Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH

MODEL KAJIAN ILMU KALAM


Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas kelompok
Mata Kuliah : Pendekatan Studi Islam
Dosen pengampu : Dr. Sopa, M.Ag

Disusun oleh kelompok : 3


Nurlaelah :20210520100023
Rizkiansyah : 20210520100015
Jailani M. Ali

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA


FAKULTAS AGAMA ISLAM
MAGISTER STUDI ISLAM
2021-2022
BAB I
PENDAHULUAN
A.                Latar Belakang
                             Tasawuf merupakan salah satu bidang studi islam yang memusatkan
perhatian pada pembersihan aspek rohani manusia, yang selanjutnya dapat menimbulkan
akhlak mulia. Ia mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia yang bersifat
lahiriyah muapun bathiniyah (esoterik). Melalui cara-cara atau ramalan-ramalan dalam dunia
kesufian, manusia diharapkan dapat tampil sebagai seorang yang berkepribadian jujur dan
benar dalam segala hal, hal ini juga berbeda dengan aspek fikih khususnya pada bab thaharoh
yang memusatkan perhatian pada pembersihan aspek jasmani dan lahiriya yang selanjutnya
disebut dengan dimensi ekstrorika.
Tasawuf mulai mendapatkan perhatian dan dituntut peranannya untuk terlibat secara aktif
dalam mengatasi masalah-masalah keduniawian. Hal ini terlihat bahwa tuntutan zaman yang
semakin membara membuat sebagian masyarakat cenderung mengarah kepada akadensi
moral dan keterpurukan akhlak. Manusia cenderung melakukan sesuatu atas dasar kebebasan.
Sehingga ia semene-mena dan acuh tak acuh terhadap akibat yang ditimbulkan oleh
perbuatannya.
Tasawuf memiliki potensi dan otoritas yang tinggi dalam menangani masalah ini. Tasawuf
secara intensif memberikan pendekatan-pendekatan agar manusia selalu merasakan kehadiran
Tuhan dalam kesehariannya. Kehadirannya berupaya untuk mengatasi krisis akhlak yang
terjadi di masyarakat islam di masa lalu (klasik) tahun 650-1250 M. Masa dimana kehidupan
manusia bersifat foya-foya dan suka menghamburkan harta. Dan sungguh masa kinipun
sudah terlihat dan memperlihatkan pengaruhnya terhadap perkembangan zaman, ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas kebutuhan
manusia, selain menghadapi sifat lahirnia juga menghendaki kebersihan bathiniya lantaran
penelitian yang sesungguhnya dalam islam diberikan aspek bathiniya.

B. Rumusan Masalah
 1.  Apakah pengertian Tasawuf ?
2.  Siapakah para ahli yang telah melakukan upaya penelitian tasawuf?
3.  Bagaimanakah  metode-metodenya?
C. Tujuan penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas yakni :
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf
2. Untuk mengetahui para ahli yang timbul saat penelitian tasawuf

