Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH

TAFSIR AYATUL AHKAM


“HUKUM MENGANGKAT PEMIMPIN NON MUSLIM”
Dosen Pembimbing: M. Yusron Shidqi Lc. MA

Disusun Oleh:
FADLIAN ILHAMI
MUH. AWAL AL-FADLIM
M. SUHARDI

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


SEKOLAH TINGGI KULLIYATUL QUR’AN AL HIKAM DEPOK
Jl. H. Amat, no.21, RT.6/RW.1, Kukusan, Beji, Kota Depok, Jawa Barat 16425
2023

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. atas rahmat
dan hidayah-NYa serta karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan makalah
Ayatul Ahkam, “HUKUM MENGANGKAT PEMIMPIN NON
MUSLIM”.

Dalam kesempatan ini, penyusun haturkan terimakasih kepada dosen mata


kuliah Pembelajaran Pendidikan Tafsir Ayatul Ahkam Bapak Yusron Shidqi
Lc. MA selaku pembimbing.

Kami selaku penyusun sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Karena itu, kami mengharapkan partisipasi pembaca dalam upaya
penyempurnaan makalah ini dengan cara memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Sebagai pelajaran dan motivasi kepada kami agar
makalah yang kami susun nantinya akan lebih baik lagi.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah
wawasan siapapun yang membacanya, terlebih bagi kami sebagai penyusun.
Terimakasih.

Depok, 27 Juli 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... ii


BAB I .................................................................................................................................. 2
PENDAHULUAN ............................................................................................................. 2
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah .................................................................................................... 3
C. Tujuan ....................................................................................................................... 3
BAB II ................................................................................................................................ 4
PEMBAHASAN ................................................................................................................ 4
A. Term Dan Pengertian Pemimpim Dalam Islam .................................................... 4
a. khalifah.................................................................................................................... 4
b. Imam ....................................................................................................................... 5
c. Ulil Amri ................................................................................................................. 6
d. wali.......................................................................................................................... 7
B. Definisi Non-Muslim ................................................................................................ 8
C. Interpretasi Para Mufassir Dalam Ayat Mengangkat Pemimpin Non-Muslim . 9
a. QS. ALI ‘IMRAN AYAT 28 .................................................................................. 9
b. QS. AN-NISA AYAT 144 .................................................................................... 12
c. QS. AL-MAIDAH AYAT 51................................................................................ 13
D. Persamaan Atau Perbedaan Mufassirin Terkait Interpretasi Ayat-Ayat Yang
Menyunngung Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim ................................... 15
BAB III............................................................................................................................. 17
PENUTUP ........................................................................................................................ 17
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 18

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Menetapkan seorang Muslim yang adil, amanah dan bersahaja sebagai
pemimpin umat adalah harapan dan juga keharusan bagi setiap kelompok umat
Islam. Yang demikian itu agar keadilan, kemaslahatan, kenyamanan dan
kemakmuran yang menyeluruh dapat terwujud dan dirasakan manfaatnya di
tengah-tengah masyarakat.

Kesimpulan semacam ini umumnya didasarkan pada konsep bahwa selain


keadilan yang merupakan prinsip dalam kepemimpinan1 Islam, dalam pandangan
sekelompok kalangan juga dinilai sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki oleh
seorang pemimpin. Maka menurut mereka, seorang pemimpin umat Islam
haruslah berasal dari jenis dan golongan yang sama yaitu Muslim.

Namun, syarat Islam itu terkadang bisa ditolelir. Yaitu ketika melihat
fenomena di dalam masyarakat mayoritas Muslim yang dipimpin oleh orang
Islam. Sang pemimpin bukan menjadi figur pemimpin Muslim yang
mencerminkan karakteristik keislamannya, seperti adil, amanah, jujur dan lain
sebagainya, tapi justru sebaliknya. Tidak jarang pemimpin yang menyatakan
dirinya adalah orang beriman melakukan tindak kriminal, korupsi dan bentuk-
bentuk penyalah gunaan jabatan lainnya.

Pemimpin non-Muslim dalam masyarakat yang mayoritas beragama Islam


memang masih menuai perdebatan dikalangan para ulama. Hal ini bermuara pada
kata auliya’ dalam al-Qur'an yang ditafsirkan dengan larangan bagi seorang
Muslim untuk menjadikan non-Muslim sebagai auliya' dalam arti pemimpin.

Misalnya Tim Departemen Agama yang menerjemahkan kata auliya’


dalam surah an-Nisa ayat 1442 dengan “pemimpin-pemimpin”. Sementara itu
Rasyid Ridha (w. 1935H) tidak sepakat dengan penafsiran yang menyatakan

1
Di antara syarat bagi seorang pemimpin adalah Adil, berilmu dan sehat inderawi. Lihat al-
Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayat al-Diniyyah, cet.1, (Kuwait: Maktabah Dâr Ibn
Qutaibah, 1409 H-1989 M), hal.5.
2
Ayat lain yang senada dalam makna ataupun bandingan dari al-Nis(4): 144 terkait larangan bagi
Muslim menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin ataupun yang yang semakna dengan ini, yaitu
surat Ali Imrân ayat 28 dan 118, al-Maidah ayat 51, al- Mujâdalah ayat 22, al-Mumtahanah ayat
1, al-Anfal ayat 73 dan al-Taubah ayat 71. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah
wa al-Syari'ah wa al-Manhaj, cet.IX, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1428 H/2007 M), hal.216.

2
bahwa surah an-Nisa ayat 144 tersebut sebagai justifikasi larangan menjadikan
orang non-muslim sebagai pemimpin.

Quraish Shihab, lebih detail beliau menjelaskan persoalan terkait


menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin. Dalam pandangannya, Quraish
Shihab tidak semata-mata menyalahkan pendapat yang memaknai kata auliya'
sebagai pemimpin, namun beliau juga menilai penerjemahan demikian tidak
sepenuhnya tepat. Artinya, beliau terbuka dan fleksibel, tapi tetap memperhatikan
konteks dalam memaknai kata auliya’ tersebut. Karena pada dasarnya kata yang
terdiri dari huruf waw, lam dan ya itu memiliki beragam makna. Kendati
demikian, larangan tersebut tidaklah mutlak sehingga mencangkup seluruh makna
yang dikandung oleh kata auliya’.3

B. Rumusan Masalah
1. Term dan pengertin pemimpin dalam Islam?
2. Beberapa ayat-ayat larangan memilih pemimpin non-Muslim?
3. Bagaimana penafsiran mufassirin terhdap ayat-ayat yang menyinggun
larangan memilih pemimpin non-Muslim?
4. Apa perbedaan atau persamaan mufassirin terkait interpretasi ayat yang
menyinggung larangan memilih pemimpin non-Muslim?

