Anda di halaman 1dari 11

EPISTEMOLOGI TRADISI KEILMUAN ISLAM

Oleh: Muhammad Thoriqul Islam, Andika Rahmat, Achmad Fawwas Gibran / AF*

Abstrak

Dalam tradisi keilmuan Islam, terdapat tiga pola epistemologi, Bayânî, Irfani, dan
Burhani dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Makalah ini berusaha
menyajikan kekuatan dan kelemahan ketiga epistemologi Islamic Studies tersebut,
sekaligus berusaha menentukan hubungan yang mutualistis diantara ketiganya sehingga
menghasilkan wajah tradisi keilmuan Islam yang up to date dengan tanpa
mengorbankan dimensi transendentalitas dalam Islam.

Kata Kunci: Epistemologi Bayani, Irfani, dan Burhani

PENDAHULUAN

Epistemologi adalah cabang filsafat yang bicara tentang pengetahuan atau ilmu.
Episteme (Michael Faucoult), punya padan kata jika reason (Immanuel Kant), al-‘aql
seperti al-‘aql al-islami (Mohammad Arkoun), ‘aql al-‘araby (Mohammad Abed al-
Jabiri), juga di identikkan dengan kata discourse dan paradigma/ scientific paradigm
(Thomas S. Kuhn). Semua itu berarti, pola pikir kolektif yang di atasnya tumbuh
kembang ilmu pengetahuan, tradisi, budaya dan juga peradaban. Wujud dari Episteme
adalah aliran-aliran pemikiran besar mazdhab.1

Lahirnya ilmu pengetahuan menempati posisi yang sangat penting dalam Islam,
sejarah telah mengungkapkan ilmu hadir bersamaan dengan munculnya Islam itu
sendiri. Tepatnya dalam peristiwa ketika Rasulullah SAW menerima wahyu pertama,
mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca”.2 Jibril memerintahkan
Muhammad: “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhan -mu yang menciptakan” QS.
al-’Alaq (96:1).3 Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang kali

1
*Mahasiswa Prodi Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UNIDA GONTOR
Muhammad Muslih, “Filsafat Ilmu dan Posisinya Dalam Kegiatan Ilmiah”, dalam Sujiat Zubaidi dan
Muhammad Muslih, Kritik Epistemologi dan Model Pembacaan Kontemorer, (Yogyakarta: Lesfi, 2013),
hal.6
2
Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), cet.iii, hlm. 32.
3
Departernen Agama R1, Al- Hikmah Al-Quran dan Terjemahannya (Bandung: Diponegoro), hlm. 597.

1
sampai Nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra inilah kemudian lahir
aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri
sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak.4

Integrasi keilmuan sangat diperlukan dalam membangun dunia Islam. Ilmu


pengetahuan yang telah masuk karena bipolar- dikotomis tidak akan sanggup mencapai
kesejahteraan manusia. Untuk itu mempelajari filsafat ilmu, dengan memahami konsep-
konsep Islam dan tradisi keilmuan dengan baik, akan meluruskan persepsi manusia yang
salah, akan meluaskan pandangan yang sempit, dan akan mengembalikan kejayaan
Islam di mata dunia. Saat ini bukan masanya lagi disiplin ilmu agama (Islam)
menyendiri dan steril dari kontak dan intervensi ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam
dan begitu pula ilmu-ilmu sosial dan alam tidak boleh steril dari keilmuan Islam.5

Tradisi Keilmuan Islam

Menurut Dr Hamid Fahmy Zarkasyi, proses tradisi keilmuan dalam Islam lahir
dari pandangan hidup yang berasaskan al-Qur’an, sehingga tidak terlepas dari
hubungannya dengan Tuhan. Al-Qur’an mengajarkan Umat Islam untuk menggali ilmu
pengetahuan. Di dalam al-Qur’an terdapat perintah mencari ilmu, perintah berpikir,
mengamati dan berzikir, penghargaan terhadap pencari ilmu, dan menjadikan ilmu
sebagai alat hidup di dunia dan akhirat, dan berbagai keistimewaan lain bagi pencari
ilmu. Islam adalah agama yang sarat dengan ajaran yang mendorong timbulnya ilmu
pengetahuan yang nantinya akan melahirkan generasi ulama yang intelek.

