Anda di halaman 1dari 46

KONSEP PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KAJIAN SUFISTIK

PERSPEKTIF HABIB LUTHFI BIN YAHYA PEKALONGAN

A. Latar Belakang

Pendidikan adalah suatu bidang yang sangat penting dalam sisi

kehidupan manusia. Hal ini selaras dengan pandangan manusia sebagai

makhluk Tuhan dalam menggali nilai-nilai yang melandasi pendidikan

yang bersumber dari Tuhan. Pendidikan yang mengedepankan

keseimbangankebutuhan materil dan spiritual, individual dan social serta

keseimbangan jasmani dan rohani.

Pada era sekarang, Pendidikan Islam menghadapi banyak

permasalahan serius terutama dalam bidang karakter dalam pribadi

manusia. Diantaranya adalah dengan adanya perkembangan teknologi dan

masuknya beberapa budaya asing yang perlahan mengikis karakter bangsa.

Rasa tanggungjawab terhadap sesama mulai hilang, kepedulian dan

pemahaman kepada bangsa yang penuh kaeanekaragaman ini semakin

berkurang. Akibatnya individualisme semakin dirasakan hampir disemua

kalangan.

Kemudian rusaknya karakter disebabkan karena pendangkalan-

pendangkalan keimanan lalu mengakibatkan semakin dalamnya jurang

pemisah antara idealita dengan realita, antara moral dan tindakan. Pola

hidup umat yang matrealistis yang telah menjiwai sebagian dari umat

Islam inilah contoh kongkret dangkalnya iman seseorang kepada Allah.


Selain itu pola hidup dengan perilaku yang bertolak belakang dengan apa

yang terjadi, kemudian sifat hedonis, gaya hidup yang pesimis yang

melanda sebagian remaja kita. Tidak sedikit pula para pelajar yang enggan

mendekat, mengaji kepada gurunya bagaimana agar memiliki perilaku

sesuai aturan bahkan cenderung malas untuk belajar dan sering melakukan

hal-hal tidak berguna dan merugikan orang lain (tawuran, sex bebas, dan

tingginya angka kriminalitas dikalangan pelajar).

Melihat kondisi yang demikian, terjadinya kerapuhan karakter

yang dimiliki oleh pelajar kita maka pemerintah mulai mendeklarasikan

dan menggalakkan Gerakan Pendidikan Karakter Bangsa, yaitu pada

tanggal 02 Mei 2010 oleh Menteri Pendidikan Nasional Muhammad Nuh,

yang kemudian secara resmi pembangunan karakter bangsa menjadi focus

Pendidikan nasional. Hal ini berpijak pada strategi Pendidikan dan

pembelajaran yang mampu membentuk karakter yang baik dan berakhlak

mulia.

Oleh karenanya Pendidikan hendaknya mampu menyiapkan dan

mendampingi seseorang agar memperoleh kemudahan dalam menjalani

kebutuhan yang sangat beranekaragam itu. Manusia membutuhkan

Pendidikan yang tepat misalnya dengan Pendidikan social agar individu

tersebut mampu bersosialisasi dengan baik, membutuhkan Pendidikan

agama agar bias membimbing dirinya dalam menuju rohani yang dekat

dengan Allah SWT. Serta membutuhkan pula Pendidikan akhlak dan

karakter agar memiliki perilaku yang seirama dengan norma yang baik.
Ilmu Pendidikan akhlak inilah yang dapat membantu seseorang untuk

menghilangkan berbagai kotoran dan penyakit hati yang dapat

menghalangi pemiliknya dari esensi ketuhanan.

Sedangkan dalam peradaban modern ini Krisis spiritualitas

menjadi ciri khas, dan modernitas telah memasuki dunia Islam, namun

hingga saat ini untungnya masyarakat Islam tetap menyimpan potensi

untuk menghindari krisis ini dengan mempertahankan dasar-dasar

spiritualisme Islam agar tetap terjaga kehidupan yang seimbang. Islam

memiliki khazanah spiritualisme yang sangat berharga, yakni Sufisme.1

Dalam konteks inilah Pendidikan Karakter masih belum berhasil

membentuk karakter atau tabiat yang lebih religious, Nasionalis dan

Pluralis. Ketiganya merupakan karakter yang pada sekarang ini semakin

terkikis akibat dari sifat egois dan individualisme tersebut.

Mengatasi krisis moral yang sedemikian rupa adalah dengan

mengembangkan kehidupan yang mengamalkan akhlak tasawuf.

Setidaknya ada tiga alasan mengapa sufisme perlu disosialisasikan pada

masyarakat, pertama, Tasawuf ikut serta dalam menyelamatkan berbagai

peran kemanusiaan dalam kondisi kebingungan akibat hilangnya nilai-nilai

spiritual. Kedua, memperkenalkan literatur dan pemahaman dalam aspek

esoteris dalam Islam. Ketiga, untuk memberikan penegasan kembali

bahwa sesungguhnya aspek esoteris dalam Islam adalah Sufisme.2

1
Syafiq A. Mughni, Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya Aktualisasi,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), Hlm: 182.
2
Abudin Nata, Ahklak Tasawuf, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, cet. 2, 2002), Hlm:
293
Oleh karena itu Kajian Sufistik dalam konteks pengembangan

karakter sangatlah penting. Dengan memahami ilmu ilmu tasawuf inilah

yang kemudian memunculkan akhlak dan karakter yang baik dan

memungkinkan baik pelajar maupun masyarakat untuk tidak melakukan

hal-hal negative yang melenceng dari norma agama.

Selanjutnya berdasarkan hal ini maka menurut hemat penulis perlu

adanya kajian yang berwawasan sufistik melalui ilmu tasawuf dalam

upaya membentuk karakter yang bisa mengurangi masalah-masalah

tersebut diatas. Hal ini juga selaras dengan pemikiran Haji Abdul Malik

Karim Amrullah (Hamka) tentang tasawuf modern dan pendidikan Islam,

yang bertujuan untuk menjelaskan pendekatan sufistik dalam pendidikan

Islam guna membentuk akhlak dan ciri kepribadian yang lebih baik.

Selain tokoh Hamka juga terdapat beberapa tokoh sufi Indonesia

salah satunya beliau Abah Habib Luthfi Bin Yahya dari Pekalongan.

Kiprah peran dan kontribusi beliau dalam perkembangan tasawuf

Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Bahkan pada sekarang ini

Habib Luthfi dinobatkan sebagai Pimpinan Sufi Dunia. Oleh karenanya

dalam penelitian ini, penulis mengajak beliau Habib Luthfi sebagai

Sumber Data Utama dengan berpedoman pada literatur dan buku-buku

karya Habib Luthfi.

Dalam banyak bukunya beliau sering memunculkan bagaimana

berperilaku sebagai guru yang mendidik para pelajarnya dengan sangat

ramah dan lembut, dengan berbagai perumpamaan agar para pelajar dan
santrinya mudah memahami dan meresapi dan termotivasi untuk meniru

perilakunya hingga menuntun ke perilaku para Nabi. Sejalan dengan hal

yang melatar belakangi penulisan ini maka penulis mengkaji lebih lanjut

dengan mengangkat judul “Konsep Pendidikan Karakter dalam Kajian

Sufistik Perspektif Habib Luthfi Bin Yahya”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan diatas, maka

disini penulis akan mencoba meengurai kajian sufistik dalam konteks

Pendidikan karakter yang dikutip dari beberapa buku karya Habib Luthfi

dan merumuskan beberapa rumusan masalah yakni :

1. Bagaimana pandangan Habib Luthfi Bin Yahya mengenai

tasawuf ?

2. Bagaimana konsep Pendidikan karakter dalam kajian ilmu

Tasawuf perpektif Habib Luthfi?

