PENDAHULUAN
1
1Hassan Ibrāhīm Hassān, Tārikh al-Islāmī, jil. I (Mesir: Maktabah al-Nahdah, 1964), 19-
26. Philip K. Hitti, History of the Arabs (London: Macmillan Pres Ltd, 1970), 12-20. Lapidus Ira
M.A, Lapidus History of Islamic Societies, terj. Ghufran A. Mas’adi dengan judul, Sejarah
Sosial Umat Islam, Bagian Kesatu dan Kedua. Cet. I (Jakarta: PT. RajaGrafindo Per-sada,
1999), 29-35. Lihat Syed Mahmudun Nasir, Islam; Its Concepts and History, diterjemahkan
oleh Adang Affandi dengan judul Islam; Konsepsi dan Sejarahnya Cet. IV (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1994), 146-147.
2Uraian lebih lanjut lihat Nasir, Islam; Its Concepts and History.... .andingkan dengan
Philip K. Hitti, Historyof the Arabs (London: Macmillan Pres Ltd, 1970), 139-140.
1
2
Sebagai gambaran awal, kriteria dan syarat serta karakteristik pemimpin yang
dipahami dalam komunitas Syi’ah dan Sunni berbeda. Perbedaan tersebut, juga
dikarenakan adanya beragam perbedaan pengungkapan term yang terkait dengan
pemimpin dalam al-Qur’an, mi-salnya ada term-term khalāif/khalīfah dan term
imāmah/imām. Term pertama, lebih populer di kalangan Sunni, sedangkan term kedua
lebih populer di kalangan Syi’ah. Di samping itu, ditemukan lagi term lain dalam al-
Qur'an yang terkait dengan masalah pemimpin yakni term ūlu amri/al-amīr, dan di dalam
hadis di- temukan term lain. Tentu saja untuk mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana
kriteria pemimpin dalam al-Qur’an, maka sangat pen- ting dilakukan studi tentang
kepemimpinan melalui pendekatan tafsir mawdhū'iy.
Pemimpin yang ideal adalah pemimpin yang cara memimpinya beracuan Al-
Quran dan Hadist sebagai sumber hukum utama ajaran Islam. Tidak semata-mata
membuat aturan sendiri yang menyimpang dari ajaran Islam. Banyak sekali orang yang
kurang tahu tentang kriteria pemimpin menurut pandangan Islam dan cara memimpin
dalam Islam. Keaadaan ini sangat mengkhawatirkan, melihat banyaknya perilaku
masyarakat yang tidak sesuai dengan yang diajarkan dalam Islam. Salah satu penyebab
dari kekacauan yang akhir-akhir ini terjadi adalah peran pemimpin yang kurang mampu
membawa masyarakat kearah yang lebih baik.
BAB II
PEMBAHASAN
3
3Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III Cet. II (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), 874. John M. Echols dan Hassan Shadily, An English-Indonesian
Dictionary, Cet. XXV(Jakarta: PT. Gramedia, 2003), 351.
4
Ralph M. Stogdil menghimpun sebelas definisi tentang pemimpin, yakni sebagai pusat
kelompok; sebagai kepribadian yang berakibat; sebagai seni menciptakan kesepakatan;
sebagai kemampuan mem-pengaruhi; sebagai tindakan perilaku; sebagai suatu bentuk
bujukan; sebagai suatu hubungan kekuasaan; sebagai sarana penciptaan tujuan; sebagai
hasil in-teraksi; sebagai pemisahan peranan; dan sebagai awal struktur. Ralph M. Stogdill,
Handbook of Leadership (London: Collier Mac Millan Publisher, 1974), 7-15.
5
Gary A. Yulk, Leaderhip in Organizations (Cliffs: Prentice-Hall, 1981), 2.
4
6
langkah menuju suatu sasaran bersama. Pengertian ini mengandung tiga elemen penting
sebagai berikut:
Pertama, pemimpin adalah orang yang membuat suatu konsep relasi (relation
concept). Disebut sebagai pemimpin bila ada relasi dengan orang lain. Jika tidak ada
pengikut, maka tidak ada yang disebut pemimpin. Dengan demikian apa yang tersirat
dari pe-ngertian tersebut adalah bahwa para pemim-pin yang efektif harus mengetahui
bagaimana membangkitkan inspirasi dan berelasi dengan para pengikut mereka.
Kedua, pemimpin merupakan suatu proses. Agar bisa memimpin, pemimpin mesti
mela- kukan sesuatu. Kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki posisi otoritas.
Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong proses
kepemimpinan, tetapi sekedar menduduki posisi itu tidak memadai untuk membuat
seseorang menjadi pemimpin.
Ketiga, pemimpin harus membujuk orang- orang untuk mengambil tindakan.
