orang-orang yang menyembah bintang atau dewa-

dewa.11 Dalam masyarakat umum terdapat satu kelompok yang digolongkan

sebagai non-muslim yaitu murtad. Murtad secara literal berarti orang yang

berbalik, kembali atau keluar. Dalam pandangan hukum Islam, murtad berarti

keluar dari agama Islam atau tidak mengakui kebenaran Islam baik dengan

berpindah agama lain atau menjadi tidak beragama sama sekali (atheis).12

Dari pembahasan diatas maka dapat penulis simpulkan bahwa dalam Islam

non-muslim dibagi menjadi lima kelompok, yaitu: kafir, ahl al-kitâb, shâbi-in,

majûsi, musyrikin, namun didalam masyarakat umum terdapat satu kelompok lagi

yang digolongkan sebagai non-muslim yaitu murtad.

B. Hukum Memilih Pemimpin Non-Muslim dalam Islam

Memilih pemimpin dalam islam adalah sesuatu yang sangat urgen. oleh

sebab itu berikut hukum memilih pemimpin non-muslim dalam Islam:

1. Al-Qur’an
10
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2014), 178-179.
11
Abu Husain Ibn Faris, Mu’jam al-Maqayyish fi al-Lughâh, (Beirut: Dar al-Fikr, 1979),
156.
12
Nasaruddin Umar, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadits, (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo, 2014), 180.
7

Al-Qur’an sebagai pedoman umat telah dengan tegas melarang

kepemimpinan non-muslim diantaranya dalam QS. Âli-Imrân/3: 28 berikut:

‫اَل َيَّتِخِذ اْلُم ْؤ ِم ُنْو َن اْلٰك ِفِر ْيَن َاْو ِلَيۤا َء ِم ْن ُد ْو ِن اْلُم ْؤ ِمِنْيَۚن َو َم ْن َّيْفَعْل ٰذ ِلَك َفَلْيَس ِم َن ِهّٰللا ِفْي َش ْي ٍء ِآاَّل َاْن َتَّتُقْو ا‬

‫ِم ْنُهْم ُتٰق ىًةۗ َو ُيَح ِّذ ُر ُك ُم ُهّٰللا َنْفَسٗه ۗ َو ِاَلى ِهّٰللا اْلَم ِصْيُر‬

Terjemahnya:

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi


pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat
demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah
memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali(mu).”13

Menurut M. Quraish Shihab dalam tafsirnya, menyebutkan bahwa jika

ayat tersebut dikaitkan dengan ayat sebelumnya yakni QS. Âli-Imrân/3:27, maka

diketahui bahwa tidak wajar jika mengangkat orang-orang yang jelas

menampakkan permusuhan terhadap kaum muslimin sebagai wali yang

berwenang mengurusi urusan kaum muslimin. Ayat ini melarang orang-orang

mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong mereka, pengatur urusan

mereka, karena jika seorang mukmin menjadikan mereka penolong, itu berarti

orang mukmin dalam keadaan lemah, padahal Allah swt enggan melihat orang

beriman dalam keadaan lemah. Jangan jadikan mereka penolong kecuali jika ada

kemaslahatan kaum Muslimin dari pertolongan itu atau paling tidak ada kerugian

yang menimpa orang beriman dari pertolongannya itu.14

13
Kementerian Agama RI, al-Qur`an dan Terjemahnya, (Jakarta: Syamil Qur`an, 2014),
53.
14
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (vol 2,
Tangerang: Lentera Hati, 2016), 71.
8

Selain ayat 28 surat Ali Imran tersebut, sebenarnya ada 11 ayat lain yang

sering dijadikan dalil dalam rangka menolak pemimpin non-Muslim, antara lain:

ayat 51 surat al-Maidah, ayat 1 surat al-Mumtahanah, ayat 57 surat al-Maidah,

ayat 118 surat Ali Imran, ayat 22 surat al-Mujadilah, ayat 144 surat al-Nisa, ayat

73 surat al-Anfal, ayat 71 surat al-Taubah, ayat 8 surat al-Taubah, ayat 100 surat

Ali Imran, dan ayat 141 surat an-Nisa’. Semua ayat tersebut, meski dengan

redaksi yang berbeda-beda, namun sama-sama menekankan larangan bagi kaum

muslimin untuk memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya, baik menjadi

pemimpin negara atau pemimpin komunitas.