Pandangan hidup Islami yang berasal dari al-Qur’an sangat mengakar kuat
dalam tradisi keilmuan Islam. Sehingga Alparslan Acikgence dalam bukunya, Scientific
Thought, menyimpulkan bahwa tradisi keilmuan Islam secara epistemologis terwujud
karena adanya pandangan hidup (worldview), yaitu pandangan yang memiliki konsep-
konsep yang canggih yang menjadi asas epistemologis bagi aktivitas keilmuan tersebut.

4
M.Quraish Shihab, Wawasan AI-Quran: Tairsir Maudu’I atas Berbagai Persoalan Umat, Cet. 12;
Bandung: Mizan, 200 1, cet.xii. hlm. 433.
5
M. Amin Abdullah, at.al, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, Yogyakarta: Penerbit
Suka Press, 2007, cet. i. hlm. 33

2
Dengan adanya konsep yang canggih para ilmuwan yang terlibat akhirnya dapat
mengembangkan istilah-istilah teknis dan bahasa khusus untuk itu.6

Al-Qur’an menempatkan ilmu dan ilmuwan dalam kedudukan yang tinggi


sejajar dengan orang-orang yang beriman (QS: al-Mujadilah: 11). Banyak Nash al-
Qur’an yang menganjurkan manusia untuk menuntut ilmu, bahkan wahyu yang pertama
kali turun, adalah ayat yang berkenaan dengan ilmu, yaitu perintah untuk membaca
seperti yang terdapat dalam surat al-‘Alaq ayat 1-5. Artinya: “Bacalah dengan
(menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari
segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar
(manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia tentang apa yang tidak
diketahuinya.7

Di samping itu, al-Qur’an menghargai panca indera dan menetapkan


bahwasanya indera tersebut adalah menjadi pintu ilmu pengetahuan. (QS.Al-Nahl: 78)
Syekh Mahmud Abdul Wahab Fayid mengatakan bahwa ayat ini mendahulukan
pendengaran dan penglihatan dari pada hati disebabkan karena keduanya itu sebagai
sumber petunjuk berbagai macam pemikiran dan merupakan kunci pembuka
pengetahuan yang rasional.8

Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab mengatakan, bahwa


seluruh cabang ilmu pengetahuan yang terdahulu dan yang kemudian, yang telah
diketahui maupun yang belum, semua bersumber dari al-Qur’an al-Karim.9

Dr. M. Quraish Shihab mengatakan, membahas hubungan al-Qur’an dan ilmu


pengetahuan bukan dinilai dengan banyaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang
tersimpul di dalamnya, bukan pula dengan menunjukkan kebenaran teori-teori ilmiah.
Tetapi pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu

6
Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burdens: an Essay in History and Philoshopy of
Science, Istanbul: Fatih Universitesi Yayinlari, 2000, hlm. 118-126.
7
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Madinah Almunawwarah: Mujamma’ al-Malik Fahd
Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H, hlm. 1079.
8
Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah, diterjemahkan oleh Judi Al.Falasany,
“Pendidikan Dalam al-Qur’an” , Semarang: Penerbit CV.Wicaksana, 1989, hlm. 23-24.
9
Quraish shihab, Membumikan Alquran, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, cet. i. hlm .41.

3
sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam al-Qur’an terdapat ilmu matematika, ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dan ilmu lainnya, tetapi yang lebih utama adalah
melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau
sebaliknya, serta adakah satu ayat al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil penemuan
ilmiah yang telah mapan?10

Kuntowijoyo mengatakan bahwa al-Qur’an sesungguhnya menyediakan


kemungkinan yang sangat besar untuk dijadikan sebagai cara berpikir. Cara berpikir
inilah yang dinamakan paradigma al-Qur’an, paradigma Islam. Pengembangan
eksperimen-eksperimen ilmu pengetahuan yang berdasarkan pada paradigma al-Qur’an
jelas akan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan. Kegiatan itu mungkin menjadi
pendorong munculnya ilmu-ilmu pengetahuan alternatif. Jelas bahwa premis-premis
normatif al-Qur’an dapat dirumuskan menjadi teori-teori empiris dan rasional. Struktur
transendental al-Qur’an adalah sebuah ide normatif dan filosofis yang dapat dirumuskan
menjadi paradigma teoretis. Ia akan memberikan kerangka bagi pertumbuhan ilmu
pengetahuan empiris dan rasional yang orisinil, dalam arti sesuai dengan kebutuhan
pragmatis umat manusia sebagai khalifah di bumi. Itulah sebabnya pengembangan teori-
teori ilmu pengetahuan Islam dimaksudkan untuk kemaslahatan umat Manusia.11