Pemimpin membujuk pengikut dengan berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang
terlegitimasi, menciptakan model (teladan), penera- pan sasaran, memberi imbalan dan
hukuman, merestrukturisasi organisasi, dan mengkomu- nikasikan sebuah visi.
Terkait dengan hal ini, ada tiga pandangan dalam memahami fenomena
kepemimpinan.
1. Kepemimpinan tidak memusatkan perhatian pada kekuatan individual, bukan
pada posisi atau status yang ia miliki. Dalam perspektif Weber, sebuah
kepemimpinan yang memusatkan perhatian pada prosedur hukum disebut otoritas
hukum.
2. Tipe kepemimpinan tradisional yang didasarkan pada kepercayaan yang mapan
tentang kesucian tradisi lama. Status seorang pemimpin ditentukan oleh adat-
kebiasaan lama yang dipraktekkan oleh masyarakat di dalam tradisi tertentu.
3. Kepemimpinan bisa dipahami sebagai kemauan dalam diri seseorang. Di dalam
perspektif Weber, kepemimpinan yang memiliki sumber dari kekuasaan yang
terpercaya disebut otoritas kharismatis.7
Kepemimpinan (leadership) adalah proses mempengaruhi yang dilakukah oleh
6
Edwin A. Locke and Associaties, The Essense of Leadership: The Four Keys to Leading
Succesfully, diterje-mahkan oleh Indonesian Translation dengan judul Esensi
Kepemimpinan:Empat Kunci Memmpin dengan Penuh Keberhasilan, Cet.II (Jakarta: Mitra
Utama,2002), 3.
7
Weber, Max. The Theory of Social and Economic Orga-nization. Translated by Talcott
Parson. (New York: The Free Press, 1966), 358.
5
seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau
sasaran bersama yang telah ditetapkan.(Maryanto dkk,2008:73).
Berdasarkan pengertian kepemimpinan di atas, pemimpin dapat didefinisikan
sebagai individu yang memiliki pengaruh terhadap individu lain dalam sebuah system
untuk mencapai tujuan bersama.
8
8Abū Husayn Ahmad bin Fāris bin Zakariyah, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah, jilid I (Mesir: Isā al-
12
Abū al-A’lā al-Maudūdi, al-Khilāfah wa al-Mulk, diterjemahkan Muhammad al-Baqir dengan
judul Khilafah dan Kerajaan, Cet. VI (Bandung: Mizan, 1996), 63
13
bn Fāris, Mu’jam Maqāyīs, 139.
7
Abu Bakar dan Umar.14 Dalam Ahkām al-Qur’ān, Ibn al-‘Arabi menyatakaan bahwa
yang benar dalam pandangannya adalah bahwa ulu al-amr itu umara dan ulama
semuanya.”15
Fakhruddin al-Razi dalam tafsirnya mencatat ada empat pendapat tentang makna
ulu al- amr, yaitu (1) al-khulafā al-rāsyidūn; (2) pemimpin perang (sariyyah); (3) ulama
yang memberi-kan fatwa dalam hukum syara’ dan menga-jarkan manusia tentang agama
(Islam); (4) imam-imam yang maksum16
Sementara itu, Ibn Katsir dalam tafsirnya menyimpulkan bahwa ulu al-amr adalah,
menu-rut zhahirnya, ulama. Sedangkan secara umum, ulu al-amr adalah umara dan ulama.17
Wahbah al-Zuhaili dalam kitab tafsirnya, al- Tafsīr al-Munīr, menyebutkan bahwa
sebagian ahli taf-sir berpendapat bahwa makna ulu al-amr adalah ahli hikmah atau
pemimpin perang. Sebagian lagi berpendapat bahwa ulu al-amr adalah ulama yang
menjelaskan kepada manusia ten-tang hukum- hukum syara’. Sedangkan Syiah
berpendapat bahwa ulu al-amr adalah imam-imam yang maksum.18
Pengertian pemimpin dengan term ulu al- amr di atas dapat menjadi lebih luas lagi
karena mencakup setiap pribadi yang memegang kendali urusan kehidupan, besar
ataupun kecil, seperti pemimpn negara, atau pemimpin keluarga, bahkan pemimpin diri
sendiri juga termasuk di dalamnya.
c. Imam (imaamah)
Term Arab imāmah berasal dari kata imam. Dalam Maqāyīs al-Lughah dijelaskan
bahwa term imam pada mulanya berarti pemimpin shalat. Imam juga berarti orang yang
diikuti jejaknya dan didahulukan urusannya, demi-kian juga khalifah sebagai imam
rakyat, dan al-Qur’an menjadi imam kaum muslimin. Imam juga berarti benang untuk
meluruskan bangunan. Batasan yang sama dikemukakan juga oleh al-Asfahāni bahwa al-
imam adalah yang diikuti jejaknya, yakni orang yang di-dahulukan urusannya, atau
perkataannya, atau perbuatannya. Imam juga berarti kitab atau semisalnya. Jamak kata
al- imam tersebut ada-lah a’immah.