Menurut Fakhruddīn ar-Rāzī dalam tafsirnya, menjadikan orang-orang

kafir sebagai ‘sekutu’ (muwālāt al-kāfir) mengandung tiga pengertian. Pertama,

meridhoi kekufuran mereka, dan ini jelas dilarang, karena merestui kekufuran itu

kufur (ar-riḍā bil kufrikufrun). Kedua, bergaul dengan mereka secara baik (al-

muʿāsyarah al-jamīlah) di dunia sesuai kenyataan, dan ini tidak dilarang. Ketiga,

berpihak atau condong kepada mereka (ar-rukūn ilayhim), mengulurkan bantuan

(al-maʿūnah), mendukung mereka (almuẓāharah), dan membela kepentingan

mereka (an-nuṣrah), dan ini tindakan pun dilarang (manhiyyun ʿanhu), kendati

tidak membuat pelakunya kafir.15

2. Pendapat Ulama tentang Pemimpin Non-Muslim

Seperti biasa, segera muncul pro dan kontra tentang kepemimpinan non-

muslim di tengah-tengah penduduk yang mayoritas muslim. Tidak ada satu pun

ulama di masa lalu maupun sekarang yang membolehkan secara mutlak

15
Fakhruddīn ar-Rāzī,Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, (Cet. I; Dār al-Fikr Beirut
1425/2005), 1603-1604
9

kepemimpinan non-Muslim atas kaum Muslim. Shalah Al-Shawidalam Al-Wajîz

fî Al-Fiqh Al-Khilâfah (Dar Al- I’lam Al-Dauly [tt.] hlm 22-23) menyebutkan

bahwa syarat “Islam” bagi calon pemimpin kaum muslim merupakan sesuatu

yang dapat dimengerti dari hukum Islam secara sangat mudah (‘ulima min ahkâm

al-imâmah bi al-dharûrah). Tugas kepemimpinan di dalam Islam, salah satunya,

adalah menegakkan agama Islam (iqâmah al-dîn al-islâmy).

Bagaimana mungkin orang yang tidak mengimani (kafir) terhadap ajaran

Islam dapat menegakkan Islam? Oleh sebab masalahnya sesederhana itu, juga

ditopang oleh dalil yang sangat banyak didalam al-Qura’n (bukan hanya satu atau

dua ayat) maka tidak mengherankan apabila para ulama bersepakat atas wajibnya

syarat “Islam” bagi pemimpin kaum muslim. Al-Qadhi Iyadh berkata, “Para

ulama bersepakat bahwa kepemimpinan (Islam) tidak sah diberikan kepada orang

kafir; dan bahkan bila pemimpin (muslim) kemudian keluar dari Islam (kafir),

maka dia harus turun.” (Shahih Muslim bi Syarh Al-Na wâwi jilid 12 hlm 229).

Ibnu Mundzir juga mengatakan, “Seluruh ahli ilmu bersepakat bahwa orang kafir

sama sekali tidak boleh menjadi pemimpin bagi kaum Muslim dalam keadaan apa

pun.” (Ahkâm Ahl Al- Dzimmah li Ibn Qayyim Al-Jauziyyah jilid II hlm 414).

Mengacu kepada (QS. ‘Ali-Imran: 28) dan ayat-ayat lain yang isinya

senada dengannya ada petunjuk bahwa dalam hal apapun orang kafir tak boleh

berkuasa atas (umat) Islam.16 Atas dasar keyakinan serupa itu, al-Jashshash tidak

hanya tak membolehkan umat Islam mengangkat non-Muslim sebagai kepala

negara, tapi juga tak boleh melibatkan non-Muslim dalam segala urusan umat

16
Abu Bakar Ahmad Ibn Ali ar-Razi al-Jassas, Ahkam al-Qur’an (Cet. II; Kairo:
Maktabah wa Mathba’ah Abd ar-Rahman Muhammad, t.t), 290.
10

Islam, sekalipun ada pertalian darah dengannya. Karena itu, seorang pria non-

Muslim, menurutnya, tidak punya hak untuk mengurus prosesi pernikahan putra

kandungnya yang Muslim karena alasan beda agama.17 Senada dengan al-

Jashshash Ibnu ‘Arabi menyatakan, ayat-ayat tersebut berisi ketentuan umum

bahwa seorang Mu’min tidak boleh mengambil orang kafir sebagai pemimpinnya,

sekutunya untuk melawan musuh, menyerahkannya suatu amanat, dan atau

menjadikannya sebagai teman kepercayaan.

