Abstrak
Penelitian ini berupaya menghadirkan pengelolaan pendidikan agar tidak hanya
bertumpu pada sisi normatif, hanya menyatakan dan menggambarkan (description),
akan tetapi perlu di transformasikan dalam bentuk tindakan performatif, yaitu tindakan
aktual dan konkrit. Salah satu upayanya adalah bagaimana mensinergikan pendidikan
karakter berbasis sīrah Nabawiyah. Strategi ini bukan mustahil, tetapi solusi alternatif
bagi persoalan-persoalan pelik kehidupan manusia modern saat ini. Dinamika
perkembangan zaman akan terus bergulir termasuk dunia pendidikan, maka diperlukan
upaya-upaya mendekonstruksi teks-teks jumud yang selama ini berkembang di dunia
pendidikan.
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis pembelajaran sīrah Nabawiyah
dengan mendirikan sebuah markaz sīrah Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan
sebuah center pusat studi (edukasi, riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau
rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Sebut saja edukasi yang
merupakan salah satu kegiatan tersebut, menyajikan beberapa program kerja, yaitu:
pertama, halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat berbasis Masjid, kedua,
pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada keluarga. Untuk
menyampaikan pesan bahwa pelaksanaan Mawaris merupakan fardlu kifayah pada
setiap kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-Nisa’:7) yang
merupakan bagian Mawaris, ketiga, Kajian Islam Dasar Intensif (KDII), yaitu kajian,
materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum yang terkait dengan sīrah
Nabawiyah. Sebagaimana al-Qur’an menjelaskan dalam surat al-Ahzab 33/21, bahwa
Rasulullah merupakan central figur dalam pembentukan karakter.
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Filsuf Postmodern Jean Baudrillard menyatakan, bahwa dunia yang dilanda
demam modernisasi dan globalisasi berimplikasi adanya pergeseran nilai. Era ini
ditandai dengan mencairnya batas-batas normatif sehingga sesuatu yang sakral menjadi
semakin hilang, semua persoalan dan informasi menjadi ranah publik yang bebas
diperbincangkan dan dikonsumsi secara umum. Persoalan dalam perspektif sosial
keagamaan masuk kedalam wilayah tabu dan sakral, saat ini terdekonstruksi secara
massif. Manusia dilihat hanya sebagai simbolisasi angka- angka statistik demografis
yang dipandang dan dihadirkan tanpa perasaan dan hati nurani. Jiwa manusia direduksi
sedemikian rupa bagaikan sosok-sosok robot mekanis yang tunduk (determinitation)
pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi. 1 Fromm menyebut
keadaan sebagaimana tersebut di atas sebagai “nestapa manusia modern”, yang hidup
serba dilematis-pragmatis, pesimis, hipokrit dan materialistik.2
Untuk mewujudkan nilai-nilai karakter dalam kepribadian perlu ditekankan tiga
komponen (components of good character) penting yakni, pertama, moral knowing
(pengetahuan tentang moral), kedua, moral feeling (perasaan tentang moral), dan ketiga,
moral action (tindakan moral). Moral knowing adalah adanya kemampuan seseorang
membedakan nila-nilai akhlak mulia dan akhlak tercela serta nilai-nilai universal.
Termasuk memahami secara logis dan rasional (bukan secara dogmatis dan doktrin)
pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan. Hal itu dilakukan
lewat pengenalan sosok Nabi Muhammad saw. sebagai figur teladan akhlak mulia
melalui hadis-hadis dan sunahnya. Sedangkan moral feeling dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia, sehingga
tumbuh kesadaran dan keinginan serta kebutuhan untuk menilai dirinya sendiri. 3
1
Muhajir, As’aril, 20011, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, hal. 38.
2
Fromm, Erich. 1972. Psychoanalysis and Religion, Yale University Press, h. 32.
3
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja
Rosdakaya, 2012), h. 112.
3
Adapun moral action adalah menampakkan pembiasaan perilaku-perilaku yang baik dan
terpuji pada diri seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan ketiga komponen di atas dipahami, bahwa karakter yang baik harus
didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan
kemampuan melakukan perbuatan baik. Dengan kata lain, indikator manusia yang
memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki
keinginan untuk berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren
memancar sebagai hasil dari 5 (lima) olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah raga, olah
rasa, dan olah karsa.4
Maka Pendidikan karakter merupakan upaya mempengaruhi segenap pikiran
dengan sifat-sifat batin tertentu, sehingga dapat membentuk watak, budi pekerti, dan
mempunyai kepribadian.5
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang diatas, rumusan masalah yang akan dibahas penulis, adalah
tentang sīrah Nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an.