C. Tujuan
1. Untuk memahami makna dan pendapat dari mufassirin terkait ayat
pelarangan memilih pemimpin non-Muslim

3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'ân, juz. 3 hal.150

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Term Dan Pengertian Pemimpim Dalam Islam


Pemimpin didalam Islam memiliki beberapa macam istilah penyebutan,
diantaranya khalifah, imam, ulil amri, dan auliya’.

a. khalifah
Kata khalifah yang terbentuk dari kata kholafa-yakhluf-kholfan wa
khilafatan setidaknya memilki 2 arti dasar.4 Pertama, mengganti. Yakni
hadirnya sesuatu setelah adanya sesuatu yang lain kemudian menempati
pada tempatnya ‫ أن يجيئ شيء بعد شيئ يقوم مقامه‬arti “mengganti” ini dalam
al-Qur'an bisa didapati dalam dua konteks,5 yaitu mengganti dalam konteks
penggantian generasi6 maupun dalam arti penggantian kepemimpinan.
Untuk makna yang pertama, disebutkan di dalam al-Qur'an QS. Maryam
[19] 59

َ َ‫ف يَ ْلقَ ْون‬


‫غيًّا‬ َ َ‫ت ف‬
َ ‫س ْو‬ َّ ‫ص ٰلوةَ َواتَّبَعُوا ال‬
ِ ‫ش َه ٰو‬ َّ ‫عوا ال‬
ُ ‫ضا‬ ٌ ‫ف ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد ِه ْم خ َْل‬
َ َ‫ف ا‬ َ َ‫فَ َخل‬
dan QS. al-A'raf [7] 169.

َ َ‫ض ٰهذَا ْاْلَ ْد ٰنى َو َيقُ ْولُ ْون‬


‫سيُ ْغف َُر لَنَا‬ َ َ‫ب َيأ ْ ُخذُ ْون‬
َ ‫ع َر‬ ٌ ‫ف ِم ْۢ ْن َب ْع ِد ِه ْم خ َْل‬
َ ‫ف َّو ِرثُوا ْال ِك ٰت‬ َ َ‫فَ َخل‬

Sementara dalam arti pengganti kepemimpinan ini bisa dilihat pada QS. al-
A'raf [7]: 142

َ‫س ِب ْي َل ْال ُم ْف ِس ِديْن‬ ْ َ‫اخلُ ْف ِن ْي ِف ْي قَ ْو ِم ْي َوا‬


َ ‫صلِحْ َو َْل تَت َّ ِب ْع‬ ْ َ‫َوقَا َل ُم ْوسٰ ى ِْلَ ِخ ْي ِه ٰه ُر ْون‬

Kedua, bagian belakang yakni antonim dari kata ‫( قدام‬bagian depan). Ini
sebaegaimana firman Allah swt

‫يَ ْعلَ ُم َما بَيْنَ أَ ْيدِي ِه ْم َو َما خ َْلفَ ُه ْم‬

4
Ibn Mandzhûr, Lisan al Arab, cet.IX, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), vol.3. hal.184-193.
5
Abd. Rahim, "Khalifah dan Khilafah Menurut al-Qur'ân, Hunafa: Jurnal Studi Islamika, vol. 9, no.
1 (Juni 2012), hal.26-27.
6
Dalam bahasa Arab kata yang menunjukan makna ini bisa disebut kholafun atau kholfun hanya
saja untuk yang kedua ini lebih kepada arti masa yang datang setelah masa sebelumnya
(generasi).

4
Oleh karenanya, kata khalifah sendiri berdasarkan etimologinya
juga memiliki arti yang tidak jauh dari makna kata dasarnya. Yaitu berarti
pengganti dari orang sebelumnya. Disebut pengganti, karena orang yang
menggantikan selalu datang sesudahnya kemudian menempati tempat dan
kedudukan tempat tersebut. Sedang dalam terminologinya term khalifah
memiliki beragam makna. Secara umum manusia disebut khalifah dalam
konteks merawat, memakmurkan dan melestarikan bumi beserta isinya, yakni
khalifatullah fi al-ardh. Sementara khalifah dalam arti khusus adalah
pengganti Nabi Muhammad saw sebagai imam umatnya sepeninggal beliau.

Term khalifah ini mengalami perubahan dari makna umum, yakni


wakil Allah swt di bumi, menjadi makna khusus. Pada makna ini dapat
diartikan sebagai kepala negara penguasa atau pemimpin.

b. Imam
Istilah lain dalam Islam untuk menyebut pemimpin adalah "Imam".
Secara etimologi, kata imam (jamaknyaa a'immah) berasal dari kata amma-
yaummu-amman yang memili arti di depan. Maka imam berarti orang yang di
depan (quddam) yang diikuti perkataan atau perbuatannya. Secara umum,
perbuatan yang diikuti bisa dalam hal kebaikan maupun keburukan.7 Hal ini
seperti disinyalir dalam al-Qur'ân surat al-Anbiya': 73

َّ ‫ص ٰلوةِ َواِ ْيت َۤا َء‬


ِ‫الز ٰكوة‬ ِ ‫َو َج َع ْل ٰن ُه ْم اَ ِٕى َّمةً يَّ ْهد ُْونَ ِبا َ ْم ِرنَا َواَ ْو َح ْينَا ٓ اِلَ ْي ِه ْم فِ ْع َل ْال َخي ْٰر‬
َ َ‫ت َواِق‬
َّ ‫ام ال‬
“Kami menjadikan mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk
atas perintah Kami dan Kami mewahyukan kepada mereka (perintah)
berbuat kebaikan, menegakkan salat, dan menunaikan zakat”

