Makalah:
Disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah
Tafsir Muqoron
Oleh:
RIZA RIZKIYAH E93219117
VIA SINTA M W E93219126
Dosen Pengampu:
Ahmad Zaidanil Kamil, M. Ag.
SURABAYA
2022
KATA PENGANTAR
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
A. Latar Belakang......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
A. Landasan Teori.....................................................................................................2
B. Pengenalan Kitab Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie serta Kitab Al-Qur’an dan
Tafsirnya Kemenag RI.........................................................................................3
1. Biografi Penulis dan Kitab Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie.........................3
2. Penulisan Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya Kemenag RI...........................3
C. Penafsiran QS. Al-Baqarah Ayat 30 dalam Kitab Tafsir al-Wa’ie dan Tafsir
Kemenag RI..........................................................................................................6
1. Perspektif Rokhmat S. Labib dalam Kitab al-Wa’ie.................................6
2. Penafsiran menurut tafsir kemenag RI......................................................8
D. Persamaan dan Perbedaan...................................................................................9
E. Analisis Kritis.....................................................................................................10
BAB III PENUTUP...............................................................................................12
A. Kesimpulan.........................................................................................................12
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, mulai muncul kajian-kajian terkait ilmu tafsir
maupun tafsir yang lebih komprehensif. Dalam mengembangkan kajian tersebut,
Alquran sebagai sumber utama tentu menjadi pokok bahasan. Alquran yang
merupakan teks terbuka, sudah pasti dapat mengalami perkembangan terhadap
penafsirannya, khususnya mengenai persoalan-persoalan baru di masa kini.
1
Mujamil Qamar, Wacana Islam Inklusif, (Yogyakarta: IRCiSod, 2022), 54.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Landasan Teori
Secara etimologi, kepemimpinan berasal dari kata pemimpin. Dalam
bahasa Inggris, kepemimpinan ialah leadership. Kata ini berasal ari kata dasar
leader yang berarti pemimpin, yang mana kata leader ini akar kata dari to lead
yang memiliki beberapa arti di antaranya: bergerak lebih awal, berjalan di awal,
mengambil langkah awal, berbuat paling dulu (awal), mempelopori, mengarahkan
pikiran atau pendapat orang lain, membimbing, menggerakan orang lain melalui
pengaruhnya.Sedangkan arti kepemimpinan secara terminologi adalah suatu
proses dimana seseorang dapat menjadi pemimpin (leader) melalui aktivitas yang
terus menerus sehingga dapat mempengaruhi yang dipimpinnya dalam mencapai
tujuan.2 Dari uraian pengertian di atas, maka hakikat dari kepemimpinan adalah
sebuah kemampuan untuk menggerakkan orang lain dan juga dapat
mempengaruhi orang lain untuk melakukan sesuai dengan tujuan yang hendak
dicapai.
Suatu kepemimpinan tidak bisa diberikan kepada sembarang orang.
Seorang pemimpin harus memiliki kriteria-kriteria tertentu. Menurut penelitian
Fiona Elsa Dent, kualifikasi utama yang dibutuhkan oleh pemimpin adalah:
percaya diri, kesadaran diri, kredibel, dipercaya, visioner, empati, ahli mengambil
keputusan, berpikiran terbuka, adaptif, komunikatif, analitik, ahli strategi, agen
perubahan, kesadaran politik dan altruis. Selain itu, Rhenald Kasali
mengemukakan kualifikasi yang lebih sederhana yaitu visi (vision), keberanian
(courageness), realitas (reality), dan etika (ethics).3
Sedangkan kompetensi seorang pemimpin menurut Islam adalah dengan
memiliki empat sifat wajib yang pasti dimiliki nabi dan rasul, yaitu Shiddiq,
Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Dalam masa saat ini, Shiddiq adalah kompetensi
2
Marlina Wally, “Membangun Karakter Pemimpin dalam Perspektif Al-Qur’an”Jurnal
Tahkim Vol X No. 1, 2014, 110
3
Rosidin, “Kepemimpinan Pendidikan dalam Al-Qur’an (Studi Pustaka Kisah-kisah
dalam Al-Qur’an)” Jurnal MPI Vol. 1, No. 2, 2016, 187
2
moral, amanah menjadi kompetensi professional, tabligh menjadi kompetensi
sosial, dan fathonah menjadi kompetensi intelektual.4
Meninjau term kepemimpinan dari sudut pandang Alquran, term ini di
dalam Alquran memiliki macam-macam sebutan diantaranya: Khalifah, Imam,
Wali, Ulil amri, dll. Dalam kesempatan kali ini, pemateri lebih memfokuskan
term kepemimpinan melalui kata khalifah. Secara singkat, makna khalifah ini
adalah seseorang yang diberi kekuasaan suatu wilayah atau daerah dan mengelola
wilayah tersebut dengan baik dan menerapkan semua perintah-perintah-Nya.