C. TUJUAN PENULISAN
4
Ibid
5
Ibid, h. 1149
4
D. MANFAAT PENULISAN
E. BATASAN MASALAH
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Sudah banyak penelitian yang meneliti sīrah nabawiyah, tetapi sejauh ini
peneliti belum menemukan penelitian tentang sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan
karakter dalam perspektif al-Qur’an. Diantara penelitian yang meneliti sīrah nabawiyah
adalah:
Ketiga, buku yang ditulis oleh Quraish Shihab, Membaca Sirah Nabawiyah
Dalam Sorotan al-Qur’an dan Hadis-Hadis Shahih, menjelaskan bahwa sīrah
nabawiyah bermula dan bertitik tolak dari bahasan tentang al-Qur’an dan Sunnah yang
kemudian ditemukan pula celah uraian tentang al-Qur’an dan Sunnah.
Perbedaan penyusunan paper ini dengan beberapa buku tersebut di atas adalah
tokoh dan sumber datanya, namun masih akan dilaksanakan riset kelayakan materi
sīrah nabawiyah praktis yang disusun oleh sīrah nabawiyah. Paper ini menjelaskan
sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter.
6
BAB III
METODOLOGI PENULISAN
A. TAHAP PENULISAN
Adapun metodologi penulisan atau sistematika penulisan pada penelitian ini,
dibagi dalam 5 bab:
Pada bab I adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
rumusan masalah, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan kegunaan penelitian,
serta diakhiri dengan uraian tentang batasan masalah.
Bab kedua, membahas mengenai kajian pustaka
Bab ketiga, membahas mengenai metodologi penulisan atau sistematika
penulisan dan pembahasan
Bab keempat, pembahasan dimana penelitian ini membahas tentang sīrah
nabawiyah sebagai basis pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an, mulai
dari epistemologi sīrah nabawiyah, sīrah nabawiyah sebagai basis pendidikan
karakter, pendidikan karakter dalam perspektif al-Qur’an
Bab kelima, akan memaparkan kesimpulan dari keseluruhan pembahsan diatas
dan saran-saran.
B. KERANGKA BERPIKIR
Secara spesifik, term sīrah Nabawiyah disebut beberapa kali dalam al-Qur’an.
Nama Muhammad misalnya, disebut beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya adalah
Qs. Al-Imran 3/144, Qs. Al-Ahzab 33/40, Qs. Muhammad 47/2, dan Qs. Al-Fath 48/29.
Kepribadiannya juga mendapatkan pujian dalam al-Qur’an (Qs. Al-Qalam 68/4).
BAB IV
PEMBAHASAN
Nama Muhammad misalnya, disebut beberapa kali dalam al-Qur’an, diantaranya adalah
6
Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dar Sadir, t.th.), vol.4, h. 390.
7
Badri Yatim, Historiografi Islam, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h. 196.
8
Sa’d al-Mursifi, al-Jami’ al-Sahih Li al-Sirah al-Nabawiyah, (Kuwait: Maktabah al-Manar al-Islamiyah,
1994), h. 62.
9
Zakaria Bashier, Sunshine at Madinah, (Leicester: The Islamic Foundation, 1990), h. 11.
10
Sa’id Ramadan al-Buti, Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah Ma’ Mujaz Li Tarikh al-Khilafah al-Rashidah,
11
Dirasah Manhajiyah ‘Ilmiyah Lisirah al-Mustafa Salla Allahu ‘Alaih wa Sallam wa Ma Yantawi ‘Alaih
Min ‘Izat wa Mabadi’ wa Ahkam (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), h. 15.
9
Qs. Al-Imran 3/144, Qs. Al-Ahzab 33/40, Qs. Muhammad 47/2, dan Qs. Al-Fath 48/29.
12
John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Cet. VII, (Jakarta: Gramedia, 1979), h.
107.
13
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, Cet. XVI, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 1811.
14
Ibid, h. 682.
15
Ibid, h. 1149
16
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, Cet. II, (Bandung: Remaja
Rosdakaya, 2012), h. 112.
10
Berdasarkan ketiga komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik
harus didukung oleh pengetahuan tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan
kemampuan melakukan perbuatan baik.17 Dengan kata lain, indikator manusia yang
memiliki kualitas pribadi yang baik adalah mereka yang mengetahui kebaikan, memiliki
keinginan untuk berbuat baik, dan nyata berperilaku baik, yang secara koheren
memancar sebagai hasil dari 5 (lima) olah, yaitu: olah pikir, olah hati, olah raga, olah
rasa, dan olah karsa.