Pada awal mulanya, istilah al-Imam digunakan untuk menunjuk


seseorang yang memimpin shalat berjama'ah di antara para partisipan
(ma'mum). Dalam konteks ini, gelar imam tidak berkaitan dengan ranah
politik atau pemerintahan. Namun akhirnya penggunaan istilah ini mengalami
perkembangan yang cukup luas, tidak hanya digunakan sebatas dalam
pemimpin spiritual dan penegak hukum, tetapi lebih dari pada itu, yakni
digunakan juga dalam konteks pemerintahan.8 Oleh karenanya, al- Jurjáni
(w.816 H/1413 M) kemudian memberikan definisi terminologi terkait istilah

7
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhů, cet.X (Damaskus: Dar al Fikr, 2007 M), juz.2,
hal. 1191.
8
Khoirunnas Jamal dan Kadarusman. "Terminologi Pemimpin dalam al-Qur'ân (Studi Analisis
Makna Ulil Amri dalam Kajian Tafsir Tematik), An-Nida: Jurnal Pemikiran Islam, vol.39, no. 1
(Januari-Juni 214), hal.124.

5
Imam sebagai gelar bagi seseorang yang memegang jabatan umum untuk
mengurusi persoalan agama dan dunia sekaligus.9

c. Ulil Amri
Selain dari term khalifah, imam. Gelar yang juga sering digunakan
terkait penyebutan bagi seorang penguasa di dalam perkembangan sejarah
politik Islam adalah istilah uli al-amri, wulat al-amri, atau waliy al-amri.
Ketiganya memiliki arti yang berbeda, misalnya yang pertama diartikan para
pemimpin dan ahli ilmu agama, yang kedua berarti pemerintah dan yang
terakhir orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengemban
suatu urusan atau tugas.10

Di dalam al-Qur'an, dijumpai kata uli al-amri pada dua tempat,


yaitu firman Allah swt Surat an-Nisa [4]: 59

‫س ْو َل َواُو ِلى ااْلَ ام ِر ِم ان ُك ام‬ ‫ٰ ٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا ه‬
َّ ‫ّٰللاَ َواَ ِط ْيعُوا‬
ُ ‫الر‬
Dan firman Allah swt surah an-Nisa ayat 83.

‫س ْو ِل َوا ِٰلٓى اُو ِلى ااْلَ ام ِر‬ َّ ‫ع ْوا بِ ٖه ۗ َولَ ْو َرد ُّْوهُ اِلَى‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫َواِذَا َج ۤا َء ُه ْم اَ ْم ٌر ِمنَ ْاْلَ ْم ِن اَ ِو ْالخ َْو‬
ُ ‫ف اَذَا‬
ُ ‫ِم ْن ُه ْم لَ َع ِل َمهُ الَّ ِذيْنَ َي ْستَ ْۢ ْن ِب‬
‫ط ْونَهٗ ِم ْن ُه ْم‬
Sedang dalam terminologinya terkait term uli al-amri ini terdapat
beberapa pendapat ketika mendefinisikannya. Ibn Abbas misalnya,
mengartikan uli al-amri yang terdapat pada QS. al-Nisâ [4]: 59 dengan
panglima perang (umara al-saraya) dan pada QS. al-Nisâ [4]: 83
mengartikan dengan para intelektual (dzaw al-aql wa al-albab). Ada juga
yang memahami bahwa yang dimaksud dengan uli al-amri adalah
sekelompok lembaga tertentu seperti ahl al-halli wa al-'aqdi dari umat Islam
yang terdiri dari, umara' (para pemimpin, para ulama, petani, para pemimpin
pasukan (bersenjata) buruh, wartawan serta para pemuka-pemuka masyarakat
yang menjadi penopang kebutuhan manusia dan kemaslahatan umum.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan muridnya,

9
Ali bin Muhammad al-Sayyid al al-Syarif al-Jurjâni, Mu'jam al-Ta'rifat (Kairo:
Dâr al-Fadhilah, tt), hal.33.
10
Imron Rosyadi. "Lembaga-Lembaga Pemerintahan dalam Sejarah Politik Islam Sunni", SUHUF,
vo.24, no.2 (November 2012), hal.144,

6
Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar,11 juga Fakhr al-Razi dalam tafsir al-
Kabir-nya.12

d. Wali
Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-alam, kata waly
(jamaknya Aulia) beberapa arti, yakni (orang yang mencintai), al-shadiq
(teman), al-nashir (orang yang banyak menolong), al- jár (tetangga), al-halif
(sekutu, sekongkol), al-Tabi' (pengikut), al-shahr (kerabat). Jika dianalisa
lebih teliti maka akan ditemukan benang merah sebagai makna dasar dari
kata wali tersebut, yaitu dekat atau adanya kedekatan, hal ini sejalan dengan
asal kata wali sendiri yang merupakan isim fa'il dari walia atau wala-yali-
walyan yang artinya adalah dekat, maka dikatakan, jalastu mimma yalihi
artinya (saya duduk disampingnya) karena setiap orang yang mencintai pasti
ada hubungan kedekatan dengan orang yang dicintai, begitu juga penolong,
pengikut atau teman ada pengikat yang melahirkan hubungan dekat dengan
orang yang ditolong, orang yang diikuti atau orang yang menjadi teman bagi
orang lain tersebut, sementara Masdar wilayatan wa walayatan artinya
adalah mendirikan atau menguasai (sesuatu atau negara), oleh karenanya kata
wali (jamak wulat) adalah orang yang menguasai suatu negara dan walayat
(jamak walayat) merupakan nama untuk suatu daerah yang dikuasai oleh
seorang wali.13

