Abstrak
Penelitian ini mengkaji empat hal: 1) dari mana asal-usul naskah
Layang Ijo diperoleh?, 2) Apa deskripsi naskah Layang Ijo, mulai dari
kondisi fisik sampai karakteristik ajarannya?, 3) Bagaimana sejarah naskah
Layang Ijo dikumpulkan dan diajarkan?, 4) Apa nilai-nilai tasawuf apa yang
dipetik dari ajaran Layang Ijo untuk kehidupan masyarakat Islam saat ini?
Penelitian ini menggunakan prosedur filologis diikuti dengan analisis
interpretatif untuk mengungkapkan jalan tasawuf dalam ajaran Layang Ijo.
Kesimpulan dari penelitian menunjukkan bahwa tradisi menulis dalam
periode Wali Sanga bukan hanya terkait ungkapan batin (qalb), tetapi juga
sebagai respon terhadap masalah kemanusiaan dalam kehidupan nyata seperti
perilaku (lelaku) Wali Sanga. Di dalamnya juga dijelaskan pentingnya
pengetahuan yang benar (ilmu sejati), hubungan harmonis antara tarikat,
syari’at, dan hakikat, serta misteri kematian Syekh Siti Djenar. Di bagian
akhir juga dibahas jalan ma'rifatullah sebagai warisan para Nabi, Rasul, dan
kekasih Allah (Waliyyullah).
Kata Kunci: Sufisme, manuskrip, Layang Ijo, filologi, konflik dan harmoni
Abstract
This research examines four things: 1) Where do the origins of the
manuscript Layang Ijo obtained by the collector?, 2) What is the description
of the manuscript Layang Ijo ranging from physical conditions until
characteristics of teaching?, 3) What the history of the manuscript Layang
Ijo was collected dan taught?, 4) What are the values of Sufism anything that
can be drawn from the Layang Ijo for the needs of the Islamic community life
today? This research uses the philological procedures followed by
interpretative analysis to find the path of Sufism in the Layang Ijo teaching.
The conclusion of research shows that the tradition of writing in the time
period of Wali Sanga is not just an expression of inner-sense (qalb) but also
as response to the humanitarian concerns in the real life such as the mission
and behavior (lelaku) of Wali Sanga, the importance of true knowledge (ilmu
sejati), the Sufism, the harmony between tharikat, shari'ah and hakekat, as
well as the mystery of the death of Sheikh Siti Djenar also reviewed in this
manuscript. In the end it also discussed the way of ma'rifatullah as a legacy
of the prophets, apostles and the lover of God (Waliyyullah).
Keywords: Sufism, Layang Ijo manuscript, philology, conflict and harmony
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Pendahuluan
Umat Islam di Jawa Tengah, khususnya di daerah Sragen,
pernah dikejutkan oleh berita tentang aliran sempalan yang
dipelopori oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh Bedowo
Kecamatan Sidoharjo, Kabupaten Sragen. Padepokan ini dipimpin
oleh Anto Miharjo yang biasa dipanggil Gus Anto. Aliran ini
meresahkan umat Islam, karena ajaran-ajarannya nyleneh dan
dipandang menyim-pang. Di antara ajaran-ajarannya yang dianggap
menyimpang adalah: 1) Padepokan Santri Aluwung mengajarkan
praktik mandi atau berendam bersama (kungkum) dalam satu lokasi
di malam hari setelah pukul 24.00 WIB dengan tanpa lampu
penerang dan dilakukan sebelum melaksanakan salat taubat; 2)
Kitab Layang Ijo yang dijadikan pegangan oleh Padepokan Santri
Aluwung dinilai mengandung ajaran yang menyimpang dari ajaran
Islam, karena ada anjuran tidak salat dan tidak puasa ketika
seseorang sudah sampai pada maqam hakekat, dan menganggap
ajaran zakat adalah najis.1
Atas dasar itu, Majlis Ulama Indonesia (MUI) Sragen, melalui
Komisi Fatwa, mengeluarkan Surat Rekomendasi bahwa ajaran
yang dikembangkan oleh Padepokan Santri Aluwung Dukuh
Bedowo termasuk ajaran yang sesat, maksiat, dan menyimpang.