Dua pemikir Muslim yang secara intens menggagas dan mengembangkan


paradigma atau gugus pikir keilmuan Islam, dia adalah Alparsalan Acikgenc, Guru
Besar Filsafat pada Fatih University Istambul Turki. Ia mengembangkan empat
paradigma atau pandangan dunia Islam sebagai kerangka komprehensif keilmuan Islam,
yaitu: (1) iman sebagai dasar struktur dunia (world structure, iman); (2) ilmu sebagai
struktur pengetahuan (knowledge structure, al-'ilm); (3) fikih sebagai struktur nilai
(value structure, al-fiqh); dan (4) kekhalifahan sebagai struktur manusia (human
structure, khalîfah).12

Dalam menjelaskan pandangan dunia Islam yang di dalamnya terdapat struktur


keilmuan yang menjadi gugus fikir atau paradigma keilmuan Islam ia menyatakan:

10
Ibid.,hlm. 41.
11
Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005, Cet. ii, hlm.25-26.
12
Alparslan Acikgenc, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam & Science: Journal of Islamic
Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1, hal. 102.

4
“As it is seen all structures are dominated by a doctrinal concept around which a
network of integrated concepts and notions are formed. The world structure is the
framework from which our conception of the universe and humankind in it arises. A
person having such a mental framework in mind gives meaning to existence
according to this structure. It is, as such, the most fundamental framework on which
all other structures are built. It is clear from the Qur'an that this structure has three
fundamental elements: God, prophethood and the idea of a final judgment, all of
which lead to an understanding of man, religion and knowledge, as suchit constitutes
the fundamental metaphysics of Islam. These fundamental concepts are integrally
woven into the Islamic vision of reality and truth, which, as an architectonic mental
unity, acts as the foundation of all human conduct, and as the general framework out
of which follow all other frameworks. Thus comes next the knowledge structure as a
fundamental element of the Islamic worldview. Since the activity at hand is science
we need to examine only the frameworks established thus far. Therefore, I shall not
discuss the value and human structures in this context.” 13

Pandangan Alparslan Acikgenc tentang pandangan dunia Islam itu, didasarkan


pada epistemologi ilmu pada umumnya, yaitu:

1. Kerangka yang paling umum atau pandangan dunia (the most general framework
or worldview).
2. Dalam pandangan dunia itu kerangka pemikiran mendukung keseluruhan
aktivitas epistemologi yang disebut dengan struktur pengetahuan (within the
worldview another mental framework supporting all our epistemological
activities, called "knowledge structure").
3. Rencana konseptual keilmuan secara umum (the general scientific conceptual
scheme).
4. Rencana konseptual keilmuan secara spesifik (the specific scientific conceptual
scheme).14

13
Ibid, hal 102-103.
14
Ibid, hal 102-103.

5
Mencermati beberapa konsep keilmuan di atas dapat dijadikan sebuah dasar
bahwa pola keilmuan dalam Islam senantiasa tidak terlepas dari sunnatullah, Tetapi
pembahasan hendaknya diletakkan pada proporsi yang lebih tepat sesuai dengan
kemurnian dan kesucian al-Qur’an dan sesuai pula dengan logika ilmu pengetahuan itu
sendiri. Tidak perlu melihat apakah di dalam Al-Quran terdapat ilmu matematika, ilmu
tumbuh-tumbuhan, ilmu komputer dan ilmu umum lainnya, tetapi yang lebih utama
adalah melihat adakah jiwa ayat–ayatnya menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan atau
sebaliknya, serta adakah satu ayat saja dalam al-Qur’an yang bertentangan dengan hasil
penemuan ilmiah yang telah ada.

Basis Epistemologi Keilmuan Islam

Dalam kajian pemikiran Islam terdapat beberapa aliran besar dalam kaitannya
dengan teori pengetahuan (epistemologi). Setidaknya ada tiga model sistem berpikir
dalam Islam, yakni bayani, burhani dan irfani, yang masing-masing mempunyai
pandangan yang sama sekali berbeda tentang pengetahuan.

1. Model Berpikir Bayani

Secara bahasa, bayani bermakna sebagai penjelasan, pernyataan, ketetapan. 15


Sedangkan secara terminologis, bayani berarti pola pikir yang bersumber pada nash,
ijma’, dan ijtihad. Jika dikaitkan dengan epistemologi, maka pengertiannya adalah studi
filosofis terhadap struktur pengetahuan yang menempatkan teks (wahyu) sebagai sebuah
kebenaran mutlak. Adapun akal hanya menempati tingkat sekunder dan bertugas hanya
untuk menjelaskan teks yang ada.