Menurut Hamka kata wali bisa diartikan pemimpin, penguasa,


pengatur, pengurus dan lain-lain. Dalam sejarah pemerintahan Islam, kata
wali juga digunakan untuk menunjuk seorang gubernur bagi wilayah yang
besar, misalnya Amr bin Ash juga mendapat gelar wali ketika menjabat
sebagi gubernur di Mesir atau Mu'awiyah bin Abi Shafyan sebelum menjadi
khalifah pertama bani Umayah di negeri Syam juga mengenakan gelar ini.
Lebih lanjut, Hamka menyebutkan dalam tafsirnya bahwa di zaman
11
Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim atau Tafsir al-Manár (Bairut: Dâr al-Fikr,
1427-1428 H/2007 M), juz.5, hal.1434.
12
Imam al-Râzi menghimpun perbagai pengertian terkait maksud uli al-amri dari para tokoh
musassir menjadi empat pendapat. Pertama, yang dimaksud dengan uli al-amri adalah Khulafa al-
Râsyidin. Kedua, uli al-amri adalah para pemimpin pasukan perang. Yang berpendapat demikian
diantaranya adalah Sa'id bin Jubair dan Ibn Abbas. Ketiga, yang dimaksud dengan uli al-amri
adalah mereka para ulama yang memberikan fatwa terkait hukum-hukum syari'at dan mengajari
manusia tentang agama mereka. Dan keempat, adalah pendapat yang dinukil dari kelompok
syi'ah Rowafidh, bahwa yang dimaksud dengan uli al-amri adalah para imam yang ma'shum.
Sementara imam al-Râzi sendiri berpendapat ketika menafsirkan kata uli al-amri pada QS al-Nisa
ayat 59 dengan ahl al- halli wa al-'aqdi. Lihat Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin
al-Hasan bin Ali al-Tamimy al-Râzi, Mafâtih al-Ghoib (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2003 M),
vol.5, hal.129.
13
Al-Maktabah al-Syarqiyyah, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A'lam, cet. XXXII, airut: Dâr al-
Masyriq, 2007 M), hal.918-919.

7
kekuasaan Belanda di Indonesia, gelar "wali negeri" juga disematkan untuk
seorang gubernur jenderal, di Sumatera Barat pada zaman Revolusi
bersenjata gelar "wali negeri" juga diberikan kepada kepala Negara.14

Dari pemaparan di atas kiranya bisa diambil kesimpulan bahwa,


istilah atau term untuk menunjuk seorang pemimpin atau penguasa, baik
terkait pemimpin dalam bidang agama (spiritual) maupun dalam konteks
pemerintahan beragam bacamnya. Setidaknya beberapa diantaranya yang
kami sebutkan, yaitu Khalifah, Imam, Ulil amri dan Wali.

B. Definisi Non-Muslim
Istilah non-Muslim terdiri dari dua kata yaitu non dan Muslim. "Non"
adalah morfem terikat yang ditambahhkan diawal kata yang mengandung arti
makna "tidak" atau "bukan", sementara Muslim adalah seseorang yang beragama
Islam atau orang yang memeluk agama Islam.

Maka-tulis Abdul Hakim- non-Muslim adalah orang yang tidak menetapi


aqidah Islam, baik dia sama sekali belum pernah masuk Islam atau pernah masuk
Islam kemudian keluar darinya. Dalam konteks ini orang tersebut sama-sama
(berada) dalam. Oleh karenanya layak dikatakan bahwa non-Muslim adalah
mereka orang-orang kafir.15

Sementara Quraish Shihab menegaskan, sekalipun makna demikian


tidaklah keliru namun perlu diingat bahwa al-Qur'an juga menggunakan term kafir
dengan segala bentuknya untuk menunjukan banyak arti. Makna yang paling
tinggi adalah pengingkaran terhadap wujud atau keesaan Allah swt. Kemudian
disusul makna-makna berikutnya seperti enggan untuk melaksanakan perintah dan
menjauhi larangann-Nya walau tidak mengingkari wujud dan keesaan-Nya,
sampai pada makan kufur nikmat atau tidak mensyukuri nikmat.16

Rupanya penjelasan Quraish Shihab sejalan dengan yang ditulis pengarang


Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibn 'Asyur bahwa sudah maklum adanya sifat
kufur, kata al-kafirin juga dimaksudkan untuk orang-orang yang mensekutukan

14
Hamka, Tafsir al-Azhar (Kuala Lumpur: PTS Islamika Sdn Bhd, 2015). Vol.1, 1.542.
15
Abdul Hakim Ahmad Muhammad Utsman, Ahkâm al-Ta'âmul ma'a Ghair al- Muslimin wa al
Isti'anah bihim fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah (Dasuq: al-'Amiriyyah
Iskandariyyah, 2008), hal. 25.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera
Hati, 2002 M), vol.2, hal.72.

8
Allah swt (orang musyrik),17 bahkan terkadang juga kata al-Kafirin dimaksudkan
untuk semua yang menyimpang dalam agama.18

Berdasarkan makna yang terakhir ini, kata kafir tidak selalu melekat
dengan orang non-Muslim, tetapi juga bisa menjadi sifat bagi Muslim sendiri.
Sebagai contoh firman Allah swt

ِ ‫ت َويُؤْ ِم ْۢ ْن ِب ه‬
َ ‫اّلل فَقَ ِد ا ْست َْم‬
َ‫سك‬ َّ ‫الر ْشدُ ِمنَ ْالغَي ِ فَ َم ْن يَّ ْكفُ ْر ِب‬
ُ ‫الطا‬
ِ ‫غ ْو‬ ُّ َ‫الدي ۗ ِْن قَ ْد تَّبَيَّن‬
ِ ‫ْل اِ ْك َراهَ فِى‬ َٓ
‫ع ِل ْي ٌم‬
َ ‫س ِم ْي ٌع‬ ‫ام لَ َها َۗو ه‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫ص‬َ ‫بِ ْالعُ ْر َوةِ ْال ُوثْ ٰقى َْل ا ْن ِف‬
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan
yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut79) dan beriman
kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang
tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

Maka bisa dipahami bahwa term kufr yang awalnya-secara etimologi-


bermakna menutupi, kemudian beralih-menurut kaca mata syari'at-kepada makna
pengingkaran akan ketuhanan Allah swt. Atau pengingkaran terhadap kenabian
dari salah satu Nabi di antara para Nabi yang sudah ditetapkan keabsahannya oleh
al-Qur'ân. Atau juga pengingkaran (keengganan) terhadap ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah saw.

