Anda di halaman 1dari 7

Efek Sosial Komunikasi Massa

a. Pengertian Efek Dalam berbagai tulisan, para ahli telah mengemukakan bahwa media masssa merupakan saluran bagi bermacam-macam ide, gagasan, konsep, yang menimbulkan sekian banyak efek bagi masyarakat. Efek tersebut ada yang bersifat langsung, artinya mengenai merela yang dikenai (exposured) media massa yang bersangkutan, tapi ada pula yang tidak langsung. Hasil dari berbagai penelitian hingta kini menyatakan bahwa efek langsung komunikasi massa pada sikap dan perilaku khalayaknya, kecil sekali, atau belum terjangkau oleh teknik-teknik pengukuran yang digunakan sekarang. Bila dibandingkan dengan fenomena sosial yang lain, komunikasi massa mempunyai keunikan dalam hal efek sosial yang ditimbulkannya. Keunikan yang dimksudkan adalah bahwa sifat media massa yang kecuali sebagi pembawa (carrier) dari sejumlah efek, media massa sendiri merupakan suatu institusi yang menimbulkan berbagai efek. Efek media massa dibedakan menjadi dua macam yaitu efek yang segera (immediate effect) ataukah efek yang baru kelihatan kemudian (delayed effect). Efek yang segera merupakan akibat langsung yang terjadi setelah seseorang menkonsumsi media massa. Sedangkan efek yang baru muncul belakangan, terjadi beberapa waktu kemudian setelah seseorang menkonsumsi media massa. Dengan beberapa pembedaan tadi, maka diharapkan pengertian mengenai efek media massa yang kita maksudkan menjadi lebih spesifik dan tegas. Perlunya pembedaan tersebut terutama karena ternyata efek media massa bisa berlainan satu dengan yang lainnya, menurut a. situasi terjadinya komunikasi b. intemsitas peristiwa peristiwa tersebut c. luasnya jangkauan media yang menyampaikan informasi d. efek yang disengaja/dimaksudkan (intended) atau efek tidak disengaja/dimaksudkan (unintended).

b. Efek yang Dikuatirkan dari Media Massa Menyebarluasnya media massa ke seluruh lapisan sosial serta semakin terasanya fungsi dari media media tersebut, menimbulkan beberapa efek sebagai konsekuensi dari hal itu. Diantaranya adalah banyaknya kecaman terhadap yang dipandang sebagai :dosa" media massa. DeFleur (1970) menunjukkan bahwa media massa dianggap bertanggung jawab mengenai terjadinya lima gejala dalam masyarakat, yaitu: (1) membuat selera budaya menjadi rendah (2) menaikkan tingkat kenakalan (3) ikut menyumbang kerusakan moral secara umum (4) menjinakkan massa untuk kepentingan politik (5) menekan kreativitas Secara teoretis, ahli kriminologi Taft dan ngland (1964) mengajukan suatu kerangka konseptual tentang pengaruh surat kabar atas kejahatan. Mereka mendaftar kemungkinankemungkinan tersebut antara lain sebagai berikut: (1) Suatu kabar mengajarkan teknik-teknik kejahatan. (2) Gambaran tentang aspek-aspek yang menunjukkan betapa menarik, menegangkan, dan menguntungkannya suatu kejahatan yang seringkali tersaji dalam surat kabar juga dipandang mempunyai pengaruh yang tidak sedikit pada masyarakat pembaca. (3) Surat kabar tidak jarang secara langsung mengetengahkan aspek-aspek yang mengandung simpati dan pemujaan (heroworship) terhadap pelaku kejahatan tertentu yang menanamkan suatu citra untuk identifikasi. (4) Surat kabar memberikan gambaran tentang unsur-unsur yang memberikan dukungan budaya atas kejahatan. (5) Seringkali disajikan pemberitaan yang cenderung merendahkan penegak hukum ataupun penyajian yang bersifat memvonis atau "trial by the newspaper'. Sedangkan menurut Klapper, berlimpahnya kejahatan dan kejahatan dalam isi media sering diuji dan dalam rincian statistik oleh studi-studi terinci, peneliti individual, dan oleh kelompok-kelompok awam untuk tujuan tersebut.