3. Bagaimana implikasi kajian sufistik Habib Luthfi Bin Yahya

dalam konteks Pendidikan karakter dalam jenjang Pendidikan

menengah ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian secara umum adalah untuk meningkatkan

daya imajinasi mengenai masalah-masalah yang terjadi di tengah-

tengah masyarakat yang dianggap penting untuk dicarikan solusinya

dalam penelitian. Dalam penelitian ini memilki beberapa tujuan:

a. Corak pemikiran setiap tokoh mempunyai perbedaan,

begitu juga dalam Pendidikan Karakter, oleh karena itu

nilai-nilai Pendidikan Karter merupakan hal yang penting,

maka dalam penelitian dimaksudkan untuk mengetahui,

mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai Pendidikan

Karakter dalam kajian Tasawuf Perspektif Habib Luthfi bin

Yahya serta implikasinya terhadap pendidikan menengah.

b. Pendidikan Karakter yang digagas oleh setiap tokoh

mempunyai keistimewaan masing-masing. Adapun

penelitian yang penulis lakukan adalah untuk memperoleh

pemahaman, memberikan penjelasan, dan menganalisis

implikasi nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam kajian

tasawuf sehingga dapat diteruskan kepada generasi

berikutnya guna membentuk watak dan karakter yang

benar-benar berakhlak mulia dan berkepribadian yang teguh

sesuai dengan nilai-nilai agama Islam.

2. Manfaat Penelitian
Manfaat dari dilaksanakannya suatu penelitian yaitu untuk

pengembangan teori bagi peneliti maupun khalayak umum.

Kegunaan secara rinci dapat dijadikan peta yang menggambarkan

suatu keadaan, sarana diagnosis mencari sebab-akibat. Penelitian ini

memiliki kegunaan sebagai berikut:

a. Dapat dijadikan sumbangan pemikiran bagi pendidikan

Islam yang selama ini mulai nampak terpengaruh dunia

Barat dalam mengolah pendidikannya yang

menjauhkan individu dari nilai-nilai karakter atau

akhlak serta adab menurut world view Islam.

b. Secara akademik, penelitian ini dapat menambah

khazanah pendidikan Islam dan ikut serta dalam

memberikan sumbangan pemikiran terhadap

perkembangan pengetahuan, khususnya dalam bidang

Pendidikan Karakter.

c. Secara eksternal, penelitian dapat dikembangkan lebih

lanjut sebagai upaya peningkatan kualitas pendidikan

Islam khususnya di lembaga pendidikan Islam dalam

membangun peradaban Islam melalui individu-individu

yang berkualitas dan berwawasan tasawuf.

D. Kajian Pustaka

1. Kajian Riset Terdahulu


Penelitian mengenai Pendidikan karakter bukanlah hal baru

dalam dunia Pendidikan. Begitupun penelitian Pendidikan karakter

dalam kajian sufistik, namun tokoh Habib Luthfi dalam penelitian ini

akan menjadi pembeda yang tidak dapat disangkal, selain beliau tokoh

sufi yang sangat ramah dan dikenal dengan keteladanannya. Oleh

karenanya dalam hal ini penulis berusaha mengkaji dan menjadikan

literatur terdahulu sebagai riset kajian yang terkait dengan sufistik

Habib Luthfi Bin Yahya.

Table 1

Tujuan
Judul Penelitian Hasil Penelitian Perbedaan Persamaan Judul
Penelitian
Jurnal : Hasil penelitian ini Penelitian - Persamaan Tujuan
Tarekat Kebangsaan menunjukan dua yang dilakukan pada penelitian
Antropologi Sufi garis besar yakni oleh Imam penelitian dibandingkan
Terhadap Pemikiran pemikiran Habib Hanafi adalah ini adalah penelitian
Nasionalisme Habib Luthfi bin Yahya penelitian pada yang sudah
Luthfi dalam bab Thariqat mengenai Sumber ada adalah
dan pemikiran Thariqat serta utama mengembang
Penelitian
Nasionalisme yang pemikiran kan pada
ini sama-
diungkapkan dalam Nasionalisme penelitian
sama
sebuah karya lagu seorang Habib menggunak sebelumnya.
Padang Bulan. Luthfi. an cara Pemikiran
Sedangkan pandang Tokoh
penelitian yang dan tentang
dilakukan oleh pemikiran tarekat
peneliti disini Habib kebangsaan,
adalah dari Luthfi. maka dalam
segi halini penulis
Pendidikan menggali dan
Karakter mengkaji
menurut tentang
perspektif Pendidikan
Habib Luthfi karakter
melalui
pandangan-
Bin Yahya
pandangan
beliau.
Penelitian
yang ditulis
oleh Badawi
- Penelitian
ini membahas ini
mengenai memiliki Penelitian
Pendidikan persamaan yang sedang
Dalam Penelitian
Ahklak yang dalam digarap ini
ini menjelaskan
dimaknai mengkaji bersifat
beberapa hasil
secara global tentang melengkapi
penelitian
dan tanpa Pendidikan penelitian –
diantaranya adalah
menitikberatka karakter penelitian
Jurnal : pentingnya yang baik.
n pada tokoh Pendidikan
Pendidikan Karakter Pendidikan - Persamaan
Pendidikan karakter
dalam Pembentukan karakter di jenjang dalam
dan ulama. sebelumnya.
Ahklak Mulia sekolah agar pemaparan
Sedangkan Yakni dengan
pelajar mudah dan dan usaha
penelitian yang mengkaji
terbiasa berperilaku implementa
sedang digarap konteks
yang baik sesuai si
oleh peneliti Pendidikan
dengan aturan dan Pendidikan
disini adalah karakter di karakter
norma yang ada
focus pada satu kalangan dalam kajian
aspek pelajar ilmu sufistik.
keilmuan dan ataupun
dari satu santri
pandangan
tokoh
Jurnal : Terdapat dua garis Jurnal yang - Kedua Tujuan
Pendekatan Sufistik besar yang ditulis oleh penelitian penelitian
dalam Pendidikan dihasilkan dari Muhammad ini yang sedang
Islam (Telaah penelitian ini yakni Rifa’I Subhi memeliki digarap
Pemikiran Hamka) : Esensi atau inti ini membahas persamaan adalah untuk
dari pemikiran kajian sufistik yakni focus menambah
tasawuf modern modern dalam penelitian atau
pada kajian
Hamka, ialah pandangan melengkapi
sufistik.
menghendaki Hamka. referensi
- Sumber
kehidupan tasawuf Sedangkan data utama literatur
yakni dengan penelitian yang yang sebelumnya
mencontoh sedang diteliti digunakan dengan
kehidupan oleh peneliti adalah berbeda
kerohanian pemikiran
disini adalah
Rasulullah s.a.w. tokoh agar
kajian sufistik
kemudian yang kajian
dalam konteks
kedua adalah tokoh / mengenai
Pendidikan
menjelaskan ulama sufistik lebih
karakter dalam
Hubungan Tasawuf berkembang
perspektif
Modern dengan dalam dunia
Habib Luthfi
Pendidikan Islam Pendidikan
Tesis : Hasil penelitian ini Penelitian - Dalam Penelitian
Analisis Nilai-nilai memaparkan dua yang dilakukan penelitian yang sedang
Pendidikan Karakter pandangan tokoh oleh Hasan ini digarap ini
pada Buku Siswa Hakim adalah memiliki bersifat
mengenai
Mata Pelajaran penelitian persamaan melengkapi
Pendidikan yakni focus
Pendidikan Agama Karakter yakni Pendidikan penelitian –
Islam dan Budi karakter dalam penelitian penelitian
menurut Thomas dalam
Pekerti (PADBP) buku ajar Pendidikan
Lickona dan Ki Pendidikan
Kurikulum 2013 kurikulum karakter
Hajar Dewantara. karakter.
Sekolah Dasar 2013 menurut sebelumnya.
Thomas Lickona dua tokoh Yakni dengan
beranggapan Pendidikan. mengkaji
bahwa Karakter Sedangkan konteks
mencakup tiga penelitian yang Pendidikan
ranah, yaitu ranah dilakukan oleh karakter
mengetahui peneliti disini dalam kajian
kebaikan, lebih menitik ilmu sufistik.
mencintai beratkan pada
kebaikan, dan kajian sufistik
melakukan dalam konteks
Pendidikan
kebaikan.
karakter dalam
Sedangkan
perspektis satu
pemikiran Ki Hajar
tokoh ulama /
Dewantara proses Habib.
pembelajaran pada
buku mapel PAdBP
sekolah dasar
isinya sudah
mendeskripsikan
sekaligus
mencakup tiga
prinsip yang
termuat dalam
semboyan tut wuri
hanadayani, ing
madya mangun
karsa dan ing
ngarsa sung tulada.