Salah satu isi rekomendasi tersebut, MUI Sragen meminta Kajari
melarang peredaran dan penyebarluasan Kitab Layang Ijo — ada
yang menyebut Risalah Hijau — yang menjadi pegangan kelompok
pedepokan tersebut.2
Kitab Layang Ijo yang diributkan tersebut, seperti disebutkan
dalam covernya, bersumber dari Kyai Mohammad Thohari
Sidoarjo. Penulis pernah meneliti manuskrip Layang Ijo dalam
1
Salinan Surat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indoensia (MUI) Sragen
tentang Padepokan Santri Aluwung, Dukuh Bedowo, Kecamatan Sidoharjo,
Kabupaten Sragen, Propinsi Jateng tertanggal 28 Rabi’ul ’Awwal 1435 H/ 30
Januari 2014 M.
2
Selengkapnya baca, “MUI Sragen: Padepokan Santri Aluwung
Menyimpang” dalam http://www.voaislam.com/read/indonesiana/2014/02/10/
28997/-mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-menyimpang/#sthash.mRsoabxS.
dpbs (diakses, 15 Mei 2015). Baca juga, “Fatwa MUI Sragen: Padepokan Santri
Alu-wung Maksiat & Menyimpang, dalam http://www.kompasislam.com/fatwa-
mui-sragen-padepokan-santri-aluwung-maksiat-enyimpang/#sthash.Y1E5qVoR.-
dpuf. Diakses, pada 15 Mei 2015.
342
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
3
Akibat ulah Anto Miharjo yang mengajarkan Kitab Layang Ijo dengan
serampangan dan mengalami salah paham membuat Kyai Mohammad Thohari
juga terkena dampaknya, sehingga pada awal tahun 2014 sempat didatangi
sejumlah pihak keamanan utusan dari Kapolres Sragen dan MUI Sragen
melakukan konfirmasi langsung di rumahnya, Sidoarjo. Wawancara peneliti
dengan Kyai Mohammad Thohari, pada 13 Mei 2015.
343
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Kerangka Teori
Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori
filologi, ilmu sosial modern, dan ilmu sastra. Filologi menekankan
penelitian naskah klasik yang di dalamnya juga mengkaji isi teks
agar bisa dipahami, dan selanjutnya menempatkannya dalam
keseluruhan sejarah masyarakat. Dengan menemukan keadaan teks
dalam konteks seperti semula, maka teks dapat terungkap secara
utuh. Dengan demikian, kebudayaan suatu masyarakat di mana teks
berada dapat diketahui, baik dari segi pandangan hidup, seni, sastra
maupun religiusitas sufistiknya.4 Tugas filologi adalah
mendapatkan naskah yang bersih dari kesalahan. Hal ini berarti
memberikan pengertian yang sebaik-baik dan bisa
dipertanggungjawabkan se-hingga dapat mengetahui naskah yang
paling dekat dengan aslinya dan sesuai dengan kebudayaan yang
melahirkannya.5
Sementara disiplin ilmu sosial-modern dan ilmu sastra akan
membantu dalam menelaah isi teks dalam hubungannya dengan
konteks sekarang, sehingga relevansi nilai-nilai yang terkandung
dalam naskah Layang Ijo bisa dimanfaatkan dalam merespon
kegelisahan sosial dan spiritual masyarakat kontemporer.
Fenomena sastra sufi dalam Islam lebih tampak menonjol
dalam bentuk hikayat hagiografis, yaitu karangan tentang riwayat
hidup atau legenda para nabi, orang-orang suci dan dalam bentuk
sastra tasawuf. Keduanya sangat lekat dengan penggunaan
lambang-lambang dalam menyampaikan pesannya, baik dalam
bentuk 'tasawuf kitab' yang cara menyampaikan idenya lebih ilmiah
4
Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan DepDikBud, 1985), h. 5-6.
5
Edward Djamaris, Metode Penelitian Filologi, (Jakarta: CV. Manasco,
2002), h. 7.
344
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
6
V.I. Braginsky, Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu
Dalam Abad 7-19, (Jakarta: INIS, 1998), h. 435.
7
Edi Sedyawati, dkk (eds), Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2001), h. 118-119.
8
Ibid., h. 178.
345
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Metodologi Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi dan sosiologi
modern. Pendekatan filologi ditekankan dalam kajian ini dengan
harapan mampu mendapatkan naskah yang paling dekat dengan
aslinya, sehingga sesuai dengan konteks kebudayaan yang
melahirkannya, dan agar naskah terhindar dari interpretasi yang
salah. Sedangkan penggunaan disiplin sosiologi modern sebagai
alat bantu dalam membedah teks naskah Layang Ijo dan
relevansinya bagi kehidupan masyarakat agama di era sekarang.