Kemestian menolak presiden non-Muslim menurut Wahbah az-Zuhaili,

juga didasarkan pada hadits marfu’ yang di-takhrij oleh at-Turmudzi, al-Hakim,

dan al-Thabrani, yang berbunyi: Allah swt. Berfirman: Demi kekuasaan-Ku tidak

akan mendapat rahmat-Ku seseorang yang tidak mencintai kekasih-Ku dan tidak

memusuhi musuh-musuh Ku.18 Az-Zamakhsyari dan al-Baidawi menambahkan

satu hadits lagi, yakni hadits yang diriwayatkan oleh ahlu al Sunan (Al Tirmidzi,

al Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibn Majah) yang berbunyi: Aku lepas hubungan

dengan setiap Muslim yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Musyrik.

Nabi ditanya, ya, Rasul Allah, mengapa (demikian)? Nabi bersabda: (Sebab) api

(kekuatan) keduanya sulit teridentifikasi.

Umat Islam dilarang mengangkat non-muslim sebagai pemimpinnya,

menurut al-Zamakhsyari adalah logis mengingat orang-orang Kafir adalah musuh

umat Islam, dan pada prinsipnya memang tak akan pernah mungkin bagi

seseorang untuk mengangkat musuhnya sebagai pemimpinnya. Bila umat Islam

17
Abu Bakar Ahmad Ibn Ali ar-Razi al-Jassas, Ahkam al-Qur’an, (Kairo: Maktabah wa
Mathba’ah Abd ar-Rahman Muhammad, t.t.), 290.
18
Wahbah az-Zuhaili, at-Tafsir al-Munir fi al-’Aqidah wa asy-Syari‘ah wa al-Manhaj,
(Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma`asyir, t.), 59.
11

mengangkat orang-orang Kafir sebagai pemimpinnya, hal tersebut berarti umat

Islam seolah memandang bahwa jalan yang ditempuh oleh orang-orang Kafir itu

baik. Hal ini tidak boleh terjadi, sebab dengan meridhoi kekafiran berarti

seseorang telah Kafir.19

Sedangkan Ibnu Taimiyah berpendapat bahwa sistem merupakan hal

penting, tetapi yang terpenting adalah seseorang yang menduduki jabatan

kekuasaan harus memenuhi persyaratan: pertama, memperoleh dukungan

mayoritas umat dalam Islam ditentukan dengan konsultasi dan bai’at. Kedua

memenangkan dukungan dari kalangan Ahl asy-Syaukah atau unsur pemegang

kekuasaan dalam masyarakat dan ketiga, memiliki syarat kekuatan pribadi dan

dapat dipercaya dengan sikap yang jujur, amanah, adil, maka seorang pemimpin

akan mampu memberikan kemaslahatan bersama kepada rakyatnya. Atas dasar

alasan semacam itu, maka sangat wajar jika kemudian Ibnu Taimiyah

mengeluarkan statement yang sangat berani yakni lebih baik dipimpin oleh

pemimpin kafir yang adil dari pada dipimpin oleh pemimpin muslim yang

dzalim‛. Sebab, orang yang dapat diangkat menjadi pemimpin adalah orang yang

memiliki kekuatan dan integritas, mampu berbuat adil dan memiliki komitmen

yang kuat terhadap kemakmuran rakyat yang ia pimpin terlepas dari latar

belakang keimanannya.20

19
Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyaf ’an Haqa’iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil Fi Wujuh at-
Ta’wil, (Cet. II; Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Mustafaal-babi al-Halabi wa Auladuh,
1392 H/1972 M), 422.

