Anda di halaman 1dari 26

Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo

Koleksi Kyai Mohammad Thohari Sidoarjo,


Jawa Timur
Nur Said
Ketua Pusat Studi Gender (PSG) STAIN Kudus
nursaid@gmail.com

Abstrak
Penelitian ini mengkaji empat hal: 1) dari mana asal-usul naskah
Layang Ijo diperoleh?, 2) Apa deskripsi naskah Layang Ijo, mulai dari
kondisi fisik sampai karakteristik ajarannya?, 3) Bagaimana sejarah naskah
Layang Ijo dikumpulkan dan diajarkan?, 4) Apa nilai-nilai tasawuf apa yang
dipetik dari ajaran Layang Ijo untuk kehidupan masyarakat Islam saat ini?
Penelitian ini menggunakan prosedur filologis diikuti dengan analisis
interpretatif untuk mengungkapkan jalan tasawuf dalam ajaran Layang Ijo.
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa tradisi menulis dalam
periode Wali Sanga bukan hanya terkait ungkapan batin (qalb), tetapi juga
sebagai respon terhadap masalah kemanusiaan dalam kehidupan nyata seperti
perilaku (lelaku) Wali Sanga. Di dalamnya juga dijelaskan pentingnya
pengetahuan yang benar (ilmu sejati), hubungan harmonis antara tarikat,
syari’at, dan hakikat, serta misteri kematian Syekh Siti Djenar. Di bagian
akhir juga dibahas jalan ma'rifatullah sebagai warisan para Nabi, Rasul, dan
kekasih Allah (Waliyyullah).
Kata Kunci: Sufisme, manuskrip, Layang Ijo, filologi, konflik dan harmoni

Abstract
This research examines four things: 1) Where do the origins of the
manuscript Layang Ijo obtained by the collector?, 2) What is the description
of the manuscript Layang Ijo ranging from physical conditions until
characteristics of teaching?, 3) What the history of the manuscript Layang
Ijo was collected dan taught?, 4) What are the values of Sufism anything that
can be drawn from the Layang Ijo for the needs of the Islamic community life
today? This research uses the philological procedures followed by
interpretative analysis to find the path of Sufism in the Layang Ijo teaching.
The conclusion of research shows that the tradition of writing in the time
period of Wali Sanga is not just an expression of inner-sense (qalb) but also
as response to the humanitarian concerns in the real life such as the mission
and behavior (lelaku) of Wali Sanga, the importance of true knowledge (ilmu
sejati), the Sufism, the harmony between tharikat, shari'ah and hakekat, as
well as the mystery of the death of Sheikh Siti Djenar also reviewed in this
manuscript. In the end it also discussed the way of ma'rifatullah as a legacy
of the prophets, apostles and the lover of God (Waliyyullah).
Keywords: Sufism, Layang Ijo manuscript, philology, conflict and harmony
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Pendahuluan
Umat Islam di Jawa Tengah, khususnya di daerah Sragen,
pernah dikejutkan oleh berita tentang aliran sempalan yang
dipelopori oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh Bedowo
Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Padepokan ini dipimpin
oleh Anto Miharjo yang biasa dipanggil Gus Anto. Aliran ini
meresahkan umat Islam, karena ajaran-ajarannya nyleneh dan
dipandang menyim-pang. Di antara ajaran-ajarannya yang dianggap
menyimpang adalah: 1) Padepokan Santri Aluwung mengajarkan
praktik mandi atau berendam bersama (kungkum) dalam satu lokasi
di malam hari setelah pukul 24.00 WIB dengan tanpa lampu
penerang dan dilakukan sebelum melaksanakan salat taubat; 2)
Kitab Layang Ijo yang dijadikan pegangan oleh Padepokan Santri
Aluwung dinilai mengandung ajaran yang menyimpang dari ajaran
Islam, karena ada anjuran tidak salat dan tidak puasa ketika
seseorang sudah sampai pada maqam hakekat, dan menganggap
ajaran zakat adalah najis.1
Atas dasar itu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) Sragen, melalui
Komisi Fatwa, mengeluarkan Surat Rekomendasi bahwa ajaran
yang dikembangkan oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh
Bedowo termasuk ajaran yang sesat, maksiat, dan menyimpang.
Salah satu isi rekomendasi tersebut, MUI Sragen meminta Kajari
melarang peredaran dan penyebarluasan Kitab Layang Ijo — ada
yang menyebut Risalah Hijau — yang menjadi pegangan kelompok
pedepokan tersebut.2
Kitab Layang Ijo yang diributkan tersebut, seperti disebutkan
dalam covernya, bersumber dari Kyai Mohammad Thohari
Sidoarjo. Penulis pernah meneliti manuskrip Layang Ijo dalam

1
Salinan Surat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) Sragen
tentang Padepokan Santri Aluwung, Dukuh Bedowo, Kecamatan Sidoharjo,
Kabupaten Sragen, Propinsi Jateng tertanggal 28 Rabi’ul ’Awwal 1435 H/ 30
Januari 2014 M.
2
Selengkapnya baca, “MUI Sragen: Padepokan Santri Aluwung
Menyimpang” dalam http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2014/02/10/
28997/-mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-menyimpang/#sthash.mRsoabxS.
dpbs (diakses, 15 Mei 2015). Baca juga, “Fatwa MUI Sragen: Padepokan Santri
Alu-wung Maksiat & Menyimpang, dalam http://www.kompasislam.com/fatwa-
mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-maksiat-enyimpang/#sthash.Y1E5qVoR.-
dpuf. Diakses, pada 15 Mei 2015.

342
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

versi aslinya beberapa tahun sebelum kasus Sragen muncul, namun


penulis tidak menemukan bagian yang menunjukkan penyimpangan
seperti disebutkan di atas. Bahkan melalui asuhan Kyai Mohammad
Thohari manuskrip Layang Ijo “masih hidup” hingga sekarang dan
dibaca dalam tembang macapat setiap selapanan (35 hari) bersama
jamaah tarekat Takmiliyah di Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.
Manuskrip Layang Ijo menarik perhatian bagi jamaah Kyai
Mohammad Thohari, karena di dalamnya mengandung ajaran-
ajaran tasawuf, seperti penyucian hati dan ilmu pengrasa menuju
ma’rifatullah. Sejak awal, Kyai Mohammad Thohari telah dipesan
oleh leluhurnya bahwa manuskrip Kitab Layang Ijo tersebut tidak
boleh dibawa atau diamalkan oleh sembarang orang tanpa melalui
guru, karena dikhawatirkan terjadi kesalahpahaman.
Penulis pernah mencari informasi tentang keberadaan
manuskrip Layang Ijo hingga sampai ke Anto Miharjo di Sragen,
ternyata Kyai Mohammad Thohari menyatakan bahwa dirinya
belum pernah menemukan langsung manuskripnya. Manuskrip
tersebut ternyata sampai ke Anto Miharjo di Padepokan Santri
Aluwung Sragen melalui orang ketiga, yakni kerabat dari Kyai
Mohammad Thohari yang akhirnya diajarkan oleh Anto Miharjo
dengan berbagai penyimpangan yang membuat dirinya berurusan
dengan pi-hak keamanan.3
Untuk mengetahui isi manuskrip Layang Ijo, dalam tulisan ini
penulis membahasnya secara detil, komprehensif, dan proporsional,
agar mampu memberikan perspektif baru tentang manuskrip
Layang Ijo. Dari ini kajian ini dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan pertimbangan dalam memperlakukan sebuah manuskrip
secara proporsional dan kontekstual. Dengan demikian, kajian
filologis terhadap naskah Layang Ijo akan memperkaya khazanah
sufisme Islam di Jawa, tidak hanya ajarannya, tetapi juga
eksistensinya di tengah umat Islam pesisir.