C. Interpretasi Para Mufassir Dalam Ayat Mengangkat Pemimpin Non-


Muslim
a. QS. ALI ‘IMRAN AYAT 28

‫ّٰللا فِ ْي‬ َ ‫َْل يَت َّ ِخ ِذ ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ ْال ٰك ِف ِريْنَ اَ ْو ِليَ ۤا َء ِم ْن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذلِكَ فَلَي‬
ِ ‫ْس ِمنَ ه‬
ِ ‫ّٰللا ْال َم‬
‫صي ُْر‬ ِ ‫سهٗ ۗ َواِلَى ه‬ ‫ِْل اَ ْن تَتَّقُ ْوا ِم ْن ُه ْم ت ُ ٰقىةً ۗ َويُ َحذ ُِر ُك ُم ه‬
َ ‫ّٰللاُ نَ ْف‬ ٓ َّ ‫ش ْيءٍ ا‬ َ
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai
para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang
melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk
menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah
memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah
tempat kembali.”

17
Seringkali kata kufr dan syirk digunakan oleh al-Qur'an untuk menunjukan satu makna,
misalnya dalam Q.S al-Taubah [9]: 1-2. Benang merah di antara kedua kata tersebut adalah
makna juhudiyyah (keengganan atau penentangan). Lihat al Syinqithi, Adhwa al Bayan juz 9 hal
398.
18
Lihat ibn Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Dâr al-Suhun), vol.2,
Bayan juz 9 hal 398. hal.216.

9
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H/923 M) dalam Tafsirnya yang
bermazhab Tafsir lughawi, berdasar pada kata yattakhidz (menjadikan) yang
didahului harf la al-nahiyyah (la yang bermakna pencegahan), ayat ini
mengandung arti larangan. Yaitu larangan Allah swt bagi orang-orang yang
beriman agar tidak menjadikan orang-orang kafir (non-Muslim) sebagai
pembantu, penolong, penopang atau pelindung. Sehingga, dengan demikian
mereka saling mendukung atas agama mereka (orang-orang kafir), membantu
mereka yang memusuhi orang-orang Islam dengan meninggalkan orang-
orang yang beriman dan menunjukan kepada mereka akan kejelekan-
kejelakan orang-orang Mukmin.19

ٍ‫ش ْيء‬
َ ‫ّٰللا فِ ْي‬ َ ‫ َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذلِكَ فَ َلي‬Yakni seseorang tersebut telah menyatakan
ِ ‫ْس ِمنَ ه‬
berlepas diri dari Allah swt dan (dengan demikian) Allah swt berlepas diri
darinya. Sebab ia telah keluar dari agamanya dan masuk dalam kekufuran.
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, ia dinyatakan sebagai orang
musyrik.

Namun, jika orang-orang Mukmin berada pada kekuasaan orang-


orang kafir dan mereka khawatir terhadap bahaya yang akan menimpa diri
mereka, maka-dalam kondisi seperti ini, ia diperbolehkan taqiyyah. Yaitu
melahirkan sikap walayah (loyal) dengan lisan, tidak dengan perbuatan dan
tetap menyimpan al-'adawah (permusuhan) di dalam hati. Ia juga tidak
mendukung kekufuran mereka dan tidak membantu mereka dalam perbuatan
yang merugikan orang-orang Mukmin. Inilah-tutur al-Thabari yang dimaksud
dengan ayat ۗ ً‫ِْل ا َ ْن تَتَّقُ ْوا ِم ْن ُه ْم ت ُ ٰقىة‬
ٓ َّ ‫ ا‬Yakni tidak diperbolehkan bersikap loyal
kepada orang-orang kafir "kecuali (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang
ditakuti dari mereka".20

Ayat ini turun berkenaan dengan al-Hajjaj bin Amr yang menjadi
sekutu Ka'b bin al-Asyraf, Ibn Abi al-Huqaiq dan Qais bin Zaid. Mereka
menyimpan rahasia dengan sekelompok dari kaum Anshar (bertujuan) untuk
memalingkan mereka dari agamanya. Lantas Rifa'ah bin al-Mundzir bin

19
Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami'ul Bayân An Ta 'wil Avi al- Qur'an: Tafsir al-
Thabari, cet.II, (Kairo: Dâr al-Salam, 1428 H-2007 M), vol.3, hal.1738.
20
Sementara riwayat dari Qatadah menunjukan bahwa maksud dari (illä an tattaqú minhum
tuqah) adalah kerabat dari orang-orang musyrik. diperbolehkan bersikap loyal kepada orang-
orang kafir jika di antara mereka ada hubungan kerabat, namun hanya sebatas menjalin
hubungan baik di dunia seperti menjalin silaturrahim misalnya. Namun, al-Thabari mengkritisi
pemaknaan tersebut, karena, menurutnya makna demikian bukanlah makna yang umum dipakai
di kalangan orang Arab. Sementara di dalam al-Qur'an makna yang digunakan adalah makna yang
sudah makruf dipakai di kalangan orang Arab. Adapun loyal dalam (urusan) agama maka tetap
tidak diperbolehkan. Lihat Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami'ul Bayan 'An Ta'wil Ayi
al-Qur'an: Tafsir al- Thabari, cet.II, (Kairo: Dâr al-Salam, 1428 H-2007 M), vol.3, hal. 1738-1741.

10
Zanbar, Abdullah bin Zubair dan dan Sa'd bin Khoitsamah berkata, jauhilah
orang-orang Yahudi itu, jangan sekali-kali menetapi mereka dan jangan
(sampai) mereka memalingkanmu dari agamamu. Namun, sekelompok kaum
Anshar tersebut enggan menuruti peringatan tersebut sehingga mereka tetap
menjalin rahasia dan menetapi mereka, maka turunlah surat Ali Imran [3]: 28
ini.21

Demikian dijelaskan oleh al-Thabari, bahwa ketika dalam kondisi


normal orang-orang beriman tidak boleh menjadikan orang-orang kafir
sebagai sandaran, penolong atau tumpuan. Lalu mereka saling membantu
untuk mengalahkan orang-orang Islam. Hal ini dihukumi murtad dan kafir.
Namun jika orang-orang beriman berada pada kondisi dimana orang-orang
kafir menguasai dan berbuat dengan kekuasaannya untuk membahayakan
orang-orang beriman sehingga orang-orang beriman takut, maka boleh pura-
pura menjadikan mereka sebagi sandaran atau penolong dengan sebatas
mengucapkan dengan lisan.