Dalam al-Qur’an, kata imam (bentuk tunggal) dipergunakan sebanyak 7 kali.
Sementara kata a’immah (bentuk plural) 5 kali dengan arti dan maksud yang bervariasi
sesuai dengan penggunaannya. Ia bisa bermakna jalan umum (QS. Yāsīn [36]: 12);
14
Muhammad Ibn Jarīr al-Tabarī, Tafsīr al-Thabarī,jil. V (Beirut: Dār al-Fikr), 147-149
15
Ibn al-‘Arabi, Ahkām al-Qur’ān, jil. 1 (Beirut: Dāral-Fikr, t.t), 452.
16
21Fakhruddin al-Rāzi, Al-Tafsīr al-Kabīr, jil. X(Be-irut: Dār al-Fikr, t.t), 144
17
Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Azhīm, jil. 1.(Beirut: Dār al-Fikr, t.t.), 518.
18
Wahbah al-Zuhaili, al-Tafsīr al-Munīr, jil. V (Bei-rut: Dār al-Fikr, t.t.), 126
8
pedoman (QS. Hūd [11]: 7); ikut (QS. al- Furqān [25]: 74); dan petunjuk (QS. al-Ahqāf
[46]: 12). Begitu pula dalam makna kata pemimpin, kata ini merujuk pada banyak
konteks, seperti pemimpin yang akan dipanggil Tuhan bersama umatnya untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka (QS. al-Isrā’ [17]: 71); pemimpin orang-
orang kafir (QS. al-Tawbah [9]: 12); pemim-pin spiritual atau para rasul yang dibekali
wahyu untuk mengajak manusia mengerjakan kebajikan, mendirikan salat, menunaikan
zakat, yaitu Nabi Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub (QS. al-Anbiyā’ [21]: 73); pemimpin dalam
arti luas dan bersifat umum ataupun dalam arti negatif (QS. al-Qashash [28]: 5 dan 41);
dan pemimpin yang memberi petunjuk berdasarkan perintah Allah (QS. al-Sajdah [32]:
24).
Term imamah dalam konteks Sunni dan Syiah berbeda pengertiannya. Dalam
dunia Sunni, imamah tidak dapat dibedakan de- ngan khilafah. Sedangkan dalam dunia
Syiah, imamah bukan saja dalam konotasi lembaga pemerintahan, tetapi mencakup
segala aspek. Hal ini disebabkan predikat imam bagi kaum Syiah tidak saja terkait
dengan aspek politik, tetapi juga mencakup aspek agama secara keseluruhan: akidah,
syariah, mistik, dan yang disepakati oleh kaum Syiah ialah bahwa imam harus berasal dari
ahl al-bayt dengan garis keturunan Ali ibn Abi Thalib. Dengan demi-kian kaum Syiah
memahami bahwa konotasi imam erat sekali dengan dimensi keagamaan dan menjadi
kurang tepat bila dikaitkan de-ngan aspek politik saja. Dari sinilah sehingga konotasi
imam harus tetap mengacu pada pengertian pemimpin spiritual atau keaga-maan.
Dalam pandangan Syiah, imamah tidak hanya merupakan suatu sistem
pemerintahan, tetapi juga rancangan Tuhan yang absolut dan menjadi dasar syariat
dimana keperca-yaan kepadanya dianggap sebagai penegas keimanan. Nasiruddin al--
Thusi sebagaimana dikutip oleh Murtadha Muthahhari meng-gunakan ungkapan ilmiah
dan menyatakan bahwa imam adalah luthf (karunia kebaikan) Allah. Dalam arti
bahwa hal itu seperti kena-bian dan berada di luar otoritas manusia. Karenanya, imam
tidak dipilih berdasarkan keputusan manusia. Seperti halnya nabi, imam ditunjuk
berdasarkan ketetapan Tuhan. Beda-nya, nabi berhubungan langsung dengan Allah,
sedangkan imam diangkat oleh nabi setelah mendapat perintah dari Tuhan. Setidaknya
ada tiga syarat penting yang mesti dimiliki seseorang untuk menduduki posisi imamah
yaitu: (a) merupakan pilihan dan diangkat oleh Allah, bukan diangkat oleh ma-syarakat
umum; (b) memiliki keilmuan yang mencakup keseluruhan ilmu yang diperoleh secara
laduni dari sisi Tuhan; (c) ma‘shūm (terjaga) dari segala kesalahan, kekeliruan dan dosa.