Teori yang Menjelaskan Peniruan dari Media Massa


a. Teori Peniruan atau Imitasi Efek negatif yang dikuatirkan dari media massa, khususnya yang menyangkut delinkuensi dan kejahatan bertolak dari besarnya kemungkinan atau potensi pada tiap anggota masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan ataupun diperolehnya dari media massa. Pengenaan (exposure) terhadap isi media massa mmungkinkan khalayak untuk mengetahui isi media massa dan kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut. Usaha-usaha untuk mengkaji perilaku meniru secara umum dikaitkan dengan adanya dorongan pembawaan (innate urges) atau kecenderungan yang dimiliki oleh setiap manusia. Menurut pandangan umum ini, manusia cenderung untuk meniru perbuatan orang lain, sematamata karena hal itu merupakan bagian dari "sifat" biologis (part of biological"nature") mereka untuk melakukan hal tersebut.

b. Teori Identifikasi Dalam kehidupan sehari-hari orang sering mengidentifikasikan dirinya pada seseorang yang dikagumi. Orang tersebut lalu berusaha menyamai tokoh yang diidealkan itu, dalam tingkah laku ataupun dalam penampilannya, sehingga ia tampak identik dengan sang tokoh. Dalam hubungan ini teori identifikasi menjadi suatu penjelas teoretis yang disukai untuk menjelaskan. Konsep identifikasi mempunyai paling tidak tiga pengertian yang khas, yakni: Pertama, menurut analisi Bronfenbrenner (1960), identifikasi menunjuk kepada perilaku ketika seseorang bertindak atau merasa seperti orang lainv(yang disebut "model") Kedua, identifikasi juga berarti suatu motif dalam bentuk keinginan umum untuk berbuat atau menjadi seperti orang lain. Ketiga, istilah identifikasi mengacu kepada proses atau mekanisme melalui mana anak-

anak menyamai suatu model dan menjadikan diri seperti model itu. Suatu proses peniruan semata-mata (imitation learning) menyangkut lebih sekedar emulasi dari perilaku tertentu dari suatu model. Sedangkan identifikasi merupakan proses yang jauh lebih kompleks, hingga tingkat bermacam-macam, membuat seseorang memberi respons seolah-olah orang lain, yakni tokoh yang dijadikannya model. Mengapa orang mengidentifikasikan diri pada seorang tokoh? Bagi anak-anak dan remaja, dua motivasi penting yang mendorong mereka untuk mengidentifikasikan diri adalah: (1) keinginan untuk memi8liki kekuasaan (a desire for power) dan penguasaan terhadap lingkungan (mastery over the environment) dan, (2) kebutuhan akan asuhan (nurturance) dan perhatian (affecting).

c. Teori Social Learning Umumnya orang membiarkan diri atau sengaja untuk berbuat sesuatu bila hal itu dirasakan menghasilkan suatu imbalan (imbalan) bagi dirinya. Pengertian imbalan di sini tidak semata-mata berarti materi. Imbalan yang bukan berbentuk materi pun seperti rasa puas, rasa senang dan lainlain, menyebabkan orang berminat untuk melakukan perbuatan tertentu, termasuk proses belajar untuk mampu berbuat sesuatu tersebut. Dengan demikian orang sebenarnya menjalani apa yang disebut belajar melalui proses sosial (social learning). Mischel (1971), menjelaskan bahwa teori perilaku memberi peran yang penting bagi penegakan (reinforcement) dan imbalan (reward) dalam belajar. Pentingnya peran tersebut dapat dipahami karena dua alasan. Pertama. reinforcement dan perangsang (insentif) telah ditunjukkan berulangkali sebagai pengaruh yang kuat dalam belajar dan dalam pilihan perilaku pada banyak situasi (setting). Kedua, pada umumnya penelitian tentang belajar lebih banyak mengkaji hewan daripada mengkaji orng. Dan hewan, dianggap memiliki dorongan yang bersifat langsung atas direct reinforcement dan dipandang sebagai suatu mekanisme belajar yang utama. d. Teori Reinforcement Imitasi