3
Akibat ulah Anto Miharjo yang mengajarkan Kitab Layang Ijo dengan
serampangan dan mengalami salah paham membuat Kyai Mohammad Thohari
juga terkena dampaknya, sehingga pada awal tahun 2014 sempat didatangi
sejumlah pihak keamanan utusan dari Kapolres Sragen dan MUI Sragen
melakukan konfirmasi langsung di rumahnya, Sidoarjo. Wawancara peneliti
dengan Kyai Mohammad Thohari, pada 13 Mei 2015.

343
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Dalam artikel ini akan dibahas empat hal pokok, yaitu: 1)


menganalisis asal-usul diperolehnya naskah Layang Ijo; 2)
mendeskripsikan kondisi fisik, karakteristik dan isinya; 3) sejarah
penulisan naskah Layang Ijo; dan 4) mengungkapkan nilai-nilai
sufisme dalam naskah Layang Ijo serta kaitannya dengan kehidupan
umat Islam sekarang.

Kerangka Teori
Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori
filologi, ilmu sosial modern, dan ilmu sastra. Filologi menekankan
penelitian naskah klasik yang di dalamnya juga mengkaji isi teks
agar bisa dipahami, dan selanjutnya menempatkannya dalam
keseluruhan sejarah masyarakat. Dengan menemukan keadaan teks
dalam konteks seperti semula, maka teks dapat terungkap secara
utuh. Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat di mana teks
berada dapat diketahui, baik dari segi pandangan hidup, seni, sastra
maupun religiusitas sufistiknya.4 Tugas filologi adalah
mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan. Hal ini berarti
memberikan pengertian yang sebaik-baik dan bisa
dipertanggungjawabkan se-hingga dapat mengetahui naskah yang
paling dekat dengan aslinya dan sesuai dengan kebudayaan yang
melahirkannya.5
Sementara disiplin ilmu sosial-modern dan ilmu sastra akan
membantu dalam menelaah isi teks dalam hubungannya dengan
konteks sekarang, sehingga relevansi nilai-nilai yang terkandung
dalam naskah Layang Ijo bisa dimanfaatkan dalam merespon
kegelisahan sosial dan spiritual masyarakat kontemporer.
Fenomena sastra sufi dalam Islam lebih tampak menonjol
dalam bentuk hikayat hagiografis, yaitu karangan tentang riwayat
hidup atau legenda para nabi, orang-orang suci dan dalam bentuk
sastra tasawuf. Keduanya sangat lekat dengan penggunaan
lambang-lambang dalam menyampaikan pesannya, baik dalam
bentuk 'tasawuf kitab' yang cara menyampaikan idenya lebih ilmiah

4
Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan DepDikBud, 1985), h. 5-6.
5
Edward Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV. Manasco,
2002), h. 7.

344
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

dan dalam bentuk 'tasawuf puitik' yang cara menyampaikan idenya


lebih emo-sional dan lebih berpegang pada citra simbolis.6
Di samping itu, keberadaan naskah sastra sufi karakternya juga
ditentukan oleh di mana naskah itu ditulis dan 'dihidupkan'.
Misalnya dalam kaidah sastra Jawa seringkali muncul pendekatan
dikotomis yang melihat sastra Jawa sebagai suatu dunia karya cipta
yang otonom di satu pihak, dan sebagai upaya budaya yang
senantiasa terkait dengan kepentingan-kepentingan sosial tertentu
pada pihak lain.7
Dari segi substansi isi, berbagai karya satra Jawa Lama banyak
dijumpai kisah-kisah petualangan tokoh fiktif atau tokoh historis
yang bertemakan sejarah. Dengan kata lain, dalam karya sastra
Jawa Lama banyak dijumpai peristiwa sejarah yang dijadikan bahan
karyanya. Meskipun demikian, basis utama sebagai karya fiksi tetap
dipertahankan, yaitu sifat imaginatif dari karya. Oleh karena itu
faktor 'keaslian sejarah' (historical authenticity) bukan masalah
yang paling utama. Meskipun demikian, karya-karya sastra Jawa
Lama yang berlatar sejarah sebagai bahan penciptaannya selalu
memiliki keterikatan kepada aspek historical truth, sekalipun
kebenaran itu bersifat relatif.8
Dalam posisi seperti itu, penelitian terhadap naskah Layang Ijo
yang gaya penulisannya dalam bentuk tembang Jawa — seperti
Sinom, Asmaradhana, Dhandanggulo dan sejenisnya — akan
diposisikan. Dengan kata lain Naskah Layang Ijo, sebagai bagian
dari karya sastra Jawa Lama berlatar sejarah sufisme di Jawa, tetap
memiliki nilai-nilai kesejarahan bahkan akan menjadi semacam
'atlas sufisme Jawa', karena penonjolan pada aspek locus yang
banyak disebutkan secara eksplisit sebagaimana ketika menemukan
makam Sultan Abdul Djalil alias Syaikh Lemah Abang di Jepara.
Penelitian atas naskah Layang Ijo ini merupakan langkah yang
pertama, karena menurut penuturan kolektornya, belum ada yang
mengkajinya secara lebih mendalam. Apalagi dengan pendekatan
filologi.

6
V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu
Dalam Abad 7-19, (Jakarta: INIS, 1998), h. 435.
7
Edi Sedyawati, dkk (eds), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), h. 118-119.
8
Ibid., h. 178.

345
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Signifikansi dan Kegunaan Penelitian


Ada dua siginifikansi utama dari penelitian ini. Pertama, secara
teoritis, hasil penelitian ini menawarkan alternatif konsep-konsep
sufistik yang berkembang pada periode kewalian serta gambaran
jejak perjuangan para wali dalam mentransmisikan Islam di pesisir
Jawa. Kedua, secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan atlas
jejak para sufi pada periode kewalian, dan sekaligus sebagai
pendukung dalam merekonstruksi sejarah wali dengan berbasis
pada manuskrip.
Dengan signifikansi tersebut, penelitian ini berguna untuk
memberikan bukti akademik bahwa jejak para wali tidak hanya
terekam dalam sejarah lisan (oral history), tetapi juga
terdokumentasi dalam catatan manuskrip yang sarat dengan nilai-
nilai sastra tingkat tinggi. Di samping itu, hasil penelitian ini juga
dapat dijadikan sebagai alternatif sumber nilai dalam
mengembangkan karakter bangsa dengan meneladani para wali dan
para sufi yang telah teruji dan terbukti keluhuran dan kearifannya.
Pada saat bangsa ini mengalami krisis karakter dan identitas, maka
hasil riset ini dapat digunakan sebagai penopang bagi penguatan
pendidikan karakter yang berbasis pada warisan budaya lokal,
sebagaimana dikembangkan oleh para wali yang terekam dalam
naskah ini.

Metodologi Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi dan sosiologi
modern. Pendekatan filologi ditekankan dalam kajian ini dengan
harapan mampu mendapatkan naskah yang paling dekat dengan
aslinya, sehingga sesuai dengan konteks kebudayaan yang
melahirkannya, dan agar naskah terhindar dari interpretasi yang
salah. Sedangkan penggunaan disiplin sosiologi modern sebagai
alat bantu dalam membedah teks naskah Layang Ijo dan
relevansinya bagi kehidupan masyarakat agama di era sekarang.