B. Pengenalan Kitab Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie serta Kitab Al-Qur’an dan
Tafsirnya Kemenag RI
1. Biografi Penulis dan Kitab Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie
Tafsir al-Wa’ie ditulis oleh Rokhmat S. Labib yang terkenal sebagai
seorang tokoh Hizbut Tahrir atau HTI. Ia lahir di Bojonegoro pada tanggal 26
Juni 1971, dan banyak menghabiskan masa kecil bersama orangtuanya di
Tuban. Kata S dalam Namanya sendiri adalah nama yang diambil dari
ayahnya, yakni Sugihartanto. Di mana ayahnya ini menjadi tempat pertama
Labib menuntut ilmu keislaman.
Dalam perjalanan intelektualnya, Labib ini bisa dikatakan sebagai tokoh
yang basic pengetahuan dasarnya tidak mengarah pada penafsiran. Sebagai
contoh, ia menempuh pendidikan S1-nya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA)
jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia. Lalu melanjutkan program S2 di IAIN
Sunan Ampel (Sekarang UIN Sunan Ampel) untuk memperoleh gelar Magister
Ekonomi Islam.5
Meskipun sekilas Labib tidak terlihat banyak mendapat pengajaran
intelektual islam. Ia sebenarnya banyak mengikuti kajian keislaman seperti
bahasa arab, tafsir, hadis, dan fiqih secara intensif. Ia juga ikut aktif dalam
organisasi keagamaan di Surabaya semasa kuliah.
4
Ibid, 188
5
Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat Pilihan al-Wa’ie (Bogor: Al-Azhar Freshzne Publishing,
2013), 685; Farah Farida, “Potret Tafsir Ideologis di Indonesia: Kajian atas Tafsir Ayat
Pilihan al-Wa’ie”, Jurnal Nun, Vol 3 No 1 2017, 120.
3
Merasa tidak cukup dengan kegiatan intelektual keagamaan yang Labib
lakukan. Ia kemudian mengikuti pengajian tafsir diluar kampus, diantaranya
adalah dengan KH. Ihya ‘Ulumuddin, seorang murid dari Syeikh Muhammad
Alwi al-Maliki. Selain itu, ia juga mengikuti kajian lain yang membahas kitab-
kitab keagamaan seperti Fath al-Qarib, al-Fikr al-Islami, Mabadi al-Waqi, al-
Qada’ wa al-Qadar, dan lain sebagainya. Lalu memperdalam pengetahuan
bahasa arabnya pada Ustadz Abdullah Salim Bandani, seorang alumni Tebu
Ireng, dengan mengkaji kitab diantaranya adalah kitab al-Jurumiyyah.6
Perlu diketahui, Rokhmat S. Labib banyak bersentuhan dengan beberapa
Gerakan Islam sejak kuliah di Surabaya. Ia pun kemudian menetapkan hatinya
untuk mengikuti pergerakan Hizbut Tahrir. Melalui Gerakan ini pula, Labib
dapat menyampaikan dakwahnya di berbagai kota, bahkan di negara lain.
Kemudian sejak tahun 2004, ia dipercaya menjadi pengasuh rubrik Tafsir tetap
dari Media Dakwah dan Politik al-Wa’ie. Dari sinilah kemudian, karya Tafsir
al-Wa’ie nya terbangun, di mana banyak dari para pembaca memintanya untuk
mencetak tulisan-tulisan tafsir yang ia publish dalam buku fisik.
Menurut Labib, tafsir yang ia tulis hanya mencoba untuk menyajikan
pemahaman serta pelajaran yang ia dapat dari para ulama tafsir yang mu’tabar.
