B. Rumusan Masalah
1. Apakah pengertian Tasawuf ?
2. Siapakah para ahli yang telah melakukan upaya penelitian tasawuf?
3. Bagaimanakah metode-metodenya?
C. Tujuan penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah diatas yakni :
1. Untuk mengetahui pengertian tasawuf
2. Untuk mengetahui para ahli yang timbul saat penelitian tasawuf
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI TASAWUF
B. MODEL-MODEL PENELITIAN TASAWUF
1. Model Sayyed Husein Nasr
Sayyed Husein Nasr merupakan ilmuan yang amat terkenal dan produktif dalam
melahirkan berbagai karya ilmiah dia adalah ilmuan muslim ke-6 abad modern termasuk ke
dalam bidang tasawuf. Hasil penelitiannya disajikan dalam bukunyan yang bejudul “tasawuf
dulu dan sekarang” yang diterjemahkan Abdul Hadi WM dan diterbitkan oleh pustaka firdaus
di Jakarta tahun 1985. Ia menggunakan metode penelitian dengan pendekatan tematik, yaitu
pendekatan yang mencoba menyajikan ajaran tasawuf sesuai dengan tema-tema tertentu.
Dengan penelitian kualitatif mendasarinya pada studi kritis terhadap ajaran tasawuf yang
pernah berkembang dalam sejarah. Ia menambahkan bahwa tasawuf merupakan sarana untuk
menjalin hubungan yang intens dengan Tuhan dalam upaya mencapai keutuhan manusia. Ia
bahkan mengemukakan tingkatan-tingkatan kerohanian manusia dalam dunia tasawuf.
2. Model Mustafa Zahri
Mutafa Zahri memusatkan perhatiannya terhadap tasawuf dengan menulis buku
berjudul “kunci memahami ilmu tasawuf”. Penelitiannya bersifat ekploratif, yakni menggali
ajaran tasawuf dari berbagai literatur ilmu tasawuf. Ia menekankan pada ajaran yang terdapat
dalam tasawuf berdasarkan literatur yang ditulis oleh para ulama terdahulu serta dengan
mencari sandaran pada al-qur’an dan hadits. Ia menyajikan tentang kerohanian yang di
dalamnya dimuat tentang contoh kehidupan nabi, kunci mengenal Allah, sendi kekuatan
batin, fungsi kerohanian dalam menenteramkan batin, serta tarekat dan fungsinya. Ia juga
menjelaskan tentang bagaimana hakikat tasawuf, ajaran makrifat, do’a, dzikir dan makna
lailaha illa Allah.
5. Model A. J. Arberry
Arberry merupakan salah seorang peneliti barat kenamaan, banyak melakukan studi
keislaman, termasuk dalam penelitian tasawuf. Dalam bukunya “pasang surut aliran
tasawuf”, Arberry mencoba menggunakan pendekatan kombinasi, yaitu antara pendekatan
tematik dengan pendekatan tokoh. Dengan pendekatan tersebut ia coba kemukakan tentang
firman Allah, kehidupan nabi, para zahid, para sufi, para ahli teori tasawuf, sruktur teori dan
amalan tasawuf , tarikat sufi, teosofi dalam aliran tasawuf serta runtuhnya aliran tasawuf.
Dari isi penelitiannya itu, tampak bahwa Arberry menggunakan analisis kesejarahan, yakni
berbagai tema tersebut dipahami berdasarkan konteks sejaranya, dan tidak dilakukan proses
aktualisasi nilai atau mentranformasikan ajaran-ajaran tersebut ke dalam makna kehidupan
modern yang lebih luas.
C. PERSYARATAN PENELITI TASAWUF
Peneliti tasawuf umumnya mempergunakan studi kasus dan mempergunakan
pendekatan fenomenologis atau verstehen. Jadi, grounded riset. Maka syarat mutlak bagi para
peneliti harus menguasai persoalan-persoalan tasawuf yang cukup lumayan. Tidak mungkin
cerita orang buta dapat mengetahui gajah hanya dengan meraba-raba saja. Syarat utama
pertama ia harus menguasai istilah-istilah atau bahasa sufisme. Yang kedua dia harus
mempunyai pandangan yang jelas tentang apa hakikat tasawuf itu. Dan bagaimana kaitanya
dengan ajaran islam.
Tasawuf sebagai suatu ilmu yang telah berkembang semenjak pertengahan abad
kedua hijriah hingga dewasa ini tentu mengembangkan terminology atau bahasa khusus yang
hanya bisa dimengerti dalam kaitanya dengan ajaran dan penghayatan para sufi. Misalnya
istilah “syariat” bagi para sufi pengertianya selalu dihubungkan dengan istilah “hakikat”.
Maka menurut kacama para sufi syariat hanya diberi makna sebatas tingkah laku lahiria
menurut aturan-aturan formal daripada agama. Jadi, laku bathin tuhan dalam shalat beserta
etika itu tidak dimasukan dalam istilah syariat. Oleh karena itu, imam al-qusyairi misalnya
dalam risalah mengatakan :
(Maka setiap syariah yang tidak didukung oleh hakikat tidak akan diterima. Dan setiap
hakikat yang tak terkait dengan syariat tentu tidak ada hasilnya). Syariah dalam pengertian
para sufi tidak termasuk laku batin. Laku batin itu khusus milik kaum sufi, akan tetapi apakah
hakikat atau tasawuf itu batin syariah?
Banyak istilah yang beredar dikalangan para sufi yang perlu diketahui, seperti :
maqam, hal, ma’rifat,tarekat, hakikat, hub, wara’, zuhud, tawakal, muraqabah, fana’, baqa’,
sakar, zikir, martabat, nur Muhammad, dan lainya. Istilah-istilah itu punya makna khusus
yang tidak bisa dimegerti dengan makna bahasa ataupun dengan pengertian dalam syariat.