Pendidikan sīrah nabawiyah merupakan upaya agar peserta didik mendapatkan
gambaran sosok ideal dan contoh mulia dalam seluruh aspek kehidupannya. Sebagai
apapun status orang di tengah masyarakat, ia akan mendapati contoh terbaik itu ada
pada diri Rasulullah Muhammad saw. karena Allah telah menjadikannya qudwah bagi
seluruh manusia sebagaimana tercantum dalam Firman Allah Surat Al-Ahzab ayat 21. 18
Maka pertanyaannya adalah, bagaimana pendidikan karakter berbasis sīrah Nabawiyah
mampu memberdayakan kemampuan peserta didik dalam menjawab persoalan
kehidupan manusia?
Salah satu upayanya adalah memperkuat basis pembelajaran sīrah Nabawiyah
dengan mendirikan sebuah markaz sīrah Nabawiyah yang nantinya akan dijadikan
sebuah center pusat studi (edukasi, riset, dan penerbitan) tentang sīrah Nabawiyah atau
rekam jejak perjalanan hidup dan perjuangan Rasulullah saw. Program kegiatan
diantaranya, edukasi yaitu: pertama, halaqah kitab sīrah Nabawiyah pada masyarakat
berbasis Masjid, kedua, pendidikan intensif Ilmu Mawaris (teori dan praktik) kepada
kifayah pada setiap kematian atau dengan mengaplikasikan asbabun Nuzul (surat an-
Nisa’:7) yang merupakan bagian Mawaris, ketiga Kajian Islam Dasar Intensif (KDII),
Ibid
17
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIV (Jakarta: Lentera
18
yaitu kajian, materi, dasar tentang keislaman kepada masyarakat umum yang terkait
19
Musthafa as-Shiba’I, Ringkasan Sirah Nabawiyah, cet. 1, (Banyuanyar Solo: Ahad Books, 2013), h. 10.
20
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, (Bandung: Syamil Cipta Media, t.th), h.
564.
21
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, vol. XIV (Jakarta: Lentera
Hati, 2002), h. 244.
12
“(Demi Allah) Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang-orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari Kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”22
Quraish Shihab mengemukakan, bahwa Zamakhsyari ketika menafsirkan ayat di
atas ada dua kemungkinan tentang maksud keteladanan yang terdapat pada diri Rasul
itu. Pertama, dalam arti kepribadian Rasulullah secara totalitasnya adalah teladan.
Kedua, bahwa dalam kepribadian beliau terdapat hal-hal yang patut diteladani. Pendapat
pertama lebih kuat dan merupakan pilihan banyak ulama.23
Dari keterangan di atas, dapat dijelaskan bahwa konsep pendidikan karakter
dalam al-Qur’an, dapat ditemukan melalui tiga dimensi, yaitu pertama, akhlak kepada
Allah (kecerdasan spiritual), kedua, akhlak terhadap diri sendiri (kecerdasan emosional),
ketiga, akhlak terhadap makhluk Tuhan yaitu manusia dan lingkungan (kecerdasan
sosial).
Akhlak kepada Allah dapat di implementasikan dalam bentuk ketaatan,
keikhlasan, syukur, sabar, tawakkal, mahabbah, dan sebagainya. Dengan kata lain,
akhlak ini lebih mengacu pada keterampilan, kemampuan, dan usaha untuk
mengembangkan dan mempertahankan hubungan dengan Allah atau dengan istilah
lainnya “kecerdasan spiritual”. Kecerdasan ini melahirkan kepekaan yang mendalam
dalam rangka menegaskan wujud Tuhan, melahirkan kemampuan untuk menemukan
makna hidup, serta memperhalus budi pekerti. Inilah yang melahirkan apa yang di
istilahkan dengan mata ketiga atau indera keenam bagi manusia, sehingga mampu
mengantarnya menuju serta memuja suatu realitas yang Maha sempurna, tanpa cacat,
tanpa batas, dan tanpa akhir, yakni Allah. Adapun tolok ukur kecerdasan ini dilihat dari
segi sejauh mana intensitas komunikasi spiritual seseorang dengan Tuhan-Nya yang
termanifestasi dalam bentuk frekuensi do’a, kedalam mahabbah yang bersemayam
dalam hati, serta rasa syukur kehadirat-Nya.24
BAB V
22
Departemen Agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya, op. cit., h.420.
23
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Tematik Atas Pebagai Persoalan Umat, Cet. I, (Jakarta:
Mizan, 2013), h. 70. Lihat pula Vol. 10, h. 439.
24
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, Memfungsikan Wahyu Dalam Kehidupan, Jilid 2, Cet. I,
(Jakarta: Lentera Hati, 2011), h. 206.
13