Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan perhatian pada pembersihan
aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan akhlak mulia. Ia mencakup berbagai jawaban
atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara
atau ramalan-ramalan dalam dunia kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai seorang yang
berkepribadian jujur dan benar dalam segala hal, hal ini juga berbeda dengan aspek fikih khususnya pada
bab thaharoh yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmani dan lahiriya yang selanjutnya
disebut dengan dimensi ekstrorika.

Tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif dalam
mengatasi masalah-masalah keduniawian. Hal ini terlihat bahwa tuntutan zaman yang semakin membara
membuat sebagian masyarakat cenderung mengarah kepada akadensi moral dan keterpurukan akhlak.
Manusia cenderung melakukan sesuatu atas dasar kebebasan. Sehingga ia semene-mena dan acuh tak
acuh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh perbuatannya.

Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini. Tasawuf secara
intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran Tuhan dalam
kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang terjadi di masyarakat islam di
masa lalu (klasik) tahun 650-1250 M. Masa dimana kehidupan manusia bersifat foya-foya dan suka
menghamburkan harta. Dan sungguh masa kinipun sudah terlihat dan memperlihatkan pengaruhnya
terhadap perkembangan zaman, ilmu pengetahuan dan teknologi.

Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas kebutuhan
manusia, selain menghadapi sifat lahirnia juga menghendaki kebersihan bathiniya lantaran penelitian
yang sesungguhnya dalam islam diberikan aspek bathiniya.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah pengertian Tasawuf ?

2. Siapakah para ahli yang telah melakukan upaya penelitian tasawuf?

3. Bagaimanakah metode-metodenya?

C. Tujuan penelitian

Sejalan dengan rumusan masalah diatas yakni :

1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf

2. Untuk mengetahui para ahli yang timbul saat penelitian tasawuf


BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI TASAWUF

Tasawuf dari segi kebahasaan[1] terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf.
Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf, yaitu al-suffah
(ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang
dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah, sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa
yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).

Ditinjau dari lima istilah di atas[2], maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan keadaan
yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah, berpola hidup sederhana,
mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap
demikian pada akhirnya membawa sesesorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan
efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.

Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf[3] memiliki tiga sudut pandang pengertian. Pertama, sudut
pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya penyucian diri
dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah.
Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus
berjuang, manusia harus berupaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama,
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk
bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa mengarahkan jiwanya
serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan Tuhan.

Tasawuf adalah cabang dari ilmu agama yang dalam konteksnya apabila kita ingin memahami model
penelitian tasawuf,[4] kita juga harus memahami aspek agama terlabih dahulu sehingga akhirnya muncul
beberapa konsep ilmu itu sendiri. Adapun penelitian agama, medanya mencakup tiga lapangan, yakni
pertama, memahami dan mengkaji kitab-kitab yang merupakan sumber baku dari suatu agama, dan
merupakan sumber statikanya.

[1] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal.10

[2] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 70

[3] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 16

[4] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada


Kedua, mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam
pengembangan ajaran suatu agama. Medan kedua ini melahirkan ilmu-ilmu agama (dalam kitab-kitab
kuning) yang bersifat normatif dan deduktif. Sedang lapangan yang ketiga oleh para ahli-ahli ilmu social
disebut fenomena keagamaan. Yakni prilaku dan pola-pola kehidupan umat beragama yang nyata-nyata
hidup dan berada ditengah tengah masyarakat umat manusia. Ahli –ahli ilmu social menurut matullada
hanya bisa mengapai medan yang ketiga ini. Itupun hanya berkaitan dengan perhatian dan penilaian
cabang-cabang ilmu social itu. Tinjauan sosiologis lain dengan tinjaun antropologis ataupun tinjauan
historis. Tinjauan ilmu ilmu social terhadap fenomena keagamaan islam memang telah memberikan
sumbangan yang amat berharga bagi penelitian dan pengembangan agama. Sokongan ini perlu dikaji dan
dimanfaatkan. Adapun mengenai tujuan, penelitian agama adalah untuk mengembangkan pemahaman
dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan peradaban umat manusia.
Dengan demikian, penelitian agama tujuanya tidak sama dengan penelitian ilmiah dalam bidang social
ataupun islamologi. Penelitian agama memang telah tegas-tegas memihak bagi pengembangan kehidupan
dan pemikiran umat beragama. Yakni berusaha merekayasa bagi tumbuhnya budaya agama yang tegar
dan dinamis sesuai tuntutan zaman.

