Disusun Oleh:
FADLIAN ILHAMI
MUH. AWAL AL-FADLIM
M. SUHARDI
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah swt. atas rahmat
dan hidayah-NYa serta karunia-Nya, penyusun dapat menyelesaikan makalah
Ayatul Ahkam, “HUKUM MENGANGKAT PEMIMPIN NON
MUSLIM”.
Kami selaku penyusun sangat menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata
sempurna. Karena itu, kami mengharapkan partisipasi pembaca dalam upaya
penyempurnaan makalah ini dengan cara memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun. Sebagai pelajaran dan motivasi kepada kami agar
makalah yang kami susun nantinya akan lebih baik lagi.
Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah
wawasan siapapun yang membacanya, terlebih bagi kami sebagai penyusun.
Terimakasih.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Menetapkan seorang Muslim yang adil, amanah dan bersahaja sebagai
pemimpin umat adalah harapan dan juga keharusan bagi setiap kelompok umat
Islam. Yang demikian itu agar keadilan, kemaslahatan, kenyamanan dan
kemakmuran yang menyeluruh dapat terwujud dan dirasakan manfaatnya di
tengah-tengah masyarakat.
Namun, syarat Islam itu terkadang bisa ditolelir. Yaitu ketika melihat
fenomena di dalam masyarakat mayoritas Muslim yang dipimpin oleh orang
Islam. Sang pemimpin bukan menjadi figur pemimpin Muslim yang
mencerminkan karakteristik keislamannya, seperti adil, amanah, jujur dan lain
sebagainya, tapi justru sebaliknya. Tidak jarang pemimpin yang menyatakan
dirinya adalah orang beriman melakukan tindak kriminal, korupsi dan bentuk-
bentuk penyalah gunaan jabatan lainnya.
1
Di antara syarat bagi seorang pemimpin adalah Adil, berilmu dan sehat inderawi. Lihat al-
Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyyah fi al-Wilayat al-Diniyyah, cet.1, (Kuwait: Maktabah Dâr Ibn
Qutaibah, 1409 H-1989 M), hal.5.
2
Ayat lain yang senada dalam makna ataupun bandingan dari al-Nis(4): 144 terkait larangan bagi
Muslim menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin ataupun yang yang semakna dengan ini, yaitu
surat Ali Imrân ayat 28 dan 118, al-Maidah ayat 51, al- Mujâdalah ayat 22, al-Mumtahanah ayat
1, al-Anfal ayat 73 dan al-Taubah ayat 71. Lihat Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah
wa al-Syari'ah wa al-Manhaj, cet.IX, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1428 H/2007 M), hal.216.
2
bahwa surah an-Nisa ayat 144 tersebut sebagai justifikasi larangan menjadikan
orang non-muslim sebagai pemimpin.
B. Rumusan Masalah
1. Term dan pengertin pemimpin dalam Islam?
2. Beberapa ayat-ayat larangan memilih pemimpin non-Muslim?
3. Bagaimana penafsiran mufassirin terhdap ayat-ayat yang menyinggun
larangan memilih pemimpin non-Muslim?
4. Apa perbedaan atau persamaan mufassirin terkait interpretasi ayat yang
menyinggung larangan memilih pemimpin non-Muslim?
C. Tujuan
1. Untuk memahami makna dan pendapat dari mufassirin terkait ayat
pelarangan memilih pemimpin non-Muslim
3
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'ân, juz. 3 hal.150
3
BAB II
PEMBAHASAN
a. khalifah
Kata khalifah yang terbentuk dari kata kholafa-yakhluf-kholfan wa
khilafatan setidaknya memilki 2 arti dasar.4 Pertama, mengganti. Yakni
hadirnya sesuatu setelah adanya sesuatu yang lain kemudian menempati
pada tempatnya أن يجيئ شيء بعد شيئ يقوم مقامهarti “mengganti” ini dalam
al-Qur'an bisa didapati dalam dua konteks,5 yaitu mengganti dalam konteks
penggantian generasi6 maupun dalam arti penggantian kepemimpinan.
Untuk makna yang pertama, disebutkan di dalam al-Qur'an QS. Maryam
[19] 59
Sementara dalam arti pengganti kepemimpinan ini bisa dilihat pada QS. al-
A'raf [7]: 142
Kedua, bagian belakang yakni antonim dari kata ( قدامbagian depan). Ini
sebaegaimana firman Allah swt
4
Ibn Mandzhûr, Lisan al Arab, cet.IX, (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), vol.3. hal.184-193.