Terdapat
perbedaan
dalam Penelitian
Penelitian ini penelitian yang sedang
Hafid digarap ini
menjelaskan jalan - Penelitian
Khairudin ini bersifat
tasawuf Syeikh ini
Tesis : yang mana melengkapi
Abdul Qadir Al memiliki
Pendidikan Sufistik mengkaji penelitian –
Jailani dengan persamaan
Menurut Syeikh sufistik murni penelitian
Hubungan Tasawuf dalam
Abdul Qadir Al Jailani dan sumber data Pendidikan
dan Relevansinya Modern dalam merelevansika karakter
Pendidikan Islam. pemikiran
terhadap Pendidikan n dengan dunia tokoh sebelumnya.
Islam (Telaah Kitab Tujuan Pendidikan Pendidikan Yakni dengan
ulama
sufistik ini adalah
Al Fath Al Rabbani modern. dalam mengkaji
untuk mendekatkan
wal Fayd Al Rahmani) Sedangkan pandangany konteks
diri kepada Allah
penelitian yang a mengenai Pendidikan
dengan menejemen tasawuf
dikaji sekarang karakter
pembersihan hati
adalah focus dalam kajian
pada konteks ilmu sufistik.
Pendidikan
karakter.

2. Kajian Teori

a. Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah hal yang baru di

Indonesia, sejak awal masuknya kemerdekaan, masa orde lama dan

orde baru hingga masa reformasi sudah diakukan dengan nama dan

bentuk yang berbeda-beda. Akan tetapi hingga saat ini belum

menunjukkan hasil yang optimal.


Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi dari

Pendidikan moral karena Pendidikan karakter tidak hanya

berkaitan dengan masalah benar-salah, tetapi bagaimana

menanamkan kebiasaan tentang hal-hal yang baik dalam kehidupan

sehingga memiliki pemahaman dan kesadaran yang tinggi serta

kepedulian dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian karakter berarti sifat

alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral yang

diwujudkan melalui tindakan nyata dengan perilaku baik, jujur dan

nilai-karakter baik lainnya.3

Karakter berasal dari Bahasa Yunani yang berarti ‘to mark’

atau menandai dan memfokuskan tata cara mengaplikasikan nilai

kebaikan dalam bentuk tindakan dan tingkah laku. Pengertian

Pendidikan karakter menurut Pusat Bahasa Dpediknas adalah

‘bawaan hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku,

personalitas, sifat, tabiat, watak. Adapun para pakar Pendidikan

mendefinisikan Pendidikan karakter salah satunya adalah

Pendidikan akhlak yang melibatkan aspek pengetahuan, perasaan

dan tindakan.

Pendidikan karakter dapat diartikan sebagai Pendidikan

akhlak. Kata akhlak sendiri berasal dari Bahasa Arab yang berarti

budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat, tata krama, sopan

santun adab dan tindakan. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M)


3
Prof. Dr. H.E. Mulyasa, Manajemen Pendidikan Karakter, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2018), Hlm.3
sebagai pakar bidang akhlak mengatakan bahwa akhlak adalah sifat

yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan

perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.4

Jadi bisa dikatakan bahwa Pendidikan karakter adalah

Pendidikan akhlak yang dapat menyentuh ranah kognitif, afektif

dan psikomotorik. Dalam Bahasa Islam ketiga ranah tersebut yakni

ranah akidah, ibadah dan muamalah. Sedangkan dalam Bahasa

tauhid dengan Iman, Islam dan Ihsan. Ketiganya menyatu dan

berpadi dalam jiwa seseorang sehingga akhlak yang terbangun

berlandaskan keimanan, keislaman dan keikhsanan.

Sementara Imam Ghazali mengatakan bahwa akhlak adalah

sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam

perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan

pemikiran dan pertimbangan. Selanjutnya K.H Hasyim Asy’ari

juga menegaskan konsep Pendidikan karakter melalui kitabnya

Adab Al-Ta’lim wa Muta’alim bahkan belajar dan mencari ilmu

dapat diartikan sebagai ibadah mencari ridha Allah dalam rangka

mengantarkan manusia memperoleh kebahagiaan hidup di dunia

dan akhirat serta untuk melestarikan budaya Islam dan tidak

sekedar menghilangkan kebodohan saja.

b. Definisi Tasawuf

4
Dr. Hamdani Ahmad & Drs. Beni Ahmad Saebani, Pendidikan Karakter perspektif Islam,
(Bandung: Pustaka Setia, 2013), Hlm. 43
Sebagai salah satu disiplin ilmu Agama keagamaan,

Tasawuf juga memberi tempat pada jenis penghayatan keagaman

eksetorik / lahiriyah dan esoteric/ thariqah secara bersamaan.

Dalam hal ini peneliti hanya akan mengambil beberapa pengertian

Tasawuf yakni Secara lughawi Tasawuf memiliki beberapa

pengertian, pertama Tasawuf dikonotasikan dengan ‘ahlu suffah”

yang berarti sekelompok orang pada masa Rasululloh hidupnya

diisi dengan banyak berdiam di serambi-serambi masjid, dan

mereka mengabdikan hidupnya untuk beribadah kepada Allah.

Berikutnya Tasawuf juga dinisbahkan dengan kata dari

Bahasa Grik atau Yunani yakni “saufi” istilah ini disamakan

maknanya dengan kata “hikmah” yang berarti kebijaksanaan.

Orang yang berpendapat seperti ini adalah Mirkas kemudian diikuti

oleh Jurji Zaidan dalam kitabnya Al-Lughah Al-‘Arabiyyah. Dia

menyebutkan bahwa para filosof Yunanai dahulu telah

menjelaskan pemikiran atau kata-kata yang dituliskan dalam buku

filsafat yang mengandung kebijakan.

Tasawuf juga diketahui berasal dari kata “shuf” yang

berarti bulu domba / wol. Tampaknya dari ketujuh terma tersebut

yang paling banyak diakui dan familiar adalah makna tasawuf

sebagai “shuf”. Tasawuf sendiri berasal dari wazan tafa’ul yaitu

tafa’ala – yatafa’alu – tafa’ulan. Hal ini selaras dengan pendapat

Barmawie Umarie yang menegaskan bahwa tasawuf dapat


berkonotasi dengan makna tashawwafa ar-rajulu, artinya seorang

lelaki yang men-tasawuf. Maksudnya adalah laki-laki tersebut telah

pindah dari kehidupan biasa kepada kehidupan sufi.5

Kemudian secara istilahi Tasawuf telah banyak

diformulasikan diantara banyak ahli diantaranya:

1) Menurut Muhammad Ali Al Qassab Tasawuf adalah

akhlak mulia yang timbul pada waktu mulia dari

seorang yang mulia ditengah-tengah kaumnya yang

mulia pula

2) Menurut Al Junaidi, ia mendefinisikan Tasawuf adalah

membersihkan hati dari apa saja yang

menggangguperasaan makhluk, berjuang menanggalkan

pengaruh budi yang asal (instink), memdamkan sifat-

sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala

seruan hawa nafsu, mendekati sifat-sifat suci

kerohanian, bergantung pada ilmu-ilmu hakikat,

memakai barang yang lebih terpenting, menaburkan

nasihat kepada semua orang, memegang teguh janji

dengan Allah dalam hal hakikat, dan mengikuti contoh

Rasululloh dalam hal syariat6

Berdasarkan beberapa pendapat tersebut maka dapat ditarik

kesimpulan bahwa tasawuf merupakan ilmu yang mempelajari

5
Prof. Dr.M.Solihin & Prof. Dr. Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), 13
6
Ibid… hlm: 15
tentang usaha-usaha untuk membersihkan hati. Tasawuf sendiri

menjadikan Al-Qur’an dan hadist sebagai kerangka acuan pokok

serta landasan dan dasar keilmuan. Dalam hal inilah tasawuf pada

awal pembentukanyya adalah manifestasi akhlak dan keagamaan.