9
Dengan analisis seperti ini di atas, maka konsep imamah (kepemimpinan) secara
terminologis dalam Syiah tidak dapat dilepaskan dari peranan dan misi keagamaan, sebab
umat selalu membutuhkan bimbingan dan, karena itu, Tuhan menaruh perhatian utama
guna memberikan bimbingan yang tidak terputus- putus buat umat manusia, di antaranya
de- ngan menugaskan nabi memilih penerusnya (imam), dan setiap penerus menentukan
peng- gantinya, demikian seterusnya. Dengan konsep imamah sebagaimana yang
terungkap di sini, praktis bahwa jiwa dan misi keagamaan (Islam) dapat dipertahankan
sepanjang masa
Artinya :
ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan
menumpahkan darah, Padahal Kami Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak
kamu ketahui."19
b. Q.S. Al-Fatir :3939 dengan term khalā’if, derivasi kata khalifah, yakni:
Artinya :
Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah di muka bumi. Barangsiapa yang kafir,
Maka (akibat) kekafirannya menimpa dirinya sendiri. dan kekafiran orang-orang yang
kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan
kekafiran orang-orang yang kafir itu tidak lain hanyalah akan menambah kerugian
mereka belaka
19
Al-Qur’a, dan terjemah
10
Artinya :
beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman:
"Sesungguhnya aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia". Ibrahim berkata:
"(Dan saya mohon juga) dari keturunanku". Allah berfirman: "JanjiKu (ini) tidak
mengenai orang yang zalim"
Artinya :
Dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan
sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang
apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya
dan Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
11
d. QS. al-Hadīd [57]: 7 dengan term mustakhlifīn derivasi kata khalīfah, yakni:
“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari
hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasai (pemimpin)-nya. Maka
orang-orang yang ber-iman di antara kamu dan menafkahkan (seba-gian) dari
hartanya memperoleh pahala yang besar.”
Dari ayat-ayat yang telah dikutip di atas, dapat dipahami secara global bahwa
kriteria pemimpin dalam QS. al-Anbiyā’ [21]: 73, se- orang pemimpin seharusnya mampu
memberi petunjuk. Dalam QS. Fāthir [35]: 39 kriteria pemimpin bukan orang kafir.
Dalam QS. Shād [38]: 26 kriteria pemimpin adalah mam-pu memutuskan perkara dengan
adil. Dalam QS. al-Baqarah [2]: 124 kriteria pemimpin sama dengan kriteria yang dimiliki
Nabi Ibrahim. Dalam QS. al-Nisā’[4]: 59 dan 83 kriteria pemimpin sesuai yang terdapat
dalam al- Qur’an, dan sesuai dengan kepemimpinan rasul yang berhak diikuti. Dalam
QS. al-Hadīd [57]: 7 kriteria pemimpin haruslah se-orang yang beriman, dan senantiasa
menaf-kahkan rezekinya di jalan Allah. Demikian kriteria umum seorang pemimpin yang
ter-dapat dalam ayat-ayat al-Qur’an.
Sabab nuzul ayat adalah sesuatu yang melatarbelakangi sehingga ayat tersebut
difirmankan oleh Allah. Namun ada sebagian ayat tidak ditemukan riwayat sabab
12
nuzulnya. Dari ayat-ayat tentang kriteria pemimpin yang memiliki sabab nuzul adalah
QS. Shād [38]: 26 yang tergolong Madaniah. Turunnya ayat ini terkait dengan ayat-ayat
sebelumnnya yang mengkisahkan keistimewaan dan pengalaman Nabi Dawud.
Rangkaian kisah dalam ayat tersebut diturunkan agar Nabi Muhammad memperhatikan
dan mengambil pelajaran untuk menghadapi perilaku kesombongan dan permusuhan
orang-orang musyrik20. Jadi, di-simpulkan bahwa sebab diturunkannya ayat ini adalah
untuk mendorong Nabi dan untuk menguatkan jiwanya, agar beliau sebagai pe-mimpin
memiliki jiwa kesatria dalam meng-hadapi tantangan dan ancaman orang-orang musyrik
ketika di Mekkah.
Kemudian yang tergolong dalam kelompok Madaniyah adalah QS. al-Baqarah [2]:
124, turun bersamaan dengan ayat 125 berkenaan dengan pertanyaan Umar bin
Khaththab ke- pada Nabi tentang kedudukan spiritual (maqām) Nabi Ibrahim, maka
turunlah ayat tersebut.26 Selanjutnya QS. al-Nisā’ [4]: 59, diturunkan bekenaan dengan
Abdullah bin Hudzafah bin Qais ketika diutus oleh Nabi untuk memimpin suatu
pasukan.27 Dengan ayat tersebut diha-rapkan kepada setiap orang mengikuti pe-tunjuk
Allah, Rasul, dan para pemimpinnya, termasuk pemimpin perang.