5
Abd. Rahim, "Khalifah dan Khilafah Menurut al-Qur'ân, Hunafa: Jurnal Studi Islamika, vol. 9, no.
1 (Juni 2012), hal.26-27.
6
Dalam bahasa Arab kata yang menunjukan makna ini bisa disebut kholafun atau kholfun hanya
saja untuk yang kedua ini lebih kepada arti masa yang datang setelah masa sebelumnya
(generasi).
4
Oleh karenanya, kata khalifah sendiri berdasarkan etimologinya
juga memiliki arti yang tidak jauh dari makna kata dasarnya. Yaitu berarti
pengganti dari orang sebelumnya. Disebut pengganti, karena orang yang
menggantikan selalu datang sesudahnya kemudian menempati tempat dan
kedudukan tempat tersebut. Sedang dalam terminologinya term khalifah
memiliki beragam makna. Secara umum manusia disebut khalifah dalam
konteks merawat, memakmurkan dan melestarikan bumi beserta isinya, yakni
khalifatullah fi al-ardh. Sementara khalifah dalam arti khusus adalah
pengganti Nabi Muhammad saw sebagai imam umatnya sepeninggal beliau.
b. Imam
Istilah lain dalam Islam untuk menyebut pemimpin adalah "Imam".
Secara etimologi, kata imam (jamaknyaa a'immah) berasal dari kata amma-
yaummu-amman yang memili arti di depan. Maka imam berarti orang yang di
depan (quddam) yang diikuti perkataan atau perbuatannya. Secara umum,
perbuatan yang diikuti bisa dalam hal kebaikan maupun keburukan.7 Hal ini
seperti disinyalir dalam al-Qur'ân surat al-Anbiya': 73
7
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhů, cet.X (Damaskus: Dar al Fikr, 2007 M), juz.2,
hal. 1191.
8
Khoirunnas Jamal dan Kadarusman. "Terminologi Pemimpin dalam al-Qur'ân (Studi Analisis
Makna Ulil Amri dalam Kajian Tafsir Tematik), An-Nida: Jurnal Pemikiran Islam, vol.39, no. 1
(Januari-Juni 214), hal.124.
5
Imam sebagai gelar bagi seseorang yang memegang jabatan umum untuk
mengurusi persoalan agama dan dunia sekaligus.9
c. Ulil Amri
Selain dari term khalifah, imam. Gelar yang juga sering digunakan
terkait penyebutan bagi seorang penguasa di dalam perkembangan sejarah
politik Islam adalah istilah uli al-amri, wulat al-amri, atau waliy al-amri.
Ketiganya memiliki arti yang berbeda, misalnya yang pertama diartikan para
pemimpin dan ahli ilmu agama, yang kedua berarti pemerintah dan yang
terakhir orang yang memiliki wewenang dan kekuasaan untuk mengemban
suatu urusan atau tugas.10
س ْو َل َواُو ِلى ااْلَ ام ِر ِم ان ُك ام ٰ ٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْٓوا اَ ِط ْيعُوا ه
َّ ّٰللاَ َواَ ِط ْيعُوا
ُ الر
Dan firman Allah swt surah an-Nisa ayat 83.
س ْو ِل َوا ِٰلٓى اُو ِلى ااْلَ ام ِر َّ ع ْوا بِ ٖه ۗ َولَ ْو َرد ُّْوهُ اِلَى
ُ الر ِ َواِذَا َج ۤا َء ُه ْم اَ ْم ٌر ِمنَ ْاْلَ ْم ِن اَ ِو ْالخ َْو
ُ ف اَذَا
ُ ِم ْن ُه ْم لَ َع ِل َمهُ الَّ ِذيْنَ َي ْستَ ْۢ ْن ِب
ط ْونَهٗ ِم ْن ُه ْم
Sedang dalam terminologinya terkait term uli al-amri ini terdapat
beberapa pendapat ketika mendefinisikannya. Ibn Abbas misalnya,
mengartikan uli al-amri yang terdapat pada QS. al-Nisâ [4]: 59 dengan
panglima perang (umara al-saraya) dan pada QS. al-Nisâ [4]: 83
mengartikan dengan para intelektual (dzaw al-aql wa al-albab). Ada juga
yang memahami bahwa yang dimaksud dengan uli al-amri adalah
sekelompok lembaga tertentu seperti ahl al-halli wa al-'aqdi dari umat Islam
yang terdiri dari, umara' (para pemimpin, para ulama, petani, para pemimpin
pasukan (bersenjata) buruh, wartawan serta para pemuka-pemuka masyarakat
yang menjadi penopang kebutuhan manusia dan kemaslahatan umum.
Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Muhammad Abduh dan muridnya,
9
Ali bin Muhammad al-Sayyid al al-Syarif al-Jurjâni, Mu'jam al-Ta'rifat (Kairo:
Dâr al-Fadhilah, tt), hal.33.
10
Imron Rosyadi. "Lembaga-Lembaga Pemerintahan dalam Sejarah Politik Islam Sunni", SUHUF,
vo.24, no.2 (November 2012), hal.144,
6
Rasyid Ridha dalam tafsir al-Manar,11 juga Fakhr al-Razi dalam tafsir al-
Kabir-nya.12
d. Wali
Dalam kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-alam, kata waly
(jamaknya Aulia) beberapa arti, yakni (orang yang mencintai), al-shadiq
(teman), al-nashir (orang yang banyak menolong), al- jár (tetangga), al-halif
(sekutu, sekongkol), al-Tabi' (pengikut), al-shahr (kerabat). Jika dianalisa
lebih teliti maka akan ditemukan benang merah sebagai makna dasar dari
kata wali tersebut, yaitu dekat atau adanya kedekatan, hal ini sejalan dengan
asal kata wali sendiri yang merupakan isim fa'il dari walia atau wala-yali-
walyan yang artinya adalah dekat, maka dikatakan, jalastu mimma yalihi
artinya (saya duduk disampingnya) karena setiap orang yang mencintai pasti
ada hubungan kedekatan dengan orang yang dicintai, begitu juga penolong,
pengikut atau teman ada pengikat yang melahirkan hubungan dekat dengan
orang yang ditolong, orang yang diikuti atau orang yang menjadi teman bagi
orang lain tersebut, sementara Masdar wilayatan wa walayatan artinya
adalah mendirikan atau menguasai (sesuatu atau negara), oleh karenanya kata
wali (jamak wulat) adalah orang yang menguasai suatu negara dan walayat
(jamak walayat) merupakan nama untuk suatu daerah yang dikuasai oleh
seorang wali.13
7
kekuasaan Belanda di Indonesia, gelar "wali negeri" juga disematkan untuk
seorang gubernur jenderal, di Sumatera Barat pada zaman Revolusi
bersenjata gelar "wali negeri" juga diberikan kepada kepala Negara.14
B. Definisi Non-Muslim
Istilah non-Muslim terdiri dari dua kata yaitu non dan Muslim. "Non"
adalah morfem terikat yang ditambahhkan diawal kata yang mengandung arti
makna "tidak" atau "bukan", sementara Muslim adalah seseorang yang beragama
Islam atau orang yang memeluk agama Islam.
14
Hamka, Tafsir al-Azhar (Kuala Lumpur: PTS Islamika Sdn Bhd, 2015). Vol.1, 1.542.
15
Abdul Hakim Ahmad Muhammad Utsman, Ahkâm al-Ta'âmul ma'a Ghair al- Muslimin wa al
Isti'anah bihim fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Fiqhiyyah Muqaranah (Dasuq: al-'Amiriyyah
Iskandariyyah, 2008), hal. 25.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur'an (Jakarta: Lentera
Hati, 2002 M), vol.2, hal.72.
8
Allah swt (orang musyrik),17 bahkan terkadang juga kata al-Kafirin dimaksudkan
untuk semua yang menyimpang dalam agama.18
Berdasarkan makna yang terakhir ini, kata kafir tidak selalu melekat
dengan orang non-Muslim, tetapi juga bisa menjadi sifat bagi Muslim sendiri.