346
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

b. Tahapan Penelitian
Penelitian ini mengikuti prosedur penelitian filologi dengan
tahapan-tahapan khusus.9 Pertama, melakukan inventarisasi naskah
sebagai pertimbangan dalam penentuan naskah. Dalam hal ini
peneliti melakukan pelacakan naskah Layang Ijo kepada
kolektornya yaitu Kyai Muhammad Thohari yang berasal dari
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai kolektor naskah utama yang
asli, dan H. Ali Syafi’i, juru kunci makam Ratu Kalinyamat
Mantingan, Jepara, Jawa Tengah yang memiliki koleksi
turunannya.
Kedua, membuat deskripsi naskah, mulai dari kondisi fisik
naskah, karakteristik, hingga substansi isinya.
Ketiga, perbandingan antar naskah dan teks, diawali dengan
pengelompokan naskah-naskah yang ditemukan yang mempunyai
kesamaan judul dan isi. Kondisi fisik dari setiap naskah sangat
menentukan dalam membandingkan antar naskah dan memilih satu
naskah yang akan dikaji. Pilihan dilakukan berdasarkan keutuhan
dan fisibilitasnya untuk dibaca.
Keempat, kritik teks. Kegiatan ini diawali dengan melakukan
reproduksi teks dengan menfotokopi setiap halaman naskah
memakai kamera digital. Selanjutnya, dari print out hasil digital itu
dilakukan tahapan-tahapan: a) tanskip, yaitu pengalihaksaraan dari
akarasa Pegon ke aksara Roman, paling tidak pada bagian awal,
tengah, dan akhir; b) pemberian fungtuasi (tanda baca) yang
sekiranya sesuai dengan kehendak teks dengan menggunakan
panduan tertentu; c) memberikan penjelasan seperlunya dengan
melampirkan catatan khusus agar pembaca lebih mudah menangkap
substansi maknanya.
Kelima, menganalisis teks. Kerangka analisis yang dipakai
dalam penelitian ini menggunakan penalaran sintesis-induktif, yaitu
penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus
(individual), lalu memadukannya untuk menurunkan suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari semua fenomena yang
ditemukan. Model penalaran ini digunakan untuk melakukan

9
Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah, (Jakarta: Akademia, 2006),
h. 161.

347
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

kategorisasi dan tema-tisasi atas teks Layang Ijo, serta situasi-


situasi kontekstual yang mengitari informasi dalam teks tersebut10
didukung dengan kutipan hasil pengalihaksaraan dari aksara Pegon
ke aksara Latin.

Deskripsi data dan Pembahasan


1. Perjumpaan dengan Naskah Layang Ijo
Perjumpaan peneliti dengan naskah Layang Ijo diawali ketika
peneliti melakukan penelitian seorang tentang Ratu Kalinyamat di
Jepara sekitar tahun 2005. Pada suatu kesempatan, peneliti bertemu
H. Ali Syafi’i, informan yang berprofesi Juru Kunci Makam
Kramat Ratu Kalinyamat, Mantingan, Jepara. Ia mengoleksi buku-
buku tua termasuk salinan dalam bentuk fotokopian naskah Layang
Ijo. Peneliti tertarik untuk melihat naskah itu secara langsung. Lalu
peneliti datang ke rumahnya, dan hanya membaca sekilas naskah
itu. Pada tahun 2008, peneliti mengakajinya lebih serius untuk
melacak asal-usul naskah dan berkunjung ke kolektornya, Kyai
Mo-hammad Thohari, di Sidoarjo, Jawa Timur.
Sebelum menemukan naskah Layang Ijo versi asli, peneliti
terlebih dahulu mencermati edisi fotokopian naskah yang dimiliki
oleh H. Ali Syafi’i di Mantingan, Jepara. H. Ali Syafi’i memiliki
dua macam kopian: pertama, fotokopian Naskah Layang Ijo
berbahasa Jawa dengan aksara Latin dan yang kedua berbahasa
Jawa dengan aksara Pegon. Pada kolofon naskah versi aksara Latin
terdapat penjelasan bahwa kopian naskah tersebut merupakan
turunan dari naskah Layang Ijo beraksara Pegon yang ditulis ulang
oleh Asmudji Al-Asmu’in Mujianto dengan Aksara Latin, yang
dimulai pada 10 Oktober 1998 dan diakhiri pada 29 Juli 1999.11
Adapun pada naskah Layang Ijo koleksi H. Ali Syafi’i versi
Pegon pada kolofon dijelaskan bahwa naskah tersebut adalah
tulisan ulang K. Muhammad Thohari yang penulisannya dimulai
pada 27 Rajab 1409 H./1989 M. Setelah dilakukan pengamatan
lebih serius terhadap naskah dikoleksi oleh H. Ali Syafi’i, ternyata

10
Gillian Brown & George Yule, Analisis Wacana, (Jakarta: Gramedia,
1996), h. 35-40.
11
Observasi peneliti di kediaman Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Jawa
Timur, sebagai kolektor naskah Layang Ijo dalam versi aslinya, pada 30 Juli
2008.

348
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

kedua naskah tersebut foto kopian dari naskah Layang Ijo yang
ditulis ulang oleh Asmudji Al-Asmu’in Mujianto versi aksara Latin
dan oleh Kyai Mohammad Thohari yang versi aksara Pegon. Hal
ini dibenarkan oleh H. Ali Syafi’i. Menurut penjelasan H. Ali
Syafi’i, kedua naskah tersebut diperoleh dari Kyai Mohammad
Thohari, Kriyan, Sidoarjo setelah melakukan suatu proses lelaku
tertentu. Adapun naskah Layang Ijo yang asli disimpan oleh Kyai
Mohammad Thohari, Sidoarjo.12
Dengan demikian, peneliti berusaha menemukan naskah asli
yang dikoleksi dan simpan oleh Kyai Mohammad Thohari,
Sidoarjo. Informasi awal dari H. Ali peneliti gunakan untuk
melacak lebih lanjut keberadaan naskah asli Layang Ijo yang
disimpan oleh Kyai Mohammad Thohari. Dalam observasi ke
Kriyan, Sidoarjo, peneliti sampai di kediaman Kyai Mohammad
Thohari. Rumahnya cukup sederhana. Di ruang tamu tidak
menampakkan kemewahan, justru beberapa kitab masih berserakan
di meja dan hiasan kaligrafi di dinding-dinding ruang tamu. Di
sinilah peneliti ditunjukkan naskah Layang Ijo hasila penulisan
ulang yang ia kerjakan, se-dangkan yang asli disimpan di rumah
peninggalan orangtuanya yang berjarak sekitar 2 km dari
rumahnya.