20
Ibn Taimiyah, as-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘iyyah, (Beirut:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.), 22-23.
12

Al-Maududi menyatakan bahwa semua jabatan pemerintahan terbuka bagi

kaum dzimmi, kecuali sedikit jabatan kunci semisal kepala negara dan majelis

permusyawaratan. Kaum Muslim tidak dibenarkan merampas hak-hak mereka

selama tidak bertentangan dengan perintah syariat Islam. Dengan kata lain hanya

orang Islamlah yang mempunyai hak untuk menduduki jabatan kepala negara dan

majelis syura, karena jabatan tersebut akan menjadi penentu lahirnya kebijakan-

kebijakan kunci dalam tatanan pemerintahan.21Namun untuk posisi dan

kedudukan lainnya, semisal badan administrasi negara, maka kaum minoritas non-

Muslim berhak mendudukinya sesuai prosedur dan aturan dalam negara Islam

tersebut.22

3. Fatwa tentang Pemimpin Non-muslim

Terkait dengan memilih pemimpin non-Muslim NU melalui Bahtsul

Masa`il mengeluarkan fatwa pada Muktamar NU XXX yang dilaksanakan di

Lirboyo, Kediri, Jawa Timur pada tanggal 21-27 November 1999 tentang Hukum

Memilih Pejabat dari Kalangan Non-Muslim adalah, Pertanyaan: Bagaimana

hukum orang Islam menguasakan urusan kenegaraan kepada orang non Islam?

Jawaban: Orang Islam tidak boleh menguasakan urusan kenegaraan kepada orang

non-Islam, kecuali dalam keadaan dharurat, yaitu:

21
Abu al-A’la Maududi, Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. Terj. Bambang Iriana
Djaja Atmadja (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), 321.
22
Rasyid Al-Ghanusyi, Huquq al-Muwatanah: Huquq Ghair al-Muslim fi al-Mujtama’ al-
Islami (Virginia: Ma’had al-Alam lial-Fikr al-Islami, 1993), 73.
13

a. Bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam

secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan,

b. Bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk

menangani, tetapi t

c. Terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat,

d. Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu nyata

membawa manfaat.23

Sedangkan Muhammadiyah melalui Majelis Tarjih Muhammadiyah dalam

sidangnya pada hari Jum’at, 12 Zulkaidah 1430 H / 30 Oktober 2009 seputar

Memilih Partai Politik dan Calon Legislatif butir 3 memberikan syarat bahwa

calon pemimpin yang harus dipilih adalah Islam, dengan mengutip al-Qur’an

Surah al Maidah ayat 51.

Sementera itu, MUI dalam Keputusan Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa Se-

Indonesia Ketiga Tahun 2009 tentang Menggunakan Hak Pilih dalam Pemilihan

Umum.

a. Pemilihan Umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih

pemimpin atau wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi

terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan aspirasi umat dan

kepentingan bangsa.

b. Memilih pemimpin dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan

imamah dan imarah dalam kehidupan bersama.

23
Salah Mahfud, Solusi Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes NU
1926-2004 (Cet. III;Kudus:Khalista, 2007), Hlm. 211.
14

c. Imamah dan Imarah dalam Islam menghajatkan syarat-syarat sesuai

dengan ketentuan agar terwujud kemaslahatan dalam masyarakat.

d. Memilih pemimpin yang beriman dan bertakwa, jujur (siddiq),

terpercaya (amanah), aktif dan aspiratif (tabligh), mempunya

kemampuan (fathonah), dan memperjuangkan kepentingan umat Islam

hukumnya adalah wajib.

e. Memilih pemimpin yang tidak memenuhi syarat-syarat sebagaimana

disebutkan dalam butir 4 (empat) atau tidak memilih sama sekali

padahal ada calon yang memenuhi syarat hukumnya adalah haram.24

Berdasarkan penjelasan sebelumnya maka penulis simpulkan pemimpin

non-muslim dalam al-qur’an adalah haram. Ayat-ayat yang disebutkan sangat

tegas menolak adanya pemimpin non-muslim bahkan mengharamkan memilih

pemimpin non-muslim bagi umat Islam. Sedangkan menurut pendapat ulama ada

yang mengatakan menolak namun ada juga yang mengatakan boleh. Oleh karena

itu dikembalikan pada kedaulatan Negara masing-masing, sebagai umat muslim

haruslah pemimpin yang muslim selama masih ada orang muslim yang layak

dikatakan pemimpim.