Sebagai contoh firman Allah swt
ِ ت َويُؤْ ِم ْۢ ْن ِب ه
َ اّلل فَقَ ِد ا ْست َْم
َسك َّ الر ْشدُ ِمنَ ْالغَي ِ فَ َم ْن يَّ ْكفُ ْر ِب
ُ الطا
ِ غ ْو ُّ َالدي ۗ ِْن قَ ْد تَّبَيَّن
ِ ْل اِ ْك َراهَ فِى َٓ
ع ِل ْي ٌم
َ س ِم ْي ٌع ام لَ َها َۗو ه
َ ُّٰللا َ صَ بِ ْالعُ ْر َوةِ ْال ُوثْ ٰقى َْل ا ْن ِف
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan
yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut79) dan beriman
kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang
tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”
ّٰللا فِ ْي َ َْل يَت َّ ِخ ِذ ْال ُمؤْ ِمنُ ْونَ ْال ٰك ِف ِريْنَ اَ ْو ِليَ ۤا َء ِم ْن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذلِكَ فَلَي
ِ ْس ِمنَ ه
ِ ّٰللا ْال َم
صي ُْر ِ سهٗ ۗ َواِلَى ه ِْل اَ ْن تَتَّقُ ْوا ِم ْن ُه ْم ت ُ ٰقىةً ۗ َويُ َحذ ُِر ُك ُم ه
َ ّٰللاُ نَ ْف ٓ َّ ش ْيءٍ ا َ
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai
para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang
melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk
menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah
memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah
tempat kembali.”
17
Seringkali kata kufr dan syirk digunakan oleh al-Qur'an untuk menunjukan satu makna,
misalnya dalam Q.S al-Taubah [9]: 1-2. Benang merah di antara kedua kata tersebut adalah
makna juhudiyyah (keengganan atau penentangan). Lihat al Syinqithi, Adhwa al Bayan juz 9 hal
398.
18
Lihat ibn Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir (Tunis: Dâr al-Suhun), vol.2,
Bayan juz 9 hal 398. hal.216.
9
Ibnu Jarir al-Thabari (w. 310 H/923 M) dalam Tafsirnya yang
bermazhab Tafsir lughawi, berdasar pada kata yattakhidz (menjadikan) yang
didahului harf la al-nahiyyah (la yang bermakna pencegahan), ayat ini
mengandung arti larangan. Yaitu larangan Allah swt bagi orang-orang yang
beriman agar tidak menjadikan orang-orang kafir (non-Muslim) sebagai
pembantu, penolong, penopang atau pelindung. Sehingga, dengan demikian
mereka saling mendukung atas agama mereka (orang-orang kafir), membantu
mereka yang memusuhi orang-orang Islam dengan meninggalkan orang-
orang yang beriman dan menunjukan kepada mereka akan kejelekan-
kejelakan orang-orang Mukmin.19
ٍش ْيء
َ ّٰللا فِ ْي َ َو َم ْن يَّ ْف َع ْل ٰذلِكَ فَ َليYakni seseorang tersebut telah menyatakan
ِ ْس ِمنَ ه
berlepas diri dari Allah swt dan (dengan demikian) Allah swt berlepas diri
darinya. Sebab ia telah keluar dari agamanya dan masuk dalam kekufuran.
Bahkan dalam sebuah riwayat disebutkan, ia dinyatakan sebagai orang
musyrik.
Ayat ini turun berkenaan dengan al-Hajjaj bin Amr yang menjadi
sekutu Ka'b bin al-Asyraf, Ibn Abi al-Huqaiq dan Qais bin Zaid. Mereka
menyimpan rahasia dengan sekelompok dari kaum Anshar (bertujuan) untuk
memalingkan mereka dari agamanya. Lantas Rifa'ah bin al-Mundzir bin
19
Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami'ul Bayân An Ta 'wil Avi al- Qur'an: Tafsir al-
Thabari, cet.II, (Kairo: Dâr al-Salam, 1428 H-2007 M), vol.3, hal.1738.
20
Sementara riwayat dari Qatadah menunjukan bahwa maksud dari (illä an tattaqú minhum
tuqah) adalah kerabat dari orang-orang musyrik. diperbolehkan bersikap loyal kepada orang-
orang kafir jika di antara mereka ada hubungan kerabat, namun hanya sebatas menjalin
hubungan baik di dunia seperti menjalin silaturrahim misalnya. Namun, al-Thabari mengkritisi
pemaknaan tersebut, karena, menurutnya makna demikian bukanlah makna yang umum dipakai
di kalangan orang Arab. Sementara di dalam al-Qur'an makna yang digunakan adalah makna yang
sudah makruf dipakai di kalangan orang Arab. Adapun loyal dalam (urusan) agama maka tetap
tidak diperbolehkan. Lihat Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami'ul Bayan 'An Ta'wil Ayi
al-Qur'an: Tafsir al- Thabari, cet.II, (Kairo: Dâr al-Salam, 1428 H-2007 M), vol.3, hal. 1738-1741.