Gambar 1:
Kesederhanaan Kyai Mohammad Thohari (Sidoarjo),
Kolektor Naskah Layang Ijo

12
Diolah berdasarkan wawancara peneliti dengan H. Ali Syafi’i pada 3
Maret 2008 dan 2 Juli 2008.

349
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Menurut penuturan Kyai Mohammad Thohari, naskah Layang


Ijo versi aksara Pegon sudah mengalami penulisan ulang yang dia
lakukan sebanyak empat kali, antara tahun 1989-1997. Tujuan
penyalinan itu adalah untuk menjaga agar naskah Layang Ijo yang
asli tetap terjaga dan tidak rusak. Hasil salinan tersebut kemudian
dia bagikan kepada anak dan saudara-saudaranya, agar ajaran
tasawuf yang ada dalam kitab tersebut tetap terjaga dan diamalkan
dalam kehidupan sehari-hari.
Karena itu, peneliti melacak lebih lanjut naskah yang benar-
benar asli yang disimpan di rumah orangtuanya, yang kini didiami
adik Kyai Mohammad Thohari. Ternyata naskah Layang Ijo
tersebut masih tersimpan rapi di kotak kayu warna coklat. Peneliti
melakukan pengamatan secara detil, dan di bagian kolofon justru
tidak ada keterang tentang kapan dan oleh siapa naskah tersebut
ditulis. Dengan mempertimbangkan kriteria naskah adalah tulisan
tangan dan berusia 50 tahun, maka peneliti memutuskan naskah
yang dikoleksi oleh Kyai Mohammad Thohari, yang masih
tersimpan di kotak kayu sebagai naskah yang dipilih sebagai objek
kajian. Naskah salinan yang lain merupakan tulisan ulang yang baru
berusia sekitar 15 tahun. Meski demikian, tulisan ulang atau
fotokopiannya tetap peneliti posisikan sebagai naskah pembantu
dalam memahami isi naskah yang dijadikan objek kajian.
Naskah Layang Ijo ini semula merupakan koleksi K. Jaelani
desa Watu Tulis, Kriyan, Sidoarjo. Menurut keterangan Kyai
Mohammad Thohari, K. Jaelani hidup pada masa penjajahan
Belanda. K. Jaelani dikenal sebagai sosok yang kaya dan memiliki
hubungan yang akrab dengan M. Fadel, yaitu ayah dari M. Thohari.
Kebetulan K. Jaelani tidak memiliki anak. Dia miliki dua anak
angkat, namun dinilai tidak cocok menyimpan naskah tersebut.
Tidak lama setelah K. Jaelani meninggal, istrinya bermimpi.
Dalam mimpi itu, ia mendapat pesan dari suaminya agar kitab ini
disimpan itu diserahkan kepada orang yang benar-benar bisa
menjalani isinya. “Kitab iki ojo diwehno sopo-sopo, wenehno
marang wong kang iso ngelakoni” (Kitab ini jangan diberikan
kepada siapapun, kecuali kepada orang yang benar-benar bisa
mengamalkannya), demikian pesan dalam mimpi itu sebagaimana

350
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

yang ditirukan oleh M. Thohari.13 Atas petunjuk yang dimiliki


akhirnya kitab itu diserahkan kepada K. Fadel yang dikenal senang
mela-kukan tirakat dan berpuasa bertahun-tahun, serta hidupnya
hanya untuk mengabdi kepada Allah. Sedangkan M. Thohari adalah
salah seorang anak dari K. Fadel yang dianggap cocok meneruskan
ajaran-ajaran yang ada dalam Kitab Layang Ijo hingga sampai
sekarang.

2. Deskripsi Naskah Layang Ijo


Naskah ini tidak memiliki nama dan tidak diketahui
pengarangnya. Dinamakan Kitab Layang Ijo (surat warna hijau)
oleh kolektornya, karena kertas yang digunakan untuk menulis
seluruhnya berwarna hijau (telur asin) termasuk sampulnya. Secara
keseluruhan tebalnya 611 halaman dengan penomoran
menggunakan angka Arab yang warnanya kurang jelas karena tinta
sudah agar melebar. Ukuran naskah 31 x 14 cm, sedangkan ukuran
teksnya adalah 25 x 13 cm, kecuali pada halaman 1 dan 2 yang
ukuran teksnya hanya 12 x 15 cm. Sedangkan jumlah barisnya
dalam setiap halaman 21 baris, kecuali halaman 1 dan 2 yang hanya
12 baris dalam garis kotak berukuran 13 x 16 cm. Sedangkan teks
yang terdapat mulai halaman 3 seterusnya tanpa menggunakan
kotak.
Tulisan teks menggunakan bahasa Jawa aksara Pegon kecuali
pada kalimah lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh yang
terdapat pada bagian akhir suatu sub topik bahasan. Tulisan
berwarna hitam kecuali pada kalimah lā ilāha illallāh
Muhammadur-rasūlullāh setiap awal fashl yang selalu
menggunakan warna merah. Warna merah juga terdapat pada baris
tertentu yang memiliki penekanan arti atau maksud yang
ditonjolkan.
Sedangkan aksara yang digunakan adalah aksara Pegon,
dengan tanpa garis panduan dan tanpa iluminasi. Teks ditulis di atas
kertas Eropa warna hujau tanpa ada keterangan cap kertas. Naskah
dijilid dengan hard cover berbahan karton tebal warna hijau dengan
lapisan plastik putih polos. Kondisi naskah masih baik, namun pada

13
Wawancara peneliti dengan Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Jawa Ti-
mur, kolektor naskah Layang Ijo dalam versi asli, pada 30 Juli 2008.

351
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

jilidan ada sebagian lembar yang mulai sobek hampir terlepas.


Meskipun demikian, masih bisa diketahui bahwa naskah ini terdiri
dari 30 kuras, dengan masing-masing kurang kira-kira 20-22
lembar.

Gambar 2: Cover Layang Ijo

Terkait penulis atau penyalin naskah, tidak terdapat informasi


— baik di cover maupu di kolofon — yang menjelaskannya.
Menurut keterangan M. Thohari, naskah ini ditulis pada zaman
penjajahan Belanda sekitar abad akhir 18 M. Informasi ini sesuai
dengan jenis kertas Eropa yang digunakan yang menurut para
filolog sebagai jenis kertas yang dibuat pada era abad 18-an.
Tidak dimunculkannya nama penulis dimaksudkan sebagai
siasat politik, agar sang penulis tidak ditangkap Belanda. Karena
kolonial Belanda selalu mencari tokoh-tokoh Islam yang
menyebarkan wawasan pencerahan keislaman maupun gerakan
yang membahayakan kekuasaannya. Agama Islam, dalam hal ini,
diang-gap sebagai ancaman bagi kolonial Belanda, karena sedari
awal Islam menentang penindasan dan perampasan hak-hak
kemanusia-an. Itulah sebabnya, pada zaman Belanda banyak
naskah yang tanpa judul dan tidak diketahui pengarangnya.
Menariknya, pada saat kebebasan berpikir terbelenggu, ternyata
masih ada para intelektual dari masyarakat pinggiran yang
produktif menulis, demi pencerahan kepada masyarakat dan
menyemaikan nilai-nilai kema-nusiaan, dan ketuhanan. Kehadiran

352
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Kitab Layang Ijo adalah sebagai penanda atas gerakan intelektual


yang datang dari masyarakat bawah dan pinggiran tersebut.
3. Ringkasan dan Kutipan Isi Layang Ijo
Tema pokok dalam naskah ini tentang seluk beluk fenomena
tasawuf dalam masyarakat perkampungan di pelosok Jawa dengan
para tokoh wali sebagai figurnya. Oleh karena itu, seluk beluk
tasawuf dalam wacana, kisah, sejarah, dan jejaknya sangat mewar-
nai dalam naskah ini.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran Islam di Jawa telah
memperkaya khazanah intelektual yang telah ada dan salah satunya
adalah tasawuf. Bahkan tasawuf telah menjadi media islamisasi
yang efektif lantaran wataknya yang toleran dan akomodatif
terhadap khazanah budaya lokal sebagaimana dilakukan oleh
Walisongo.
Hal-hal yang tertuang dalam naskah Layang Ijo juga tidak
terlepas dari hal yang telah diwariskan oleh para wali berikut ajaran
tauhid yang kental serta jejak kiprahnya di tanah Jawa. Hal yang tak
kalah menarik dalam naskah Layang Ijo ini adalah terekam peti-
lasan dan makam sebagian wali yang setelah dirunut oleh kolektor
kitab ini terbukti kebenarannya.
Sebelum mendalami lebih jauh keutuhan identifikasi isi kitab
ini, berikut peneliti sajikan kutipan naskah bagian awal, tengah, dan
akhir.