Dalam tradisi keilmuan Islam, corak bayani sangat dominan. Dengan segala
karakteristiknya, corak bayani bukanlah sebuah corak yang sempurna. Salah satu
kelemahannya adalah kurang peduli terhadap isu-isu keagamaan yang bersifat
kontekstual. Padahal, jika ingin mengembangkan pola berpikir bayani, maka mau tidak
mau harus menghubungkan dengan pola berpikir irfani dan burhani. Jika masing-
masing tetap kokoh pada pendiriannya dan tidak mau membuka diri, berdialog, dan
saling melengkapi satu sama lain, sulit rasanya studi Islam dan pengembangan ilmu-
15
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka
Progresif, 1984), hlm. 136.

6
ilmu keislaman mampu menjawab tantangan kontemporer yang terus berkembang tiada
henti.

Dalam tradisi bayani, otoritas kebenaran terletak pada teks (wahyu). Sementara
akal menempati posisi sekunder. Tugas akal dalam konteks epistemologi bayani adalah
menjelaskan teks-teks yang ada. Sementara bagaimana bagaimana implementasi ajaran
teks tersebut dalam kehidupan konkret berada di luar kalkulasi epistemologi ini.16

2. Model Berpikir Burhani

Kata burhani diambil dari bahasa Arab, al-burhan yang berarti argumentasi yang
kuat dan jelas. Sedangkan kata yang memiliki makna sama dengan al-burhan dalam
bahasa Inggris adalah demonstration. Arti dari kata demonstration adalah berfikir sesuai
dengan alur tertentu atau penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu,
pengetahuan demonstratif merupakan pengetahuan yang integratif, sistemik, dan
sistematis. Ciri daripada pengetahuan demonstratif ada tiga. Pertama, pokok bahasannya
jelas dan pasti. Kedua, universal dan tidak partikular. Ketiga, memiliki peristilahan
teknis tertentu.

Menurut Abid al-Jabiri, Burhan adalah aktivitas intelektual untuk membuktikan


kebenaran suatu proposisi dengan cara konklusi atau deduksi. Sedangkan dalam
pengertian umum, burhan merupakan semua aktivitas intelektual untuk membuktikan
kebenaran suatu proposisi.17 Istilah burhani juga dipakai dalam pengertian yang cukup
beragam. Beberapa di antaranya: (1) cara atau jenis argumentasi, (2) argumen itu
sendiri, (3) bukti yang terlihat dari suatu argumen yang meyakinkan.

Metode burhani pada dasarnya merupakan logika, atau metode penalaran


rasional yang digunakan untuk menguji kebenaran dan kekeliruan dari suatu pernyataan
atau teori ilmiah dan filosofis dengan memerhatikan keabsahan dan akurasi
pengambilan sebuah kesimpulan ilmiah.

3. Model Berpikir Irfani

16
Ngainun Naim, Op Cit, hlm. 78-79
17
Ibid , hlm. 82.

7
‘Irfan dalam bahasa Arab semakna dengan ma’rifah yang diartikan dengan
al-‘ilm. Di kalangan sufi, kata ‘irfan dipergunakan untuk menunjukkan jenis
pengetahuan yang tertinggi, yang dihadirkan ke dalam qalb dengan cara kasyf atau
ilham. Di kalangan kaum sufi sendiri, ma’rifah diartikan sebagai pengetahuan langsung
tentang Tuhan berdasarkan atas wahyu atau petunjuk Tuhan.

Dalam konteks pemaknaan terhadap ma’rifah, klasifikasi pengetahuan yang


dilakukan oleh Dzu al-Nun al-Mishri menempatkan ma’rifah sebagai salah satu jenis
pengetahuan khusus di kalangan sufi. Pengetahuan jenis ini, dalam pandangan Dzu al-
Nun, yang disebut pengetahuan hakiki. Dzu al-Nun membagi pengetahuan kepada tiga
jenis yakni; (1) pengetahuan orang awam yang menyatakan bahwa Tuhan itu Esa
dengan perantaraan ucapan syahadat, (2) pengetahuan ulama yang menyatakan bahwa
Tuhan itu Esa menurut logika akal, dan (3) pengetahuan para sufi yang menyatakan
bahwa Tuhan itu Esa dengan perantaraan hati nurani. Pengetahuan jenis pertama dan
kedua baru tahap ilmu, sedangkan pengetahuan ketiga adalah pengetahuan hakiki, yaitu
ma’rifat.18