346
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
b. Tahapan Penelitian
Penelitian ini mengikuti prosedur penelitian filologi dengan
tahapan-tahapan khusus.9 Pertama, melakukan inventarisasi naskah
sebagai pertimbangan dalam penentuan naskah. Dalam hal ini
peneliti melakukan pelacakan naskah Layang Ijo kepada
kolektornya yaitu Kyai Muhammad Thohari yang berasal dari
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur, sebagai kolektor naskah utama yang
asli, dan H. Ali Syafi’i, juru kunci makam Ratu Kalinyamat
Mantingan, Jepara, Jawa Tengah yang memiliki koleksi
turunannya.
Kedua, membuat deskripsi naskah, mulai dari kondisi fisik
naskah, karakteristik, hingga substansi isinya.
Ketiga, perbandingan antar naskah dan teks, diawali dengan
pengelompokan naskah-naskah yang ditemukan yang mempunyai
kesamaan judul dan isi. Kondisi fisik dari setiap naskah sangat
menentukan dalam membandingkan antar naskah dan memilih satu
naskah yang akan dikaji. Pilihan dilakukan berdasarkan keutuhan
dan fisibilitasnya untuk dibaca.
Keempat, kritik teks. Kegiatan ini diawali dengan melakukan
reproduksi teks dengan menfotokopi setiap halaman naskah
memakai kamera digital. Selanjutnya, dari print out hasil digital itu
dilakukan tahapan-tahapan: a) tanskip, yaitu pengalihaksaraan dari
akarasa Pegon ke aksara Roman, paling tidak pada bagian awal,
tengah, dan akhir; b) pemberian fungtuasi (tanda baca) yang
sekiranya sesuai dengan kehendak teks dengan menggunakan
panduan tertentu; c) memberikan penjelasan seperlunya dengan
melampirkan catatan khusus agar pembaca lebih mudah menangkap
substansi maknanya.
Kelima, menganalisis teks. Kerangka analisis yang dipakai
dalam penelitian ini menggunakan penalaran sintesis-induktif, yaitu
penalaran yang bertolak dari sejumlah fenomena khusus
(individual), lalu memadukannya untuk menurunkan suatu
kesimpulan yang bersifat umum dari semua fenomena yang
ditemukan. Model penalaran ini digunakan untuk melakukan
9
Titik Pudjiastuti, Naskah dan Studi Naskah, (Jakarta: Akademia, 2006),
h. 161.
347
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
10
Gillian Brown & George Yule, Analisis Wacana, (Jakarta: Gramedia,
1996), h. 35-40.
11
Observasi peneliti di kediaman Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Jawa
Timur, sebagai kolektor naskah Layang Ijo dalam versi aslinya, pada 30 Juli
2008.
348
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
kedua naskah tersebut foto kopian dari naskah Layang Ijo yang
ditulis ulang oleh Asmudji Al-Asmu’in Mujianto versi aksara Latin
dan oleh Kyai Mohammad Thohari yang versi aksara Pegon. Hal
ini dibenarkan oleh H. Ali Syafi’i. Menurut penjelasan H. Ali
Syafi’i, kedua naskah tersebut diperoleh dari Kyai Mohammad
Thohari, Kriyan, Sidoarjo setelah melakukan suatu proses lelaku
tertentu. Adapun naskah Layang Ijo yang asli disimpan oleh Kyai
Mohammad Thohari, Sidoarjo.12
Dengan demikian, peneliti berusaha menemukan naskah asli
yang dikoleksi dan simpan oleh Kyai Mohammad Thohari,
Sidoarjo. Informasi awal dari H. Ali peneliti gunakan untuk
melacak lebih lanjut keberadaan naskah asli Layang Ijo yang
disimpan oleh Kyai Mohammad Thohari. Dalam observasi ke
Kriyan, Sidoarjo, peneliti sampai di kediaman Kyai Mohammad
Thohari. Rumahnya cukup sederhana. Di ruang tamu tidak
menampakkan kemewahan, justru beberapa kitab masih berserakan
di meja dan hiasan kaligrafi di dinding-dinding ruang tamu. Di
sinilah peneliti ditunjukkan naskah Layang Ijo hasila penulisan
ulang yang ia kerjakan, se-dangkan yang asli disimpan di rumah
peninggalan orangtuanya yang berjarak sekitar 2 km dari
rumahnya.