10
Zanbar, Abdullah bin Zubair dan dan Sa'd bin Khoitsamah berkata, jauhilah
orang-orang Yahudi itu, jangan sekali-kali menetapi mereka dan jangan
(sampai) mereka memalingkanmu dari agamamu. Namun, sekelompok kaum
Anshar tersebut enggan menuruti peringatan tersebut sehingga mereka tetap
menjalin rahasia dan menetapi mereka, maka turunlah surat Ali Imran [3]: 28
ini.21
21
Riwayat ini juga disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al-Dur al-Mantsûr. Lihat Jalaluddin
Abdurrahman ibn Abi Bakr al-Suyuthi, al-Dur al-Mantsur fi Tafsir al-Ma'isur. cet.II, (Bairut: Dar
Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 H/2004 M), juz.2, hal.28
22
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al- Tamimi al-Bakri al-Rizi,
al-Tafsir al-Kabir (Bairut: Dâr al-Fikr, 1401 H-1981 M), juz.8, hal. 10. selanjutnya disebut al-Razi.
20 Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir
11
kekafirannya itu merupakan perbuatan kufur, begitu juga ridha atas kekafiran
bisa dinilai kafir.
ِ ٰ ٓياَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَت َّ ِخذُوا ْال ٰك ِف ِريْنَ اَ ْو ِل َي ۤا َء ِم ْن د ُْو ِن ْال ُمؤْ ِمنِيْنَ اَت ُ ِر ْيد ُْونَ اَ ْن تَجْ َعلُ ْوا ِ ه
ّلل
س ْل ٰطنًا ُّم ِب ْينًا
ُ علَ ْي ُك ْم
َ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-
orang kafir sebagai teman setia dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah kamu ingin memberi alasan yang jelas bagi Allah (untuk
menjatuhkan hukuman) atasmu?”
23
Al-Razi, al-Tafsir al-Kabir (Bairut: Dar al-Fikr, 1401 H-1981 M), juz 8, hal 11-12
12
kepada Rasulullah saw, siapa yang kita jadikan sekutu? lantas beliau
menjawab: orang-orang muhajirin. Maka turunlah ayat ini.24
ۗ ٍ ض ُه ْم اَ ْو ِليَ ۤا ُء بَ ْع
ض َو َم ْن يَّت ََولَّ ُه ْم ُ ٰيٓاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا َْل تَت َّ ِخذُوا ْاليَ ُه ْودَ َوالنَّصٰ ٰ ٓرى اَ ْو ِليَ ۤا َء ۘ بَ ْع
ّٰللاَ َْل َي ْهدِى ْالقَ ْو َم ال ه
َظ ِل ِميْن ِم ْن ُك ْم فَ ِانَّهٗ ِم ْن ُه ْم ۗ ا َِّن ه
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang
Yahudi dan Nasrani sebagai teman setia(-mu). Sebagian mereka menjadi
teman setia bagi sebagian yang lain. Siapa di antara kamu yang menjadikan
mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang zalim.”
24
Al-Razi Mafatih al-Ghoth (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah) vol.6, juz 11, hal.74.
25
Al-Razi Mafatih al-Ghoth (Kairo: al-Maktabah al-Taufiqiyyah) vol.6, juz 11, hal.74.
26
Jarullah Abi al-Qasim Mahmud ibn Umar al-Zamakhsari, al-Kassyaf an Haqaiq Ghawamidh al-
Tanzil wa Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Tawil (Riyadh: Maktabah al-Abikan, 1418 H/1998 M),
hal.168
13
ayat tersebut berkenaan dengan Ubadah bin al-Shâmit yang berlepas
hubungan (tidak beraliansi lagi) dengan orang-orang Yahudi dan Abdullah
bin Ubai ibn Salul yang tetap beraliansi dan berpegang pada sumpah palsu
dengan mereka. Padahal sudah terlihat jelas bahwa mereka memusuhi Allah
swt dan Rasul-Nya. Kemudian, Allah swt menyatakan bahwa jika dia tetap
berloyal dan beraliansi dengan mereka maka dia dinyatakan termasuk dari
mereka yang sama-sama terlepas dari Allah swt dan Rasul-Nya.27
27
Lihat Abi Ja'far Muhammad bin Jarir al-Thabari, jamiul Bayan An To will dy al-Quran Turis of
Thahari, cat, (kairo: Dar al-Salam, 1428 H-2007 M), vol 4, hal 2919
28
Lihat Abi Ja'far Muhammad bin Jarîr al-Thabari, Jami 'ul Bayan An Ta'wil Ayi al-Qur'ân: Tafsir al-
Thabari, cet.II, (Kairo: Dâr al-Salam, 1428 H-2007 M), vol.4, hal.2920.