Al-Razi menjelaskan tentang munasabah (korelasi) ayat 28 surat


Ali Imran ini dengan ayat sebelumnya. Runtutan ayatnya menurut al-Razi ada
dua wajah; pertama, setelah Allah swt menjelaskan pada ayat sebelumnya
tentang kewajiban seorang Mukmin, yaitu mengagungkan Allah swt,
kemudian pada ayat setelahnya baru menuturkan kewajiban seorang Mukmin
terkait hubungan (interaksi) dengan orang lain. Karena, kesempurnaan
sebuah perkara-tutur al-Razi-terletak pada dua hal, yaitu mengagungkan
perintah Allah swt dan bermurah hati kepada makhluk- Nya. Kedua, ketika
Allah swt menjelaskan bahwa Dia adalah pemilik dunia dan akhirat, maka
kemudian setelah itu menjelaskan tentang sesuatu yang menjadi sebuah
tujuan. Yaitu apa yang berada di sisi-Nya dan para kekasih-Nya, bukan para
musuh-Nya.22

Mukmin yang berloyal dengan orang non-Muslim, menurut al-Rázi


memungkinkan berupa tiga model. Pertama, seseorang ridha dengan
kekafiran non-Muslim tersebut dan berloyal dengannya atas dasar hal
tersebut. Ini dilarang karena setiap orang yang melakukan perbuatan
demikian maka berarti dia membenarkan agamanya. Dan membenarkan

21
Riwayat ini juga disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsûr. Lihat Jalaluddin
Abdurrahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma'isur. cet.II, (Bairut: Dar
Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H/2004 M), juz.2, hal.28
22
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al- Tamimi al-Bakri al-Rizi,
al-Tafsir al-Kabir (Bairut: Dâr al-Fikr, 1401 H-1981 M), juz.8, hal. 10. selanjutnya disebut al-Razi.
20 Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir

11
kekafirannya itu merupakan perbuatan kufur, begitu juga ridha atas kekafiran
bisa dinilai kafir.

Kedua, hubungan baik di dunia secara dzahir. Model ini tidak


dilarang. Ketiga, model yang terakhir ini seperti pertengahan di antara kedua
model di atas. Yaitu berloyal kepada orang-orang kafir dengan arti condong
dan percaya kepada mereka, meminta bantuan dan saling mendukung. Dan
wujud adanya tolong menolong tersebut baik sebab hubungan dekat
(qarabah) atau karena kecintaan (mahabbah) dengan disertai keyakinan
bahwa agama mereka adalah agama yang batil. Model ini tidak menyebabkan
atau menjadikan pelakunya kafir, hanya saja berbuat demikian dilarang.
Karena pengertian semacam ini bisa menarik kepada penilaian baik terhadap
jalan yang mereka tempuh dan ridha dengan agamanya. Oleh karenanya
Allah swt memeberi peringatan keras mengenai hal tersebut َ‫َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذلِك‬
ِ‫ّٰللا‬ َ ‫ فَلَي‬.23
‫ْس ِمنَ ه‬
b. QS. AN-NISA AYAT 144

ِ ‫ٰ ٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَت َّ ِخذُوا ْال ٰك ِف ِريْنَ اَ ْو ِل َي ۤا َء ِم ْن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ اَت ُ ِر ْيد ُْونَ اَ ْن تَجْ َعلُ ْوا ِ ه‬
‫ّلل‬
‫س ْل ٰطنًا ُّم ِب ْينًا‬
ُ ‫علَ ْي ُك ْم‬
َ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-
orang kafir sebagai teman setia dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk
menjatuhkan hukuman) atasmu?”

Fakhruddin al-Razi (w. 606 H) dalam Al-Tafsir al-Kabir Allah swt


mencela orang-orang munafik sebab mereka satu waktu condong kepada
orang-orang kafir dan terkadang juga condong kepada orang-orang Mukmin,
tanpa menetapi salah satu dari kedua kelompok tersebut. Maka Allah swt
melarang orang-orang Muslim, pada ayat ini, agar tidak berbuat seperti
halnya mereka. Lantas Allah swt berfirman "Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang Mukmin.....".

Sebab larangan tersebut adalah bahwa kaum Anshar di Madinah


memiliki hubungan kerabat (karena radha'ah atau susuan), ada aliansi atau
rasa kasih dengan orang-orang Bani Quraidzah. Kemudian mereka berkata

23
Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir (Bairut: Dar al-Fikr, 1401 H-1981 M), juz 8, hal 11-12

12
kepada Rasulullah saw, siapa yang kita jadikan sekutu? lantas beliau
menjawab: orang-orang muhajirin. Maka turunlah ayat ini.24

Pendapat lain juga dikemukakan oleh al-Qaffal, sebagaimana


dikutip al-Razi, bahwa ayat ini bermakna larangan bagi orang-orang Mukmin
bermuawalah dengan orang-orang Munafiq. Maka seakan, lanjut beliau Allah
swt berfirman, "sungguh telah Aku jelaskan kepada kalian akhlak- akhlak
orang-orang Munafiq dan jalan hidup mereka, oleh karenanya janganlah
kalian jadikan mereka sebagai sekutu dan teman kasih.25