Zikir sufi lain dengan zikir syar’i.
Adapun syarat kedua : peneliti harus mempunyai pandangan yang terang tentang apa
tasawuf itu dan bagaimana kaitanya dengan ajaran islam. Hal ini penting karena penelitian
bergerak dalam bidang agama, bukan hanya penelitian bidang sosial, dan diabadikan bagi
pengembangan agama. Bahwa penelitian agama menilai setiap fakta dari segi kepentingan
pengembangan agama dan kemajauan umat beragama. Bukan hanya ilmu untuk ilmu saja.
Tetapi untuk beribadah demi keagungan agama.
Mengenal hakikat tasawuf tasawuf bagi umat islam sering tidak mudah mendapatkan
pengertian yang cerah, lantaran adanya reotyped ideas yang telah lama direntak para
pendukung tasawuf. Terutama rumusan para propagandis penyusun sintesis anatara kasyfu
(tasawuf) dan naqli (syariat) seperti al-ghazali. Al-qsyairi dan nsebagainya atau para ulama
yang berusaha membelokan pengertian tasawuf dan penghayatan kasyaf kearah’abid semisal
ibnu khaldun dengan teorinya. Syariat al-haditsyah atau kearah ahlak (ihsan) seperti ahmad
rif’ai dengan pesantren budiahnya. Hamka dengan ide tasawuf moderenya, maka para peneliti
yang rindu dengan kebenaran yang cerah, tidak puas dengan pengertian yang kabur,harus
berusaha mendobrak jeretan pengertian yang kabur tentang tasawuf diatas.
Peneliti berusaha mencari dan menemukan intisari yang menjadi ide sentral dan
ajaran tasawuf. Menurut harun nasution dalam bukunya Filsafat dan mistisme dalam islam
intisari dari mistisme, termasuk didalamnya sufisme, ialah kesadaraan akan adanya
komunikasi dan dialoq (langsung) antara roh manusia dengan tuhan dengan mengasingkan
diri dan kontenplasi.
Apa dialoq langsung (tatap muka) dengan tuhan didalamnya kontemplasi atau bahkan
ittihad semacam ini diajarkan oleh al-quran dan sunnah.? Menurut ibnu khaldun ajaran
berkontenplasi (samadi, meditasi) untuk bisa mengalami tatap muka langsung dengan tuhan
ini bukan ajaran islam. Hal ini merupakan kaitan tasawuf dengan islam. Adapun kata kunci
yang berkaitan dengan hakikat tasawuf dan intisari ajaranya, adalah fana’ dan kasyaf. Fana
dan kasyaf tentu bukan ajaran islam. Maka mengenai definisi yang berkaitan dengan apa
hakikat tasawuf atau mistik pada umumnya adalah ajaran atau kepercayaan bahwa
pengetahuan tentang hakikat atau tuhan bisa didaptkan melalu meditasi atau tanggapan
kejiwaan yang bebas dari tanggapan akal pikiran dan panca indera.
Dari uraian diatas, maka fana’ dan kasyaf adalah inti ajaran ketasawufan. Tanpa cita
fana dan kasyaf tidak aka nada tasawuf. Semua kegiatan , pemikiran, perasaan, filsafat yang
dimunculkan para sufi beserta konsep-konsep yang menyimbolkan cita ketasawufan,
berkaitan erat langsung atau tidak langsung dengan cita fana dan khasyaf ini. Maka segala
definisi tasawuf yang tidak menonjolkan cita fana dan khasyaf adalah kabur, dan member
gambaran yang keliru, tidak jelas tentang tasawuf. Oleh karena itu bagi orang yang
melakukan pengamatan dan penelitian dalam dbidang tasawuf, harus berpegang dalam inti
cita tasawuf. Tanpa memahami cita inti sufisme, yakni fana dan kasyaf, pengertian akan
kabur. Laksana sibuta yang meraba-raba untuk mengenal gajah. Dorongan yang
menumbuhkan inti ajaran tasawuf. Dorongan yang menumbuhkan cita ajaran tasawuf rindu
(hubulllah). Rindu untuk bisa menghayati dan mengalami tatp muka secara intim dengan
tuhan. Makrifitulloh yang berarti tatp muka langsung dengan wajah tuhan ini hanya bisa
dicapai dengan pengalaman fana’ dan kasyfi.
Seluruh kegiatan ketasawufan tertuju untuk mencapai pengalaman fana dan kasyfi
ini, tidak lain merupakan pengalaman kejiwaan seperti halnya mimpi. Cirri fana dan kahsfi
adalah pembeda ajaran tasawuf dengan ajaran lainya.
Banyak penulis tentang tasawuf yang hanya menonjolkan aspek tertentu tentang
tasawuf, terutama aspek positifnya tentang pengalaman agama. Buku-buku semacam ini tidak
memberi pengertian yang utuh tentang tasawuf, tidak banyak manfaat bagi pengamat dalam
bidang sufisme, apalagi yang aspeknya negative. Oleh karena itu, untuk mengetahui
pengertian utuh dan persoalan tentang tasawuf, harus mempertimbangan cita inti sufisme,
yaitu fana dan khasyaf.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Dalam kaitanya ini tasawuf terbagi dalam 3 sudut pandang :
1. Sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas
2. Sudut pandang manusia harus berjuang
3. Sudut pandang manusia sebagai mahluk bertuhan
Dan para ahli mempunyai model-model penelitian tasawuf ysng berebeda seperti :
Sayyed Husein Nasr, Mustafa Zahri, Kautsar Azhari Noor, Hanun Nasution, A.J
Arberry dan kesemuanya ahli berbeda satu dengan lainya.
Daftar Pustaka