Pada ayat yang sama, ayat 83, diturunkan berkenaan uzlah yang dilakukan oleh
Nabi. Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Nabi uzlah (menjauhi) istri-istrinya.
Umar bin Khaththab masuk ke mesjid di saat orang- orang sedang kebingungan sambil
bercerita bahwa Nabi telah menceraikan istri-istrinya. Umar berdiri di pintu mesjid dan
berteriak bahwa Nabi tidak menceraikan istrinya dan aku telah menelitinya, maka
turunlah QS. al- Nisā’ [4]: 83 berkenaan dengan peristiwa ter- sebut untuk tidak
menyiarkan berita sebelum diselidiki.28 Dari sini lantas dipahami bahwa seorang
pemimpin harus benar-benar me- nyampaikan sesuatu yang benar, dan jangan
menginformasikan sesuatu dengan hasil pene-litian yang tidak benar pula. Intinya,
kriteria seorang pemimpin adalah antara lain, shiddiq, yakni selalu berlaku benar, dan
betindak atas jalan kebenaran.
20
Jalāl al-Dīn al-Suyūthī, Lubāb al-Nuqūl fī Asbāb al-Nuzūl diterjemahkan oleh Qamaruddin
Shaleh, et. al, dengan judul Asbabun Nuzul, Cet. II (Bandung:Diponegoro, 1975), 158.
13
yang demikian dalam ilmu tafsir disebut al- munāsabah. Ayat-ayat tentang kriteria
pemim-pin, tentu memiliki kaitan dengan ayat- ayat lainnya, terutama ayat-ayat yang
telah dikutip sebelumnya, sebab masing-masing ayat terse-but memiliki kesamaan
kriteria, yakni tentang kriteria pemimpin. Dengan melihat bahwa ayat-ayat tersebut ada
dalam kategori Makkiyah dan Madaniah, menandakan bahwa masalah kepemimpinan
telah menjadi fokus perhatian al-Qur’an sejak Nabi menetap di Mekkah, dan di Madinah.
Berdasar pada sabab nuzul yang telah di- kemukakan, dipahami bahwa Nabi
ketika di Mekkah, telah memiliki jiwa kesatria sebagai- mana kesatriaan Nabi Dawud
sebagai pemim-pin yang diutus kepada kaumnya. Keadaan Nabi tersebut terus
berlanjut sampai beliau menetap di Medinah, bahkan setelah hijrah-nya, beliau
membangun sebuah negara yang disebut Medinah, dan beliau sendiri yang me-mimpin
negara yang berperadaban tersebut.
Artinya:
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung
jawab atas kepemimpinannya.”21
atas kepemimpinannya.”(hakim,1927:40).
اْل َما ُم ا ْل َعا ِد ُل َّ س ْب َعةٌ يُظِ لُّ ُه ْم
ِ ْ َُّللاُ فِي ظِ ِِّل ِه َي ْو َم ََل ظِ َّل ِإ ََّل ظِ لُّه َ سلَّ َم قَا َل
َ علَ ْي ِه َو َّ صلَّى
َ َُّللا َ ع َْن أ َ ِبي ه َُر ْي َرةَ ع َْن النَّ ِب ِِّي
َ علَ ْي ِه َوتَفَ َّرقَا
علَ ْي ِه َّ اج ِد َو َر ُج ََل ِن ت َحَابَّا فِي
َ َّللاِ اجْ ت َ َمعَا ِ س َ ق فِي ا ْل َم ٌ َّشأ َ فِي ِعبَا َد ِة َر ِِّب ِه َو َر ُج ٌل قَ ْلبُهُ ُمعَل َ ََاب ن
ٌّ َوش
ِ صدَّقَ أ َ ْخفَى َحت َّى ََل ت َ ْعلَ َم
ُ ش َمالُهُ َما ت ُ ْن ِف
ق َ َ َّللاَ َو َر ُج ٌل ت
َّ افُ ب َو َج َما ٍل فَقَا َل إِنِِّي أ َ َخ
ٍ طلَبَتْهُ ا ْم َرأَةٌ ذَاتُ َم ْن ِص
َ َو َر ُج ٌل
َ َّْللاَ َخالِيا فَفَاضَت
ُع ْينَاه َّ يَمِ ينُهُ َو َر ُج ٌل ذَك ََر
Artinya :
Dari Abu Hurairah ra., dari Nabi Saw., beliau bersabda : “Ada tujuh golongan yang akan
mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya, yaitu :
Pemimpin yang adil, Pemuda yang senantiasa beribadah kepada Allah Ta’ala, Seseorang
yang hatinya senantiasa digantungkan (dipertautkan)” dengan masjid, Dua orang saling
mencintai karena Allah, yang keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya. Seorang
laki-laki yang ketika diajak [dirayu] oleh seorang wanita bangsawan yang cantik lalu ia
menjawab :”Sesungguhnya saya takut kepada Allah.”Seorang yang mengeluarkan
sedekah sedang ia merahasiakanny, sampai-sampai tangan kirinya tidak mengetahui apa