Bagian Awal:
“Lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh. Ingsun ami-witiamuji anyebut
asmaning Allah. Kang murah ing dunya mangke kang asih ing akhirat.
Pamijine pamujine datan pegat. Angganjar wong mukmin kang tuhu.
Angapura dosa-nira. Faslun sigeg kang winarni. Anutur lampah kang
kino. Saking Adam iku asale. Ana kang dadi maulana. Ono kang dadi
auliyak. Saking Adam asalipun. Nabi Adam apeputra. Wolung dasa sanga
iki. Putrane Nabi Adam. Nabi Sys ninggih putrane. Nabi Sys apeputra
kaleh sami Jalu nira. Kang sepuh wastanipun. Raden Anwas wastanira.
Nurcahya ingkang weragil. Raden Anwas apeputra. Raden Kinad
nenggeh wastanira. Raden Kinad apeputra. Raden Mustakhil wastanira.
Raden Mustakhil asesunu. Raden Majid wasta-nira. Raden Majid asesiwi.
Nabi Idris wastanira.”14

14
Bagian awal naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari,
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.

353
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Gambar 3:
Bagian Awal Naskah Layang Ijo

Bagian Tengah:
“Lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh. Wonten kawruh jenenge
ahurip. Azalullah kang denwicara. Martabat pitu arane. Iku wiwita
nguyup. Dzat semata ngaweruhi diri. Tan mawi kenyataan nafi jatinipun.
Pan dereng amawi kersa. Martabate. Ahadiyah kang amiwiti. Aran
Sarihul Adam. Akasara La ingkang amiwiti. Ahadiyah dunungi ing La.
Pan sekawan kathahe nafine...ingkang dingin nafi maslub. Kaping kalih
ingaranan tahlil. Kaping tiga tasbih ika.Sekawan punika. Tegese maslub.
Tan ana. Werna rupa ora ruh ora jisim. Jisime wewangunan. Tegese
ingkang nafi tahlil. Tan wiwitan….maha sici ing Yang Agung…Anging
Allah ingkang Tunggal. Tan loro tetelu. Tan ana pangeran liyan. Anging
Allah kang sinembah kang sinuji”15

15
Bagian tengah naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari,
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.

354
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Gambar 4:
Bagian Pertengahan Naskah Layang Ijo

Bagian Akhir:
“Nyata Ratu kang luwih mulya. Derajate para wali. Perintahe lir gula
derawa. Ewestoke sukma jati. Ambune kebak Gesturi. Nerus Sapta ganda
aruum. Lir gandane suwarga. Angalih wonten jasmani. Dewe ruhiyah
sukmajati dadi tunggal. Pepegane kang anyurat. Oleha berkate para
Wali. Oleha berkate Qur’an. Oleha berkate para Nabi. Oleh berkate Jeng
Gusti. Rasulullah Gusti kang Luhur.Oleha berkate wong tuwa. Para
ulama lan para mukmin. Lan oleha pangapuraning kang burbeng alam.
Tammat. Wallāhuhu a’lam”16

16
Bagian akhir naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari,
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.

355
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Gambar 5:
Bagian Akhir Naskah Layang Ijo

4. Jejak dan Tema-Tema Tasawuf dalam Layang Ijo


Tasawuf merupakan bagian dari salah satu cabang ilmu dalam
tradisi Islam selain Kalam, Fiqh, dan Falsafat. Di Jawa, proses
transmisinya tidak terlepas dari sentuhan para wali yang
menjadikan Islam di Jawa lebih berwarna sufistik dengan segala
macam modelnya. Hal ini juga seperti disinyalir oleh Hamka yang
menilai bahwa suasana tasawuf telah meliputi Indonesia selama
berabad-abad, sejak awal perkembangan Islam pada abad ke-13 dan
ke-14 M. Sampai pula ke Indonesia tarekat-tarekat dan tasawuf
dengan berbagai tokoh dan coraknya.

356
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Fenomena tersebut diperkuat dengan rekaman jejak tasawuf


yang tertuang dalam naskah Layang Ijo yang kalau dipetakan
setidaknya mencakup hal-hal sebagai berikut:

a. Jejak Petilasan Para Wali


Semua informasi yang terdapat dalam Naskah Layang Ijo
selalu diilustrasikan dalam wujud tembang Jawa dengan segala
macamnya. Oleh karena itu, penekanan pada sajak dan panjang
suku kata sangat diperhatikan dalam deskripsi kalimatnya. Tentang
jejak petilasan wali dapat dicermati pada perjalanan Raden Abdul
Jalil yang sebagian kelompok masyarakat mengenal sebagai Syekh
Siti Jenar, dalam kutipan berikut:

(SINAMBIR DANDANG TEMBANG): “Wus pamit Ra-den Abdul Jalil.


Ing Jeng Sunan Ampel dento mulyo. Tumulya lumampah mudun jurang
amunggah gunung. Lampah ira Raden Abdul Jalil. Tan kawerno ing
marga. Jepara wus rawuh. Tumulyo kendel ning wono Siti Jenar wono
parek ning pesisir. Abdul Jalil adedekah.17

Kutipan ini menunjukkan bahwa Raden Abdul Jalil yang tidak


lain sebagai murid dari Sunan Ampel setelah keilmuannya dianggap
cukup, akhirnya ‘turun gunung’ dan memasuki kawasan Jepara, di
sekitar perkampungan Siti Jenar daerah pesisir. Informasi awal ini
menjadi menginspirasi K. Muhammaad Thohari untuk
membuktikan kebenarannya. Maka ia berkunjung ke Jepara, sekitar
tiga tahun yang lalu, untuk mencari bukti terkait petilasan Raden
Abdul Jalil di Jepara. Ternyata keberadaannya memang benar,
bahkan makam-nya bisa ditemukan di komplek makam Kramat
Ratu Kalinyamat Mantingan, Jepara.

b. Misi Para Wali


(BERONTO KINGKENG TEMBANG) “Mangkono sang adi murti.
Umatur ing Sunan Bonang. Dawek kang emas kesah mangke. Talabul
ilmu kelawan amba. Munggah haji da-teng Mekah. Sunan bonang kang
anurut semedyo ing kakbah tullah … Kinon ngislam aken singgeh. Yudane
tanah Jawa…”18

17
Naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo,
Jawa Timur, h. 166.
18
Ibid., h. 123.

357
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Kutipan di atas memberikan informasi bahwa para murid


Sunan Bonang, yaitu para Wali di Jawa, diberikan mandat untuk
mengislamkan tanah Jawa, baik melalui menuntut ilmu maupun
ritual ibadah haji. Artinya setelah menjalankan ibadah haji,
sebaiknya seseorang kembali ke Jawa untuk menyebarkan ilmu dan
islam di tanah Jawa.

c. Lelakon Para Wali


(RONDRA TILAR TEMBANG) “Kacapo lampahe auliyah. Nejo tafakur
alinggih. Kelanggung beronto nira. Amicoro ilmu sejati. Angen-angen
wahdatut tauhid lawan ngaji ilmu junun. Ushuluddin lan makrifat. Lawan
ngaji ilmu fana’i. pan punika lampahe para auliya. Tafakure ahadiyah
mboten den alem jalmi. Lan mboten nejo ganjaran. Netepi bekti Hyang
Widi. Lan mboten manah ajreh. Neraka samning makhluk.”19

