I. Pengantar
II. Tipe dan persyaratan komunikasi
III. Pengambilan Keputusan
IV. Keterampilan berdiskusi
V. Ikhtisar
I. Pengantar
Sebagai pusat kekuatan dan dinamisator bagi organisasi (perusahaan, kesatuan,
jawatan dan lain-lain) pemimpin harus selalu berkomunikasi dengan semua pihak,
baik melalui hubungan formal maupun informal. Suksesnya pelaksanaan tugas
pemimpin itu sebagian besar ditentukan oleh kemahirannya menjalin komunikasi
yang tepat dengan semua pihak, secara hirisontal maupun vertical ke atas dan
kebawah.
Komunikasi yang tidak lancar dapat menimbulkan dampak buruk, antara lain:
1) Timbulnya sentimental-setimentil, prasangka-prasangka dan ketegangan
ketegangan di kalangan para anggota organisasi.
2) Memunculkan konflik-konflik di antara bermacam-macam tingkatan dalam
organisasi garis atau organisasi model pyramidal.
Kesulitan dan ketidaklancaran komunikasi dapat disebabkan oleh:
a) Factor waktu; yaitu berbeda waktu berkumpul dan bekerja, shift works,
b) Factor ruangan berkerja dan belajar yang berbeda-beda
c) System pembagian kerja dan tugas yang tidak memungkinkan semua anggota
kelompok dapat bertemu bersama-sama.
Sparasi spatial, yaitu pembagian yang dibatasi oleh ruang dari unit-unit kerja,
semakin mempersulit koordiansi dari semuanya. Sehubungan dengan itu, jarak
spatial tadi cenderung mengarah kepada jarak/distansi social. Sungguhpun dalam
zaman modern ini masalah-masalah yang ditimbulkan oleh sukarnya komunikasi
itu sudah dapat diatasi dengan bantuan alat-alat modern seperti megaphone,
telephone, telex, radio facmile dan lain-lain, namun tetap saja separasi spatial itu
selalu menumbuhkan distansi social.
Pembagian tugas pekerjaan dalam organisasi yang komplek, misalnya partai
politik, jawatan, departemen dan lain-lain dapat juga menjadi penghambat dalam
komunikasi dan menyulitkan koordinasi. Khususnya pembagian unit-unit yang
terpisah-pisah dalam bentuk seksi-seksi, departemen organisasi staf, organisasi
garis, pembagian pada tingkat horinsontal dan lain-lain. Semua itu memudahkan
timbulnya konflik-konflik diantara bermacam-macam tingkatan dalam organisasi.
Komunikasi juga berlangsung tidak lancar apabila dalam organisasi terdapat
terlalu banyak kompetisi dan persaingan-persaingan yang tidak sehat. Misalnya
jika banyak anggota yang suka bermuka-muka manis dan selalu berusaha
menyenangkan majikan atau atasan dengan prinsip ABS (asal bapak senang)
sambil memfitnah kawan-kawan atau kelompok. Dalam sedemikian yang
dipenuhi persaingan dan kecurigaan. Komunikasi kebawah dan kesamping sering
jadi rusak, disebabkan oleh penambahan berita-berita dan intruksi yaitu
disengaja ditambah-tambah dan dibesar-besarkan, menunda-nundanya atau
dengan sengaja memutarbalikan dan menyalahtafsirkan intruksi dari atas. Karena
itu dalam organisasi, setiap individu dapat berfungsi sebagai filter-penyaring bagi
semua informasi baik yang dating dari bawah ke atas, maupun yang berasal dari
atas ke bawah.
Selanjutnya, kelompok-kelompok primer yang mempunyai latar belakang sosio-
kultural yang berbeda-beda, akan mempengaruhi fasilitas komunikasi dan
koordinasi; dan pasti menimbulkan hambatan-hambatan dalam komunikasi.
Misalnya, jika ada sekelompok kecil orang-orang batak yang bekerja di tengah-
tengah mayoritas buruh sunda, maka orang batak ini secara typis khas akan
menghayati perasaan sebagai kumpulan minoritas yang belum terserap atau
belum diterima oleh lingkungannya. Penghayatan tidak diterima ini
menimbulkan banyak prasangka, fustasi, terlalu peka atau over-sensitive. Bahkan
tidak jarang kelompol minoritas ini mejadi tidak rasional lagi, sangat setimentil
dan amat agresif. Lalu terjadilah bentrokan-bentrokan yang tidak bisa dihindari.