yang diberikan oleh tangan kanannya dan seseorang yang mengingat Allah di tempat
yang sepi sampai meneteskan air mata.”22
21
Hakim, A.H. 1927. Mabadi Awaliyah. Jakarta :maktabah Saadiyah Putra.hal 40
22
Al-Utaibiy,A.S. Mutiara pilihan Riyadhus sholikhin. Solo: At-Tibyan. Hal 188
15
Islam sendiri, banyak memberi gambaran tentang sosok pemimpin yang benar-benar
layak memimpin umat menuju kemaslahatan, baik dari Al-Qur’an, Hadist, maupun
keteladanan Rosul dan para sahabat. sebagai sosok pemimpin ideal bagi umat Islam,
Rosulullah saw. memiliki beberapa kriteria yang dapat ditentukan dalam hal memilih
seorang pemimpin antara lain:
a. Shidiq (Jujur)
Kejujuran adalah lawan dari dusta dan ia memiliki arti kecocokan sesuatu
sebagaimana dengan fakta. Nabi Muhammad saw. sebagai utusan terpercaya Allah jelas
tidak dapat lagi diragukan kejujurannya, kerena apa yang beliau sampaikan adalah
petunjuk (wahyu) Allah yang bertitik pada kebenaran yaitu ridlo Allah. Sebagaimana
difirmankan dalam QS. An-Najm:3-4.
Artinya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).”(QS. An-
Najm:3-4).
b. Amanah/Terpercaya
Sebelum diangkat menjadi rasul, nabi Muhammad SAW bahkan telah diberi gelar Al-
Amien yang artinya orang yang dapat dipercaya. Hal ini tentunya karena beliau adalah
pribadi yang benar- banar dapat dipercaya dikalangan kaumnya. Sperti yang telah
dijelaskan oleh Eaton (2006:175). Pada tahun 605 dewan pemerintah Quraisy
memutuskan untuk merenovasi ka’bah, pada saat pemindahan hajar aswad terjadi
sengketa antara bbeberapa klan (bani), ketidak sepakatan ini muncul karena masing-
masing mereka berebut untuk memperoleh kehormatan memindahkan hajar aswad pada
tempatnya. Diputuskan bahwa orang pertama yang masuk lapangan (segi empat ka’bah)
lewat satu pintu tertentu hendaknya diminta bertindak sebagai juru damai, dan orang
pertama yang adalah Muhammad. Ia mengatakan kepada penduduk untuk
menghamparkan sebuah jubah besar, menempatkan batu itu diatasnya dan memanggil
wakil tiap klan untuk bersama-sama mengangkatnya dalam posisi, kemudian ia sendiri
meletakkan batu itu ketempatnya.
Allah mengisyaratkan dengan tegas untuk mengangkat “pelayan rakyat” yang
kuat & dapat dipercaya dalam surat Al-Qoshos ayat 26.
16
Artinya :
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah ia sebagai
orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu
ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya".( Q.S.Al-
Qoshos:26).
Amanah merupakan kualitas yang harus dimiliki seorang pemimpin. Dengan
memiliki sifat amanah, pemimpin akan senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat yang
telah dibebankan sebagai amanah mulia di atas pundaknya. Kepercayaan maskarakat
berupa penyerahan segala macam urusan kepada pemimpin agar dikelola dengan baik dan
untuk kemaslahatan bersama.
c. Tablig (Komunikatif)
Kemampuan berkomunikasi merupakan potensi dan kualitas prinsip yang harus
dimiliki oleh seorang pemimpin. Karena dalam kinerjanya mengemban amanat
memaslahatkan umat, seorang pemimpin akan berhadapan dengan kecenderungan
masayarakat yang berbeda-beda. Oleh karena itu komunikasi yang sehat merupakan kunci
terjalinnya hubungan yang baik antara pemimpin dan rakyat.
Allah berfirman :
Artinya :
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul
menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan Sesungguhnya kepada-
Nyalah kamu akan dikumpulkan.