Teks di atas memperkenalkan lelaku para wali yang selalu


menunjukkan sikap tafakur untuk menemukan ilmu sejati. Tafakur
menjadi kata kunci dalam lelampahan (sikap) para wali sehingga
mereka bisa mencapai derajat yang tinggi. Hal ini sejalan dengan
spirit Islam yang populer di telinga: ad-dīn huwa al-’aqlu lā dīna
liman lā aqla lahu. Agama itu membutuhkan nalar (tafakur), maka
bagi yang beragama tapi meninggalkan tafakur, maka
keberagamaannya tentu disangsikan.
Hal yang menarik dari tafakur para wali bukan karena ingin
mendapatkan ganjaran atau takut kepada neraka, atau ingin dipuji
orang lain, tetapi semua itu dilakukan semata-mata bentuk cintanya
kepada Sang Pencipta. Tafakur inilah yang akan mengantarkan
mereka pada wahdatut tauhid, ilmu junun, ushuluddin, hingga
ma’rifah kepada Allah.

d. Ilmu Roso Pangrasa


(ASMARADANA TEMBANG) “Jeng Sunan Giri amurwani.
Anrerembug ing ilmu roso. Mengkono pangandikane. Man arafa nafsahu
ing pamanggih kawulo. Faqad ‘arafa rabbahu. Sesucine raga nira;
Hadas akbar lan asghare. Syahadat shalat lan puasa. Anenggeh ing

19
Ibid.

358
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

wulan Ramadhan. Zakat fitrah munggah hajiya. Mung angen-angenira.


Turune nafas ireku. Howonipun lawwamah”20

Kutipan di atas memberikan pelajaran kepada pembaca perihal


ajaran Sunan Giri tentang ilmu rasa pangrasa. Ilmu rasa pangrasa
hanya bisa ditemukan manakala setiap insan memahami kesejatian
dirinya (man ‘arafa nafsahu) atau dalam bahasa Jawa sering
dikenal dengan eling wetone, ingat jatidirinya. Hal inilah yang
mengantarkannya hingga ma’rifah kepada Allah (faqad ‘arafa
rabbahu). Oleh karena itu, agar manusia mampu menemukan
jatidirinya perlu melakukan perenungan-perenungan dengan
menjaga kesucian jiwa dan raga dengan tetap melakukan ibadah
sebagai jalan syari’at: shalat, puasa, zakat dan seterusnya yang
dilandasi dengan semanat tauhid (syahadah) agar menghadirkan
emosi positif dan menghindarkan nafsu negatif.

e. Jalan Ṭariqah
Jenenge torekot iki dedalane wong lumampah. Dumateng Allah kersane.
Pepitu kang lumampahan. Sawiji iku atobat. Tegese tobat puniko. Anuwun
ing pangapuro: ing dzat kang maha suci. Lamun dosa maring Allah.
Ingkang akeh pane-bute. Lamun dosa ing manungso. Kebat sira anjaluko.
Halale wong puniko. yaiku kaweruhana: kaping kaleh amertapi. Tegese
topo puniko. Munkir donyo ing manahe. Ananging ngalap sekedar.
Cukupe sangu ibadah. Sedino lawan sedalu. Ibadah marang pangeran:
ingkang kaping tiga niki ang-ngangguwa ati kuna’ah. Anenggih kuna’ah.
Anerimo pandume Allah. Ngalap cukup ingkang ana. Yen kurang tan kena
wadol. ing Allah miwah sesama: kang kaping sekawan niki puniko apan
tawakal. Nenggih tawakal meniko tegese. An-rima pasrah ing Allah. Lir
kadio jalmo kang pejah. Sinirom miwah den bungkus. Kang pejah mendel
kewala: ora jaluk dipun dusi miwah jaluk datheng liyan. Naliko mayit
adusi. Nanging wong kang gesang. Puniko kang gadah kerso. Ngedusi
miwah ambungkus. Dumateng tiyang kang pejah: ingkang kaping lima
niki anganggowa ati kang shobar. Ninggih shobar iku tegese ambahu
rekso ing manah. Derapun aja ngresulo. Ngabekti mareng yang agung.
Siang dalu ora pegot: lan malihe aja sedeh anyegah laku maksiyat
sumerto fekir miskine. Puniko aja susah kena coba. Belahi saking yang
agung. Tumibo dumateng sira: ingkang kaping nenem niki. Puniko syukur
ing Allah. Anenggih syukur tegese, wuningo sedaya nikmat. Kang tumiba
ing badan. Iku Allah kang maha agung. Paring nikmat ing kawulo: …
ingkang kaping pitu niki anganggowo ati kang ikhlas. Pan ikhlas iku

20
Ibid., h. 145.

359
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

tegese sedoyo amal ibadah. Anediyo bekti ing Allah. Dateng nediyo ing
liyanipun. Allah ingkang maha mulya.”21

Kutipan di atas menunjukkan jalan (ṭariqah) yang dilakukan


oleh para wali. Di antara tahapan jalan ṭariqah itu antara lain:
1) melakukan taubat, yaitu memohon ampunan kepada Allah
dengan tekad untuk tidak mengulanginya. Bila dosa berhubungan
dengan manusia lain (horizontal) juga harus segera meminta maaf.
Saling memaafkan adalah bagian dari jalan taubat; 2) tidak
terperdaya oleh hal-hal duniawi. Materi tidak dijadikan sebagai
tujuan, sehingga dalam berhubungan dengan urusan keduniawian
tidak sampai melalaikan urusan cintanya kepada Allah. Dunia
sebagai sarana untuk ibadah kepada Allah; 3) qana’ah, yaitu
menerima hal-hal yang dimilikinya namun tetap berusaha untuk
lebih maju. Kekurangan atau kegagalan tidak menjadikannya
merendahkan diri apalagi kepada Allah; 4) tawakkal, yaitu sikap
pasrah total kepada Allah atas semua persoalan yang dihadapi, baik
yang pahit maupun yang manis. Sikap pasrah ini dianalogikan
bagaikan mayat yang tidak minta dimandikan, tetapi biarlah orang
yang masih hidup yang memandikannya. Artinya, sikap pasrah itu
tidak akan menyalahkan pihak lain, apalagi menuntutnya secara
berlebihan atas masalah yang dihadapi manusia; 5) syukur, yaitu
selalu mengingat atas nikmat yang diberikan Allah bahkan dari
yang nampak sepele sekalipun. Seperti nikmat bernapas secara
gratis atau aktivitas tubuh lain yang seringkali dinafikan oleh
manusia.

f. Menyatunya Syariat dan Hakikat


(RONDRA TILAR TEMBANG) “Jenenge hakikat iki. Kawulo sampun
tumeko. Lumampahan dateng gustine. Opan sampun pepanggihan. Allah
weruh ing kawulo. Kawulo we-ruh yang Agung. Nanging Allah weruh
tanpa werno: Sapa ingkang seja kepanggeh ing Allah. Kang Maha mulya.
Nge-lampahi tharikate. Syariat iku den tinggal. Sejatine tan tumeko. Lir
kadyo wong nunggang perahu. Layaran ning daratan… ono wong seja
kepanggeh. Duamteng Allah kang Mulya. Ngelampahi syare’ate. Tharikat
iku den tinggal. Seja-tine tan tumeko. Lir kadi wong nyeberang laut. Ning
tengah tanpa tunggangan”22