Pada ayat ini al-Zamakhsyari tidak begitu panjang dalam


menafsirkannya. Makna َ‫ َْل تَت َّ ِخذُوا ْال ٰك ِف ِريْنَ ا َ ْو ِليَ ۤا َء ِم ْن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِيْن‬tutur beliau,
adalah "janganlah kalian (orang-orang Mukmin) menyerupai orang-orang
munafik dalam hal menjadikan orang-orang Yahudi dan yang lain
sebagainya di antara musuh-musuh Islam sebagai aulia”. Sementara kata
‫س ْل ٰطنًا ُّم ِب ْينًا‬
ُ artinya adalah hujjah yang jelas. Maka makna ayat tersebut adalah
bahwa berloyal dengan orang-orang kafir itu sudah jelas (menunjukan) akan
kemunafikan. Demikian kiranya al-Zamakhsyari memaknai aulia’ dalam ayat
ini sama dengan makna aulia’ pada surat Ali Imran. Yakni menjadikan
mereka sebagai teman dan partner dalam berhubungan.26

c. QS. AL-MAIDAH AYAT 51

ۗ ٍ ‫ض ُه ْم اَ ْو ِليَ ۤا ُء بَ ْع‬
‫ض َو َم ْن يَّت ََولَّ ُه ْم‬ ُ ‫ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَت َّ ِخذُوا ْاليَ ُه ْودَ َوالنَّصٰ ٰ ٓرى اَ ْو ِليَ ۤا َء ۘ بَ ْع‬
‫ّٰللاَ َْل َي ْهدِى ْالقَ ْو َم ال ه‬
َ‫ظ ِل ِميْن‬ ‫ِم ْن ُك ْم فَ ِانَّهٗ ِم ْن ُه ْم ۗ ا َِّن ه‬
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang
Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(-mu). Sebagian mereka menjadi
teman setia bagi sebagian yang lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan
mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”

Al-Thabari menuturkan, bahwa para ahli ta'wil berbeda pendapat


tentang makna ayat 51 surat al-Maidah ini, sekalipun yang diperintahkan
adalah semua orang-orang beriman. Setidaknya ada tiga kelompok riwayat
terkait sebab turunnya ayat tersebut. Pertama, riwayat yang berbicara bahwa

24
Al-Razi Mafatih al-Ghoth (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah) vol.6, juz 11, hal.74.
25
Al-Razi Mafatih al-Ghoth (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah) vol.6, juz 11, hal.74.
26
Jarullah Abi al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsari, al-Kassyaf an Haqaiq Ghawamidh al-
Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Tawil (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1418 H/1998 M),
hal.168

13
ayat tersebut berkenaan dengan Ubadah bin al-Shâmit yang berlepas
hubungan (tidak beraliansi lagi) dengan orang-orang Yahudi dan Abdullah
bin Ubai ibn Salul yang tetap beraliansi dan berpegang pada sumpah palsu
dengan mereka. Padahal sudah terlihat jelas bahwa mereka memusuhi Allah
swt dan Rasul-Nya. Kemudian, Allah swt menyatakan bahwa jika dia tetap
berloyal dan beraliansi dengan mereka maka dia dinyatakan termasuk dari
mereka yang sama-sama terlepas dari Allah swt dan Rasul-Nya.27

Kedua, sebagian lain berpendapat bahwa ayat itu berkaitan dengan


sekelompok kaum mukminin yang disika oleh kalangan musyrikin yang
berhasil menawan mereka. Maka sekelompok kaum mukminin itu hendak
bersekutu dengan kaum Yahudi, maka Allah swt mencegah mereka untuk
berbuat hal itu, dan memberitahukan mereka bahwa barang siapa di antara
mereka melakukan itu dan bersekutu dengan kaum Yahadi, berarti mek
termasuk golongan kaum Yahudi tersebut.28Ketiga ada juga yang
berpendapat. "Makna ayat itu berkenaan dengan Abu Lubabah bin Abdel
Mundir, yang memberitahukan bani Quraidah jika mereka menerima
keputusan Sa'd, bahwa ia adalah korban.

Dari tiga pendapat terkait sebab turunnya ayat ini, kemudian al


Thabari mengambil posisi bahwa, menurutnya pendapat yang paling benar
adalah yang mengatakan, "sesungguhnya Allah swt melarang seluruh orang
Mukmin untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai penolong dan
sekutu (hulafa) bagi orang-orang yang beriman kepada Allah swt dan rasul-
Nya dan selain mereka (Yahudi dan Nastani) huga memberitahukan barang
siapa menjadikan mereka (Yahudi dan Nasm) sebagi penolong, sekutu dan
wali selain dari Allah swt dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin, maka
sesungguhnya ia telah termasuk golongan mereka dalam membangkang
kepada Allah swt.

Sebagai salah satu tokoh tafsir klasik yang menggunakan al-


Ma'tsur sebagi sumber penafsiran, al-Thabari menilai bahwa menjadikan
Yahudi dan Nasrani sebagi penolong ataupun sekutu adalah persolan yang
serius. Ini bisa dilihat dari logika bahasa dalam pernyataannya ketika
menafsirkan penggalan ayat "Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka". beliau mengatakan, Barang siapa mengangkat orang lain menjadi

27
Lihat Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, jamiul Bayan An To will dy al-Quran Turis of
Thahari, cat, (kairo: Dar al-Salam, 1428 H-2007 M), vol 4, hal 2919
28
Lihat Abi Ja'far Muhammad bin Jarîr al-Thabari, Jami 'ul Bayan An Ta'wil Ayi al-Qur'ân: Tafsir al-
Thabari, cet.II, (Kairo: Dâr al-Salam, 1428 H-2007 M), vol.4, hal.2920.

14
pemimpin, maka ia sama dengan agama pemimpinnya itu dan meridhainya.
Jika ia telah merasa ridha dengan agama tersebut, berarti ia memusuhi agama
yang bertentangan dengannya dan yang tidak disukainya, dan hukum yang
berlaku adalah hukumnya. Bahkan diakhir pernyataannya, al-Thabari
mengatakan bahwa orang yang melakuan perbuatan tersebut menjadi musuh
Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.