A. Pemimpin Non-Muslim dalam Perspektif Islam.

Secara garis besar terdapat dua pendapat di kalangan para ulama falam

menyikapi ayat-ayat larangan menjadikan non-Muslim sebagai walî. Kelompok

pertama berpendapat bahwa haram bagi kaum Muslim mengangkat pemimpin

non-Muslim. Mereka memberikan alasan yang beragam atas larangan tersebut.

24
Majelis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta: Erlangga,
2011), 867.
15

Ayat al-Qur’an yang menjadi dasar larangan pemimpin non-muslim dalam Islam

QS. al-Mâ’idah [5]: 51 yaitu:

‫ٰٓيَاُّيَها اَّلِذ ْيَن ٰا َم ُنْو ا اَل َتَّتِخ ُذ وا اْلَيُهْو َد َو الَّنٰص ٰٓر ى َاْو ِلَيۤا َء ۘ َبْعُضُهْم َاْو ِلَيۤا ُء َبْع ٍۗض َو َم ْن َّيَتَو َّلُهْم ِّم ْنُك ْم َفِاَّنٗه‬
‫ّٰظ‬
‫ِم ْنُهْم ۗ ِاَّن َهّٰللا اَل َيْهِد ى اْلَقْو َم ال ِلِم ْيَن‬

Terjemahnya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian menjadikan orang-orang Yahudi


dan Nasrani sebagai walî; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang
lain. Barangsiapa diantara kalian mengambil mereka sebagai pemimpin, maka
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”

Memberikan loyalitas kepada mereka dan mengangkat mereka sebagai

walî (pemimpin) bahkan dipandangnya sebagai keluar (murtad) dari agama Allah

dan menyimpang dari pilihan Allah yang merupakan anugerah-Nya (QS. Al-

Mâ’idah [5]: 54). Persoalan ini masuk dalam ranah akidah (keyakinan), karena

pada hakikatnya mereka memerangi kaum Muslim karena masalah akidah dan

agama, sehingga mereka dipandang kaum fasik, yang keluar dari agama Allah

(QS. Al-Mâ’idah [5]: 59.

Sementara ayat-ayat yang membolehkan kaum Muslim melakukan

perdamaian dengan non-Muslim yang bersedia hidup damai dengan kaum Muslim

(QS. Al-Anfâl [8]: 61).

‫َو ِإن َج َنُح و۟ا ِللَّس ْلِم َفٱْج َنْح َلَها َو َتَو َّك ْل َع َلى ٱِهَّللۚ ِإَّن ۥُه ُهَو ٱلَّسِم يُع ٱْلَعِليُم‬

Terjemahnya:
16

“Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah kepadanya dan
bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi
Maha Mengetahui.”

Kebolehan berbuat baik dan berlaku adil terhadap non-Muslim yang tidak

memerangi kaum Muslim karena alasan agama dan tidak mengusir mereka dari

tanah air mereka (QS. Al-Mumtahanah [60]:8). Sekalipun para ulama yang

disebutkan di atas melarang kepemimpinan non-Muslim, tetapi umumnya mereka

membolehkannya dalam kondisi darurat, yaitu kondisi dimana ada beberapa hal

yang tidak bisa ditangani oleh kaum muslimin sendiri baik langsung maupun tidak

langsung, atau terdapat indikasi kuat adanya ketidakberesan (khianat) dari orang

muslim itu sendiri.


BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan pembahasan pada bab dua, maka penulis menarik kesimpulan

sebagai berikut:

1. Pemimpin merupakan orang yang mumpuni dalam menggerakkan,

mempengaruhi, mengajak, mengarahkan, menasehati, membimbing,

memerintah, melarang dan menghukum serta membina dengan maksud agar

yang dipimpin mau bekerja dalam rangka mencapai tujuan secara efektif dan

efisien. Dalam Al-Quran beragam istilah yang diberikan untuk memaknai kata

pemimpin diantaranya: Khalifah, imam, ulil amri, dan waly. Pengistilahan

tersebut karena Allah swt membicarkan konteks dimana kepemimpinan

tersebut diberlakukan. Selanjutnya dalam islam, kepemimpinan merupakan

hal fundamental, sehingga seorang pemimpin harus adil, amanah,

bermusyawarah dan menegakkan amr al-ma`ruf wa nahy mungkar.