21
Ibid., h. 156-157.
22
Ibid., h. 150.

360
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

Kitab Layang Ijo lewat kutipan di atas memberikan


pemahaman bahwa antara syari’at dan haqiqah harus berjalan
beriringan dan tidak menafikan yang lain. Haqiqah itu bagian dari
bentuk kehadiran diri yang terasa begitu dekat dengan Allah,
bahkan sempat ‘bertemu’ untuk komunikasi secara lebih dekat.
Atau paling tidak hamba merasa melihat Allah, demikian
sebaliknya Allah melihat hamba-Nya, sehingga ada komunikasi dua
arah begitu mesra. Apabila ada hamba ingin berjumpa dengan Allah
hanya menempuh jalan haqiqah dan mengabaikan syari’at, hal ini
diumpamakan orang naik perahu di daratan. Demikian juga
sebaliknya, menja-lankan syari’at, tetapi mengabaikan haqiqah
bagaikan menyebe-rang lautan tetapi tanpa perahu. Maka keduanya
harus berjalan secara seimbang dan saling menguatkan.

g. Ilmu sejati
(SINOM TEMBANG) Raden Abdul Jalil punika meksih wonten ing
ngampel Gading. Sekelangkung beronto nira. Amicara ngelmu sejati.
Nulya ngaji wahdatut tauhid. Lawan ngaji ilmu junun. Ushuluddin lan
makrifat. Lawan ngaji fanak. Ingkang mulang kanjeng Sunan Ngampel
dento; … kailmuan gangsal punika. ngelmu kang bakal dadi terange
manah kawula. Kanjeng Sunan sabda aris. Ilmu wahdatut tauhid iku
tegesera.: sanubari kang amicara. Kawula tunggal lan gusti. Gusti
tunggal ing kawula. Apan kumpul dadi siji. Ing dalem kalimat takbir.
Munajat maring Yang Agung. Tan ana gusti kawulo. Kawula pan dadi
gusti. Pan sanepo kadi jeni awor tembaga: Wus ilang jenenge tembaga.
Sumerta arane jeni. Ananging ingkang gumebyar. Iku cahyanipun
jeni:Abdul Jaling sira kang titi. Kinayah kang kaya iku. Pan Gusti dudu
kawulo. Lebure papan lan tulis. Allah iku kumpule tanpa gepokan.
Ilmu Junun teges ira. Kawulo tan biso amikir. Ing Dzate Allah ta’ala.
Wujude amung satunggal. Sumerta tan owah gingser. Pangeran kang
Maha Agung. Sedaya kawulanira satingkah polahe pasti. Bebarengan ing
Allah kang Maha Mulya:
Ushuluddin teges ira. Tafakure sanubari. Kawula iku lumampah. Ing
Allah kang Maha Suci. Anangung Allah barengi. Ing kawula lampahipun.
Lumampah tan mawi pisah. Kalan manungsa:
Tegese ilmu makrifat. Tafakure sanubari. Arep weruh pangeran ira.
Ningali dumateng diri. Tan bisa wujud pribadi. Sarta wujude suwung.
Cangkeme tan bisa ngucap mata kaleh tan paget ningali sumertane
badane tan bisa polah: sedoyo tingkahe jalma. Pangucap lawan ningali.
Puniko Allah kang karyo manuso iku barengi. Ananging datan dayani.

361
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Kawulo pertingkahipun. Mung Allah kang maha mulya. Anduweni sifat


qodar. Dadi pasti anane Allah Taala”.23

Ilmu sejati merupakan ilmu yang dipegang teguh oleh para


wali yang menurut versi kitab Layang Ijo setidaknya meliputi
empat poin: a) ilmu wahdatut tauhid, yaitu menyatunya hamba
dengan Tuhan, namun menyatunya tanpa bersentuhan. Meskipun
tidak bersentuhan, namun efek pencerahannya begitu terasa bahkan
dampaknya mampu melahirkan cahaya suci yang menjadikannya
pribadi memperoleh derajat baru yang lebih tinggi; b) Ilmu Junun,
yaitu kesadaran akan kehadiran Allah dalam segala aktivitas dalam
dirinya, lahir maupun batin, sehingga proses transendensi selalu
terjadi dalam melihat realitas yang dihadapinya; c) ushuluddin,
yaitu hati sanubari yang bertafakur, dalam meniti kehidupan nyata,
sehingga seakan tidak ada ruang untuk berpisah dengan-Nya; d)
Ilmu ma’rifah, yaitu kerinduan ingin berjumpa dengan Allah dan
menemukan nikmat kehadiran-Nya, meski dalam suka maupun
duka, sehingga memperkuat eksistensi wujud Ilahi secara mutlak.

h. Ramuan Bening Hati


(SINOM TEMBANG) “Abdul Jalil matur enggal. Dateng Sunan
Ngampel gading. Duh gusti tinggal kawulo. Ing Allah kang Maha Suci.
Punika dereng bening. Peningal meksih belawur. Jeng Sunan Lajeng
Sabdanya. Atinira Meksih sakit. Jampinan racikan lima kathahe; Sawiji
amaca Qur’an. Sarta weruh makna neki. Peng kalih ngurangi pangan.
Derapun padang ingkang ati. Peng tiga melek ing wengi. Tafakur marang
Haynag Agung. Kaping pat anyegah hawa. Peng lima nyebut. Datan
pegot nebut Allah den sareng nafas.”24

Di saat banyak orang mengalami dan dihantui kegelisahan dan


stress, kitab Layang Ijo memiliki konsep bening hati yang bisa
dilakukan sebagai terapi dengan tahapan sebagai berikut: 1)
membaca Al-Qur’an dengan merefleksikan maknanya; 2)
mengurangi makan dan makan secukupnya; 3) banyak tadabur dan
tafakur pada malam hari, sehingga menemukan kesejatian dirinya;
4) mencegah hawa nafsu yang mengajak pada kemunkaran; dan 5)
banyak zikir kepada Allah dalam setiap napas.
23
Ibid., h. 161.
24
Ibid., h. 162.

362
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

i. Jalan Kematian Syekh Siti Djenar:


(RONDA TILAR TEMBANG) “Kawula ngutus gusti. Wahu
Kanjeng Sunan Bonang. Kinen animbali wiyose. Ing paduka Siti Jenar.
Saringa lampah kawula. Siti Jenar Lajeng amuwus. Maturo ing gusti
nira: Siti Jenar ora ana ngriki. Amung Allah ingkang ana. Punang utusan
lon ature. Lingsir saking wisma nira. Tan adangu sampun perapto.
Ngersane jeng sinuwun. Jeng Sunan Lan ngendika.”25
Kang duta matur agelis. Siti Jenar lawan Allah karo tinimbalan age.
Sesarengan lawan kawula. Yato angleng siti Jenar. Iya duta ingsun melu.
Sigera sareng lawan kang duta: yato wahu sampun perapti. Siti Jenar
ning ngarso Sunan. Wus sami atata linggihe. Siti Jenar uneng tengah.
Para wali ngapet sedaya. Sunan bonang ngandika arum. Maring Sunan
Kudus ika: Lah Sunan Kudus den agelis. Siri Jenar anarik pedang. Siti
Jenar giya pinedang. Gulune pegar wus rampung. Rahnya pethak nulya
amedal: Gondone emerebuk wangi. Siti Jenar pan wus Seda. Nenggeh
wahu punag layune. Mumbul dateng angkasa. Sunan Kudus angandika.
Eh Siti Jenar sira iku. Patimu lir perayangan;”26