Penelitian atau studi dalam bidang ilmu objeknya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-ulama sufi
masa lampau yang telah terbykukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih dalam bentuk tulisan
tangan. Disamping itu medan yang masih amat terbentang luas dan belum banyak di jamaah oleh para
peneliti orentalis adalah fenomena kehidupan para kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata ada
berserakan diserata alam islami. Kehidupan sufi yang benar-benar ada pada umumnya tergambar dalam
kelompok-kelompok ordo tarekat yang dengan sendirinya banyak diwarnai oleh kualitas guru-guru
tarekat tingkat pedesaan. Kehidupan kelompok-kelompok tarekat semacam ini tentu amat jauh jurang
perbedaanya dengan konsep-konsep ajaran tasawuf, semakin berkembangnya tasawuf membuat ajaran
yang ada sendiri mengalamai percampuran dengan ilmu-ilmu yang lain, sehingga munculah teori tasawuf
gado-gado.
Adapun bentuk penelitian yang mudah dijalankan adalah

1. Study Kasus (case study[5]).

Yakni meneliti dan mengkaji sesuatu kasus ditinjau dari segala spek untuk memeproleh
pengetahuan dan pengalaman secara bulat. Dengan jalan menelusegala aspeknya bisa membuat
eksplanasi untuk menjawab soal: “apa dia itu?” dan “mengapa atau sebab terjadi seperti itu?” dan
kemudian menyusun prediksi “akan bagaimana kira-kira, akibatnya seterusnya bila tidak diadakan
perubahan?” studi kasus ini memang terpakasa karena sesuai cirri ajaran tasawuf halnya filsafat bersifat
individual. Ciri dari study kasus hanya bisa dilakukan oleh seseorang peneliti yang punya bekal memadai
tentang ilmu tasawuf beserta kedudukanya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman.
Karena dalam studi kasus seseorang peneliti harus peka menilai data-data yang bermakna, dan kemudian
menganalisanya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkan. Jadi, diperlikan
ketajaman dan kemampuan analisis secara kritikus dan sistematis.

2. Metode dan Pendekatan[6]

Mengenai masalah metode kiranya cukup mempergunakan metode penelitian ilmu-ilmu social,
terutama analisis kesejarahan dan pendekatan fenomenelogi (verstehen) yang cukup bagus untuk
penelitian tasawuf dan agama pada umumnya. Pendekatan verstehen yang berusaha untuk mengerti sesuai
keadaan objek bisa diterapkam dalam enelitian tasawuf. Verstehen artinya“agar sang objek itu sendiri
yang bicara mengenai dirinya sendiri “ tugas peneliti adalah merekam, merasakan, memkirkan oleh sang
objek. Adapun mengenai segi pendekatan untuk memahami fenomena-fenomena keagamaan ataupun
tasawuf, disinilah arti khusus dari penelitian agama. Fenomena keagaan hanyan bisa dimengerti secara
utuh dan pas apabila diselami dari sudut agamis, dan bukan dari sudut ilmu social. Agama mempunyai
kepentingan yang berbeda dengan kepentingan ilmu social. Oleh karena itu penelitian agama berbeda
dengan penelitian sosial, penelitian agama adalah alat untuk mendukung pengembangan ajaran agama dan
pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan kemajuan peradaban manusia.

[5] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal. 4

[6] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal .5


Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah ilmiah, yakni apa atau bagaimana
dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada persoalan ketiga. Yaitu masalah seberapa jauh ahal
itu bisa menunjang atau menghambat ketegaran perkembanagan budaya agama dan alam pikiran umat
islam. Didalam setiap ilmu tentu memiliki penilaian dari segi negatife maupun positife tetap harus diikut
sertakan dalam penelitian. Bahkan kritikan itu bisa berupa kecaman-kecaman tajam seperti kecaman ibnu
taimiyah terhadap paham-paham yang beliau pandang menyimpang dan menyesatkan. Demikian juga
kecaman al-Ghazali terhadap paham falsafah yang dipandang menyesatkan, dan kritik halus beliau
terhadap kemandulan ilmu kalam., tidak becus untuk menumbuhkan keyakinan beliau terhadap
kemandulan ilmu kalam, tidak becus untuk menumbuhkan keyakinan agama yang sedalam-dalamnya.
Ilmu kalam hanya bisa menyediakan gelas kosong bagi orang yang dahaga akan keyakinan agama yang
mantap. Demikian pula kecaman tajam golongan wahabbi terhadap ilmu tasawuf yang menjadi sumber
tumbuhnya bi’dah-bi’dah dan khufarat. Dengan demikian segi evaluative umumnya tidak pernah
ditinggalkan dalam penelitian agama.

Adapun mengenai metode, menurut mattualade amat tergantung pada objek studi. Tiap-tiap objek
studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek study itu. Jadi, tidak harus menghayal
adanya satu metode universal yang berlaku bagi segala objek studi.
B. MODEL-MODEL PENELITIAN TASAWUF

1. Model Sayyed Husein Nasr[7]

Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam melahirkan
berbagai karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern termasuk ke dalam bidang tasawuf.
Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf dulu dan sekarang” yang
diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus di Jakarta tahun 1985. Ia
menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu pendekatan yang mencoba menyajikan
ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu. Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi
kritis terhadap ajaran tasawuf yang pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf
merupakan sarana untuk menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan
manusia. Ia bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.

2. Model Mustafa Zahri[8]

Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku berjudul “kunci
memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali ajaran tasawuf dari berbagai
literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat dalam tasawuf berdasarkan literatur yang
ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan
tentang kerohanian yang di dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi
kekuatan batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga
menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna lailaha illa
Allah.