Ia mencoba untuk menjawab wacana-wacana kekinian yang muncul, dengan
poin-poin penting dari sebuah ayat yang ia jelaskan. Adapun contoh wacana-
wacana tersebut diantaranya adalah Demokrasi, Pluralisme, HAM,
Liberalisme, dan lain sebagainya.
Tafsir al-Wa’ie sendiri termasuk dalam kategori tafsir bi Ra’yi . Hal ini
dapat diketahui dari penafsiran ayat yang dikemas berdasarkan pemahaman dan
pemikiran tokoh yakni Labib. Sedangkan untuk penyusunannya, model yang
digunakan adalah tematik, karena ia hanya menjelaskan ayat-ayat pilihannya
saja. Kemudian, untuk corak penafsiran, tafsir ini lebih cenderung pada corak
Ideologis. Di mana Labib banyak mengarahkan tafsirannya pada paham-paham
yang ia anut.
M. Taufiq Hidayat, Tesis “Al-Qur’an dan Ideologi Radikal (Kajian Kritisatas Tafsir al-
6
4
2. Penulisan Kitab Al-Qur’an dan Tafsirnya Kemenag RI
Kitab Al-Qur’an dan Tafsir yang disusun oleh tim dari Kemenag RI,
memiliki tujuan guna membantu masyarakat untuk memahami Alquran secara
lebih dalam. Kitab ini sendiri mengalami penyempurnaan dari awal pertama
diterbitkan. Di mana versi-versi terbarunya disebut sebagai versi
penyempurnaan, khusunya segi bahasa.
Pada mulanya Menteri Agama di tahun 1972 menbentuk suatu tim
penyusun yang disebut dengan Dewan Penyelenggara Pentafsir Al-Qur’an. Di
mana ketuanya pada saat iu adalah Soenarjo. Kemudian dilakukan
penyempurnaan pada tahun 1973 yang diketuai Bustami A. Gani. Lalu
disempurnakan lagi di tahun 1980 yang diketuai oleh Ibrahim Hosen.7
Adapun tim penyusun kitab ini sendiri terdiri dari 15 tokoh, diantaranya
adalah, Ibrahim Husein, Syukri Ghazali, Hoesein Thoib, Bustami A. Gani,
Muchtar Yahya, Kamal Muchtar, Anwar Musaddad, Sapari, Salim Fachri,
Muchtar Lutfi el-Anshari, J. S. Badudu, Amin Nashir, Aziz Darmawijaya, Nur
Asjik, dan Rajak.
Perlu diketahui sebelum menjadi kitab utuh 30 Juz. Tafsir Kemenag ini
saat pertama kali hadir hanya memuat juz 1 sampai juz 3. Lalu disusul dengan
jilid-jilid yang lain dan hadir secara sederhana. Baru setelahnya dilakukan
banyak perbaikan dan penyempurnaan dari waktu-kewaktu.
Jika dilihat dari penafsiran yang dilakukan dalam kitab Tafsir Kemenag
ini, metode yang digunakan adalah metode Iqtirani. Yang mana metode
tersebut adalah model penafsian yang menggabungkan antara penafsiran bil
Ma’tsur dan bil Ra’yi. Sedangkan untuk model penulisan tafsir, Tafsir
Kemenag ini menggunakan metode tahlili. Meskipun demikian, terdapat
pengelompokan ayat yang diberi judul, sehingga bisa dikatakan model
penulisannya adalah gabungan antara Tahlili dan Maudhu’i.
Kemudian, corak yang tersaji dalam kitab ini adalah corak Adabi Ijtima’i.
Di mana dalam penyusunannya kerap memberikan aspek sosial
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya (Edisi yang Disempurnakan), (Jakarta:
7
5
kemasyarakatan bahkan Ilmu pengetahuan. Oleh karenanya, tafsir ini juga
memiliki sisi corak ‘ilmi yang dipengaruhi oleh latar belakang anggota yang
berasal dari LIPI.