Dalam ayat ini, al-Rázi tidak memaknai kembali apa yang


dimaksud dengan aulia. Menurutnya sudah cukup, demikian makna auliá
sebagaimana telah dijelaskan dimuka. Maka makna ‫َْل تَت َّ ِخذُوا ْال َي ُه ْو َد َوالنَّصٰ ٰ ٓرى‬
‫ اَ ْو ِليَ ۤا َء‬adalah "jangan kalian, orang-orang Mukmin bergantung kepada
Yahudi dan Nasrani dengan cara meminta pertolongan kepada mereka dan
mengasihi mereka.29

‫ّٰللاَ َْل يَ ْهدِى ْالقَ ْو َم ال ه‬


Terkait firman Allah swt bahwa َ‫ظ ِل ِميْن‬ ‫ ا َِّن ه‬Yakni
seorang yang melakukan perbuatan sebagaimana digambarkan di atas
dikatakan oleh Allah swt sebagai orang-orang yang dzalim. Untuk
memperkuat pernyataan tersebut al-Râzi menghadirkan sebuah riwayat yang
berasal dari Abi al-Asy'ari, dia berkata: "aku berkata kepada Umar ra, bahwa
punya seorang sekertaris Nasrani. Maka dia berkata kepadaku, "ada apa kamu
ini? semoga Allah membunuhmu! tidakkah kau dengar firman Allah swt,
"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang- orang
Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu): sebahagian mereka
adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain", mengapa engkau tidak
mengangkat seorang Muslim yang hanif? aku menjawab:, "wahai Amirul
Mukminin, bagiku tulisannya dan baginya agamanya." Dia menjawab, "Aku
tidak akan memuliakan mereka ketika Allah swt telah menghinakan mereka
dan aku tidak akan membuat mereka kuat setelah Allah swt melemahkan
mereka serta tidak akan mendekatkan mereka sementara Allah swt telah
menjauhkan mereka.30

D. Persamaan Atau Perbedaan Mufassirin Terkait Interpretasi Ayat-Ayat


Yang Menyunngung Larangan Memilih Pemimpin Non-Muslim
Berdasarkan pemaparan di atas dari semua tokoh mufasir tidak ada
yang secara eksplisit dan tegas memaknai aulia’ sebagi pemimpin. Misalnya,
sebagaimana dijelaskan pada kata aulia diartikan dengan khalifah, ulil amri

29
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al- Tamimi al-Bakri al-Razi,
al-Tafsir al-kabir au Mafatih al-Ghaib (Cairo: al-Maktabah al- Taufiqiyyah, 11), vol 6. juz 12, hal.
14.
30
akhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al- Tamimi al-Bakri al-Râzi,
al-Tafsir al-kabir au Mafatih al-Ghaib (Cairo: al-Maktabah al- Taufiqiyyah, tt), vol.6, juz. 12, hal.14

15
atau wali. Kendati demikian menurut penulis pemaknaan para mufassir di
atas terkait auli secara implisit sebenarnya bisa dipahami dengan pemimpin.
Demikian bahwa ayat ini sebagaimana mereka jelaskan menunjukan larangan
menjadikan mereka sebagi penolong, sandaran atau pelindung sebenarnya
mengandung makna pemimpin. Karena pemimpin adalah mereka yang
dijadikan sandaran sebagai orang yang memiliki. Beliau tetap memandang
bahwa makna muwalah memberikan pertolongan atau meminta pertolongan.

Setelah adanya perkembangan makna dalam penggunaaan


praktisnya aulia’ sama-sama dipakai untuk menunjuk kepala pemerinahan.
Dapat diambil kesimpulan bahwa term atau istilah untuk menunjuk seorang
pemimpin atau penguasa, baik terkait pemimpin dalam bidang agama
maupun dalam konteks pemerintahan beragam macamnya, inilah menjadi
sebab perbedaan penafsiran dalam kalangan mufassir.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara Sistematis poin-poin kesimpulan penelitian ini adalah
sebagai berikut:

1. Makna aulia pun beragam. Dalam konteks ini para mufassir dengan latar
belakang madzhab berbeda-beda memaknai kata auliâ dengan penolong,
pembantu, pelindung, teman kasih, saudara, orang-orang yang dijadikan
sandaran dan atau orang yang dijadikan kepercayaan untuk mengurusi
suatu urusan. Tidak ada satupun dari kesembilan mufassir yang secara
eksplisit memaknai aulia dengan term pemimpin yang sering dipakai,
seperti khalifah, Imam, Ulil Amri, atau wali. Namun arti pemimpin bisa
dipahami dari penjelasan para mufassir tersebut terkait makna term aulia’
(secara inplisit) di atas.
2. Kemudian, persamaan dari interpretasi ketiga ayat di atas adalah semua
mufassir dari sembilan tokoh dalam kajian ini, yakni Ibnu Jarir al-Thabari,
Fakhruddin al-Râzi al-Zamakhsyari, al- Jashshâs, al-Qurtubhi, al-Kiya al-
Harosi, Mujiruddin bin Muhammad al-Maqdisi al-Hanbali, ibn 'Asyûr dan
Muhammad Rasyid Ridha sama-sama memaknai ketiga ayat di atas
sebagai larangan bagi orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir
(non-Muslim) sebagai aulid dengan beragam maknanya sebagaimana
disebutkan di atas.
3. Sementara perbedaannya adalah terletak pada penggalian illat dari
larangan tersebut. Sebagaian mufassir dalam kajian ini lebih
mengedepankan karena perbedaan agama sebagai alasan adanaya larangan
ayat-ayat diatas. Sehingga pendapat mereka lebih eksklusif dan tidak
membuka kesempatan bagi-orang-orang kafir sebagai pemimpin bagi
umat.

17
DAFTAR PUSTAKA

Jurjâni, Ali bin Muhammad al-Sayyid al al-Syarif. Mu’jam al-Tarifat

Kairo: Dâr al-Fadhilah, tt.

Kementerian Agama RI, al-Qur'an dan Tafsirnya edisi yang disempurnakan.

Jakarta: Lembaga Percetakan al-Qur'an

Kementerian Agama RI, 2010 M.

Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Ahkam al-Sulthaniyyah

fi al-Wildyat al-Diniyyah cet.1. Kuwait Maktabah Dir

Ibn Qutaibah, 1409 H-1989 M

Rosyadi, Imron, "Lembaga-Lembaga Pemerintahan dalam Sejarah Politik

Islam Sunni", SUHUF, vo.24, no.2 (November 2012).

Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur'an. Jakarta: Lentera Hati, 2002 M.

Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr. Tarikh al-Khulafa cet.II.

Bairut: Dar al-Minhaj, 2013 M.

Razi, Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin 'Ali al-

Tamimy. Mafatih al-Ghoib. Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah, 2003 M.

Thabari, Abi Ja'far Muhammad bin Jarîr. Jami'ul Bayan 'An Ta'wil Ayi al- Qur'ân:

Tafsir al-Thabari. cet.II. Kairo: Dar al-Salam, 1428 H-2007 M

18

Anda mungkin juga menyukai