Gambar 1:
Kesederhanaan Kyai Mohammad Thohari (Sidoarjo),
Kolektor Naskah Layang Ijo
12
Diolah berdasarkan wawancara peneliti dengan H. Ali Syafi’i pada 3
Maret 2008 dan 2 Juli 2008.
349
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
350
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
13
Wawancara peneliti dengan Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Jawa Ti-
mur, kolektor naskah Layang Ijo dalam versi asli, pada 30 Juli 2008.
351
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
352
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
Bagian Awal:
“Lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh. Ingsun ami-witiamuji anyebut
asmaning Allah. Kang murah ing dunya mangke kang asih ing akhirat.
Pamijine pamujine datan pegat. Angganjar wong mukmin kang tuhu.
Angapura dosa-nira. Faslun sigeg kang winarni. Anutur lampah kang
kino. Saking Adam iku asale. Ana kang dadi maulana. Ono kang dadi
auliyak. Saking Adam asalipun. Nabi Adam apeputra. Wolung dasa sanga
iki. Putrane Nabi Adam. Nabi Sys ninggih putrane. Nabi Sys apeputra
kaleh sami Jalu nira. Kang sepuh wastanipun. Raden Anwas wastanira.
Nurcahya ingkang weragil. Raden Anwas apeputra. Raden Kinad
nenggeh wastanira. Raden Kinad apeputra. Raden Mustakhil wastanira.
Raden Mustakhil asesunu. Raden Majid wasta-nira. Raden Majid asesiwi.
Nabi Idris wastanira.”14
14
Bagian awal naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari,
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.
353
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Gambar 3:
Bagian Awal Naskah Layang Ijo
Bagian Tengah:
“Lā ilāha illallāh Muhammadurrasūlullāh. Wonten kawruh jenenge
ahurip. Azalullah kang denwicara. Martabat pitu arane. Iku wiwita
nguyup. Dzat semata ngaweruhi diri. Tan mawi kenyataan nafi jatinipun.
Pan dereng amawi kersa. Martabate. Ahadiyah kang amiwiti. Aran
Sarihul Adam. Akasara La ingkang amiwiti. Ahadiyah dunungi ing La.
Pan sekawan kathahe nafine...ingkang dingin nafi maslub. Kaping kalih
ingaranan tahlil. Kaping tiga tasbih ika.Sekawan punika. Tegese maslub.
Tan ana. Werna rupa ora ruh ora jisim. Jisime wewangunan. Tegese
ingkang nafi tahlil. Tan wiwitan….maha sici ing Yang Agung…Anging
Allah ingkang Tunggal. Tan loro tetelu. Tan ana pangeran liyan. Anging
Allah kang sinembah kang sinuji”15
15
Bagian tengah naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari,
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.
354
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
Gambar 4:
Bagian Pertengahan Naskah Layang Ijo
Bagian Akhir:
“Nyata Ratu kang luwih mulya. Derajate para wali. Perintahe lir gula
derawa. Ewestoke sukma jati. Ambune kebak Gesturi. Nerus Sapta ganda
aruum. Lir gandane suwarga. Angalih wonten jasmani. Dewe ruhiyah
sukmajati dadi tunggal. Pepegane kang anyurat. Oleha berkate para
Wali. Oleha berkate Qur’an. Oleha berkate para Nabi. Oleh berkate Jeng
Gusti. Rasulullah Gusti kang Luhur.Oleha berkate wong tuwa. Para
ulama lan para mukmin. Lan oleha pangapuraning kang burbeng alam.
Tammat. Wallāhuhu a’lam”16
16
Bagian akhir naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari,
Kriyan, Sidoarjo, Jawa Timur.
355
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Gambar 5:
Bagian Akhir Naskah Layang Ijo
356
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
17
Naskah Layang Ijo, koleksi Kyai Mohammad Thohari, Kriyan, Sidoarjo,
Jawa Timur, h. 166.
18
Ibid., h. 123.
357
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
19
Ibid.
358
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
e. Jalan Ṭariqah
Jenenge torekot iki dedalane wong lumampah. Dumateng Allah kersane.
Pepitu kang lumampahan. Sawiji iku atobat. Tegese tobat puniko. Anuwun
ing pangapuro: ing dzat kang maha suci. Lamun dosa maring Allah.