Miller dan Dollard (1941) memerinci kerangka teori tentang instrumental conditioning dan mengemukakan ada tiga kelas utama perilaku yang seringkali diberi label 'imitasi', yaitu: (1) same behavior yakni, dua individu memberi respons masing-masing secara independen, tapi dalam cara yang sama, terhadap stimuli lingkungan yang sama. (2) Copying, yakni seseorang individu berusaha mencocokkan perilakunya sedekat mungkin dengan perilaku orang lain (3) Matched-dependent behavior. Seorang individu (pengamat atau pengikut) belajar untuk menyamai tindakan orang lain (model atau si pemimpin) karena, amat sederhana, ia memperoleh imbalan dari perilaku tiruan (imitatifnya) itu. Bandura (1969) mengidentifikasi efek-efek yang ditimbulkan oleh eksposure terhadap perilaku dan hasil perbuatan (outcomes) orang lain adalah: (1) Inhibitory & Disinhibitory Effects. (Efek malu dan tidak memalukan. Efek inhibitory merupakan efek yang menyebabkan orang lain yang menyaksikan perilaku tertentu menjadi malu atau menahan diri untuk melakukan atau mengulangi perbuatan yang sama. Sedangkan efek "disinhibitory" merupakan efek yang menyebabkan orang tidak malu untuk melakukan atau mengulangi perbuatan yang dilihatnya. (2) Response facilitating effects. Bahwa kesempatan untuk melihat (eksposure) kepada tindakan orang lain dapat berfungsi memudahkan (facilitate) penampilan bermacam perilaku yang menurut biasanya tidak dilarang (which are not ordinarily prohibited or forbidden). (3) Observational learning. Bila seseorang yang melihat (observer) dikenai (eksposured) perilaku dari suatu model sosial, maka dapat terjadi efek observational learning. Observational-learning ditentukan oleh empat proses pengamatan (observasional) yang distink (khas) tapi saling berkaitan, yaitu: 1. Attention 2. Retention 3. Motoric Reproduction 4. Faktor insentif atau motivasional Tingkat perhatian seorang observer dipengaruhi faktor-faktor:

A. Karakteristik yang bersangkutan, seperti Daya tarik (attractiveness) Kompetensi (competence) Status Kekuasaan sosial (social power)

B. Karakteristik si observer sendiri, seperti Self esteem Status sosioekonomi

e. Teori Model Sosial (social modelling) Dalam banyak situasi, perilaku kita dipengaruhi secra kuat hanya karena suatu kesempatan mengamati tindakan ataupun hasil perbuatan (result orang lain. Exposure (kegiatan menyamar) kepada tindakan orang lain dapat menyebabkan seseorang meniru apa yang dilihatnya itu, atau justru mengambil tindakan yang berbeda sama sekali dari apa yang dilihatnya itu. Selain itu, exposure kepada orng lain juga mempengaruhi keadaan emosional (emotional state) seseorang. Itulah yang dimaksud dengan proses modelling.

f. Peniruan dan Perilaku Agresif Sebenarnya perilaku seseorang diarahkan oleh keyakinannya. Orang berbuat sesuatu dalam konteks keyakinannya tentang arti dari tindakannya, perbuatan apa yang tepat untuk latar tertentu, dan respons apa yang dapat diharapkan dari orang lain. Suatu tindakan muncul dari keyakinan

mengenai dunia dan bagaimana seseorang seharusnya memberi respons terhadap hal itu. Himmelweit, Oppenheim dan Vince (1958) meneliti 1854 anak berusia 10 - 11 tahun 13 14 tahun yang dibagi menjadi "penonton" yang mmiliki TV di rumah, dan "control" yang tidak mempunyai TV di rumah dan juga bukan penonton tamu yang reguler. Anggota kedua kelompok lalu dipasangkan menurut jenis kelamin, umur, intelijensi, dan latar belakang sosial, dan sejauh mungkin dipilih dari sekolah yang sama. Empat hasil penting dari penelitian tersebut adalah: (1) Tingkat ketergantungan anak berhubungan dengan aalat apa yang dipakai untuk melakukan kekerasan (2) Kekerasan yang mengikuti suatu pola konvensional, yang hasilnya dapat diduga, jelas hanya mengganggu beberapa anak saja. (3) Anak-anak tampak leih sensitif terhdap tindak agresi yang bersifat verbal ketimbang fisik. (4) Real violance lebih kecil kemungkinannya menakutkan anak ketimbang program fiksi, tapi di pihak lain, real violance lebih banyak yang tidak menyukainya.

Anda mungkin juga menyukai