C. Penafsiran QS. Al-Baqarah Ayat 30 dalam Kitab Tafsir al-Wa’ie dan Tafsir
Kemenag RI
6
dalam rangka menegakkan hukum-hukum-Nya sekaligus menerapkan
ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini meruju pada tafsir al-Baghaqi, al-
Qinuji, al-Alusi, al-Ajli, al-Syanqithi, dan Ibnu Juzy.9
Dari empat epistemologi yang dipaparkan oleh Labib, ia cenderung pada
pendapat keempat. Ia juga sekaligus melakukan justifikasi dengan
mengarahkan ayat tersebut untuk kepentingan Ideologi. Labib menjelaskan jika
penciptaan Adam sebagai khalifah di muka bumi, mengisyaratkan umat islam
wajib memiliki seorang khalifah. Di mana khalifah tersehut akan menerapkan
syariat islam dalam konstitusi negara. Lalu menurutnya untuk mencapai hal itu,
maka harus ada kepemimpinan islam yakni Khilafah Islamiyyah. Oleh karena
demikian, ia menyebut bahwa mengangkat khalifah dan mendirikan khilafah
Islamiyyah adalah wajib syar’i bagi siapapun yang beragama Islam.10
Kemudian sebagai penguat pendapatnya tentang konsep khilafah, Labib
mencantumkan dalil-dalil dari Alquran lainnya untuk memperkuat
penafsirannya tersebut. Diantara dalil-dalil tersebut adalah Al-An’am ayat 165
dan An-Naml ayat 62. Ia menjelaskan jika pada intinya ayat-ayat tersebut
mengarah pada menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Sebagai pelancar dan pemerkuat pendapatnya akan konsep khalifah atau
pemimpin ini. Labib juga menafsirkan beberapa ayat lain di antaranya adalah
QS. An-Nisa’ ayat 59.
9
Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan Al-Wa’ie, (Bogor: Al-Azhar Fresh Zone
Publishing, 2013), 80; M. Taufiq Hidayat, Tesis “Al-Qur’an dan Ideologi Radikal (Kajian
Kritisatas Tafsir al-Wa’iekaryaRokhmat S. Labib” (Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah,
2020), 100.
10
Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan Al-Wa’ie, (Bogor: Al-Azhar Publishing,
2013), 13; Lufaefi, “Kritik katas Penafsiran Ayat-Ayat Khilafah: Studi Tafsir Al-
Wa’iekaryaRokhmat S. Labib” Jurnal al-Fanar, Vol 1 No 1 Juli 2018, 29.
7
Pada ayat tersebut, menurut Rokhmat perintah yang diserukan untuk umat
islam terhadap ulil amri dispesifikkan pada ulil amri yang menerapkan hukum
dengan Alquran dan Sunnah. Dalam kesimpulannya ia menyebut jika ayat itu
merupakan dalil akan kewajiban penerapan pemerintahan islam (khilafah)
dalam sebuah negara. Ia juga menambahkan bahwa ayat tersebut bertolak
belakang dengan demokrasi. Hal ini disebabkan kedaulatan yang diatur oleh
rakyat, bukan oleh syariat Islam.11
Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah ayat 30, tafsir ini fokus utama pada
arti kata khalifah. Dinyatakan dalam tafsir ini bahwa kata khalifah secara
harfiah berarti pengganti. Akar katanya adalah خلفyang berarti sesuatu yang
ada di belakang. Khalifah diartikan sebagai pengganti, karena ia menggantikan
yang di depannya. Di samping itu, kata khalifah juga menunjuk pada arti
pemimpin negara atau kaum. Kata khalifah dengan arti pemimpin terdapat
antara lain di dalam surah Shad[38]:26 di mana Allah mengangkat Nabi Daud
a.s. sebagai khalifah di bumi (Palestina) untuk memimpin umat manusia
dengan adil. Sedangkan dalam bahasa Arab, kalimat "Allah menjadi khalfah
bagimu" berarti Allah menjadi pengganti bagimu dari orang tuamu yang
meninggal. Allah menjadikan manusia sebagai khalifah di bumi berarti Allah
menyerahkan pengelolaan dan pemakmuran bumi namun bukan secara mutlak
—kepada manusia.12
Asbabun nuzul ayat ini menurut penjelasan dalam kitab tafsir Kemenag
RI yaitu:13
Ketika Allah swt memberitahukan kepada para malaikat-Nya bahwa Dia akan
menjadikan Adam a.s. sebagai khalifah di bumi, maka para malaikat itu bertanya,
mengapa Adam yang akan diangkat menjadi khalifah di bumi, padahal Adam dan
keturunannya kelak akan berbuat kerusakan dan menumpahkan darah di bumi. Para
malaikat menganggap bahwa diri mereka lebih patut memangku jabatan itu, sebab
mereka makhluk yang selalu bertasbih, memuji dan menyucikan Allah swt. Allah
11
Rokhmat S. Labib, Tafsir Ayat-Ayat Pilihan Al-Wâ’ie, (Bogor: Al-Azhar Publishing,
2013), 130;Lufaefi, “Kritik katas Penafsiran Ayat-Ayat Khilafah…, 31.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya…, 74-75.