Kitab Layang Ijo juga merekam jejak kematian Syekh Siti


Jenar. Teks di atas menunjukkan bahwa jalan kematian Syekh Siti
Jenar tidak lepas dari keputusan para wali, dengan Sunan Kudus
sebagai eksekutornya. Namun alasan di balik keputusan para wali
mengeksekusi Syekh Siti Jenar tidak lepas dari perbedaan
pandangan yang tampaknya Syekh Siti Jenar lebih mengedepankan
haqiqah, kurang memberi tempat pada syari’ah, sementara Dewan
Wali mendudukkan haqiqah dan syari’at secara beriringan.
Kalau melihat konstrusksi sosial keagamaan masyarakat Jawa
pada zaman itu, keislamannya masih awam, sehingga pemikiran
Syekh Siti Jenar dengan manunggaling kawulo gusti, belum bisa
dipahami secara benar dan akan mudah menyesatkan orang awam.
Atas pertimbangan itu, Dewan Wali memutuskan untuk
mengeksekusinya. Begitu Syekh Siti Jenar wafat, ternyata bau
harum menebar di sekitar jenazahnya. Hal ini sebagai isyarat bahwa
jalan kematian Syekh Siti Jenar penuh misteri. Sedangkan
ajarannya bisa jadi sebagai bentuk keyakinan sufistiknya yang lebih
tinggi. Namun kearifan Dewan Wali juga tidak bisa diabaikan,

25
Ibid., h. 146.
26
Ibid., h. 147.

363
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

karena mereka sadar akan kondisi keberagamaan umat ketika itu


yang imannya masih lemah, karena baru mengenal Islam.

Penutup
Kehadiran kitab Layang Ijo memberikan pelajaran kepada
pembaca bahwa tradisi menulis di Jawa sebenarnya telah tumbuh
dari zaman ke zaman dan sekaligus sebagai respon dan rekam jejak
kehidupan yang menonjol pada zamannya. Naskah kitab Layang Ijo
hidup dalam konteks sejarahnya pada kehidupan Wali Sanga,
meskipun isinya melampaui dari sekedar cerita Wali Sanga.
Kehadirannya merupakan sebuah bukti bahwa menulis adalah
perlawanan, karena tradisi menulis yang anonim tidak lepas dari
strategi politis agar identitas pribadinya tidak diketahui oleh pihak
lawan.
Kalau direnungkan dari sisi isi naskah, naskah ini memberi
semangat bagi pembaca untuk selalu memikirkan atas realitas yang
dihadapinya. Misalnya tentang perilaku para Wali yang selalu
menunjukkan sikap tafakur, hal ini tidak lepas dari penekanan pada
potensi pikir dan zikirnya, agar manusia paham akan realitas,
termasuk realitas jatidirinya, baik sebagai individu, makhluk sosial,
budaya, maupun politik. Tafakur yang ditarik pada ranah yang lebih
luas, beyond transendental akan melahirkan kesadaran kritis yang
melahirkan kesadaran relasi antara yang menguasi dan dikuasai,
yang mendominasi dan didominasi, dan hingga kesadaran antara
yang dijajah dengan yang menjajah. Wajarlah bila kolonial
Belanda, sebagaimana dituturkan oleh kolektor naskah ini, selalu
melakukan operasi besar-besaran terhadap para penulis naskah
yang menggugah semangat rakyat.
Kitab Layang Ijo juga menjadi panduan singkat tentang jejak
para Wali dan sekaligus dapat dijadikan sebagai atlas Wali Sanga
yang hingga sekarang jejak dan eksistensinya masih kontroversial.
Hal yang paling menarik, nilai-nilai ajaran tasawuf, pendidikan
akhlak, dan resep bening hati yang ditawarkan dalam naskah ini
memberikan inspirasi bagi pihak yang sedang dilanda krisis moral
dan tekanan hidup yang berkepanjangan sebagaimana yang dialami
bangsa ini. Ajaran-ajaran kehidupan dalam naskah ini tampak
begitu sederhana, namun penerapannya bukan hal yang mudah.
Misalnya bagaimana memosisikan dunia materi di tengah hiruk

364
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said

pikuk manusia yang berpikir materialistis; segalanya diukur dengan


aspek material, sedangkan aspek spiritual-mental nyaris
termarginalkan.
Kitab Layang Ijo ini mengajak pada hidup secara seimbang
antara hakikat dan syariat, lahir dan batin, material-spiritual, hingga
urusan dunia dan akhirat. Jejak para Wali yang terekan dalam
naskah ini sekaligus menghadirkan figur imaginer yang meskipun
sudah tidak ada bisa didaur ulang sebagai figur yang dihidupkan
dalam konteks sekarang. Ketika bangsa kita sedang dihadapkan
pada krisis keteladanan, maka kehadiran para Wali yang sarat
dengan nilai-nilai kearifannya bisa memberikan api pengobar dan
sekaligus menyadarkan bahwa masih banyak teladan di masa lalu
yang bisa dihadirkan kembali. Bukan untuk mengkultuskan, tetapi
darinya kita bisa belajar tentang kepemimpinan, jejaring dakwah,
hingga menajemen kader. Dalam banyak hal Wali Sanga cukup
memiliki kekayaan pengalaman, sehingga meskupun mereka
memiliki generasinya masing-masing, namun jaringan pendidikan
dan dakwahnya begitu membumi dan mengakar, bahkan hingga
seka-rang warisan budayanya masih terlihat hingga sekarang.
Pada saat bangsa ini sedang bangkit menggerakkan pentingnya
pendidikan karakter dan budaya, maka warisan nilai-nilai sufistik
yang sarat dengan keluhuran etis-estetis dan kesadaran spiritualitas
yang tinggi sebagaimana diajarkan para wali tersebut, dapat
dijadikan sumber inspirasi dan peringatan pentingnya menjadi
bening hati agar manusia tetap bermartabat. Karena kitab Layang
Ijo dinarasikan dalam bahasa Jawa yang kaya akan bahasa simbolik
dengan nilai sastra yang tinggi, maka mengkajinya membutuhkan
guru atau mursyid, agar kesalahpahaman — sebagaimana terjadi di
Padepokan Santri Aluwung, Sragen, Jawa Tengah — tidak terulang
kembali.
Pendidikan karakter perlu memperhatikan pendidikan hati
nurani sebagaimana difokuskan dalam ajaran tasawuf, agar hati
tetap bercahaya, sebagaimana para Wali mengamalkannya. Melalui
ajaran para wali yang terekam dalam naskah ini, generasi kita dapat
belajar bagaimana karakter bisa dibangun bersendikan nilai-nilai
sufistik dengan menyeimbangkan antara kebutuhan ruhiah dan
badaniah. Wall±hu a’lam bi al-£aw±b.

365
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366

Daftar Pustaka
Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Dep.Dik.Bud.
Braginsky, V.I. 1988. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu
Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Brown, Gillian & Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia.
Djamaris, Edward. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV. Manasco.
Drewes, G.J.W. 2002. Perdebatan Walisongo Seputar Ma’rifa-tullah. Surabaya:
Al-Fikr.
Huda, Nurul. 2005. Darma Gandhul, Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di
Penghujung Kekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Purapustaka.
Labib MZ. t.th. Kisah Lehidupan Walisongo, Penyebar Agama Islam di Tanah
Jawa. Surabaya: CV. Bintang Timur.
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren; Perhelatan Agama dan
Tradisi. Yogyakarta: LKIS.
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Yogyakarta; Krasi Wacana.
Pudjiastuti, Titik. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Jakarta: Akademia.
Purwadi. 2001. Babad Tanah Jawa, Menelusuri Jejak Konflik. Yogyakarta;
Pustaka Alif.
Sedyawati, Edi, dkk (eds). 2001. Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum. Jakarta:
Balai Pustaka.
Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga kini
di Indonesia. Bandung: Mizan.

366

Anda mungkin juga menyukai