2. Hukum memilih pemimpin non-muslim di isyaratkan dalam Al-Quran salah

satunya dalam QS. Âli-Imrân/3: 28. Selanjutnya beberapa ulama mengatakan

haram memilih pemimpin Non-Muslim. Ada beberapa ulama yang

memberikan kelonggaran/moderat dengan memberikan syarat ketika dalam

keadaan darurat maka dibolehkan. MUI, memberikan fatwanya bahwa

memilih pemimpin non-Muslim adalah hukumnya haram. Namun keterlibatan

kaum kafir dzimmi dalam pemerintahan dibolehkan pada posisi yang strategis

seperti pemimpin maupun majelis syura.

17
18

B. Saran

Kompleksnya ajaran yang ada dalam Islam, termasuk dalam memilih

pemimpin dan menjadi pemimpin serta syarat-syarat yang ditetapkan padanya.

Penulis tentu sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini oleh

dari itu diharapkan saran dan tambahan ilmu dari teman-teman agar dapat

membuka wawasan dan pengetahuan terkhusus untuk penulis sendiri.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Maududi Al-A’la Abu, Al-Khilafah wa Al-Mulk. Khilafah dan Kerajaan.

Edited by Muhammad Al-Baqir. Cet. VI. Bandung: Mizan, 1996.

Al-Ghanusyii, Rasyid. Huquq al-Muwatanah: Huquq Ghair al-Muslim fi al-

Mujtama’ al-Islami, Virginia: Ma’had al-Alam lial-Fikr al-Islami, 1993.

Al-Jassas, Abu Bakar Ahmad Ibn Ali ar-Razi. Ahkam Al Quran, Kairo: Maktabah

wa Mathba’ah Abd ar-Rahman Muhammad, t.t.

ar-Rāzī,Fakhruddīn. Tafsīr al-Kabīr, juz 7, jilid 3, Dār al-Fikr Beirut 1425/2005.

Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ‘An Haqâiqi Ghamâmi al-Tanzîl wa ‘Uyûn Al-

Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, vol. 2, Riyadh: Maktabah ‘Abikan, 1998.

az-Zhuhaili, . Tafsir al-Manar Fi al-Aqidah wa Syar`iyah Wa al-Manhaj juz 3,

Damaskus: Dar al-Fikr al-Ma`asyir, t.

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai

Pustaka, 2002.

Departememen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Vol. Cet. IV. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Hamzah, Amir. “Kriteria Pemimpin Menurut Al-Qur’an.” Jurnal Al-Qalam:

Jurnal Kajian Islam & Pendidikan Vol. 10, no. 2 (2018).

Ibn Zakarya, Abu Husain Ahmad Ibn Faris, Mu‟jam Muqayyis al-Lughah, Beirut:

Dar al-Fikr, 1979.


Kementerian Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Syamil Qur`an,

2014.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975, Jakarta:

Erlangga, 2011.

Mahfud, Salah. Solusi Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas dan Konbes

NU 1926-2004, Kudus: Khalista, 2007.

Maududi, Abu al-A’la. Hak-hak Asasi Manusia dalam Islam. Terj. Bambang

Iriana Djaja Atmadja, Jakarta: Bumi Aksara, 2005.

Purwanto, Ngalim, Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung: Remaja

Rosdakarya, 2001.

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an,

vol 2, Tangerang: Lentera Hati, 2016.

SINDONEWS.com. Tokoh Muhammadiyah Istilah Non Islam dan Kafir. N.d.

https://nasional.sindonews.com/ (accessed Juli 07, 2023).

Taimiyah, Ibn. As-Siyasah asy-Syar‘iyyah fi Islah ar-Ra‘i wa ar-Ra‘iyyah. Beirut:

Dar al-Kutub al-Ilmiyah, tt.

Umar, Nasaruddin, Deradikalisasi Pemahaman Al-Qur‟an dan Hadits, Jakarta:

PT Elex Media Komputindo, 2014.

Zainal, Rivai Veithzal ,dkk. Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi. Edisi IV.

Jakarta: Rajawali Pers, 2014.

Anda mungkin juga menyukai