Epistemologi ‘irfani adalah sebagai jembatan sekaligus menghindari kekakuan


(rigiditas) dalam berfikir keagamaan yang menggunakan teks sebagai sumber utamanya.
Dengan peran dan fungsinya, epistemologi ‘irfani dalam pemikiran Islam menjadi
mekanisme kontrol perimbangan pemikiran dari dalam. Memang, perpaduan antara
“teks” dengan “akal” ternyata tidak selamanya berjalan baik den sesuai harapan. Dalam
kondisi ini, perpaduan ini ternyata juga membawa dampak yang kurang produktif, baik
berupa ketegangan, konflik, dan bahkan dalam batas-batas tertentu dalam bentuk
kekerasan.

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, kami dapat menarik kesimpulan bahwa:

1. Epistemologi keilmuan Islam adalah merupakan asas mengenai cara bagaimana


materi pengetahuan yang menjelaskan tentang keilmuan Islam dan beberapa aspek yang
18
Ngainun Naim, Op Cit, hlm. 89.

8
termasuk di dalamnya yang diperoleh dan disusun menjadi suatu tubuh pengetahuan
yang meliputi sumber dan sarana untuk mencapai ilmu pengetahuan.

2. Dalam kajian pemikiran Islam terdapat beberapa aliran besar dalam kaitannya dengan
teori pengetahuan (epistemologi) yaitu ada tiga model sistem berfikir dalam Islam,
yakni bayani, burhani dan irfani.

a. Model berfikir Islam Bayani bersumber pada teks, baik nash maupun non-nash.

b. Model berfikir Islam Burhani bersumber pada akal dan empirikal.

c. Model berfikir Islam Irfani bersumber pada kasf.

Setiap epistemologi, termasuk di dalamnya ‘irfani, memiliki kelebihan dan


kelemahan. Tidak ada di antara ketiga epistemologi keilmuan Islam tersebut yang
sempurna. Eksistensi ketiganya justru saling melengkapi satu sama lain. Oleh karena
itu, hal yang bijak bukanlah menafikan eksistensi peran masing-masing, tetapi
bagaimana masing-masing epistemologi tersebut menjalankan perannya yang tepat dan
saling melengkapi satu sama lain.

Daftar Pustaka.

Muhammad Muslih, “Filsafat Ilmu dan Posisinya Dalam Kegiatan Ilmiah”,


dalam Sujiat Zubaidi dan Muhammad Muslih, Kritik Epistemologi dan Model
Pembacaan Kontemorer, (Yogyakarta: Lesfi, 2013), hal.6
Amsal Bahtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), cet.iii,
hlm. 32.
Departernen Agama R1, Al- Hikmah Al-Quran dan Terjemahannya (Bandung:
Diponegoro), hlm. 597.
M.Quraish Shihab, Wawasan AI-Quran: Tairsir Maudu’I atas Berbagai
Persoalan Umat, Cet. 12; Bandung: Mizan, 200 1, cet.xii. hlm. 433.
M. Amin Abdullah, at.al, Islamic Studies dalam Paradigma Integrasi-
Interkoneksi, Yogyakarta: Penerbit Suka Press, 2007, cet. i. hlm. 33
Alparslan Acikgenc, Scientific Thought and Its Burdens: an Essay in History
and Philoshopy of Science, Istanbul: Fatih Universitesi Yayinlari, 2000, hlm. 118-126.

9
Departemen Agama RI, Alquran dan Terjemahnya, Madinah Almunawwarah:
Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thibaat al-Mushhaf al-Syarief, 1418 H, hlm. 1079.

Syeikh Mahmud Abdul Wahab Fayid, Al-Tarbiyah Fie Kitab Allah,


diterjemahkan oleh Judi Al.Falasany, “Pendidikan Dalam al-Qur’an” , Semarang:
Penerbit CV.Wicaksana, 1989, hlm. 23-24.

Quraish shihab, Membumikan Alquran, Bandung: Penerbit Mizan, 1992, cet. i.


hlm .41.

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu, Jakarta: Penerbit: Teraju, 2005, Cet. ii,
hlm.25-26.
Alparslan Acikgenc, Holisitic Approach to Scientific Traditions, Islam &
Science: Journal of Islamic Perspective on Science, Volume 1, Juni 2003, Number 1,
hal. 102.

Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,


(Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984), hlm. 136.

10
11

Anda mungkin juga menyukai