Ingkang akeh pane-bute. Lamun dosa ing manungso. Kebat sira anjaluko.
Halale wong puniko. yaiku kaweruhana: kaping kaleh amertapi. Tegese
topo puniko. Munkir donyo ing manahe. Ananging ngalap sekedar.
Cukupe sangu ibadah. Sedino lawan sedalu. Ibadah marang pangeran:
ingkang kaping tiga niki ang-ngangguwa ati kuna’ah. Anenggih kuna’ah.
Anerimo pandume Allah. Ngalap cukup ingkang ana. Yen kurang tan kena
wadol. ing Allah miwah sesama: kang kaping sekawan niki puniko apan
tawakal. Nenggih tawakal meniko tegese. An-rima pasrah ing Allah. Lir
kadio jalmo kang pejah. Sinirom miwah den bungkus. Kang pejah mendel
kewala: ora jaluk dipun dusi miwah jaluk datheng liyan. Naliko mayit
adusi. Nanging wong kang gesang. Puniko kang gadah kerso. Ngedusi
miwah ambungkus. Dumateng tiyang kang pejah: ingkang kaping lima
niki anganggowa ati kang shobar. Ninggih shobar iku tegese ambahu
rekso ing manah. Derapun aja ngresulo. Ngabekti mareng yang agung.
Siang dalu ora pegot: lan malihe aja sedeh anyegah laku maksiyat
sumerto fekir miskine. Puniko aja susah kena coba. Belahi saking yang
agung. Tumibo dumateng sira: ingkang kaping nenem niki. Puniko syukur
ing Allah. Anenggih syukur tegese, wuningo sedaya nikmat. Kang tumiba
ing badan. Iku Allah kang maha agung. Paring nikmat ing kawulo: …
ingkang kaping pitu niki anganggowo ati kang ikhlas. Pan ikhlas iku
20
Ibid., h. 145.
359
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
tegese sedoyo amal ibadah. Anediyo bekti ing Allah. Dateng nediyo ing
liyanipun. Allah ingkang maha mulya.”21
21
Ibid., h. 156-157.
22
Ibid., h. 150.
360
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
g. Ilmu sejati
(SINOM TEMBANG) Raden Abdul Jalil punika meksih wonten ing
ngampel Gading. Sekelangkung beronto nira. Amicara ngelmu sejati.
Nulya ngaji wahdatut tauhid. Lawan ngaji ilmu junun. Ushuluddin lan
makrifat. Lawan ngaji fanak. Ingkang mulang kanjeng Sunan Ngampel
dento; … kailmuan gangsal punika. ngelmu kang bakal dadi terange
manah kawula. Kanjeng Sunan sabda aris. Ilmu wahdatut tauhid iku
tegesera.: sanubari kang amicara. Kawula tunggal lan gusti. Gusti
tunggal ing kawula. Apan kumpul dadi siji. Ing dalem kalimat takbir.
Munajat maring Yang Agung. Tan ana gusti kawulo. Kawula pan dadi
gusti. Pan sanepo kadi jeni awor tembaga: Wus ilang jenenge tembaga.
Sumerta arane jeni. Ananging ingkang gumebyar. Iku cahyanipun
jeni:Abdul Jaling sira kang titi. Kinayah kang kaya iku. Pan Gusti dudu
kawulo. Lebure papan lan tulis. Allah iku kumpule tanpa gepokan.
Ilmu Junun teges ira. Kawulo tan biso amikir. Ing Dzate Allah ta’ala.
Wujude amung satunggal. Sumerta tan owah gingser. Pangeran kang
Maha Agung. Sedaya kawulanira satingkah polahe pasti. Bebarengan ing
Allah kang Maha Mulya:
Ushuluddin teges ira. Tafakure sanubari. Kawula iku lumampah. Ing
Allah kang Maha Suci. Anangung Allah barengi. Ing kawula lampahipun.
Lumampah tan mawi pisah. Kalan manungsa:
Tegese ilmu makrifat. Tafakure sanubari. Arep weruh pangeran ira.
Ningali dumateng diri. Tan bisa wujud pribadi. Sarta wujude suwung.
Cangkeme tan bisa ngucap mata kaleh tan paget ningali sumertane
badane tan bisa polah: sedoyo tingkahe jalma. Pangucap lawan ningali.
Puniko Allah kang karyo manuso iku barengi. Ananging datan dayani.
361
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
362
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
25
Ibid., h. 146.