Sedangkan moral dan keagamaan ini banyak disinggung dalam al-

Qur’an, dengan demikian sumber pertama tasawuf adalah ajaran-

ajaran islam yang ditimba langsung dari al-Qur’an dan sunnah,

amalah-amalan serta ucapan sahabat yang sudang barang tentu

tidak keluar dari ruan lingkup al-Qur’an.

Secara umum ajaran islam mengatur kehidupan yang

bersifat lahiriah dan batiniah. Pemahaman terhadap unsur

kehidupan yang bersifat batiah inilah yang pada akhirnya

melahirkan tasawuf. Tentu saja hal ini mendapatkan perhatian

besar dari sumber ajaran islam yakni al-Qur’an dan sunnah serta

praktik kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Hal ini seperti yang

difirmankan oleh Allah dalam Surat al-Tahrim : 8

“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada

Allah dengan taubat yang sebenar-benarnya, mudah-mudahan

Tuhanmu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan

memasukkanmu kedalam surge yang mengalir dibawahnya sungai-

sungai, pada hari dimana Allah tidak menghinakan Nabi dan

orang-orang berimanbersama dengan dia; sedang cahaya mereka


memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka sambal

mereka mengatakan, ‘Ya Yuhan kami, sempurnakanlah bagi

kamicahaya kami sesungguhnya engkau Mahakuasa atas segala

sesuatu”.

Dalam ayat tersebut Allah memerintahkan manusia agar

senantiasa bertaubat, membersihkan diri dan memohon ampunan

kepada-Nya. Kemudian dalam ayat yang lain Allah menegaskan

tentang keberadaan-Nya dimanapun hamba-Nya berada.

…………..

“Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka

kemanapun kamu menghadap, disitulah wajah Allah,

Sesungguhnya Allah Mahaluas (rahmatn-Nya lagi Maha

mengetahui” Q.S al-Baqarah : 115

Ayat-ayat diatas adalah sebagian dari ayat yang dijadikan

sebagai landasan kaum sufi dalam menjalankan praktik-praktik

kesufiannya. Selain ayat al-Qur’an, tasawuf juga dapat dilihat

dalam beberapa ungkapan diantaranya yang sangat familiar di

kalangan sufi yakni :

Man’arofa nafsahu

“Barang siapa mengenal dirinya sendiri, maka akan

mengenal Tuhan-Nya”

Ungkapan ini memberi petunjuk kepada kaum sufi bahwa

manusia dan Tuhan pada hakikatnya dapat Bersatu. Namun hal ini
harus dipertegas bahwa di antara Tuhan dan manusia tetap

memiliki jarak atau pemisah, sehingga tetap berada seperti

semestinya yaitu antara Tuhan dengan Hamba.

c. Sejarah Perkembangan Tasawuf

Terkait dengan pembentukan akhlak, tasawuf itu terbagi

tiga. Mulai dari  tasawuf akhlaki (adab tasawuf), tasawuf

falsafi (tasawuf teoritis), sampai kepada tasawuf irfani (suluk atau

makrifatullah).

1) Tasawuf Salafi (Akhlaqi)

Pada bab tasawuf ini, bagian terpentingnya adalah

memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan,

sehingga merasa dan sadar berada di “hadirat” Tuhan.

Perasaan sadar inilah yang kemudian menjadi

kenikmatan dan kebahagiaan dan kebahagiaan yang

hakiki.7 Adapun sejarah dan perkembangan tasawuf ini

mengalami beberapa fase diantaranya pada masa abad

kesatu dan kedua Hijriyah. Pada abad ini disebut juga

fase askerisme / zuhud, fase ini banyak dipandang

sebagai pengantar kemunculan tasawuf.

Pada fase ini terdapat individu-individu yang

memusatkan diri pada ibadah. Mereka menjalankan

konsepsi zuhud dalam kehidupan yakni dengan tidak

7
Usman Said, et.al., Pengantar Ilmu Tasawuf, (Medan: Proyek Pembinaan Perguruan Tinggi IAIN
Sumatera Utara, 1981), Hlm. 95
mementingkan makanan, pakaian maupun tempat

tinggal. Mereka lebih banyak beramal untuk hal yang

berkaitan dengan akhirat. Tokoh yang sangat popular

dari kalangan ini yaitu Hasan al Bashri yang meninggal

pada 110 H, Rabiah Al Adawiyah yang meninggal pada

185 H.

Dilanjutkan pada abad ke tiga Hijriyah dimana para

sufi mulai menaruh perhatian terhadap hal-hal yang

berkaitan dengan jiwa dan tingkah laku. Para sufi ini

mengamalkan amalan-amalan tasawuf dengan

menampilkan akhlak atau moral yang terpuji dengan

maksud memahami kandungan batiniah ajaran islam

yang mereka nilai banyak mengandung muatan anjuran

untuk berakhlak mulia.

Pada abad ke empat Hijriyah kemajuan ilmu

tasawuf mulai lebih pesat diberbagai negara. Pada

perkembangan di berbagai negara ini para ulama

menggunakan system tareqat, sebagaimana yang dirintis

oleh ulama tasawuf pendahulunya. System ini berupa

pengajaran dari guru kepada muridnya yang bersifat

teoritis serta bimbingan langsung mengenai cara

pelaksanaannnya yang kemudian disebut sebagai

‘suluk’. Kemudian pada abad ke lima muncullah Imam


Ghazali yang sepenuhnya hanya menerima tasawuf

berdasar Al-Qur’an dan Sunnah serta bertujuan zuhud,

kehidupan sederhana, pelurusan jiwa dan pembinaan

moral. Pada abad ini pula yang merupakan tonggak

kejayaan tasawuf salafi dan tersebar di seluruh kalangan

dunia Islam.

Sebagai akibat dari pengaruh Imam Al-Ghazali

yang begitu besar, maka pengaruh tasawuf sunni

semakin meluas dan keadaan ini yang kemudian

memberi peluang bagi munculnya para tokoh sufi yang

mengembangkan tarekat-tarekat dalam rangka mendidik

para muridnya. Seperti Sayyid Ar-Rifa’i yang wafat

pada 570 H. Sayid Abdul Qadir Al-Jailani yang wafat

pada tahun 651 H.

Dalam perkembanganya itu, tasawuf akhlaqi

menyusun system pembinaan akhlak yakni; Pertama,

Takhalli yaitu usaha mengosongkan diri dari perilaku

/akhlak tercela atau kecintaan terhadap dunia yang

berlebihan sehingga melakukan maksiat. Kedua,

Tahalli, yaitu upaya mengisi atau menghiasi diri dengan

jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku dan

akhlak yang baik. Ketiga, Tajalli kata tajalli sendiri

berarti nur ghaib.8 Jiwa yang sudah terisi dengan


8
Prof. Dr.M.Solihin & Prof. Dr. Rosihin Anwar, Ilmu Tasawuf, Hlm. 119
perilaku akhlak mulia, terbiasa berbuat baik dan tidak

berkurang. Dalam hal ini para sufi sependapat bahwa

tingkat kesempurnaan kesucian jiwa yang hanya dapat

ditempuh dengan satu jalan taitu cinta kepada Allah.

2) Tasawuf Falsafi (tasawuf teoritis)

Tasawuf ini biasa disebut juga dengan tasawuf

nadzari. Merupakan ajaran tasawuf yang ajaran-

ajarannya memadukan visi mistis dan visi rasional.