14
pemimpin, maka ia sama dengan agama pemimpinnya itu dan meridhainya.
Jika ia telah merasa ridha dengan agama tersebut, berarti ia memusuhi agama
yang bertentangan dengannya dan yang tidak disukainya, dan hukum yang
berlaku adalah hukumnya. Bahkan diakhir pernyataannya, al-Thabari
mengatakan bahwa orang yang melakuan perbuatan tersebut menjadi musuh
Allah swt, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.
29
Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al- Tamimi al-Bakri al-Razi,
al-Tafsir al-kabir au Mafatih al-Ghaib (Cairo: al-Maktabah al- Taufiqiyyah, 11), vol 6. juz 12, hal.
14.
30
akhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin Ali al- Tamimi al-Bakri al-Râzi,
al-Tafsir al-kabir au Mafatih al-Ghaib (Cairo: al-Maktabah al- Taufiqiyyah, tt), vol.6, juz. 12, hal.14
15
atau wali. Kendati demikian menurut penulis pemaknaan para mufassir di
atas terkait auli secara implisit sebenarnya bisa dipahami dengan pemimpin.
Demikian bahwa ayat ini sebagaimana mereka jelaskan menunjukan larangan
menjadikan mereka sebagi penolong, sandaran atau pelindung sebenarnya
mengandung makna pemimpin. Karena pemimpin adalah mereka yang
dijadikan sandaran sebagai orang yang memiliki. Beliau tetap memandang
bahwa makna muwalah memberikan pertolongan atau meminta pertolongan.
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Secara Sistematis poin-poin kesimpulan penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Makna aulia pun beragam. Dalam konteks ini para mufassir dengan latar
belakang madzhab berbeda-beda memaknai kata auliâ dengan penolong,
pembantu, pelindung, teman kasih, saudara, orang-orang yang dijadikan
sandaran dan atau orang yang dijadikan kepercayaan untuk mengurusi
suatu urusan. Tidak ada satupun dari kesembilan mufassir yang secara
eksplisit memaknai aulia dengan term pemimpin yang sering dipakai,
seperti khalifah, Imam, Ulil Amri, atau wali. Namun arti pemimpin bisa
dipahami dari penjelasan para mufassir tersebut terkait makna term aulia’
(secara inplisit) di atas.
2. Kemudian, persamaan dari interpretasi ketiga ayat di atas adalah semua
mufassir dari sembilan tokoh dalam kajian ini, yakni Ibnu Jarir al-Thabari,
Fakhruddin al-Râzi al-Zamakhsyari, al- Jashshâs, al-Qurtubhi, al-Kiya al-
Harosi, Mujiruddin bin Muhammad al-Maqdisi al-Hanbali, ibn 'Asyûr dan
Muhammad Rasyid Ridha sama-sama memaknai ketiga ayat di atas
sebagai larangan bagi orang-orang beriman menjadikan orang-orang kafir
(non-Muslim) sebagai aulid dengan beragam maknanya sebagaimana
disebutkan di atas.
3. Sementara perbedaannya adalah terletak pada penggalian illat dari
larangan tersebut. Sebagaian mufassir dalam kajian ini lebih
mengedepankan karena perbedaan agama sebagai alasan adanaya larangan
ayat-ayat diatas. Sehingga pendapat mereka lebih eksklusif dan tidak
membuka kesempatan bagi-orang-orang kafir sebagai pemimpin bagi
umat.
17
DAFTAR PUSTAKA
Mawardi, Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Ahkam al-Sulthaniyyah
Suyuthi, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr. Tarikh al-Khulafa cet.II.
Razi, Fakhruddin Muhammad bin Umar bin al-Husain bin al-Hasan bin 'Ali al-
Thabari, Abi Ja'far Muhammad bin Jarîr. Jami'ul Bayan 'An Ta'wil Ayi al- Qur'ân:
18