13
Ibid, 75-76
8
swt tidak membenarkan anggapan mereka itu, dan Dia menjawab bahwa Dia
mengetahui yang tidak diketahui oleh para malaikat. Segala yang akan dilakukan
Allah swt adalah berdasarkan pengetahuan dan hikmah-Nya yang Mahatinggi
walaupun tak dapat diketahui oleh mereka, termasuk pengangkatan Adam a.s.
menjadi khalifah di bumi.
Ayat ini merupakan dalil tentang wajibnya kaum Muslimin memilih dan
mengangkat seorang pimpinan tertinggi sebagai tokoh pemersatu antara seluruh
kaum Muslimin yang dapat memimpin umat untuk melaksanakan hukum-
hukum Allah di bumi ini.14 Dengan mengorelasikan surah al-Baqarah ayat 30
dengan surah Shad ayat 26, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai khalifah itu
tak hanya bertugas mengelola dan memakmurkan bumi, namun juga
menegakkan hukum Allah di bumi dan menciptakan kemaslahatan bagi
manusia.
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya…, 77
9
dan Tafsir Kemenag RI menggunakan metode Iqtirani. Selain itu, perbedaan
kedua kitab juga berada pada corak kitab keduanya. Corak Tafsir al-Wa’ie adalah
corak ideologi sedangkan corak dari Tafsir Kemenag RI adalah corak adabi
ijtima’i dan sedikit bercorak ilmi.
Apabila meninjau persamaan dan perbedaan dari kedua penafsiran yang
telah dijabarkan sebelumnya, keduanya juga memiliki persamaan dan perbedaan.
Penafsiran kedua kitab ini memiliki kesamaan yaitu sama-sama menafsirkan
bahwa khalifah yang dimaksud adalah Adam as, yang mana ditugaskan menjadi
khalifah bagi Allah dalam rangka menegakkan hukum-hukum-Nya sekaligus
menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Namun, yang memberi warna perbedaan
dari kedua penafsiran adalah karena Tafsir al-Wa’ie memasukkan ideologi ke
dalam penafsiran ayat itu. Yang mana menyatakan bahwa mengisyaratkan umat
islam wajib memiliki seorang khalifah. Di mana khalifah tersebut akan
menerapkan syariat islam dalam konstitusi negara. Lalu menurutnya untuk
mencapai hal itu, maka harus ada kepemimpinan islam yakni Khilafah
Islamiyyah.
Selain itu, bila dilihat dari penafsiran keduanya, penafsiran Tafsir al-
Wa’ie menggunakan metode analisis dan metode bil Ra’yi karena banyak
mengutip riwayat-riwayat pendapat ulama lain. Sedangkan, untuk kitab Tafsir
Kemenag lebih mengacu pada metode analisis (tahlily) karena melibatkan
asbabun nuzul, munasabah ayat, dan arti kata (mufradat) namun dengan
penjelasan yang umum dan ringkas. Di kitab Tafsir Kemenag ini tidak mengambil
atau mengutip riwayat-riwayat lain dalam penafsiran surah al-Baqarah ayat 30.
E. Analisis Kritis
Perdebatan hal kepemimpinan dalam Islam, terasa tetap hangat meskipun
telah diperdebatkan sejak lama. Kepimpinan sendiri menjadi salah satu faktor
penting, yang dapat menjadikan sebuah negara, institusi, kelompok dan lain
sebagainya menjadi lebih baik. Oleh karena demikian, sebagai umat muslim yang
bijak, sudah seharusnya mengetahui konsep kepemimpinan yang benar.
10
Adapun jika merujuk pada kedua penafsiran terkait kepemimpinan di
pembahasan sebelumnya, akan didapati pengetahuan tentang konsep khilafah. Hal
demikian ini yang membuat muncul banyak perbedaan dan pertentangan dalam
pembahasan kepemimpinan dalam Islam.