BAB II
PEMBAHASAN

A.    DEFINISI TASAWUF

Tasawuf dari segi kebahasaan terdapat sejumlah istilah yang dihubungkan orang


dengan tasawuf. Harun Nasution misalnya, menyebutkan lima istilah yang berhubungan
dengan tasawuf, yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan nabi dari
makkah ke madinah, shaf yaitu barisan yang dijumpai dalam melaksanakan shalat berjamaah,
sufi yaitu bersih dan suci, shopos (bahasa yunani:hikmah) dan suf (kain wol kasar).
Ditinjau dari lima istilah di atas, maka tasawuf dari segi kebahasaan menggambarkan
keadaan yang selalu beroreantasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan panggilan Allah,
berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela mengorbankan demi tujuan-
tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa sesesorang
berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal ynag kuat dan efektif terhadap berbagai godaan
hidup yang menyesatkan.
Selanjutnya, secara teriminologis tasawuf memiliki tiga sudut pandang pengertian.
Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas. Tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya penyucian diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan
memusatkan perhatian hanya kepada Allah. Kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk
yang harus berjuang. Sebagai makhluk yang harus berjuang, manusia harus berupaya
memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama, dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah swt. Ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk
bertuhan. Sebagai fitrah yang memiliki kesadaran akan adanya Tuhan, harus bisa
mengarahkan jiwanya serta selalu memusatkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan
Tuhan.
Tasawuf adalah cabang dari ilmu agama yang dalam konteksnya apabila kita ingin
memahami model penelitian tasawuf, kita juga harus memahami aspek agama terlabih dahulu
sehingga akhirnya muncul beberapa konsep ilmu itu sendiri. Adapun penelitian agama,
medanya mencakup tiga lapangan, yakni pertama, memahami dan mengkaji kitab-kitab yang
merupakan sumber baku dari suatu agama, dan merupakan sumber statikanya. Kedua,
mengkaji hasil-hasil ijtihad para ulama yang merupakan sumber dinamika dalam
pengembangan ajaran suatu agama. Medan kedua ini melahirkan ilmu-ilmu agama (dalam
kitab-kitab kuning) yang bersifat normatif dan deduktif. Sedang lapangan yang ketiga oleh
para ahli-ahli ilmu social disebut fenomena keagamaan. Yakni prilaku dan pola-pola
kehidupan umat beragama yang nyata-nyata hidup dan berada ditengah tengah masyarakat
umat manusia. Ahli –ahli ilmu social menurut matullada hanya bisa mengapai medan yang
ketiga ini. Itupun hanya berkaitan dengan perhatian dan penilaian cabang-cabang ilmu social
itu. Tinjauan sosiologis lain dengan tinjaun antropologis ataupun tinjauan historis. Tinjauan
ilmu ilmu social terhadap fenomena keagamaan islam memang telah memberikan sumbangan
yang amat berharga bagi penelitian dan pengembangan agama.  Sokongan ini perlu dikaji dan
dimanfaatkan. Adapun mengenai tujuan, penelitian agama adalah untuk mengembangkan
pemahaman dan membudayakan pengalaman agama sesuai dengan tingkat perkembangan
peradaban umat manusia. Dengan demikian, penelitian agama tujuanya tidak sama dengan
penelitian ilmiah dalam bidang social ataupun islamologi. Penelitian agama memang telah
tegas-tegas memihak bagi pengembangan kehidupan dan pemikiran umat beragama. Yakni
berusaha merekayasa bagi tumbuhnya budaya agama yang tegar dan dinamis sesuai tuntutan
zaman.
Penelitian  atau studi dalam bidang ilmu objeknya bisa berwujud ajaran-ajaran ulama-
ulama sufi masa lampau yang telah terbykukan dalam kitab-kitab kuning ataupun yang masih
dalam bentuk tulisan tangan. Disamping itu medan yang masih amat terbentang luas dan
belum banyak di jamaah oleh para peneliti orentalis adalah fenomena kehidupan para
kelompok-kelompok sufi yang nyata-nyata ada berserakan diserata alam islami. Kehidupan