Salah satu ciri kekuatan komunikasi seorang pemimpin adalah keberaniannya
menyatakan kebenaran meskipun konsekuensinya berat. Dalam istilah Arab dikenal
ungkapan, “kul al-haq walau kaana murran”, katakanlah atau sampaikanlah kebenaran
meskipun pahit rasanya.
d. Fathonah (cerdas)
Seorang pemimpin sebagai visioner haruslah orang yang berilmu, berwawasan luas,
cerdas, kreatif, dan memiliki pandangan jauh ke depan. Karena untuk mewujudkan
kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat dibutuhkan pemikiran besar dan inovatif serta
17
tindakan nyata. Kecerdasa (inteleligen) dalam hal ini mencakup segala aspek
kecerdasan, baik kecerdasan emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Cerdas sendiri dapat diartikan sebagai “kemampuan individu untuk memahami,
berinovasi, memberikan bimbingan yang terarah untuk perilaku, dan kemampuan mawas
diri. Ia merupakan kemampuan individu untuk memahami masalah, mencari solusinya,
mengukur solusi atau mengkritiknya, atau memodifikasinya”.(Al-Hajjaj,2009:20).
Kecerdasan seorang pemimpin akan sangat mempengaruhi eksistensi
kepemimpinannya baik di mata manusia maupun dimata sang pencipta. Hal ini
sebagaimana janji Allah yang tertuang dalam surat Al-Mujadalah ayat 11.
Artinya :
“...Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-
orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.(Q.S. Al-Mujadalah:11).
Selain aspek-aspek diatas, masih banyak kiteria yang layaknya dimiliki oleh
pemimpin ideal seperti :
a. Demokratis
Dalam hal ini pemimpin tidak sembarang memutuskan sebelum adanya musyawarah
yang mufakat. Sebab dengan keterlibatan rakyat terhadap pemimpinnya dari sebuah
kesepakatan bersama akan memberikan kepuasan, sehingga apapun yang akan terjadi
baik buruknya bisa ditanggung bersama-sama.
Pola kepemimpinan yang demokratis dapat diteladani dari pribadi Abu Bakar As-
Shidiq. Hal ini dapat dilirik dari kutipan Khutbahnya ketika terpilih sebagai kholifah
pertama.
"Saudara-saudara, Aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang
terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika
aku berbuat salah luruskanlah aku. Sifat jujur itu adalah amanah, sedangkan kebohongan
itu adalah pengkhianatan. 'Orang lemah' diantara kalian aku pandang kuat posisinya di
sisiku dan aku akan melindungi hak-haknya. 'Orang kuat' diantara kalian aku pandang
lemah posisinya di sisiku dan aku akan mengambil hak-hak mereka yang mereka peroleh
dengan jalan yang jahat untuk aku kembalikan kepada yang berhak menerimanya.
Janganlah diantara kalian meninggalkan jihad, sebab kaum yang meninggalkan jihad akan
ditimpakan kehinaan oleh Allah Swt. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi
18
Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada
kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku. Kini marilah kita menunaikan Sholat semoga
Allah Swt melimpahkan Rahmat-Nya kepada kita semua". (Asy-Syarqowi,2010:98).
b. Keteladanan (qudwah)
Aspek keteladanan erat hubungannya dengan budi pekerti (akhlak), dan hal inilah
yang diperankan tokoh pemimpin muslim ideal terdahulu. Rosulullah saw sebagai figur
utama pemimpin muslim banyak memberi siraman tentang nilai-nilai pekerti kepada
umatnya, seperti yang ditamankan kepada seorang pemimpin legendaris mislim yang
mengenyam pelajaran kenabian sejak kecil dari beliau, Ali bin Abi Tholib.
Seperti wasiat nabi kepada Ali yang dikutip dari buku Abdurrahman Asy Sarqowi
(2002:10) “ Wahai Ali, maukah aku tunjukkan kepadamu akhlak terbaik orang-orang
terdahulu orang-orang (yang akan datang) kemudian?. Ali menjawab, ya, Rosulullah.
Rosulullah saw. kembali bersabda engkau memberi orang yang kikir kepadamu,
memaafkan orang yang mendzalimimu, dan menyambungkan tali silaturrahmi kepada
orang yang telah memutuskannya”.
Allah berfirman dalam surat Al-Qolam ayat 4 :
Artinya :
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(Q.S. Al-
Qolam:4).
c. Kepeloporan
Seorang sebagai qudwah (panutan) bagi rakyatnya harus memempatkan dirinya pada
garda terdepan (pioneer), yang berarti kinerjanya tidak hanya bermodal intelektual,
retorika yang menjanjikan atau hanya konsep belaka, tapi juga harus dibuktikan dalam
tindakan nyata. Dalam hal ini Allah swt. Menegaskan dalam surat Az-Zumar ayat 20.
Artinya :
“Dan aku diperintahkan supaya menjadi orang yang pertama-tama berserah
diri".(Q.S. Az-Zumar:20).