Sebagai pengasasnya. Tasawuf ini menggunakan

terminology filosofis dalam pengungkapannya yang

berasal dari bermacam-macam aliran filsafat yang telah

mempengaruhi tokoh-tokohnya. Tasawuf ini mulai

muncul sejak abad ke enam hijriyah.9

Sejak saat itu tasawuf Falsafi ini terus berkembang

terutama dikalangan para sufi yang juga filosof hingga

sampai menjelang sekarang. Adanya perpaduan antara

tasawuf dengan filsafat dalam jaran ini membuat

dengan sendirinya bercampur dengan sejumlah ajaran

filsafat diluar Islam seperti Yunani, Persia, India, dan

Agama Nashrani, akan tetapi orisinilitasnya sebagai

tasawuf tetap tidak menghilang. Selama abad ke lima

hijriyah aliran tasawuf ini mulai tenggelam dan muncul

9
Abu al Wafa’ Al-Ghanimi Al-Taftahzani, Sufi dari Zaman ke Zaman, terj. Ahmad Rofi
“Utsmani, (Bandung: Pustaka, 1985), Hlm. 187
kembali dalam bentuk lain pada pribadi-pribadi sufi

yang juga filosof pada abad keempat Hijriyah dan

setelahnya. Hilangnya aliran Tasawuf Falsafi ini salah

satu penyebabnya juga dikarenakan berkembangnya

aliran teologi Ahlussunnah wal Jamaah dan aliran-aliran

lainnya.

Adapun tokoh tasawuf ini diantaranya adalah Ibn

Massarah (Cardova, Andalusia; w. 319/1931).

Kemudian ada Ibn Arabi yang bernama lengkap

Abdullah Ath-Tha’I Al-Haitami dengan ajaran

sentralnya wahdah al wujud. Al-Jilli (Abdullah Karim

bin Ibrahim Al-Jilli yang wafat pada tahun 1417.

3) Tasawuf Irfani

Secara etimologi kata ‘irfani merupakan bentuk

masdhar dari kata ‘arafa yang artinya mengenal /

pengenalan. Adapun secara terminology tasawuf ini

diartikan sebagai makrifat kepada Allah sufistik.

Pembicaraan tentang Irfan atau makrifat ini mulai

dimulai sekitar abad ke III dan IV H. dengan dipelopori

oleh tokoh Dzu An-Nun Al-Mishri yang wafat pada 245

H/859 M. sementara Imam Al-Ghazali diposisikan

sebagai tokoh yang mendalaminya secara intens.

Tasawuf irfani memiliki dua aspek yakni aspek praktis


dan aspek teoritis. Aspek praktis disini menjelaskan

hubungan dan pertanggungjawaban manusia terhadap

dirinya, dan Tuhan. Bagian ini menyerupai etika dalam

menmpuh rihani (salik) mencapai tujuan puncak

kemanusiaan yakni tauhid dengan menempuh

perjalanan atau tahapan (maqam) secara berurutan .

Sementara tasawuf irfani secara teoritis

memfokuskan perhatiannya pada masalah ontology

(wujud) manusia, Tuhan serta alam. Maka dalam hal ini

menyerupai teosofi (falsafah ilahi) dengan mendasarkan

diri pada ketersibakan mistik yang kemudian

diterjemahkan dalam Bahasa rasional.

Adapun tokoh dalam tasawuf irfani ini diantaranya

Rabiyah Al-Adawiyah (95-185 H) dengan ajaran

tasawufnya Mahabbah (Cinta). Abu Yazid Al-Bustami

(874-947 M) dengan dua ajaran tasawufnya yakni

pertama; fana’ & Baqa’ keduanya merupakan paham

yang tidak dapat dipisahkan. Ketika seorang sufi

mengalami keadaan fana’ maka ketika itu juga ia

sedang mengalami Baqa’. Ajaran kedua yakni Ittihad

diartikan sebagai tahapan selanjutnya yaitu penyatuan

antara hamba dengan Tuhannya. Antara yang mencintai


dan dicintai menyatu baik substansi maupun

perbuatannya.10

Dalam perkembangannya, ilmu tasawuf

menunjukan kemajuan yang pesat dan dikembangkan

oleh banyak tokoh sufi di dunia termasuk di Indonesia.

Sejak masuknya Islam di Indonesia, unsur tasawuf telah

mewarnai kehidupan keagamaan masyarakat, hal ini

terbukti dengan semakin maraknya Gerakan Tarekat

Muktabaroh yang masih berkembang di Indonesia salah

satunya yang digagas oleh beliau Maulana Habib Luthfi

Bin Yahya sekarang ini.

Adapun tokoh-tokoh tasawuf Indonesia antara lain

Hamzah Fansuri Yang wafat pada 1016 H/1607 M,

Nurudin Ar-Raniri (w. 1068 H/1658 M), Syekh Abdur

Rauf As-Sinkili (1024 H-1105 H), Abd Shamad Al-

Palimbani yang wafat sekitar tahun 1203 H/1788 M,

Syekh Yusuf Al-Makasari diantara tahun 1037-1111

Hijriyah, kemudian tokoh Imam Nawawi Al-Bantani

(1813-1897), kemudian tokoh yang masih sangat

popular dikalangan sufi Indonesia yakni Hamka dengan

nama asli Haji Abdul Malik Karim Amrullah pada

tahun 1908-1981 M.

d. Biografi Singkat Habib Luthfi Bin Yahya


10
Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1973), Hlm. 79
Dilahirkan dari seorang syarifah yang memiliki nama

sayidah alKarimah as Syarifah Nur binti Sayid Muhsin bin Sayid

Salim bin Sayid al Imam Shalih. Maulana Habib Luthfi bin Yahya

dilahirkan di kota Pekalongan Jawa Tengah pada hari Senin pagi,

tanggal 27 Rajab tahun 1367 H, bertepatan pada tanggal 10

November 1947 M dengan nama lengkap Abu Muhammad

Bahaudin Muhammad Luthfi bin Ali Bin Hasyim Bin Umar Bin

Toha BinYahya.11

Meski nasab beliau masih jalur keturunan Nabi

Muhammad SAW namun tak pernah sedikitpun muncul dalam

dirinya rasa somnong apalagi sikap meremehkan orang lain, baik

itu terhadap sesame keturunan Arab maupun terhadap orang-orang

‘ajam (non Arab). Selain didikan dari keluarga, sejumlah kyai

pernah menjadi gurunya yang juga turut memiliki andil besar

terhadap membentuk kepribadiannya.12

Sementara dari nasab ayanya yakni : 1) al-Habib

Muhammad Luthfi bin 2) Ali bin 3) Hasyim bin 4) Umar bin 5)

Thaha bin 6) Hasan bin 7) Thaha bin 8) Muhammad al Qadhi bin

9) Thaha bin 10) Muhammad bin 11) Syeikh bin 12) Ahmad bin

13) Yahya Ba’alawi bin 14) Hasan bin 15) Alwi bin 16) Ali bin 17)

Alwi bin 18) Muhammad Mauladdawilah bin 19) Ali bin 20) Alwi

11
Tim Majelis Khoir, Sejarah Biografi Habib Luthfi bin Ali, Habib Rizieq, dan Habib Umar bin
Hafidh, (Malang: Majelis Khoir Publishing, 2017) hlm. 1
12
Muhdor Ahmad Assegaf, Cahaya Dari Nusantara: Maulana Habib Luthfi Bin Yahya, (Yogyakarta:
Anom Pustaka, 2020), hlm. 6
al-Ghuyyur bin 21) alFaqih al-Muqaddam Muhammad bin 22) Ali

bin 23) Muhammad Shahib Marbath bin 24) Ali Khali’ Qasam bin

25) Alwi bin 26) Muhammad bin 27) Alwi Ba’alawi bin 28)

Ubaidullah bin 29) Ahmad al-Muhajir bin 30) Isa an-Naqib bin 31)

Muhammad an-Naqib bin 32) Ali al-Uraidhi bin 33) Ja’far Shadiq

bin 34) Muhammad al-Baqir bin 35) Ali Zainal Abiddin bin 36)

Husein ash-Sibth bin 37) Ali bin Abi Thalib suami Sayidah

Fathimah az-Zahra binti Sayyidina Rasulullah Saw.13

Adapun masa Pendidikan beliau untuk pertama kali

diterima dari ayahanda al Habib al Hafidz ‘Ali al Ghalib yang

selanjutnya belajar di Madrasah Salafiyah. Selanjutnya pada tahun

1959 M, melanjutkan studinya ke pondok pesantren Benda Kerep

Cirebon, kemudian ke Indramayu, Purwokerto dan Tegal. Setelah

itu beliau menunaikan ibadah haji sekaligus menziarahi makam

Kakeknya, Rasululloh Muhammad SAW. Disamping itu Habib

Luthfi juga menimba ilmu dari ulama dua Tanah Haram; Mekkah-

Madinah. Habib Luthfi menerima ilmu Syari’ah, thariqah dan

tasawuf dari ulama-ulama besar, wali-wali Allah yang utama dan

guru-guru yang penguasaan ilmunya tidak diragukan lagi.14

Dari guru-gurunya tersebut Habib Luthfi mendapatkan

ijazah Khas (khusus) dan juga ‘Am (umum) dalam dakwah dan

13
Tim Majelis Khoir, Sejarah Biografi Habib Luthfi bin Ali, Habib Rizieq, dan Habib Umar bin
Hafidh, … hlm. 2
14
Tim Majelis Khoir, Sejarah Biografi Habib Luthfi bin Ali, Habib Rizieq, dan Habib Umar bin
Hafidh, … hlm. 3
nasyru syari’ah (menyebarkan syari’ah). Habib Luthfi mengambil

thariqah dan hirqah Muhammadiyah dari tokoh ulama dan dari

gurunya pula beliau mendapat ijazah untuk membaiat dan menjadi

mursyid.