Perbedaan tersebut akan lebih panas ketika dihadapkan pada wilayah
yang penduduknya heterogen, salah satunya adalah Indoensia. Sebagai negara
yang memiliki banyak keberagam, baik dalam budaya, agama, sosial historis dan
sebagainya. Tentu akan menetapkan sebuah bentuk negara yang menjunjung
tinggi nilai toleran agar tidak terpecah belah. Dari sinilah muncul permasalahan
tentang keinginan beberapa golongan, agar Indonesia menerapkan pemerintahan
Islam seperti yang mereka pahami. Adapun pemerintahan yang dipahami oleh
mereka adalah konsep khilafah, yang dijelaskan oleh Rakhmat dalam tafsir al-
Wa’ie. Jika disandingkan dengan khalifah yang dijelaskan dalam Tafsir Kemenag,
hal demikian ini tentu berbeda. Dalam tafsir kemenag sendiri, tidak disebutkan
penjelasan yang ekstrim hingga menolak adanya demokrasi.
Baru-baru ini masih hangat pembicaraan tentang khilafatul muslimin
yang disebut-sebut menyebarkan paham Khilafah. Mereka ingin mengganti
Pancasila dengan sistem khilafah yang mereka yakini. Adapun pandangan yang
mereka yakini juga tidak jauh berbeda dengan kaum HTI. Dalam pandangan
penyusun, apa yang dijelaskan oleh Rakhmat dalam penafsirannya tentang
khalifah ini kurang tepat. Hal ini dikarenakan, seperti ada pemaknaan yang
dipaksakan dalam menafsirkannya. Sedangkan dalam tafsir kemenag, khalifah
atau pemimpin yang dimaksud lebih general. Oleh karenanya, umat islam harus
bisa memahami konsep kepemimpinan dengan benar.
Sebagai tambahan, ketika merujuk pada sejarah Islam, seperti yang
diketahui pengangkatan khulafaur rasyidin merupakan kesepakatan bersama. Di
mana hal demikian bisa di artikan sebagai Demokrasi. Selain itu jika merujuk
pada maqashidnya, maka di wilayah yang multikultural seperti Indonesia
penggunaan sistem kepemimpinan demokrasi ini sangat tepat. Hukum-hukum
islam pun tetap tegak dengan benar, meskipun tidak secara formalitas menjadi
hukum negara Indonesia.
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tafsir al-Wa’ie ditulis oleh Rokhmat S. Labib yang terkenal sebagai
seorang tokoh Hizbut Tahrir atau HTI. Latar belakang penulisan Tafsir al-Wa’ie
adalah karena banyaknya pembaca dari Media Dakwah dan Politik al-Wa’ie,
memintanya untuk mencetak tulisan-tulisan tafsir yang ia publish dalam buku
fisik. Sedangkan, Kitab Al-Qur’an dan Tafsir disusun oleh tim dari Kemenag RI.
Keputusan dalam penulisan dan penyusunan kitab ini memiliki tujuan guna
membantu masyarakat untuk memahami Alquran secara lebih dalam. Dalam
menafsiran QS. al-Baqarah [2]:30, kedua kitab ini memiliki penafsiran yang
hampir sama. Yaitu memaknai khalifah sebagai pemimpin yang harus
memperhatikan perintah-perintah Allah swt. dan juga hukum-hukum-Nya. Hanya
saja, pada penafsiran kitab Tafsir al-Wa’ie, Rokhmat S. Labib menambahkan
ideologinya dengan menyimpulkan bahwa adanya ayat ini menyatakan bahwa
wajib dalam penerapan pemerintahan islam (khilafah) dalam sebuah negara. Ia
juga menambahkan bahwa ayat tersebut bertolak belakang dengan demokrasi.
12
DAFTAR PUSTAKA
Farida, Farah. “Potret Tafsir Ideologis di Indonesia: Kajian atas Tafsir Ayat
Pilihan al-Wa’ie”. Jurnal Nun. Vol 3 No 1 2017.
Hidayat, M. Taufiq. Tesis: “Al-Qur’an dan Ideologi Radikal (Kajian Kritis atas
Tafsir al-Wa’ie karya Rokhmat S. Labib”. Jakarta: UIN Syarif
Hidayatullah, 2020.
13