Para tokoh pemimpin muslim ideal terdahulu selalu menunjukkan kepeloporannya
dalam memimpin rakyatnya. Sebut saja K.H. Abdurrahman Wahid (gus dur) tokoh
nasionalis yang gigih memperjuangkan pluralism di Indonesia. Gusdur berada di barisan
19
garda depan untuk memperkuat pluralism di republic ini. Istimewanya, pluralism yang
dikembangkan gus dur tidak hanya pada tataran pemikiran. Melainkan menjadi sebuah
tindakan social-politik.(Misrawi,2002:X).
Artinya :
“…Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.
Dari ayat diatas jelas menunjukkan bahwa seorang pemimpin hendaklah
menguasai pengetahuan tentang agama Allah, karena mereka hanya mengembalikan
segala urusan kepada Allah dan Rosul-Nya tidak semata-mata atas dasar keinginan
dirinya sendiri.
Imam ghozali menjelaskan tentang sifat-sifat terpuji ulama’ dalam kitabnya
majmu’ah rosaail yang diterjemahkan oleh Irwan Kurniawan (2010:17) bahwa “ adab
seorang ulama’ antra lain : selayaknya terus mencari dan mengamalkan ilmu, memelihara
ketenangan, meninggalkan sifat takabur dan tidak mengundangnya. Mengasihi pencari
ilmu dan tidak bersegera kepada orang sombong. Menyelesaikan masalah orang awam
dan tidak merasa gengsi untuk mengatakan, “saya tidak tahu.” Memberikan perhatian
serius atas pertanyaan penanya dan tidak berpura-pura. Memperhatikan dan menerima
argument, walaupun itu berupa bantahan.”
Artinya :
Sesungguhnya Allah menyukai orang yang berperang dijalan-Nya dalam barisan yang
teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.
Dari ayat diatas, dapat dipahami bahwa seorang pemimpin harus memiliki
kemampuan mengelola dan mengorganisasikan system secara teratur, agar terbangun
system pemerintahan yang kokoh.
20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kepemimpinan (leadership) adalah proses mempengaruhi yang dilakukah oleh
seseorang terhadap orang lain untuk dapat bekerjasama dalam mencapai tujuan atau
sasaran bersama yang telah ditetapkan.
Pemimpin adalah individu yang memiliki pengaruh terhadap individu lain dalam
sebuah system untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam Islam dikenal beberapa term pemimpin antara lain: Kholifah, Amiir (ulul
amr), dan Imam.
Dasar Alqur;an tentang pemimpin terklasifikasi atas Makkiyah dan Madaniyah.
Ayat-ayat tersebut menggunakan term khalīfah, imāmah dan ulu al-amr beserta
derivasinya, di antaranya memiliki sabāb nuzūl, dan masing-masing ayat memiliki
munāsabah karena adanya kesamaan istilah. Adapun salah satu Dasar Al-Qur’an tentang
kepemimpinan (Q.S. Al-Baqoroh :30) yaitu:
Artinya :
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya aku hendak
menjadikan seorang khalifah di muka bumi."
Dasar hadist tentang kepemimpinan :
َ اإل َما ُم َراعٍ َوه َُو َم ْسئُو ٌل
ع ْن َر ِعيَّتِ ِه َ ُكلُّ ُك ْم َراعٍ َو َم ْسئُو ٌل
ِ َع ْن َر ِعيَّتِ ِه ف
“Ketahuilah bahwa setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung
jawab atas kepemimpinannya”
Islam adalah agama yang kaafah (sempurna), yang diturunkan Allah melalui
perantara Rosul-Nya yang amanah dengan membawa syari’at yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, baik yang berhubungan dengan Allah Swt (Hablum minallah)
maupun hubungan dengan manusia (Hablumminannas), termasuk di antaranya yang
paling prinsip adalah masalah kepemimpinan.
Sebagai pemimpin teladan yang menjadi model ideal pemimpin, Rasulullah
dikaruniai empat sifat utama, yaitu: Sidiq, Amanah, Tablig dan Fathonah. Sidiq berarti
jujur dalam perkataan dan perbuatan, amanah berarti dapat dipercaya dalam menjaga
21
tanggung jawab, Tablig berarti menyampaikan segala macam kebaikan kepada rakyatnya
dan fathonah berarti cerdas dalam mengelola masyarakat.
Selain aspek-aspek diatas, masih banyak kiteria yang layaknya dimiliki oleh
pemimpin ideal seperti :
a. Demokratis
b. Keteladanan (qudwah)
c. kepeloporan (pioneer)
d. menguasai pengetahuan agama (religious)
e. menguasai manajemen (manajerial)
3.2 Saran
Penulis memahami makalah ini jauh dari kesempurnaan dan masih banyak
kekurangan karena minimnya pengetahuan yang penulis miliki dalam menyusun
makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca
sangat penulis harapkan untuk perbaikan kedepannya. Semoga makalah ini bisa
memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca.
22
DAFTAR PUSTAKA