3. Model Kautsar Azhari Noor.[9]

Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka
disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan tokoh dan
pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini timbul dari paham bahwa
Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya.
Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam ini merupakn cermin bagi Allah.

[7] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 17

[8] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 18


[9] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 19

Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam.Paham ini telah menimbulkan kontroversi
di kalangan para ulama, karena paham tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan,
yaitu Tuhan menjelma dalam berbagai ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi
membawa paham banyak Tuhan. Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namun
sifat-Nya banyak. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda dengan sifat
manusia.

4. Model Harun Nasution[10]

Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan juga menaruh
perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul filsafat dan mistisisme
dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran tasawuf disajikan dalam tema jalan
untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-
ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud. Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju
persoalan tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya
bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalan garis besarnya saja.

5. Model A. J. Arberry[11]

Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi keislaman,
termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran tasawuf”, Arberry mencoba
menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan
pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para
ahli teori tasawuf, sruktur teori dan amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta
runtuhnya aliran tasawuf.

Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni
berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses aktualisasi
nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan modern yang lebih luas.

[10] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 19

[11] Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press hal 20


C. PERSYARATAN PENELITI TASAWUF

Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan pendekatan


fenomenologis atau verstehen[12]. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para peneliti harus
menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin cerita orang buta dapat
mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama pertama ia harus menguasai istilah-istilah
atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf
itu. Dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam.

Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad kedua hijriah
hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus [13]yang hanya bisa
dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya istilah “syariat” bagi para
sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”. Maka menurut kacama para sufi syariat
hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku
bathin tuhan dalam shalat beserta etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat. Oleh karena itu, imam
al-qusyairi misalnya dalam risalah mengatakan :

(Maka setiap syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap hakikat yang tak
terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian para sufi tidak termasuk laku
batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah hakikat atau tasawuf itu batin syariah?

Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti : maqam, hal,
ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah, fana’, baqa’, sakar, zikir, martabat, nur
Muhammad, dan lainya[14]. Istilah-istilah itu punya makna khusus yang tidak bisa dimegerti dengan
makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat. Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.

Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa tasawuf itu
dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian bergerak dalam bidang
agama, bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi pengembangan agama. Bahwa
penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan pengembangan agama dan kemajauan umat
beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja. Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.

[12] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv

[13] http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv

[14] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal.11


Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan pengertian
yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para pendukung tasawuf. Terutama
rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu (tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-
ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan
penghayatan kasyaf kearah’abid semisal ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah
ahlak (ihsan) seperti ahmad rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya,
maka para peneliti yang rindu dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang
kabur,harus berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.

Peneliti berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan ajaran tasawuf.
Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam intisari dari mistisme,
termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh
manusia dengan tuhan dengan mengasingkan diri dan kontenplasi.

Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan ittihad
semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran berkontenplasi (samadi,
meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan ini bukan ajaran islam. Hal ini
merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan
intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf[15]. Fana dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai
definisi yang berkaitan dengan apa hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya adalah ajaran atau
kepercayaan bahwa pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu meditasi atau
tanggapan kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.

Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita fana dan
kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang dimunculkan para sufi
beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan, berkaitan erat langsung atau tidak langsung
dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala definisi tasawuf yang tidak menonjolkan cita fana dan
khasyaf adalah kabur, dan member gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu
bagi orang yang melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang dalam
inti cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan kabur.
Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal gajah.

15] Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada hal.12


[Dorongan yang menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran
tasawuf rindu (hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan
tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa dicapai dengan
pengalaman fana’ dan kasyfi.

Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyfi ini, tidak lain
merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi adalah pembeda ajaran
tasawuf dengan ajaran lainya.

Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang tasawuf,
terutama aspek positifnya tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak memberi pengertian
yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam bidang sufisme, apalagi yang
aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengertian utuh dan persoalan tentang tasawuf,
harus mempertimbangan cita inti sufisme, yaitu fana dan khasyaf.
BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan

Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3 sudut pandang :

1. Sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas

2. Sudut pandang manusia harus berjuang

3. Sudut pandang manusia sebagai mahluk bertuhan

Dan para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf ysng berebeda seperti :

Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J

Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu dengan lainya.


Daftar pustaka

Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada

Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press

Rajab hadarah.2003. ahlak sufi.jakarta: al mawardi prima

Referensi internet

weboffice@ui.ac.id

http://model penelitian tasawwuf/syahroni alkhmar/ptgccqerdfv


METODE STUDI PENELITIAN TASAWUF

MAKALAH

DITUJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH


METODOLOGI STUDI ISLAM JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KELAS 1E

KELOMPOK 10 :

AFIFUDDIN WAHAB JIBU

M, NOVRIANTO ABDUL

NAWAN BILEUTO

DOSEN PENGAMPUH :

Dr. RAKHMAWATI, M.Pd.I

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

2021

Anda mungkin juga menyukai