Factor lain yang menyulitkan kelancaran komunikasi ialah erat sekali kaitannya
dengan kelemahan kedua organisasi formal yaitu:
Organisasi formal itu cendrung mengabaikan factor-faktor personal dan emosional
dari kepribadian individu; sebab sangat mengutamakan rasionalitas, obyektivitas
dan hal-hal yang zakelijk (mengenai urusan) saja. Juga kurang memperhatikan
factor-faktor manusia serta unsur harapan manusianya, sehingga tidak berjalan
komunikasi yang lancer.
Sekalipun banyak organisasi mengagung-agungkan kebaikan sitem kompetisi dan
rivalitas, namun cepat atau lambat para pemimpinnya akan mengakui, bahwa
dengan unsur persaingan saja tidak akan dapat menghidupi organisasi. Sebab,
setiap organisasi pasti membutuhkan loyalitas dan kooperasi. Jika unsur loyalitas
kepada kawan seperjuangan sudah habis sama sekali, dan digantikan dengan
perjuangan individual secara mati-matian, persaingan tidak sehat, serta penonjolan
interest pribadi, tenti akan timbul banyak konflik dan kerusakan pada organisasi.
Pada akhirnya pemimpin akan meyakini bahwa unsur kompetisi saja tidak
menjamin kelestarian organisasi. Kompetisi selalu memanggil respons atau
antitese unsure kooperatif; jadi kompetisi senantiasa parallel dengan kooperasi.
Sedang idividualisme selalu berdampingan dengan kesadaran kelompok atau
sosialitas; dan mobilitas baik yang vertical maupun horizontal selalu
bergandengan dengan loyalitas. Dua katagori atribut tadi memang kontroversal
sifatnya, namun selalu saling melengkapi dan memberikan napas perjuangan
pada manusia, sehingga menimbulkan dinamika social.
Organisasi yang selalu diliputi oleh iklim kompetisi hebat dan mendewa-dewakan
factor uang dan waktu sebagai obyek-obyek paling vital dalam suasana kerja
sehari-hari, pasti akan menyebabkan:
Rasa ketakutan, kecemasan, ketidakpastian, ketegangan batin, bahkan juga rasa
panic dan putus asa pada bawahan (juga dilangan pemimpin).
Lagi pula, jika para pemimpin dan kaum teknokrat sudah bertekad mau
mengeliminir secara total elemen-elemen personal/pribadi dan mengutamakan
masalah-masalah murni teknis obyektif atas dasar perimbangan rasional melulu,
maka perbuatan ini tidak ubahnya dengan aktivitas mentranformasikan bawahan
(anak buah, rakyat dan lain-lain) menjadi mesin-mesin otomat. Inilah yang disebut
sebagai proses dehumanisasi pada organisasi-organisasi formal. Sehubungan
dengan hal tersebut, maka kesulitan paling besar dalam komunikasi itu
disebabkan oleh karena:
Pemimpin mengabaikan unsur-unsur afektif-emosional dan factor kemanusiaan
lain, sehingga mengakibatkan tindakan dehumanisasi tadi.
Jelaslah, bahwa dalam melaksanakan fungsinya sebagai dinamisator dan
organisator, pemimpin harus selalu berkomunikasi, baik melalui formal maupun
informal.
Hubungan formal ialah jalinan ikatan antara pemimpin dengan bawahan
berdasarkan konvensi, ketentuan hukum, saluran resmi dan jalur komando untuk
melaksanakan koordinasi dan manajemen. Alat-alat yang dipakai antara lain ialah:
surat keputusan, intruksi, perintah, peraturan, pengumuman/maklumat, sambutan,
brefing, rapat kerja, lokakarya, seminar, kunjungan inspeksi, control dan
pengawasan.
Hubungan informal ialah hubungan berupa: kontak pribadi, pertemuan prive,
tukar-menukar pikiran, dengar pendapat melalui tatacara dan prosedur kebiasaan
dalam pergaulan biasa dan dialog.
Hubungan informal tersebut dapat disebut pula sebagai hubungan pribadi atau
relasi antar obyek; yaitu hubungan antara subyek dengan con-subyek, dalam mana
pribadi-pribadi yang berhadap-hadapan dan berdialog itu memperhatikan
perasaan-pikiran-kehendak sendiri maupun milik partner yang diajak
berbicara/berdialog.
Maka dialog itu ialah: pertukaran perasaan-pikiran-keinginan antara beberapa
orang yang berhubungan secara tatap muka.