26
Ibid., h. 147.
363
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Penutup
Kehadiran kitab Layang Ijo memberikan pelajaran kepada
pembaca bahwa tradisi menulis di Jawa sebenarnya telah tumbuh
dari zaman ke zaman dan sekaligus sebagai respon dan rekam jejak
kehidupan yang menonjol pada zamannya. Naskah kitab Layang Ijo
hidup dalam konteks sejarahnya pada kehidupan Wali Sanga,
meskipun isinya melampaui dari sekedar cerita Wali Sanga.
Kehadirannya merupakan sebuah bukti bahwa menulis adalah
perlawanan, karena tradisi menulis yang anonim tidak lepas dari
strategi politis agar identitas pribadinya tidak diketahui oleh pihak
lawan.
Kalau direnungkan dari sisi isi naskah, naskah ini memberi
semangat bagi pembaca untuk selalu memikirkan atas realitas yang
dihadapinya. Misalnya tentang perilaku para Wali yang selalu
menunjukkan sikap tafakur, hal ini tidak lepas dari penekanan pada
potensi pikir dan zikirnya, agar manusia paham akan realitas,
termasuk realitas jatidirinya, baik sebagai individu, makhluk sosial,
budaya, maupun politik. Tafakur yang ditarik pada ranah yang lebih
luas, beyond transendental akan melahirkan kesadaran kritis yang
melahirkan kesadaran relasi antara yang menguasi dan dikuasai,
yang mendominasi dan didominasi, dan hingga kesadaran antara
yang dijajah dengan yang menjajah. Wajarlah bila kolonial
Belanda, sebagaimana dituturkan oleh kolektor naskah ini, selalu
melakukan operasi besar-besaran terhadap para penulis naskah
yang menggugah semangat rakyat.
Kitab Layang Ijo juga menjadi panduan singkat tentang jejak
para Wali dan sekaligus dapat dijadikan sebagai atlas Wali Sanga
yang hingga sekarang jejak dan eksistensinya masih kontroversial.
Hal yang paling menarik, nilai-nilai ajaran tasawuf, pendidikan
akhlak, dan resep bening hati yang ditawarkan dalam naskah ini
memberikan inspirasi bagi pihak yang sedang dilanda krisis moral
dan tekanan hidup yang berkepanjangan sebagaimana yang dialami
bangsa ini. Ajaran-ajaran kehidupan dalam naskah ini tampak
begitu sederhana, namun penerapannya bukan hal yang mudah.
Misalnya bagaimana memosisikan dunia materi di tengah hiruk
364
Jalan Tasawuf dalam Naskah Layang Ijo — Nur Said
365
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 13, No. 2, 2015: 341 – 366
Daftar Pustaka
Baried, Siti Baroroh. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Dep.Dik.Bud.
Braginsky, V.I. 1988. Yang Indah, Berfaedah dan Kamal; Sejarah Sastra Melayu
Dalam Abad 7-19. Jakarta: INIS.
Brown, Gillian & Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Jakarta: Gramedia.
Djamaris, Edward. 2002. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV. Manasco.
Drewes, G.J.W. 2002. Perdebatan Walisongo Seputar Ma’rifa-tullah. Surabaya:
Al-Fikr.
Huda, Nurul. 2005. Darma Gandhul, Tragedi Sosial Historis dan Keagamaan di
Penghujung Kekuasaan Majapahit. Yogyakarta: Purapustaka.
Labib MZ. t.th. Kisah Lehidupan Walisongo, Penyebar Agama Islam di Tanah
Jawa. Surabaya: CV. Bintang Timur.
Mas’ud, Abdurrahman. 2004. Intelektual Pesantren; Perhelatan Agama dan
Tradisi. Yogyakarta: LKIS.
Mulkhan, Abdul Munir. 2001. Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar.
Yogyakarta; Krasi Wacana.
Pudjiastuti, Titik. 2006. Naskah dan Studi Naskah. Jakarta: Akademia.
Purwadi. 2001. Babad Tanah Jawa, Menelusuri Jejak Konflik. Yogyakarta;
Pustaka Alif.
Sedyawati, Edi, dkk (eds). 2001. Sastra Jawa, Suatu Tinjauan Umum. Jakarta:
Balai Pustaka.
Shihab, Alwi. 2001. Islam Sufistik; Islam Pertama dan Pengaruhnya hingga kini
di Indonesia. Bandung: Mizan.
366