Hingga pada tahun 2019 Habib Luthfi dinobatkan sebagai

pimpinan Forum Sufi Dunia. Forum ini baru dikukuhkan kembali

sebagai organisasi dalam agenda Al-Muntada Ash-Shafiy ketiga.

Kemudian Habib Luthi juga dipilih menjadi Rais ‘Am Jam’iyah

Ahlu Thariqah al Mu’tabaroh an Nahdiyah hingga sekarang.

Dalam organisasi lain Habib Luthfi juga menjadi

pimpinan atau ketua umum MUI Jawa Tengah. Selain aktif di

organisasi keagamaan tersebut, habib Luthfi juga disibukkan

dengan jadwal pengajian di Majelis Kanzus Sholawat. Majelis

yang diasuh langsung oleh beliau, terletak tidak jauh dari

keidamanya di Pekalongan.

Kanzus Sholawat dianggap sebagai pusat kegiatan

keagamaan kota Pekalongan sejak sepuluh tahun terakhir, yang

juga memberikan andil besar terhadap penanaman nilai-nilai

keagamaan kepada generasi penerus Islam melalui berbagai

kegiatan yang diselenggarakan. Hal ini seolah menjadi maghnet

bagi siapapun, bukan hanya masyarakat kota Pekalongan saja akan

tetapi dari berbagai penjuru yang setiap hari hadir secara


bergantian baik hanya karena ingin sowan maupun karena sengaja

ingin mengikuti kegiatan pengajian di Kanzus Sholawat.

3. Kerangka Berfikir
Sumber data penelitian kualitatif adalah kata-kata, dan

tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-

lain. Kata-kata yang dimaksud adalah teks-teks, baik tulisan maupun

sosial serta tindakan subjek penelitian. Diantara deskrispsi yang akan

peneliti paparkan adalah Sufistik, Pendidikan Karakter dan perspektif

Habib Luthfi bin Yahya. Melalui penelitian ini, manusia adalah

sebagai instrumen. Sehingga pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan fenomenologi untuk bisa melacak pengalaman-

pengalaman subjektif pada diri manusia tersebut. Pendekatan ini

mampu menyelidiki pengalaman kesadaran, yang berkaitan dengan

pertanyaan seperti : bagaimana pembagian antara subjek (ego) dengan

objek (dunia) muncul dan bagaimana sesuatu hal di dunia ini

diklasifikasikan.

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang

bagaimana teori dihubungkan dengan berbagai faktor yang telah

diidentifikasi sebagai hal yang penting.15 Dengan demikian kerangka

berfikir adalah sebuah pemahaman yang melandasi pemahaman-

pemahaman lainnya. Sebuah pemahaman paling mendasar yang

15
Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif , R&D, Jakarta:
Alfabeta. Hlm. 60
menjadi pondasi bagi setiap pemikran atau suatu bentuk proses

keseluruhan dari bentuk penelitian yang akan dilakukan. Pendidikan

karakter diantaranya adalah karakter yang dimaksud disini yakni

nasionalisme dan pluralisme yang diperoleh melalui kajian sufistik,

yang harapannya dalam jangka panjang mampu mengingat apa yang

menjadi pesan dalam kajian sufistik perspektif Habib Luthfi yang

kemudian implikasinya adalah dapat diaplikasikan melalui perilaku

sehari-hari dan khususnya padalembaga Pendidikan.

Deskripsi kerangka berpikir diatas dapat digambarkan dalam

sebuah tabel berikut:


KAJIAN SUFISTIK

Perspektif Habib Luthfi bin Pendidikan Karakter :


Yahya Nasionalis & Pluralis

Implikasi Pendekatan Sufistik


perspektif Habib Luthfi di
Lembaga pendidikan

E. Metode Penelitian

1. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan sebuah kerangka kerja yang digunakan

untuk melaksakana penelitian. Desain penelitian dibuat sebagai rancangan,

format, pedoman, aturan main atau acuan dalam penelitian. Jadi Desain

penelitian memberikan prosedur untuk mendapatkan informasi yang

diperlukan dalam rangka menyusun dan menyelesiakan penelitian.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analisis, yaitu penguraian secara

teratur seluruh konsep yang ada relevansinya dengan pembahasan.

Kemudian data yang telah terkumpul disusun sebagai mana mestinya, lalu

diadakan analisis.16 Adapun jenis Penelitian ini termasuk penelitian

kepustakaan (library research) dengan menggunakan metode kualitaif yaitu

untuk mengumpulkan data teoritis sebagai penyajian ilmiah yang dilakukan

dengan memilih literatur yang berkaitan dengan penelitian, dimana penulis

membaca dan menelaahnya dari buku-buku bacaan, majalah, surat kabar,

jurnal dan bahan informasi tertulis lainnya yang mempunyai keterkaitan

16
Anton Baker, Metode Filsafat, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), hlm. 10.
dengan tema tesis ini lalu mewawancarai secara langsung dengan subyek

penelitian. Penelitian ini juga dilakukan di Lingkungan Kediaman Habib

Luthfi dan di Majelis Kanzus Sholawat

2. Fokus Penelitian
Fokus penelitian sangat diperlukan berkaitan dengan pembatasan

permasalah sehingga hasil dari penelitian dapat diperoleh secara maksimal

dan memudahkan untuk dianalisis setelah semua data terkumpul. Kajian-

Kajian Habib Luthfi yang bermuatan sufistik dan interpertasinya dalam

Pendidikan karakter dalam bentuk nilai Nasionalis dan Pluralis.

Pada penelitian ini berfokus pada (1) mendeskripsikan Pendidikan

karakter dalam kajian sufistik Habib Luthfi (3) bagaimana implikasi

pendidikan karakter tersebut dalam Lembaga Pendidikan jenjang menengah.

3. Sumber Data
Tujuan pertama dari data dalam penelitian ini adalah untuk

mendapatkan sumber data yang berkaitan dengan obyek yang dikaji baik

dalam bentuk literatur Buku karya Habib Luthfi (Secercah Tinta, Cahaya

Dari Nusantara, Umat bertanya Habib Luthfi menjawab) maupun di

lapangan yaitu dbertemu dan wawancara secara langsung serta dilakukan

pengamatan dilingkungan kediaman Habib Luthfi dan di Kanzuz Sholawat

sebagai pusat Pendidikan keagamaan.

a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara

langsung (dari tangan pertama), Pada hal ini data primer adalah

data yang diperoleh dari karya Habib Luthfi, observasi kegiatan


yang ada di Kanzus Sholawat. Dan wawancara peneliti dengan

narasumber.

b. Data Sekunder

Data sekunder pada penelitian ini adalah data pendukung

yang bersumber dari buku-buku referensi, jurnal dan karya ilmiah

lainnya, wawancara dengan responden. Data sekunder lainnya yang

dapat mendukung penelitian ini adalah catatan dokumentasi berupa

dokumen-dokumen penting.