sufi yang benar-benar ada pada umumnya tergambar dalam kelompok-kelompok ordo tarekat
yang dengan sendirinya banyak diwarnai oleh kualitas guru-guru tarekat  tingkat pedesaan.
Kehidupan kelompok-kelompok tarekat semacam ini tentu amat jauh jurang perbedaanya
dengan konsep-konsep ajaran tasawuf, semakin berkembangnya tasawuf membuat ajaran
yang ada sendiri mengalamai percampuran dengan ilmu-ilmu yang lain, sehingga munculah
teori tasawuf gado-gado.
Adapun bentuk penelitian yang mudah dijalankan adalah
1.      Study Kasus (case study).
             Yakni meneliti dan mengkaji sesuatu kasus ditinjau dari segala spek untuk
memeproleh pengetahuan dan pengalaman secara bulat. Dengan jalan menelusegala aspeknya
bisa membuat eksplanasi untuk menjawab soal: “apa dia itu?” dan “mengapa atau sebab
terjadi seperti itu?” dan kemudian menyusun prediksi “akan bagaimana kira-kira, akibatnya
seterusnya bila tidak diadakan perubahan?” studi kasus ini memang terpakasa karena sesuai
cirri ajaran tasawuf  halnya filsafat bersifat individual. Ciri dari study kasus hanya bisa
dilakukan oleh seseorang peneliti yang punya bekal memadai tentang ilmu tasawuf beserta
kedudukanya dalam perkembangan pemikiran dan budaya keislaman. Karena dalam studi
kasus seseorang peneliti harus peka menilai data-data yang bermakna, dan kemudian
menganalisanya untuk mengadakan eksplanasi dari sejumlah data yang dikumpulkan. Jadi,
diperlikan ketajaman dan kemampuan analisis secara kritikus dan sistematis.
2.      Metode dan Pendekatan
Mengenai masalah metode kiranya cukup mempergunakan metode penelitian ilmu-
ilmu social, terutama analisis kesejarahan dan pendekatan fenomenelogi (verstehen) yang
cukup bagus untuk penelitian tasawuf dan agama pada umumnya. Pendekatan verstehen yang
berusaha untuk mengerti sesuai keadaan objek bisa diterapkam dalam enelitian
tasawuf. Verstehen artinya“agar sang objek itu sendiri yang bicara mengenai dirinya sendiri “
tugas peneliti adalah merekam, merasakan, memkirkan oleh sang objek. Adapun mengenai
segi pendekatan untuk memahami fenomena-fenomena keagamaan ataupun tasawuf, disinilah
arti khusus dari penelitian agama. Fenomena keagaan hanyan bisa dimengerti secara utuh dan
pas apabila diselami dari sudut agamis, dan bukan dari sudut ilmu social. Agama mempunyai
kepentingan yang berbeda dengan kepentingan ilmu social. Oleh karena itu penelitian agama
berbeda dengan penelitian sosial, penelitian agama adalah alat untuk mendukung
pengembangan ajaran agama dan pengembangan pemikiran umatnya sesuai dengan tuntutan
kemajuan peradaban manusia. Pendekatan dari sudut agama disamping menjawab masalah
ilmiah, yakni apa atau bagaimana dan mengapa terjadi demikian, harus dilanjutkan pada
persoalan ketiga. Yaitu masalah seberapa jauh ahal itu bisa menunjang atau menghambat
ketegaran perkembanagan budaya agama dan alam pikiran umat islam. Didalam setiap ilmu
tentu memiliki penilaian dari segi negatife maupun positife tetap harus diikut sertakan dalam
penelitian. Bahkan kritikan itu bisa berupa kecaman-kecaman tajam seperti kecaman ibnu
taimiyah terhadap paham-paham yang beliau pandang menyimpang dan menyesatkan.
Demikian juga kecaman al-Ghazali terhadap paham falsafah yang dipandang
menyesatkan, dan kritik halus beliau terhadap kemandulan ilmu kalam., tidak becus untuk
menumbuhkan keyakinan beliau terhadap kemandulan ilmu kalam, tidak becus untuk
menumbuhkan keyakinan agama yang sedalam-dalamnya. Ilmu kalam hanya bisa
menyediakan gelas kosong bagi orang yang dahaga akan keyakinan agama yang mantap.
Demikian pula kecaman tajam golongan wahabbi terhadap ilmu tasawuf yang menjadi
sumber tumbuhnya bi’dah-bi’dah dan khufarat. Dengan demikian segi evaluative umumnya
tidak pernah ditinggalkan dalam penelitian agama.
Adapun mengenai metode, menurut mattualade amat tergantung pada objek studi.
Tiap-tiap objek studi menentukan metode apa yang tepat untuk memahami objek study itu.
Jadi, tidak harus menghayal adanya satu metode universal yang berlaku bagi segala objek
studi.

B.   MODEL-MODEL  PENELITIAN  TASAWUF
1. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam
melahirkan berbagai karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern  termasuk ke
dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf
dulu dan sekarang” yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus
di Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu
pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu.
Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang
pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk
menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia
bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.
2. Model Mustafa Zahri
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku
berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali
ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat
dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan
mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di
dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan
batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga
menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna
lailaha illa Allah.

3. Model Kautsar Azhari Noor.


Kautsar Azhari Noor memusatkan perhatiannya pada penelitian tasawuf dalam rangka
disertasinya. Judul bukunya adalah wahdat al-wujud dalam perdebatan dengan studi dengan
tokoh dan pahamnya yang khas, Ibn Arabi dengan pahamnya wahdat al- wujud. Paham ini
timbul dari paham bahwa Allah sebagaimana yang diterangkan dalam uraian tentang hulul,
ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya. Oleh karena itu, dijadikan-Nya alam ini. maka alam
ini merupakn cermin bagi Allah. Dikala Ia ingin melihat dirinya, ia melihat kepada alam.
Paham ini telah menimbulkan kontroversi di kalangan para ulama, karena paham
tersebut dinilai membawa reinkarnasi, atau paham serba Tuhan, yaitu Tuhan menjelma dalam
berbagai ciptanya. Dengan demikian orang-orang mengira bahwa Ibn Arabi membawa paham
banyak Tuhan. Mereka berpendirian bahwa Tuhan dalam arti zat-Nya tetap satu, namun sifat-
Nya banyak. Sifat Tuhan yang banyak itupun dalam arti kualitas atau mutunya, berbeda
dengan sifat manusia.
4. Model Harun Nasution
Harun Nasution merupakan guru besar dalam bidang teologi dan filsafat islam dan
juga menaruh perhatian terhadap penelitian di bidang tasawuf. Dalam bukunya yang berjudul
filsafat dan mistisisme dalam islam, ia menggunakan metode tematik, yakni penyajian ajaran
tasawuf disajikan dalam tema jalan untuk dekat kepada Tuhan, zuhud dan stasion-stasion
lain, al-mahabbah, al-ma’rifat, al-fana, al-baqa, al-ittihad, al-hulul, dan wahdat al-wujud.
Pendekatan tematik dinilai lebih menarik karena langsung menuju persoalan
tasawuf dibandingkan dengan pendekatan yang bersifat tokoh. Penelitiannya itu sepenuhnya
bersifat deskriptif eksploratif, yakni menggambarkan ajaran sebagaimana adanya dengan
mengemukakannya sedemikian rupa, walau hanya dalan garis besarnya saja.

5. Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi
keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran
tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan
tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang
firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan
amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf.
Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni
berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses
aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan
modern yang lebih luas.
C.    PERSYARATAN PENELITI TASAWUF
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan
pendekatan fenomenologis atau verstehen. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para
peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin
cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama
pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus
mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu. Dan bagaimana kaitanya
dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad
kedua hijriah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus yang
hanya bisa dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya
istilah “syariat” bagi para sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”.
Maka menurut kacama para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria
menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat beserta
etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat. Oleh karena itu, imam al-qusyairi misalnya
dalam risalah mengatakan :
(Maka setiap syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap
hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian
para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah
hakikat atau tasawuf itu batin syariah?
Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti :
maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah, fana’, baqa’,
sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya. Istilah-istilah itu punya makna khusus
yang tidak bisa dimegerti dengan makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat.
Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.
Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa
tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian
bergerak dalam bidang agama, bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi
pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan
pengembangan agama dan kemajauan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja.
Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.
Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan
pengertian yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para
pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu
(tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama
yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan penghayatan kasyaf kearah’abid semisal
ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah ahlak (ihsan) seperti ahmad
rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya, maka para peneliti
yang rindu dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus
berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
Peneliti berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan
ajaran tasawuf. Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam
intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya
komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan
diri dan kontenplasi.
Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan
ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran
berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan
ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci
yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf. Fana
dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai definisi yang berkaitan dengan apa
hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya  adalah ajaran atau kepercayaan bahwa
pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu meditasi atau tanggapan
kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.
Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita
fana dan kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang
dimunculkan para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan,
berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala
definisi tasawuf  yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah kabur, dan member
gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu bagi orang yang
melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang dalam inti
cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan
kabur. Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal gajah. Dorongan yang
menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf rindu
(hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan
tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa
dicapai dengan pengalaman fana’ dan kasyfi.
Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana  dan kasyfi
ini, tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi
adalah pembeda ajaran tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang
tasawuf, terutama aspek positifnya tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak
memberi pengertian yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam
bidang sufisme, apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui
pengertian  utuh dan persoalan tentang tasawuf, harus mempertimbangan cita inti sufisme,
yaitu fana dan khasyaf.
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
            Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3 sudut pandang :
1.      Sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas
2.      Sudut pandang manusia harus berjuang
3.      Sudut pandang manusia sebagai mahluk bertuhan
Dan para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf ysng berebeda seperti :
Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J
Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu dengan lainya.

Daftar Pustaka

Simuh,ahlak tasawuf,1998.jakarta:pt.raja grafindo persada


Nata,abuddin.1998.metodelogi studi islam. Jakarta:Rajawali press 
Rajab hadarah.2003. ahlak sufi.jakarta: al mawardi prima

Anda mungkin juga menyukai