Selanjutnya, alat komunikasi lainnya berbentuk: rapat-rapat. Misalnya rapat
kerja, rapat mingguan, rapat rutin, rapat bulanan, rapat tahunan dan lain-lain.
Rapat tersebut dapat dibagi dalam rapat pimpinan, rapat staf, dan rapat pimpinan
dengan bawahan, yang semuanya diharapkan menjadi forum komunikasi dan
dialog yang baik, lancar dan terbuka agar orang dapat masukan informasi serta
wawasan yang jelas; dan penting sekali bagi penentuan keputusan kebijaksanaan
di masa-masa mendatang.
III. Pengambilan Keputusan
Dalam kondisi ketidakpastian dengan banyak perubahan yang mendadak, maka
aktivitas pengambilan keputusan merupakan unsur yang paling sulit dalam
manjemen, namun juga merupakan usaha yang paling penting bagi pemimpin.
Dalam pengambilan keputusan tersebut tercakup kemahiran menyeleksi dan
menentukan keputusan yang paling tepat dari sekian banyak alternatif jawaban
atau pemecahan masalah. Selanjutnya karena dibebani tanggung jawab etis, maka
merupakan tugas yang cukup berat untuk memastikan satu keputusan di tengah
situasi yang tidak menentu, yang berlum dikenal sebelumnya, atau yang sering
muncul dengan mendadak.
Khususnya, perngambilan keputusan tersebut terasa sangat sulit ditengah
masyarakat pluralistis yang memiliki macam-macam ideologi, kemauan, dan
interest sendiri-sendiri. Sebab dalam masyarakat sedemikian pasti banyak
keanekaragaman, rivalitas dan konflik/pertentangan. Maka konflik dan oposisi
menjadi way of life dalam masyarakat modern, dengan banyak konflik dan
interorganisasi dan antar organisasi, yang jelas menyulitkan pemimpin dalam
mengambil keputusan yang paling benar.
Dalam kondisi sedemikian. KEPEMIMPINAN merupakan fungsi dari
keefektifan oprasional pada pengambilan keputusan di satu organisasi atau
administrasi. Jelasnya, apabila pemimpin mampu dengan tangkas, cerdas, cepat
dan arif bijaksana mengambil keputusan yang tepat, maka organisasi atau
administrasi bisa berfungsi secara efektif dan produktif. Sehubungan dengan
uraian di atas maka kepemimpinan itu merupakan kekuatan dinamis yang bisa
menumbuhkan motivasi motivasi, aspirasi, koordinasi dan integrasi pada
organisasi, yang semuanya sangat penting bagi pencapaian tujuan bersama.
H.A. Simon dalam bukunya Administrative Behaviour (1947), mengemukakan
tiga proses dalam pengambilan keputusan, yaitu:
1. Intelgence activity, yaitu proses penelitian situasi dan kondisi dengan wawasan
yang inteligent.
2. Design activity, yaitu proses menemukan masalah, mengembangkan pemahaman
dan menganalisa kemungkinan pemecahan masalah serta tindakan lebih lanjut;
jadi perencanaan pola kegiatan.,
3. Choise activity, yaitu memilih salah satu tindakan dari sekian banyak alternatif
atau kemungkinan pemecahan.
Teori lain yang dikemukakan oleh Stuart Chase dalam bukunya The popers
Study of Mankind (1956). Mengemukakan pendapat sebagai berikut:
Untuk memecahkan macam-macam permasalahan hidup yang dihadapi setiap
hari, terutama masalah yang rumit, manusia selalu diharuskan melakukan pilihan
dari sekian banyak alternatif. Untuk sampai pada satu keputusan, manusia
menggunakan enam carai yaitu:
1. Memohon petunjuk kepada Tuhan yang maha kuasa.
2. Memohon restu dan peunjuk dari orang-orang bijaksana (semakin tua penasihat
tersebut, maka baik atau makin arif petuah-petuahnya).
3. Mendasarkan diri pada firasat atau intusi sendiri
4. Menggunakan akal sehat atau common sense
5. Melandaskan diri pada daya pikir yang logis (logika)
6. Menggunakan cara-cara penyelesaian ilmiah data faktual, analisis, verfikasi,
bukti-bukti.
Enam cara ini bisa diterapkan secara tunggal murni, akan tetapi sering kali orang
mengunakan kombinasi dari beberapa atau keenam cara tersebut di atas.
Bagan pengambilan keputusan ini dapat digambarkan sebagai berikut: