Anda di halaman 1dari 5

Tentang TQN

Pengertian Tasawuf

Tasawuf berpangkal pada pribadi Nabi Muhammad SAW, gaya hidup sederhana,
tetapi penuh kesungguhan. Akhlak Rasul tidak dapat dipisahkan serta diceraikan dari
kemurnian cahaya Al Quran. Akhlak Rasul itulah titik tolak dan garis perhentian cita-
cita tasawuf dalam Islam itu.

Dhunnun al-Misri, seorang sufi yang terkemuka, mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan tasawuf ialah pembebasan dari ragu dan putus asa, kemudian tegak berdiri
beserta yakin iman. Pengertian yang simpang siur tentang urat bahasa sufi dan
tasawuf menimbulkan pengiraan bahwa tasawuf Islam mencakup pula bahan-bahan
sufi Yunani dan mistik, serta Hindu Farsi.

Pandangan tersebut merupakan pengiraan yang keliru dan mengelirukan. Terlepas


dari adanya pengakuan jujur tentang adanya persamaan yang tampak lahirnya, atau
pun mengenal istilah-istilah dan cara-cara melatih jiwa.

Di dalam tasawuf Islam ditemukan ciri-ciri yang istimewa; yaitu pengembalian


dengan cara mutlak segala persoalan agama dan kehidupan kepada Al Quran dan
Sunnah.

Al-Junaid, penghulu sufi Islam, di dalam redaksi yang bermacam-macam


menegaskan, bahwa yang mungkin menjadi ahli tasawuf itu hanyalah barang siapa
yang mengetahui keseluruhan Al Quran dan Sunnah Rasulullah SAW. Karena itu
yang sebenarnya tasawuf adalah kefanaan diri ke dalam kemurnian Al Quran dan
Sunnah.

Pengertian Tarekat

Secara terminologi (istilah) tarekat yang berasal dari kata thariqah itu mula-mula
berarti jalan yang harus ditempuh seorang calon sufi dalam mendekatkan diri kepada
Allah SWT. Kemudian ia digunakan untuk menunjuk suatu metode psikologi moral
untuk membimbing seseorang mengenal Tuhan. Tarekat dalam pengertian inilah yang
digunakan dalam karya al-Junayd, al-Hallaj, al-Sarraj, al-Hujwiri dan al-Qushayri.
Melalui jalan itu seseorang dengan menempuh berbagai tingkatan psikologis dalam
keimanan dan pengamalan ajaran Islam dapat mencapai pengetahuan tentang Tuhan
dari satu tingkatan ke tingkatan yang lebih tinggi, sehingga akhirnya ia mencapai
realitas (hakikat) Tuhan yang tertinggi.

Tarekat adalah suatu metode praktis dalam membimbing murid dengan menggunakan
pikiran, perasaan dan tindakan melalui tingkatan-tingkatan secara berurutan untuk
merasakan hakikat Tuhan. Tarekat adalah jalan yang harus ditempuh seorang calon
sufi agar berada sedekat mungkin dengan Allah.

Berdasarkan uraian itu maka dapat disimpulkan bahwa tarekat adalah jalan yang
ditempuh murid agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan di bawah bimbingan
guru (mursyid).

Perkembangan Tarekat

Di Indonesia kita lebih banyak mengenal ajaran tasawuf lewat lembaga keagamaan
non-formal yang namanya tarekat. Di Jawa Timur misalnya, kita jumpai Thariqah
Qadiriyah yang cukup dikenal, disamping Thariqah Naqsabandiyah, Syadziliyah,
Tijaniyah dan Sanusiyah. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, kita melihat adanya
langkah lebih maju dalam perkembangan tarekat-tarekat tersebut dengan adanya
koordinasi antara berbagai macam tarekat itu lewat ikatan yang dikenal dengan
nama Jam’iyah Ahlal-Thariqah al-Mu’tabarah.

TQN Suryalaya

Syekh Ahmad Khatib memiliki banyak wakil, di antaranya adalah: Syekh Abdul
Karim dari Banten, Syekh Ahmad Tolhah dari Cirebon, dan Syekh Ahmad Hasbullah
dari Madura, Muhammad Isma’il Ibn Abdul Rahim dari Bali, Syekh Yasin dari Kedah
Malaysia, Syekh Haji Ahmad dari Lampung dan Syekh Muhammad Makruf Ibn
Abdullah al-Khatib dari Palembang. Mereka kemudian menyebarkan ajaran tarekat ini
di daerah masing-masing.

Penyebaran ajaran Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah di daerah Sambas Kalimantan


Barat (asal Syekh Ahmad Khatib) dilakukan oleh dua orang wakilnya yaitu Syekh
Nuruddin dari Philipina dan Syekh Muhammad Sa’ad putra asli Sambas. Baik di
Sambas sendiri, maupun di daerah-daerah lain di luar pulau Jawa, Thariqah Qadiriyah
Naqsabandiyah tidak dapat berkembang dengan baik. Keberadaan tarekat ini di luar
pulau Jawa, termasuk di beberapa negara tetangga berasal dari kemursyidan yang ada
di pulau Jawa. Penyebab ketidakberhasilan penyebaran tarekat ini di luar pulau Jawa
adalah karena tidak adanya dukungan sebuah lembaga permanen seperti pesantren.

Setelah Syekh Ahmad Khatib wafat (1878), pengembangan Thariqah Qadiriyah


Naqsabandiyah dilakukan oleh salah seorang wakilnya yaitu Syekh Tolhah bin
Talabudin bertempat di kampung Trusmi Desa Kalisapu Cirebon. Selanjutnya beliau
disebut Guru Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah untuk daerah Cirebon dan
sekitarnya. Salah seorang muridnya yang bernama Abdullah Mubarok bin Nur
Muhammad yang kemudian dikenal sebagai Pendiri Pondok Pesantren Suryalaya.

Setelah berguru sekian lama, maka dalam usia 72 tahun, beliau


mendapat khirqah (pengangkatan secara resmi sebagai guru dan pengamal) Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah dari gurunya Mama Guru Agung Syekh Tolhah bin
Talabudin (dalam silsilah urutan ke-35). Selanjutnya Pondok Pesantren Suryalaya
menjadi tempat bertanya tentang Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah.

Dengan demikian, Syekh Abdullah Mubarok bin Nur Muhammad ra, dalam silsilah
Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah berada pada urutan ke-36 setelah Syekh Tolhah
bin Talabudin ra.

Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad di kalangan para ikhwan (murid-
muridnya) lebih dikenal dengan panggilan “Abah Sepuh“, karena usia beliau memang
sudah tua atau sepuh, saat itu usianya sekitar 116 tahun. Di antara murid-murid beliau
ada yang paling menonjol dan memenuhi syarat untuk melanjutkan kepemimpinan
beliau. Murid tersebut adalah putranya sendiri yang ke-5 yaitu KH. A. Shohibulwafa
Tajul Arifin diangkat sebagai (Wakil Talqin) dan sering diberi tugas untuk
melaksanakan tugas-tugas keseharian beliau, oleh karena itu para ikhwan tarekat
memanggil beliau “Abah Anom” (Kiai Muda) karena usianya sekitar 35 tahun.

Sepeninggal Syekh Abdullah Mubarak bin Nur Muhammad sebagai mursyid Thariqah
Qadiriyah Naqsabandiyah yang berpusat di Pondok Pesantren Suryalaya dilanjutkan
oleh KH. A. Shohibulwafa Tajul Arifin (Abah Anom) sampai sekarang, beliau
mempunyai wakil talqin yang cukup banyak dan tersebar di 35 wilayah, termasuk
Singapura dan Malaysia.

Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah adalah sebuah tarekat yang berdiri pada abad XIX
M oleh seorang sufi besar asal Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika
intelektual umat Islam Indonesia pada saat itu cukup memberikan sumbangan yang
berarti bagi sejarah peradaban Islam, khususnya di Indonesia. Kemunculan tarekat ini
dalam sejarah sosial intelektual umat Islam Indonesia dapat dikatakan sebagai
jawaban atas “keresahan umat” akan merebaknya ajaran “wihdah al-wujud” yang
lebih cenderung memiliki konotasi panteisme dan kurang menghargai Syari’at Islam.
Jawaban ini bersifat moderat, karena selain berfaham syari’at sentris juga
mengakomodasi kecenderungan mistis dan sufistis masyarakat Islam Indonesia.

Pesatnya perkembangan tarekat ini rupanya tidak terlepas dari corak dan pandangan
kemasyarakatan. Contoh kiprah kemasyarakatan termasuk dalam masalah politik yang
diperankan oleh mursyid tarekat ini memberikan isyarat bahwa tarekat ini tidak anti
duniawi (pasif dan ekslusif). Dengan demikian, kesan bahwa tarekat adalah lambang
kejumudan sebuah peradaban tidak dapat dibenarkan.

Azas Tujuan Thariqah Qadiriyah Naqsyabandiyah Pondok Pesantren Suryalaya

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Ilâhî anta maqshûdî waridlâka mathlûbî a’thinî mahabbataka wama’ rifatak.

Artinya: Ya Tuhanku! hanya Engkaulah yang ku maksud, dan keridlaanMu-lah yang


kucari. Berilah aku kemampuan untuk bisa mencintaiMu dan ma’rifat kepadaMu.

Doa tersebut di atas oleh para ikhwan Thariqah Qadiriyah Naqsayabandiyah wajib
dibaca dua kali.

Dalam doa tersebut mengandung tiga bagian:

Taqarub terhadap Allah SWT

Ialah mendekatkan diri kepada Allah dalam jalan ubudiyah yang dalam hal ini dapat
dikatakan tak ada sesuatunya pun yang menjadi tirai penghalang
antara abid dan ma’bud, antara khaliq dan makhluq.
Menuju jalan mardhatillah

Ialah menuju jalan yang diridlai Allah SWT, baik dalam ubudiyah maupun di luar
ubudiyah, jadi dalam segala gerak-gerik manusia diharuskan mengikuti atau mentaati
perintah Tuhan dan menjauhi atau meninggalkan larangan-NYA.

Hasil budi pekerti menjadi baik, akhlak pun baik dan segala hal ikhwalnya menjadi
baik pula, baik yang berhubungan dengan Tuhan maupun yang berhubungan dengan
sesama manusia atau dengan mahluk Allah dan insya Allah tidak akan lepas dari
keridlaan Allah SWT.

Kemahabbahan dan kema’rifatan terhadap Allah SWT

Rasa cinta dan ma’rifat terhadap Allah “Dzat Laisa Kamitslihi Syaiun” yang dalam
mahabbah itu mengandung keteguhan jiwa dan kejujuran hati. Kalau telah tumbuh
Mahabbah, timbullah berbagai macam hikmah di antaranya membiasakan diri dengan
selurus-lurusnya dalam hak dhohir dan bathin, dapat pula mewujudkan “keadilan”
yakni dapat menetapkan sesuatu dalam haknya dengan sebenar-benarnya. Pancaran
dari mahabbah datang pula belas kasihan ke sesama makhluk diantaranya cinta pada
nusa ke segala bangsa beserta agamanya. Thariqah Qadiriyah Naqsabandiyah ini
adalah salah satu jalan buat membukakan diri supaya tercapai arah tujuan tersebut.

Suryalaya 10 November 1960


(KH. A. Shohibulwafa Tajul ‘Arifin)

Anda mungkin juga menyukai