4. Tehnik Pengumpulan Data


Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini

adalah teknik kuantitatif dan kualitatif (campuran). Hal ini dilakukan

untuk mendapatkan informasi lebih dalam mengenai data. Adapun metode

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini antara lain:

a. Dokumentasi/ Dokumenter
Pada teknik pengumpulan data berupa dokumentasi dilakukan

dengan cara membaca, mempelajari dengan seksama (menganalisis),

dan mencatat bahan-bahan yang berkaitan dengan variabel penelitian

dari berbagai literatur yang ada. Dokumentasi tersebut bisa berupa

buku-buku Karya Habib Luthfi, jurnal, hasil penelitian (tesis

terdahulu), dan data-data dari sekolah yang akan diteliti.

b. Pengamatan (observasi)
Sebagai metode ilmiah, observasi dapat diartikan sebagai

pengamatan yang meliputi pemusatan perhatian terhadap subjek

dengan menggunakan seluruh alat indranya Metode pengamatan


(observasi), cara pengumpulan datannya terjun langsung ke lapangan

terhadap objek yang diteliti, populasi (sampel).Metode pengamatan

(observasi) pada penelitian ini untuk menguatkan analisis kajian

sufistik Habib Luthfi bin Yahya.

c. Wawancara

Metode wawancara(interview) merupakan cara yang digunakan

seseorang untuk tujuan tertentu untuk mendapatkan keterangan secara

lisan dari respondent. Metode interview ini oleh peneliti digunakan

untuk mewancarai Habib Luthfi secara langsung, dan beberapa orang

yang berkaitan erat dengan penelitian.Teknik ini dilakukan untuk

mengetahui hal-hal dari narasumber atau key informan secara

mendalam untuk menguatkan hasil data yang diperoleh..

5. Uji Keabsahan Data


Pemeriksaan terhadap keabsahan data pada dasarnya, selain digunakan

untuk menyanggah balik yang dituduhkan kepada penelitian kualitatif yang

mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagai unsur yang tidak

terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif. 17


Keabsahan data

dilakukan untuk membuktikan apakah penelitian yang dilakukan benar-benar

merupakan penelitian ilmiah sekaligus untuk menguji data yang diperoleh.

Uji keabsahan data dalam penelitian kualitatif meliputi uji, credibility,

transferability, dependability, dan confirmability (Soegiono 2011:270). Agar

data dalam penelitian kualitatif dapat dipertanggungjawabkan sebagai

17
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya.2007), hlm
230
penelitian ilmiah perlu dilakukan ujikeabsahan data. Adapun uji keabsahan

data yang dapat dilaksanakan.18

1. Credibility
Uji credibility (kredibilitas) atau uji kepercayaan terhadap data

hasil penelitian yang disajikan oleh peneliti agar hasil penelitian yang

dilakukan tidak meragukan sebagai sebuah karya ilmiah dilakukan.

Uji kredibilitas data hasil peneltian kualitatif antara lain dengan

perpanjang waku pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian,

trianggulasi, diskusi dengan sejawat, menggunakan bahan referensi dan

member check.

a. Perpanjangan Pengamatan

Perpanjangan pengamatan dapat meningkatkan

kredibilitas/kepercayaan data. Dengan perpanjangan pengamatan

berarti peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan,

wawancara lagi dengan sumber data yang ditemui maupun sumber

data yang lebih baru.

Perpanjangan pengamatan berarti hubungan antara peneliti

dengan sumber akan semakin terjalin, semakin akrab, semakin

terbuka, saling timbul kepercayaan, sehingga informasi yang

diperoleh semakin banyak dan lengkap. Perpanjangan pengamatan

untuk menguji kredibilitas data penelitian difokuskan pada pengujian

terhadap data yang telah diperoleh. Data yang diperoleh setelah

dicek kembali ke lapangan benar atau tidak, ada perubahan atau

18
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif , R&D, (Jakarta: Alfabeta, 2011) hlm. 270
masih tetap. Setelah dicek kembali ke lapangan data yang telah

diperoleh sudah dapat dipertanggungjawabkan/benar berarti

kredibel, maka perpanjangan pengamatan perlu diakhiri

b. Meningkatkan kecermatan dalam penelitian

Meningkatkan kecermatan atau ketekunan secara berkelanjutan

maka kepastian data dan urutan kronologis peristiwa dapat dicatat

atau direkam dengan baik, sistematis. Meningkatkan kecermatan

merupakan salah satu cara mengontrol/mengecek pekerjaan apakah

data yang telah dikumpulkan, dibuat, dan disajikan sudah benar atau

belum.Untuk meningkatkan ketekunan peneliti dapat dilakukan

dengan cara membaca berbagai referensi, buku, hasil penelitian

terdahulu, dan dokumen-dokumen terkait dengan membandingkan

hasil penelitian yang telah diperoleh. Dengan cara demikian, maka

peneliti akan semakin cermat dalam membuat laporan yang pada

akhirnya laporan yang dibuat akan smakin berkualitas.

c. Triangulasi

Wiliam Wiersma (1986) yang dikutip oleh Sugiono,

mengatakan triangulasi dalam pengujian kredibilitas diartikan

sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai

waktu. Dengan emikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi

teknik pengumpulan data, dan waktu.19

1) Triangulasi Sumber

19
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif , R&D, (Jakarta: Alfabeta, 2011) hlm. 372
Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.

Data yang diperoleh dianalisis oleh peneliti sehingga

menghasilkan suatu kesimpulan selanjutnya dimintakan

kesepakatan (membercheck) dengan tiga sumber data.

2) Triangulasi Teknik

Untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara

mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang

berbeda. Misalnya untuk mengecek data bisa melalui

wawancara, observasi, dokumentasi. Bila dengan teknik

pengujian kredibilitas data tersebut menghasilkan data yang

berbeda, maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada

sumber data yang bersangkutan untuk memastikan data mana

yang dianggap benar.

3) Triangulasi Waktu

Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara di

pagi hari pada saat narasumber masih segar, akan memberikan

data lebih valid sehingga lebih kredibel. Selanjutnya dapat

dilakukan dengan pengecekan dengan wawancara, observasi

atau teknik lain dalam waktu atau situasi yang berbeda. Bila

hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan

secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian

datanya .
d. Menggunakan Bahan Referensi

Referensi adalah pendukung untuk membuktikan data yang

telah itemukan oleh peneliti. Dalam laporan penelitian, sebaiknya

data-data yang dikemukakan perlu dilengkapi dengan foto-foto atau

dokumen autentik, sehingga menjadi lebih dapat dipercaya.

e. Mengadakan Membercheck

Tujuan membercheckadalah untuk mengetahui seberapa jauh

data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi

data. Jadi tujuan membercheck adalah agar informasi yang diperoleh

dan akan digunakan dalam penulisan laporan sesuai dengan apa yang

dimaksud sumber data atau informan.

2. Transferability

Transferability merupakan validitas eksternal dalam penelitian

kualitatif. Validitas eksternal menunjukkan derajat ketepatan atau dapat

diterapkannya hasil penelitian ke populasi di mana sampel tersebut

diambil. Pertanyaan yang berkaitan dengan nilai transfer sampai saat

inimasih dapat diterapkan/dipakai dalam situasi lain. Bagi peneliti nilai

transfer sangat bergantung pada si pemakai, sehingga ketika penelitian

dapat digunakan dalam konteks yang berbeda di situasi sosial yang

berbeda validitas nilai transfer masih dapat dipertanggungjawabkan.

3. Dependability

Reliabilitas atau penelitian yang dapat dipercaya, dengan kata lain

beberapa percobaan yang dilakukan selalu mendapatkan hasil yang


sama. Penelitian yang dependability atau reliabilitas adalah penelitian

apabila penelitian yang dilakukan oleh orang lain dengan proses

penelitian yang sama akan memperoleh hasil yang sama pula. Pengujian

dependability dilakukan dengan cara melakukan audit terhadap

keseluruhan proses penelitian. Dengan cara auditor yang independen atau

pembimbing yang independen mengaudit keseluruhan aktivitas yang

dilakukan oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Misalnya bisa

dimulai ketika bagaimana peneliti mulai menentukan masalah, terjun ke

lapangan, memilih sumber data, melaksanakan analisis data, melakukan

uji keabsahan data, sampai pada pembuatan laporan hasil pengamatan.

4. Confirmability

Objektivitas pengujian kualitatif disebut juga dengan uji

confirmability penelitian. Penelitian bisa dikatakan objektif apabila hasil

penelitian telah disepakati oleh lebih banyak orang. Penelitian kualitatif

uji confirmability berarti menguji hasil penelitian yang dikaitkan

denganproses yang telah dilakukan. Apabila hasil penelitian merupakan

fungsi dari proses penelitian yang dilakukan, maka penelitian tersebut

telah memenuhi standar confirmability. Validitas atau keabsahan data

adalah data yang tidak berbeda antara data yang diperoleh oleh peneliti

dengan data yang terjadi sesungguhnya pada objek penelitian sehingga

keabsahan data yang telah disajikan dapat dipertanggungjawabkan

6. Tehnik Analisis Data dan Interpretasi


Analisis data tidak lain adalah proses pencatrian dan penyusunan

secara sistematis semua data, teks, transkip wawancara, catatan lapangan

dan bahan lain yang telah dikumpulkan agar peneliti dapat memperoleh

pemehamanya sendiri, melalui semua itu dan mengungkapkan atau

menyajikan data yang telah ditemukan.20 Analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori dan

satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan hasil penelitian.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan baik bersamaan

dengan pengumpulan data mapun sesudahnya, yakni pengerjaan

pengumpulan data dalam penelitian kualitaif diikuti dengan pengerjan

menulis, mengedit, mengklarifikasi, mereduksi serta menyajikan data.

Langlah-langlah dalam menganalisis data terdiri dari teorisasi, analisis

induktif, analisis tipologis dan anumerasi. Oleh karenanya Moleong

menegaskan bahwa pekerjaan analisis data adalah mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan, memberi kode, serta mengkategorikannya.

Tujuan analisis data adalah untuk menemukan makna yang akhirnya

bisa diangkat menjadi teori. Data yang diperoleh dalam penelitian ini pada

hakikatnya berwujud kata-kata, kalimat atau paragraf, oleh karena itu tehnik

analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif.

Menurut Milles dan Huberman analisis deskriptif dilaksanakan

melaui alur kegatan yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya, yaitu:

20
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif. (Bandung: Remaja Rosdakarya.2007), hlm.
280
(1) pengumpulan data, (2) reduksi data (3) penyajian data, (4) penarikan

kesimpulan.21

a. Reduksi Data

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajam,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan

mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga dapat ditarik sebuah

kesimpulan. Fenomena ini dilakukan terus-menerus selama penelitian

berlangsung. Dalam mereduksi data, ada data yang sangat penting,

kurang penting bahkan ada data yang dianggap tidak penting dan tidak

terpakai.

Mereduksi data perlu berpedoman pada tujuan penelitian yang

hendak dicapai. Dengan demikian data yang telah direduksi akan

memberikan gambaran yang jelas dan mempermudah peneliti

mengumulkan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.

b. Penyajian Data

Penyajian data dmaksudkan untuk menemukan pola-pola yang

bermakna serta memberikan kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan. Penyajian data dalam penelitian juga dimaksudkan untuk

menemukan suatu makna dari data-data yang telah diperoleh, kemudian

disusun secara sistematis dari bentuk informasi yang kompleks menjadi

sederhana namun selektif.

c. Penarikan Kesimpulan

21
Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif , R&D, (Jakarta: Alfabeta, 2011) hlm. 338
Analisis data yang dikumpulkan selama pengumpulan data dan

sesudah pengumpulan data disunakanuntuk menarik suatu kesimpulan,

sehingga dapat menggambarkan suatu pola tentang peristiwa-peristiwa

yang terjadi. Analisis data yang secara terus-menerus dilakukan

memunyai implikasi terhadap pengurangan/ penambahan data yang

dibutuhkan. Hal ini dimungkinkan peneliti kembali ke lapangan.

F. Sistematika Pembahasan Tesis

Guna mendapatkan gambaran yang mudah dalam memahami

pembahasan tesis dan dalam menganalisa permasalahan yang akan diteliti,

maka penulis menyusun sistematika penulisan sbagai berikut:

1. Bagian awal

Bagian awal tesis ini terdiri dari halaman sampul, halaman judul,

halaman pernyataan keaslian, halaman nota pembimbing, halaman

pengesahan, abstrak, halaman translerasi, kata pengantar dan daftar

isi.

2. Bagian isi

BAB I PENDAHULUAN. Pada baian ini terdiri dari latar

belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian

pustaka, kerangka teori, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II LANDASAN TEORI. Definisi Sufistik, Pendekatan

Sufistik Perspektif Habib Luthfi, Pendidikan Karakter

Nasionalisme dan Pluralisme,


BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN.

Pendekatan Sufistik dalam Pendidikan Karakter Nasionalis & Pluralis

Perspektif Habib Luthfi bin Yahya Pada bab ini terdiri dari dua sub:

biografi Habib Luthfi bin Yahya, yang kedua adalah kajian sufistik

menurut Habib Lutfhi bin Yahya.

BAB IV PEMBAHASAN, ANALISIS PENIDIKAN

KARAKTER MELALUI PENDEKATAN SUFISTIK PERSPEKTIF

HABIB LUTHFI BIN YAHYA, terdiri atas: Analisis pendidikan

karakter dalam kajian sufistik perpsektif Habib Luthfi Bin Yahya,

implikasi Pendidikan Karakter di Lembaga Pendidikan.

BAB V PENUTUP. Pada vagian ini terdiri dari kesimpulan serta

saran.

3. Bagian akhir

Bagian akhir pada tesis ini memuat daftar pustaka, lampiran-lampiran

dab daftar riwayat hidup penulis.


OUTLINE TESIS

BAB I : PENDAHUKUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
2. Desain Penelitian
3. Fokus Penelitian
4. Data dan Sumber Data Penelitian
5. Teknik Pengumpulan Data
6. Teknik Keabsahan Data
7. Tehnik Analisis Data
F. Sistematika Pembahasan Tesis
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Riset Terdahulu
B. Kajian Teori
Pendidikan Karakter dalam Kajian Sufistik Perspektif
Habib Luthfi bin Yahya
1. Definisi Pendidikan Karakter
2. Definisi Ilmu tasawuf / Sufistik
3. Biografi singkat Habib Luthfi bin Yahya
BAB III : PAPARAN DATA DAN HASIL PENELITIAN
A. Paparan Data Penelitian
B. Hasil Penelitian
BAB IV : PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Pembahasan Hasil Penelitian

BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan
B. Penutup
DAFTAR PUSTAKA

Sugiono. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, kualitatif , R&D, Jakarta: Alfabeta.

Mughni, Syafiq A. 2001. Nilai-nilai Islam: Perumusan Ajaran dan Upaya

Aktualisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Nata, Abudin. 2002. Ahklak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Prof. Dr. H.E. Mulyasa. 2018. Manajemen Pendidikan Karakter, Jakarta: PT

Bumi Aksara

Ahmad, Dr. Hamdani & Drs. Beni Ahmad Saebani. 2013. Pendidikan Karakter

perspektif Islam. Bandung: Pustaka Setia

Prof. Dr.M.Solihin & Prof. Dr. Rosihin Anwar. 2002. Ilmu Tasawuf. Bandung:

Pustaka Setia

Said, Usman. et.al. 1981. Pengantar Ilmu Tasawuf. Medan: Proyek Pembinaan

Perguruan Tinggi IAIN Sumatera Utara

Al-Taftahzani, Abu al Wafa’ Al-Ghanimi. 1985. Sufi dari Zaman ke Zaman, terj.

Ahmad Rofi “Utsmani, Bandung: Pustaka

Nasution, Harun. 1973. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan

Bintang, 1973

Tim Majelis Khoir. 2017. Sejarah Biografi Habib Luthfi bin Ali, Habib Rizieq,

dan Habib Umar bin Hafidh, Malang: Majelis Khoir Publishing, 2017
Assegaf, Muhdor Ahmad. 2020. Cahaya Dari Nusantara: Maulana Habib Luthfi

Bin Yahya. Yogyakarta: Anom Pustaka

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai