DISUSUN OLEH:
M. Aynur Ridwan
1800801
PENGANTAR PENULIS
Kitab ini disusun oleh al-faqir sebagai salah satu wujud tarbiyah atau pendidikan
khususnya bagi a-faqirr sendiri dan para jama’ah dalam menjalani thoriqoh
qodiriyah dan thoriqoh naqsabandiyah al-kholidiyah. Al-faqir mengenal
danendapat endidikan thoriqoh dengan jalur tawaqillu ruhaniyah dari bapak KH.
Ahmad Munawwir Jatimulyo, Jenggawag, Jember, Indonesia. Dan menapat
pendidikan dari jalur tawaqillu dhohiriyyah serta mendapat izin dan amanah untuk
mengamalkan dan mengajar dari KH. Fathulloh Munawwir bin Al’anh billah KH.
Munawwir Tegalarum, Kertosono, Nganjuk. Mursyid al’arif billah KH. Imam
Munawwir Nganjuk menulis kitab “sabilul hidayah” ()سبيل الهداية. Kemudian kitab
tersebut disarahi oleh muridnya yang bernama KH. Sholeh Bahruddin pendiri dan
pengasuh pondok pesantren Ngalah, Pasuruan dengan menulis kitab “sabilus
salikiin” ))سبيل السا لكين.
Oleh karena itu, al-faqir merasa perlu untuk meneruskan tradisi penulisan sarah
tersebut dengan meulis buku “sabilus su’ada’i” (وعداءJ)سبيل الس. Yang tujuannya
agar buku ini bisa menjadi panduan bagi yang mempelajari tasawuf dan thoriqoh.
MUQODIMMAH
Lafadz (sabil) secara etimologi artinya adalah jalan. Sedangkan lafadz (assuada’i)
artinya banyak, berupa kalimat isim fa’il yang bentuknya jamak. Lafadz assuadai
merupakan kalimat isim yang ma’rifat dengan di tandai ( (الJadi lafadz sabilu
suada’i artinya adalah jalan-jalan yang ditempuh oleh orang-orang yang sukses
dunia akhirat.
Tujuan atau alasan menggunakan kalimat isim fa’il adalah karena mengaji itu
untuk diri sendiri, sekaligus berdo’a dan aktif ketika mengaji. Karena aktif adalah
bentuk kalimat fa’il. Dengan aktif ketika mengaji diharapkan agar tahu jalan
menuju akhirat.
Yang dimaksud dengan jalur tawaqillu ruhaniyah dalam pengantar penulis adalah
jalur pendidikan dan curahan nur melalui jalur ruhaniyyah. Dalam hal ini al-faqir
mendapatkan pendidikan yang disampaikan oleh ayahnya saat beliau (KH Ahmad
Munawir sudah wafat) diantaranya dalam bentuk contoh tindakan. Sedangkan
yang dimaksud tawaqillu dhohir yaitu proses pendidikan terjadi ketika murid dan
mursyid bertemu dalam keadaan masih hidup dan ada saksi pertemuan. Yang
menjadi saksi yaitu santri (murid) yang lainnya. Kedua Jalur talaqiy dzohir dan
talaqiy ruhaniyyah pada silsilah toriqoh naqsabandiyah kholidiyah bertemu pada
Syeikh Sayyid Sulaiman Jabbal Qubais RA.
Dalam surah al-maidah yang di tafsiri dalam tafsir Al-Baghawi halaman 367
dijelaskan bahwa Allah memberikan ilmu kepada Rasulallah yaitu jika ingin
hidup sukses di dunia dan akhirat maka harus mengikuti panduan yang telah
ditentukan oleh Allah. Bukan hanya panduan yang tertulis (dhohir) tapi juga
panduan yang tidak tertulis (batin) yang dapat dirasakan oleh orang-orang yang
meniti jalan thoriqoh.
Pada zaman sekarang yang menjadi tantangan adalah kegelapan dunia baik harta,
tahta, wanita, maupun kesenangan hedonisme. Hal-hal tersebut dapat membuat
tertutupnya hati oleh gelapnya nafsu, sehingga menyebabkan banyak orang yang
kehilangan arah dan tujuan hidup atau sering disebut disorientasi.
BAB 1. PENDAHULUAN
Artinya:
“……Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang
menerangkan. 16. dengan kitab Itulah Allah menunjuki orang-orang yang
mengikuti keredhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang
benderang dengan seizin-Nya, dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (al-
Maa-idah: 15-16)
Manusia adalah satu dari sekian hamba atau makhluk Allah SWT yang diutus
hidup di dunia dengan peluang dan resiko yang sama. Peluang yang dimaksud
ialah surga sedangkan resiko yang dimaksud ialah neraka. Ada tiga kategori
manusia yang tidak bahagia yaitu 1) Manusia yang dipenuhi dengan harta
duniawi; 2) Manusia yang memiliki sebagian harta (parsial); dan 3) Manusia yang
tidak memiliki fasilitas duniawi (faqir).
Dari ketiga golongan manusia di atas adakalanya yang bisa merasakan bahagia.
Maka sejatinya bahagia itu tidak dapat diukur atau tidak terletak pada fasilitas
duniawi. Dalam al-qur’an surah al-bayyinah ayat 8 :
“Orang yang bahagia yaitu orang yang Allah ridha terhadap mereka dan
merekapun ridha kepada-Nya”. Sebagai manusia kita diperbolehkan
memanfaatkan seluruh fasilitas yang Tuhan sediakan untuk meraih kebahagiaan.
Namun, manusia tidak dibenarkan jika kita hanya menikmati fasilitas saja tanpa
adanya ikhtiyar atau upaya untuk mendapatkannya. Justru dengan ikhtiyar berupa
ibadah baik ritual maupun sosial, manusia akan mendapatkan ridho Alloh dan bisa
merasakan bahagia. Jadi dapat disimpulkan bahwa orang yang bahagia ialah orang
yang mendapat ridho dari Allah SWT dan orang tersebut juga ridho terhadap
Allah.
Latar belakang dari Kitab Sabilus Suada’ ini yaitu kondisi masyarakat yang
banyak terbelenggu dan tersesat dalam kebahagiaan duniawi saja karena tidak
mendapatkan ridha dari Allah Swt sehingga mereka lupa akan tujuan hidupnya di
dunia. Menurut studi yang berjudul Listening to our future, tingkat kebahagiaan
kaum milenial dipengaruhi oleh 1) Tingkat kesehatan rendah yang tidak sama
dengan orangtuanya; 2) Sulitnya berkeluarga; dan 3) Sulitnya mendapatkan
pekerjaan.
Maka untuk mengatasi hal tersebut diperlukan keridhoan dari Allah. Dengan terus
beralan di jalan kebenaran maka senantiasa akan mendapat ridho Allah dan
mendapatkan kebahian yang sebenarnya. Jika manusia mau menyadari
sesungguhnya Allah Swt telah member fasilitas di dunia yang pertama yaitu
berupa Nur (cahaya) kanjeng Nabi Muhammad saw. Nur kanjeng Nabi
Muhammad saw diciptakan sebelum alam semesta termasuk manusia diciptakan
(sebelum adanya nabi Adam as). Fasilitas berikutnya yang telah diberikan oleh
Allah yaitu berupa kitab suci Al-Qur’an. Secara lahiriah Nabi Muhammad SAW
mengajarkan sholat, rukun islam, rukun iman dan syariat lainnya. Orang yang
mendapatkan nur dari Allah akan menjadi orang yang beriman meskipun orang
tersebut berasal dari golongan biasa, sedangkan orang yang tidak beriman yaitu
orang yang tidak mendapatkan nur-Nya Allah meskipun dia memiliki segalanya.
Orang yang mendapat Nur senantiasa diberi kekuatan oleh Allah untuk:
Pada pendidikan thoriqoh untuk bisa sambung kepada Allah SWT haruslah
melalui Nabi Muhammad SAW. untuk itu kita sambung ilmu dan nur melalui
para mursyid yang mempunyai silsilah mutasil (sambung, tidak terputus) kepada
Rasulullah SAW. Dengan demikian,seseorang yang mau mengikuti thoriqoh,
dengan bimbingan guru/mursyid tersebut akan mendapat petunjuk jalan
keselamatan dan dikeluarkan dari kegelapan berikutnya di bimbing meniti shirat
almustaqim oleh Allah SWT.
1. Sabil
Yaitu jalan lurus tidak bengkok atau jalan kecil-kecil. Kata sabil banyak
digunakan untuk jalan kebaikan. Kata sabil digunakan dalam Al-Qur’an untuk hal
positif/negatif ada yang berbentuk jamak dan tunggal. Menurut Quraish Shihab,
kata sabil adalah jalan yang dilalui. Contoh : orang yang masuk surga lewat jalan-
jalan kecil melalui ibadah sholat, sifat yang dermawan atau pemurah, memberikan
air minum kepada anjing. Melalui jalan-jalan kecil tersebut seseorang dapat
masuk surga.
2. Sirath
Yaitu jalan lurus besar, tidak berbelok ada unsur istiqomah. Disebutkan dalam
kitab Mu’jam Al-Mufahras. Sirat menurut bahasa (etimologi) yang artinya adalah
jalan sedangkan menurut syar’i (terminologi): jembatan yang dibentangkan diatas
neraka jahannam yang akan dilewati ummat manusia menuju surge sesuai dengan
amal perbuatan mereka. Ash-Shirath artinya jembatan yang terbentang diatas
permukaan neraka jahannam (licin, memiliki kait, cakar dan duri).
3. Thariq
Yaitu jalan khusus atau jalan pintas jika akan melaluinya harus dibimbing oleh
orang yang paham tentang jalan khusus tersebut. Contohnya thoriqoh yang
silsilahnya mu’tasim (terjaga, tidak putus). Apabila mengikuti thoriqoh hendaknya
murid mengikuti thoriqoh mu’tabaroh (ajaranya tidak bertentangan dengan
alqur’an serta hadits dan silsilahnya mutasil kepada Rasulullah SAW). Apabila
berthoriqoh tanpa adanya mursyid maka gurunya adalah syetan dan bisa tersesat.
BAB 2. TUJUAN DICIPTAKAN MANUSIA
Secara garis besar dalam Al-qur’an tujuan diciptakannya manusia di muka bumi
oleh Allah yaitu untuk 1) Beribadah; 2) Berkholifah; dan 3) Berkompetisi.
1. Beribadah
Hal ini perlu ditanamkan dalam pemikiran agar tidak dibelokkan dan disesatkan
oleh setan. Sehingga akal tidak memikirkan sesuatu yang berwujud Allah. Karna
jika akal kita masih memikirkan dan membayangkan sesuatu sebagai wujud Allah
maka itu adalah kesalahan. Karna kembali pada sifat Allah yaitu Mukhallafatu lil
Hawaditsi yaitu tidak ada segala sesuatu yang menyerupai Allah. Sesuai dengan
yang di ajarkan Allah dalam Al-qur’an dijelaskan surat as-Syura ayat 11 ( ْس َك ِم ْثلِ ِه
َ لَي
11 : ) َشى ٌء سورة الشورىyang artinya “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun
dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi), dan tidak ada
sesuatupun yang menyerupai-Nya”. (QS. as-Syura: 11).
Allah itu maha ghaib juga maha wujud. Dalam Al-qur’an Surah Al-baqarrah ayat
ke 3: … ٱلَّ ِذينَ يُْؤ ِمنُونَ بِ ْٱل َغيْبyang artinya (yaitu) mereka yang beriman kepada yang
ghaib. Dan yang maha ghaib itu Allah, maka yang di imani adalah Allah. Karna
tidak hal ghaib yang lain yang pantas di imani. Ada beberapa mahkluk allah yang
juga ghaib tapi hanya secara fisik semisal malaikat dan jin. Tetap ada manusia
yang mampu atau bisa melihat malaikat dan jin, seperti kanjeng Nabi yang dapat
melihat malaikat Jibril. Juga orang-orang sholih diberi karomah leh allah mampu
melihat jin dan setan. Akan tetapi tidak ada mata yang mampu melihat keghaiban
allah baik secara kasat mata maupun mata batin.
Salah satu cara agar seorang hamba mau merasa kecil, dekil, kotor, merasa andap
ashor dihadapan Allah maka harus mempelajari dan memahami kebesaran dan
sifat allah yang lain. Secara logika sederhana kita tunduk dan patuh terhadap
orang yang memilik keilmuan lebih tinggi atau memiliki sifat yang lebih baik.
Kepada sesama manusia yang makhluk ciptaan Allah saja kita bisa tunduk apalagi
kepada Allah yang maha segalanya. Tanpa kita meminta dan tanpa kita sadari
Allah selalu memberi kebaikan, salah satu contohnya yaitu darah yang terus
mengalir, jantung yang terus berdetak, matahari yang terus bersinar. Dengan
mengerti keagungan Allah maka akan membuat seorang hamba beribadah tidak
dengan sembarang (ngawur), tetapi dengan sungguh-sungguh.
Kesimpulannya dengan adanya kesadaran sebagai seorang hamba, maka kita akan
menghamba (beribadah) kepada Allah. Kita akan mempersembahkan ibadah yang
terbaik kepada tuannya yaitu Allah. Karna Allah maha segala-galanya. Seluruh
alam semesta ini merupakan ciptaan Allah, Allah juga yang memiliki dan Allah
juga yang mengatur serta mengelolanya.
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah itu sangatlah kecil jika diandingan
dengan ciptaan Allah yang lain. Semisal jika kita dibandingkan dengan besarnya
galaksi bimasakti, maka tidak aka nada apa-apanya. Contoh lain adalah kuman itu
tidak terlihat padahal kuman itu tersusun dari berbagai macam senyawa. Dan
kuman itu sendiri tidak akan terlihat jika di bandingkan dengan manusia. Maka
memahami hal seperti ini merpakan tafakur mengenai wujud Allah. Bentuk
tafakur terhadap sifat Allah maha wujud yaitu dengan adanya segala wujud
ciptaan Allah. Karna jika ada sesuatu pasti ada yang menciptakan, dan Allah maha
menciptkan segala sesuatu.
Dalam kitab tafsir Al-Baghawi pentafsiran mengenai salah satu surah yaitu Q.S
ُ س ْال ِج َّن خَ لَ ْق
Az-Zariyat ayat 56 : ت َو َما َ دُو ِن ِإاَّل َواِإْل ْنJ ُ لِيَ ْعبyang artinya “Dan aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
dijelaskan bahwa Allah menggunakan lafadz خلقuntuk menjelaskan bahwa Allah
menciptakan dan mengkreasikan ciptaannya yang mana dalam proses
penciptaannya tidak ada kontribusi atau bantuan makhluk (manusia) itu sendiri.
Lafadz لِيَ ْعبُدُو ِنmemiliki makna yaitu manusia diciptakan dengan kewajiban yang
sama yaitu untuk beribadah kepada allah. Dan dalam hal beribadah tidak ada
pengecualian bagi seluruh umat muslim. Semisal ibadah sholat, maka semua
muslim wajib menunaikannya bahkan sekalipun muslim tersebut adalah seorang
mu’alaf. Ada beberapa ulama yang menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud
dalam ayat ini adalah khusus bagi manusia dan jin yang taat. Orang atau jin yang
taat pasti menyembah Allah. Jika tidak beribadah menyembah Allah hal ini
termasuk tidak taat dan orang yang tidak taat itu merupakan perbuatan maksiat.
Maka belajar taat itu sangat penting.
Dalam Kitab Tafsir Ibnu Katsir, maksud dari ayat tersebut adalah, Aku (Allah)
ciptakan mereka itu dengan tujuan untuk menyuruh mereka beribadah kepadaKu,
bukan karena Aku membutuhkan mereka. Mengenai firman Allah Ta'ala: ( ِإاَّل
ِ " )لِيَ ْعبُدMelainkan supaya mereka beribadah kepadaKu". 'Ali bin Abi Thalhah
ُون
meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra.: "Artinya, melainkan supaya mereka (jin dan
manusia) mau tunduk dan beribadah kepada Allah, baik secara sukarela maupun
terpaksa". Sedangkan Ibnu Juraij menyebutkan: "Yakni supaya mereka
mengenalKu". Dan masih mengenai firmanNya: ( نJِ " )ِإاَّل لِيَ ْعبُدُوMelainkan supaya
mereka beribadah KepadaKu". Ar-Rabi' bin Anas mengatakan : "Maksudnya tidak
lain kecuali untuk beribadah".
Dalam Kitab Tafsir Quraish Shihab, maksud dari ayat tersebut adalah Aku (Allah)
tidak menciptakan mereka untuk suatu manfaat yang kembali pada-Ku, tetapi Aku
(Allah) menciptakan untuk beribadah kepada-Ku, dan ibadah itu sangat
bermanfaat untuk mereka sendiri. Allah SWT memerintahkan jin dan manusia
untuk beribadah bukan karena Allah butuh disembah. Akan tetapi, Allah SWT
ingin menguji ketaatan jin dan manusia sebagai makhluk yang telah
diciptakanNya. Sedangkan dalam kitab Tafsi Jalalain pentafsiran ayat tersebut
adalah, “dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembah-Ku”. Pengertian dalam ayat ini sama sekali tidak bertentangan
dengan kenyataan yang ada, bahwa hanya orang-orang muslim yang menyembah
Allah dan tidak dengan orang-orang kafir.
Menurut pendapat Ibnu Abbas yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah orang-
orang yang beriman. Karena hanya orang-orang yang beriman yang memiliki
kewajiban untuk beribadah kepada Allah. Dengan demikian sudah sangat jelas
jika sebagai seorang muslim wajib taat dalam beribadah kepada Allah. Dan jika
meninggalkan atau tidak melaksanakan ibadah maka akan mendapat konsekuensi
yang jelas (masuk neraka).
Sebagian mufassir (ahli tafsir) menjelaskan اخلقتJJعداءمن ومJJدات اال والنس الجن السJJالعب
(wama kholaqtuss su’adai minnal jinni wal inssi illa ‘ibadati), Maksudnya bahwa
Aku (Allah) tidak menciptakan jalan-jalan kebaikan bagi jin dan manusia kecuali
untuk mereka beribadah. Orang-orang yang beribadah akan senantiasa mendapat
jalan kebaikan atau petunjuk dalam hal beribadah oleh Allah. Antonim lafadza
assuada’i lafadz assyqiya’ (قياءJJJ )اشyang artinya yaitu senang membantah,
menentang aturan, dan orang-orang yang senang membantah oleh Allah akan
dibiarkan atau diabaikan. Sehingga menyebabkan bermaksiat. Sedangkan orang-
orang yang senang bermaksiat termasuk orang yang celaka atau binasa.
Sayyidina Ali menggabungkan ayat ini dengan ayat Al-qur’an dalam surah At-
Taubah ayat 31, dimana lafadz ( )ِإاَّل لِيَ ْعبُدُو ِنmaksudnya adalah jin dan manusia itu
diciptakan untuk menyembah Allah dan kemudian diserukan sebagai hambanya.
Menyembah berarti melaksanakan perintah dan meninggalkan segala larangannya.
ِ ُ )ِإاَّل لِيَعْرفmaksudnya
Menurut para mujahid menafsiri ayat tersebut dengan lafdz ( ون
adalah kecuali agar jin dan manusia itu mengenal-Ku (Allah). Maka tujuan jin dan
manusia itu diciptakan untuk mengenal Allah. Pembahasan mengenai hal ini
termasuk dalam maqom ma’rifat dan penafsiran ini dianggap paling baik dan
bagus oleh para mujahid. Allah berfirman melalui kanjeng Nabi ًزا َم ْف ِهيًاJت َك ْف
ُ ُك ْن,
maksudnya adalah Allah itu pada awalnya merupakan suatu pembendaharaan,
mutiara, kemudian Allah ingin diketahui oleh hambanya, maka Allah menciptakan
makhluknya (manusia) agar manusia kemudian mengenal Allah sebagai
penciptanya. Hal ini juga dijelaskan dalam hadis ربه ع ََرفَ فَقَ ْد نَ ْف َسهُ ع ََرفَ منyang
artinya “Barang siapa yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal
Tuhannya.”
Dalam sudut pandang thoriqoh lafadz ( نJِ دُوJJُ )ِإاَّل لِيَ ْعبditafsiri dengan lafadz ( ِإاَّل
ِ Jُ)لِيَعْرف. Orang yang sudah ma’rifat maka qolbinya bisa merasakan kehadiran
ونJ
Allah serta memiliki rasa malu terhadap Allah dapat mengalahkan sifat riya’ atau
sombong. Ibadah dengan khusyu’ sudah termasuk ma’rifat. Sebagai seorang
hamba maka seharusnya menghamba sebaik mungkin, mempersembahkan ibadah
yang sebaik mungkin. Baik secara kuantitas maupun kualitas. Salah satu hadis
dalam kitab Arbain Nawai, hadis ke 10 yaitu:
Pada penggalan hadis lafadz ً اJ ُل ِإالَّ طَيِّبJ َ ِإ َّن هللاَ طَيِّبٌ الَ يَ ْقبyang artinya “Allah tidak
menerima kecuali yang thoyyib”. Sebagian ulama mengatakan bahwa makna
thoyyib di sini khusus pada masalah sedekah/infaq, yaitu bahwa Allah tidak
menerima sedekah yang buruk yakni sedekah dari harta yang haram, kecuali infaq
yang datang dari harta yang halal dengan cara yang halal.
Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa ini maknanya umum, yaitu apa saja
amalan atau perkatan, itu barulah diterima oleh Allah ketika perkataan atau
amalan tersebut baik, dan baik di sini maknanya halal. Karena Allah sudah
menjelaskan bahwa amalan-amalan itu tidak diterima kalau dicampuri dengan
kesyirikan, riya’, ujub, kesombongan dan lainnya, yang mana itu merupakan suatu
noda dari sebuah amalan. Jadi makna thoyyib di sini adalah secara umum, bukan
hanya khusus pada masalah sedekah saja, bahkan dalam seluruh amalan maka
Allah tidak akan menerimanya kecuali dia merupakan amalan-amalan yang bersih
dari segala macam hal yang bisa merusak/mengotorinya.
Dan penggunaan thoyyib dalam makna ini juga sangat banyak. Karenanya seorang
muslim hendaknya memperhatikan seluruh perkataannya, amalannya dan
aqidahnya, hendaknya semuanya dalam keadaan bersih dan tidak dikotori oleh
suatu apa pun. Ada beberapa hadis lain untuk memperkuat pengertian makna illa
thoyyib diantaranya yaitu:
وبِ ُك ْمJJُ ُر ِإلَى قُلJJُ َوالِ ُك ْم َولَ ِك ْن يَ ْنظJJ َو ِر ُك ْم َوالَ َأ ْمJ ص
ُ ُر ِإلَىJ ُ ِإ َّن هللاَ الَ يَ ْنظ:لَّ َمJ ِه َو َسJ لَّى هللاُ َعلَ ْيJ ص َ Jَق
َ ِوْ ُل هللاJ ال َر ُسJ
َوَأ ْع َمالِ ُك ْم
Yang Allah lihat di dalam hati hambaNya ini ada kesucian, kebaikan. Al Imam
Asy-Syafi’i Rahimahullahu Ta’ala mengatakan, “Seagung-agung ibadah di
antaranya adalah ketika Allah melihat ke dalam hati kita dan di dalam hati kita ini
tidak ada yang diharap selain Allah.”
Dalam hal beribadah sesungguhnya Allah tidak melihat rupa, tahta, harta benda,
tetapi Allah melihat qolbi. Sehingga dalam menjalani kehidupan dan terutama
dalam hal ibadah (mengabdi) sangatlah penting untuk memperbaiki dan menjaga
hati tetap bersih dari segala perbuatan dan sifat yang tidak baik. Hadis lain yang
menguatkan penjabaran di atas yaitu hadis ke-6 dalam kitab hadis Arbain
Nawawi:
Allah melalui rosullullah mejelaskan bahwa yang diterima Allah adalah yang
baik, yaitu hati yang baik. Yang mana hati itu adalah raja dalam tubuh manusia
yang mana jika hatinya bagus maka pikiran,akal dan jasadnya juga bagus. Dalam
hadis lain juga dijelaskan bahwa ibadah yang diterima adalah ibadah yang
dijalankan dengan penuh khusyuk dan khudur. Maka kadar diterimanya suatu
amalan ibadah adalah seberapa khusyuk dan khudurnya seseorang ketika
beribadah mulai dari awal hingga akhir. Sejatinya manusia yang ditakdirkan lahir
dan hidup di dunia oleh Allah, maka juga ditakdir lahir dan hidup diakhirat pada
yaumul ba’as (hari kebangkitan). Pada yaumul ba’as nanti tidak ada yang bisa
bersembunyi. Maka sadarlah bahwa didalam kehidupan ini berusaha mencari
ridho Allah. Dengan adanya pemahaman ini, maka agar manusia itu tidak
beribadah dengan seadanya, dengan sekedarnya. Tetapi mempersembahkan
ibadah yang sebaik mungkin dan semaksimal mungkin baik secara kuantitas
(jumlah) maupun kualitas (mutu). Hal ini merupakan konsep dari thoyyib dalam
hal beribadah.
2. `Menjadi Kholifah
Tujuan manusia diciptakan oleh Allah yang kedua yaitu sebagai kholifah. Dalam
Al-qur’an Q.S Al-Baqarah ayat 30 yang berbunyi:
Lafadz َجا ِع ٌلberasal dari mashdar lafadz “ja’ala” yang secara etimologi memiliki
makna yang sama dengan lafadz “kholaqo” yaitu membuat. Yang membedakan
adalah dalam hal prosesnya. Lafadz “ja’ala” pada prosesnya ada kontribusi atau
campur tangan manusia. Maka ada keterlibatan manusia dalam proses menjadi
kholifah. Sedangkan lafadz “kholaqo” dalam prosesnya tidak ada kontribusi
manusia.
{ًض َخلِيفَة
ِ ْ}ِإنِّي َجا ِع ٌل فِي األر
Yakni suatu kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian yang lain silih
berganti, abad demi abad, dan generasi demi generasi, sebagaimana pengertian
yang terkandung di dalam firman-Nya:
Menurut qiraah yang syaz dibaca inni ja'ilun fil ardi khalifah (sesungguhnya Aku
hendak menjadikan khalifah-khalifah di muka bumi). Demikianlah diriwayatkan
oleh Zamakhsyari dan lain-lainnya. Al-Qurtubi menukil dari Zaid ibnu Ali, yang
dimaksud dengan khalifah dalam ayat ini bukanlah Nabi Adam a.s. saja seperti
yang dikatakan oleh sejumlah ahli tafsir. Al-Qurtubi menisbatkan pendapat ini
kepada Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud, dan semua ahli takwil. Akan tetapi, apa yang
dikatakan oleh Al-Qurtubi ini masih perlu dipertimbangkan.
Pengertian lahiriah Nabi Adam a.s. saat itu masih belum kelihatan di alam wujud.
Karena jikalau sudah ada, berarti ucapan para malaikat yang disitir oleh firman-
Nya dinilai kurang sesuai, yaitu: Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah)
di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan
darah? (Al-Baqarah: 30).
Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui. (Al-Baqarah: 30)
اس لَ َعلَّهُ ْم ِ َّ ِربُهَا لِلنJَض ْ ُل نJَك ٱَأْل ْم ٰث َ عًا ُّمتJ ٍل لَّ َرَأ ْيتَهۥُ ٰ َخ ِشJَرْ َءانَ َعلَ ٰى َجبJJُ َذا ْٱلقJَا ٰهJJَلَوْ َأن َز ْلن
َ Jيَ ِة ٱهَّلل ِ ۚ َوتِ ْلJ ِّدعًا ِّم ْن خَ ْشJَص
)ه َُو ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذى ٓاَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل22( ب َوٱل َّش ٰهَ َد ِة ۖ هُ َو ٱلرَّحْ ٰ َمنُ ٱل َّر ِحي ُم ِ )هُ َو ٱهَّلل ُ ٱلَّ ِذى ٓاَل ِإ ٰلَهَ ِإاَّل هُ َو ۖ ٰ َعلِ ُم ْٱل َغ ْي21( َيَتَفَ َّكرُون
ُ Jِ َو ٱهَّلل ُ ْٱل ٰخَ لJُ)ه23( َ ِر ُكونJك ْٱلقُ ُّدوسُ ٱل َّس ٰلَ ُم ْٱل ُمْؤ ِمنُ ْٱل ُمهَ ْي ِمنُ ْٱل َع ِزي ُز ْٱل َجبَّا ُر ْٱل ُمتَ َكبِّ ُر ۚ ُس ْب ٰ َحنَ ٱهَّلل ِ َع َّما ي ُْش
ق ُ ِه َُو ْٱل َمل
)24( ض ۖ َوهُ َو ْٱل َع ِزي ُز ْٱل َح ِكي ُم
ِ ْت َوٱَأْلر
ِ ص ِّو ُر ۖ لَهُ ٱَأْل ْس َمٓا ُء ْٱل ُح ْسن َٰى ۚ يُ َسبِّ ُح لَ ۥهُ َما فِى ٱل َّس ٰ َم ٰ َو
َ ارُئ ْٱل ُم
ِ َْٱلب
Artinya: Sekiranya Kami turunkan Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, pasti
kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan takut kepada Allah. Dan
perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia agar mereka berpikir.
Dialah Allah tidak ada tuhan selain Dia. Yang Mengetahui yang gaib dan yang
nyata, Dialah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Dialah Allah tidak ada
tuhan selain Dia. Maharaja, Yang Mahasuci, Yang Mahasejahtera, Yang Menjaga
Keamanan, Pemelihara Keselamatan, Yang Mahaperkasa, Yang Mahakuasa, Yang
Memiliki Segala Keagungan, Mahasuci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
Dialah Allah Yang Menciptakan, Yang Mengadakan, Yang Membentuk Rupa,
Dia memiliki nama-nama yang indah. Apa yang di langit dan di bumi bertasbih
kepada-Nya. Dan Dialah Yang Mahaperkasa, Mahabijaksana.
Pada ayat ke 21 lafadz ْ َجبَ ٍل ع َٰلى ْالقُرْ ٰانَ ٰه َذا اَ ْن َز ْلنَا لَوartinya Sekiranya Kami turunkan
Al-Qur'an ini kepada sebuah gunung, dapat dijabarkan maksudnya yaitu gunung
itu tidak mau dijadikan kholifa dimuka bumi karena sadar bahwa begitu berat dan
susahnya tugas menjadi kholifah. Meskipun gunung jtersebut diberi ayat al-
qur’an. Gunung tersebut karena takut kepada Allah, takut tidak dapat menjalankan
amanah sebagai kholifah.
1. Berilmu (berakal)
Maka yang bisa menjadi seorang kholifah adalah orang yang mau belajar dan siap
menerima ilmu. Menuntut ilmu itu mulai dari kandungan sampai liang lahat
(minal mahdi illa llahdi). Jika akal berisi ilmu maka akan dapat menjadi kholifah
yang amanah dan mampu menundukkan nafsu.
2. Kekuatan Qolbu
3. Kekutan Ruhaniyah
Sebagai seorang kholifah membutuhkan energi ruhaniyah yang terpancar dari nur
nabi Muhammad. Maka dengan adanya taufik bisa menjadi kuat dan dengan
adanya hidayah bisa mendapat pertolongan Allah swt.
Kholifah itu artinya sebagai pengganti, dan allah mengutus manusia sebagai
kholifah. Agar kita bisa menenuaikan tugas kita maka perlu mengasah akal kita
dengan ilmu, hafalan dan pemahaman. Agar akal kita bisa berlogika, berasio, dan
berdialegtika. Dan mengasah akal itu dengan ilmu baik ilmu fardhu ‘ain (seperti
ilmu fiqh) dan ilmu fardhu kifayah (ilmu umum). Ilmu fardhu kifayah adalah ilmu
dari allah dan itu diperlukan demi kemaslahan ummat. Contohnya yaitu ilmu
kesehatan, perlu adanya seseorang yang mempelajari ilmu kesehatan dalam satu
golongan agar dapat memberi kemaslahatan bagi golongan tersebut. Jika dalam
satu golongan tidak ada satupun orang yang mempelajari ilmu (fardhu kifayah)
maka satu golongan tersebut mendapat dosa, ini karena pentingnya mempelajari
ilmu (fardhu kifayah).
Seperti halnya untuk menjadi orang yang sukses maka juga dibutuhkan proses,
maka jangan hanya melihat hasilnya. Sebagai seorang santri yang harus dilihat
adalah proses dan perjuangan dari seseorang sebelum orang tersebut menjadi
sukses. Karena allah itu memberi kanfadhol terhadap orang yang bersungguh-
sungguh. Dalam salah satu hadis disebutkan َو َج َد َج َّد َم ْن, “man jadda wa jadda.”
Maksudnya ialah Gusti Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum hingga kaum
tersebut berusaha merubah nasibnya sendiri ( ُك ْمJJ)حتَي يُ َغيِّ ُر َم ْن بَِأ ْنفُ ِس.
َ Maksudnya
adalah kaum tersebut memiliki usaha dan perjuangan yang sungguh-sungguh
untuk merubah nasibnya, sehingga Allah akan merubah nasibnya, memberikan
hasil bagi kaum tersebut.
Semua orang bisa menjadi kholifah, dan kholifah bisa disegala bidang ilmui dan
profesi. Contohnya dalam kehidupan masyarakat seseorang dapat mengajak dan
memberdayakan orang lain yang sebelumnya belum memiliki akses ngaji dan
pemberdayaan ekonomi. Sikap seperti ini bentuk salah satu fungsi kholifah dan
sebagai alasan mengapa begitu pentingnya memiliki suatu ilmu untuk menjadi
seorang kholifah.
Memiliki ilmu itu harus yang luas dan komprehensif, sehingga dapat bersikap lues
terhadap semua lapisan masyarakat. Ilmu tidak hanya.sekedar ilmu, tapi harus
disampaikan dari qolbu (hati) agar ilmu tersebut juga bisa diterima oleh hati. Ilmu
yang diterima oleh hati maka akan memberikan pemahaman dikemudian hari
meskipun ketika awal menerima ilmu tersebut tidak dapat memahaminya.
Berbeda dengan ilmu yang tidak disampaikan oleh hati. Karna ilmu yang tidak
disampaikan dari hati maka hanya akan sekedar sampai di pendengaran. Oleh
karena itu ilmu perlu diolah melalui 4 dimensi yang dimiliki manusia yaitu
dimuisikujung kepala hingga kaki. Berarti ya ilmu itu disampaikan melalui lisan
untuk kemudian diterima oleh hati dan diolah akal, dan agar barokah maka
disirami dengan nur (ruhaniyah). Jika saat ini kita berada pada jalur tarbiyah
secara fisik, maka itu harus dijaga. Karena memiliki tubuh yang sehat itu di
anjurkan oleh agama dan dengan tubuh yang sehat seseorang dapat berjihad atau
berdakwah. Kesehatan adalah barokah dari Allah swt. Dimensi akal harus diisi
ْ ُا, “tuntutlah ilmu
ِّ وْ فيJJَوْ ا ال ِع ْل َم َولJJُطلُب
dengan ilmu. Dawuh e kanjeng Nabi ي ِنJJالص
walaupun sampai kenegri china”. Yang dimaksud dalam hadis ini adalah ilmu
fardhu kifayah. Maka sangat penting mempelajari ilmu fardhu ‘ain dan fardhu
kifayah.
3. Berkompetisi
٢ - َب النَّاسُ اَ ْن يُّ ْت َر ُك ْٓوا اَ ْن يَّقُوْ لُ ْٓوا ٰا َمنَّا َوهُ ْم اَل يُ ْفتَنُوْ ن
َ اَ َح ِس
Dan sungguh, Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti
mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.
Lafadaz ِم ْن قَ ْبلِ ِه ْمartinya adalah seluruh umat manusia dari yang terdahulu sampai
sekarang. Mulai dari umat nabi Adam a.s, nabi Ibrahim a.s, dan lainnya. Allah
akan menguji manusia yang mengatakan beriman kepada Allah. Allah ingin
melihat manakah hambanya yang sungguh-sungguh ( )صدقdan mana yang tidak (
ٰ Allah menguji hambanya dengan bala’ dan sebagainya. Jika orang tersebut
)ك ِذب.
صدقmaka orang tersebut tetap taat beribadah dan dapat kembali kejalan Allah.
Allah menguji hambanya yang pertama yaitu dengan ujian antara haq dan yang
batil. Mampukah hambanya melaksanakan yang haq dan meninggalkan yang batil.
Kemudian ujian yang kedua yaitu ujian nafsu. Mampukah seorang hamba
menahan hawa nafsunya. Apakah ibadahnya meningkat atau tidak?. Allah swt
memberi ujian kepada hambanya secara bertahap, dari yang mudah ke yang sulit.
Diibaratkan seperti ujian sekolah yang dimulai dari tingkatan SD, SMP sampai
perguruan tinggi. Dengan begitu, maka akan terlihat manakah yang دقJJ صdan
manakah yang ك ِذب.ٰ
Dalam kitab Latho’iful Minan karangan Ibnu ‘Atho’ilah, yang di sarahi dalam
kitab Al-Hikam diceritakan bahwa Imam Abu Hasaan pernah di dholimi dan
disakiti tapi tidak memiliki kesempatan untuk membalas. Kemudian Imam Abu
Hasan bermimpi, dalam mimpinya beliau mendapat hidayah dari Allah bahwa
yang pertama yaitu adanya bala’ yang disebabkan oleh orang lain sehingga
membuat diri kita tersakiti adalah jalan taqarub kepada Allah dan yang kedua
orang yang tersakiti atau terdholimi tidak membalasnya itu merupakan ciri dari
shiddiqiin ()صدق.
(الحكم شرح، ج٥٧،٢-٥٨) بهم يبالي ال ثم اعداءها كثرة الصديقية عالمة من
“Termasuk tanda-tanda orang orang shiddiq adalah orang yang banyak musuh,
namun dia tidak mempedulikan mereka”
٢ - ق ْال َموْ تَ َو ْال َح ٰيوةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم اَيُّ ُك ْم اَحْ َسنُ َع َماًل ۗ َوه َُو ْال َع ِز ْي ُز ْال َغفُوْ ۙ ُر
َ َالَّ ِذيْ َخل
Artinya: “Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.”
Orang yang beriman sudah bagus, tapi di antara orang bagus akan diuji untuk
dilihat siapakah yang poin ibadahnya paling bagus. Maka jika orang ingin lulus
dan sukses dalam ujian yang diberikan oleh Allah maka harus mengikuti jalan
yang ditentukan dan yang di ridhoi oleh Allah serta menggunakan Al-qur’an
sebagai tuntunan. Ujian itu jangan dianggap sebagai sebuah azab, jangan pula
dianggap dapat melemahkan kita.
٢ - ق ْال َموْ تَ َو ْال َح ٰيوةَ لِيَ ْبلُ َو ُك ْم اَيُّ ُك ْم اَحْ َسنُ َع َماًل ۗ َوه َُو ْال َع ِز ْي ُز ْال َغفُوْ ۙ ُر
َ َالَّ ِذيْ َخل
Allah itu maha agung, maka jangan heran jika kita diberi kemenangan dalam ujian
Allah. Jika kita sukses dalam menghadapi ujian maka harus bersyukur karena
Allah itu maha َزيْز
ِ عdan apabila kita gagal dalam menghadapi ujian maka kita
salah dan tetap bersandar pada Allah karena Allah itu maha وْ ۙ ُرJJُ َغف. Sehinngga
dengan demikian ikuti segala ujian yang diberikan oleh Allah. Jika kita kalah
karena kelemahan kita dalam menghadapi ujian Allah maka mohon ampunlah
kepada Allah karena Allah maha pengampun () َغفُوْ ۙ ُر. Dengan demikian maka perlu
ditanamkan dalam diri bahwa keberhasilan kita itu semua karna Allah yang maha
َزيْز
ِ عdan jika kita gagal dalam menghadapi ujian Allah itu karena kita hanya
hamba yang lemah dan mohon ampun lah pada Allah karna Allah maha
pengampun () َغفُوْ ُر.
Kesimpulan yang dapat diambil dari ketiga tujuan diciptakannya manusia di muka
bumi ini ialah selama hidup dimuka bumi ini kita sebagai hamba Allah harus
berjuang menjadi hamba yang baik, hamba yang tahu diri, hamba yang mengenal
allah dan melaksanakan tugas di dunia ini untuk beribadah, menjadi kholifah dan
berkompetisi.
BAB 3. CARA SUKSES DUNIA AKHIRAT
Sebagai manusia kita hidup di dunia memiliki kebebasan untuk memilih jalan
seperti apa yang akan dijalani. Tapi tentu saja setiap jalan yang kita pilih memilik
konsekuensi masing-masing. Menurut Mbah Kyai Hamim Tohari Djazuli, Mojo,
Ploso, Kediri, Jawa Timur atau yang mashur dengan panggilan Gus Miek selaku
pengorganisasi dzikrul ghafilin dan jamaah jantiko, manusia itu memiliki 3
pilihan yaitu:
3. Celaka di keduanya.
Sebagai seorang manusia yang normal tentu kita akan memilih kehidupan yang
sukses di dunia dan di akhirat. Lalu bagaimanakah cara untuk meraih kehidupan
yang sukses di dunia dan di akhirat? Allah swt berfirman dalam Al-qur’an Q.S Al-
Qhosos ( )لقصصاayat 77 :
هّٰللا وا ْبتَغ ف ْيمٓا ٰا ٰتى َ هّٰللا
ا َد فِىJغ ْالفَ َسJ
ِ Jكَ َواَل تَ ْبJJنَ ُ اِلَ ْيJٓا اَحْ َسJJ ْن َك َمJ ُّد ْنيَا َواَحْ ِسJَص ْيبَكَ ِمنَ ال َ ك ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن
ِ سن َ ِ ِ َ
٧٧ – َض ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِد ْين
ِ ْااْل َر
Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan
berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik
kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak
menyukai orang yang berbuat kerusakan.
Pada ayat diatas Allah memberikan panduan yang apabila kita mengikutiya akan
hidup sukses bahagia baik di dunia maupun di akhirat. dalam kitab tafsir Al-
Jalalain dijelaskan bahwa Allah memerintahkan kita untuk mencari,
memperjuangkan ار َ َّدJJ َرةَ الJJ ااْل ٰ ِخyang Allah berikan kepada kita sebagai hadiah
keta’atan kepada Allah. Lafadz ااْل ٰ ِخ َرةَ ال َّدا َرdalam beberapa kitab tafsir di artikan
sebagai kenikmatan di akhirat. Allah juga memerintahkan kita agar jangan sampai
melupakan nasib di dunia, yaitu kebahagian hidup di dunia dan Allah
memerintahkan untuk beramal selama hidup di dunia. Amal-amal yang memiliki
nilai abadi yang sampai akhirat amal tersebut tetap ada. Contohnya adalah amal
jariyah dan waqaf, yang walaupun kita sudah meninggal pahala dari amal jariyah
akan tetap mengalir sampai akhirat.
Selain itu Allah memerintahkan kita untuk berbuat kebaikan kepada semua
makhluk Allah (manusia) dengan bershodaqoh dan kebaikan yang lain seperti
silaturahim dan lainnya. Dan jangan berbuat kerusakan di bumi seperti maksiat.
Karena Allah membenci orang yang berbuat kerusakan serta Allah akan
membalas dan memberikan akibat terhadap orang yang berbuat kerusakan
(maksiat).
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa jika seseorang ingin hidup
sukses dan bahagia dunia akhirat maka yang harus dilakukan yaitu :
Untuk memahami maksud dari empat hal di atas maka akan dijelaskan
sebagaimana berikut:
Dalam hidup ini kita harus mempersiapkan bekal yang banyak untuk di akhirat
kelak. Lalu bekal seperti apakah yang nantinya akan dibutuhkan di akhirat?. Yaitu
berupa bekal fasilitas kenikamatan, kebahagiaan, juga bisa berupa bekal istana di
surga saat di akhirat. Oleh karena itu kita hidup di dunia ini perlu adanya
perjuangan. Berjuang agar apa yang kita lakukan selama 24 jam sehari bernilai
pahala dan mendatangkan ridho Allah. Dalam kitab Bidyatul Hidayah Imam Al-
Ghozali mengatakan
“Jagalah perintah Allah Swt. yang diwajibkan kepadamu, sejak dari bangun tidur
hingga engkau kembali ke pembaringan.”
Maka ibadah yang bermafaat bagi orang lain (muta’diyyah) salah satunya yaitu
berupa ilmu. Jadi ketika mengajarkan ilmu jangan hanya sekedar mengajar,
jangan sampai ada kesombongan dalam niat. Bahkan jangan berpikiran “yang
penting ikhlas”, karena ikhlas itu rahasia gusti Allah. Tugas kita adalah ikhtiar
untuk mengajarkan ilmu sebaik mungkin. Serta mencari ilmu sebaik mungkin
untuk bekal menghadapi ujian dikehidupan kita nanti.
Jadi agar jasad kita kuat dalam mencari ilmu, dalam berjuang agar hidup kita
bernilai ibadah maka kita harus memperbaiki dan menjaga hati. Karena hati
merupakan raja dari seluruh anggota tubuh. Seperti yang telah diuraikan pada
hadis ke-6 dalam kitab Arbain Nawawi di atas. Maka agar memiliki hati yang
bagus ya hati itu perlu di didik. Dan cara mendidik hati yaitu dengan cara
pendidikan atau tarbiyah qolbi. Tapi jangan sampai salah mengartikan, karena
berbeda pengertian antara pendidikan dan pengajaran. Kalau pengajaran itu ada di
akal yang dalam bahasa arab disebut ta’lim, dan konteksnya adalah hafal dan
paham. Sedangkan pendidikan bahasa arabnya tarbiyah dan tempatnya di hati.
Maka keduanya diperlukan, karena jika hanya salah satu saja semisal hanya ta’lim
atau hanya tarbiyah saja maka tidak akan berjalan dengan seimbang. Sebagai
contoh, ada begitu banyak orang yang hapal al-qur’an akan tetapi adabnya (fasek)
jelek. Hal ini terjadi karena hanya ada proses ta’lim tanpa ada proses tarbiyah.
Contoh tersebut sekaligus merupakan salah satu tanda akhir zaman (kiamat).
Seperti yang diterangkan Kyai Hasyim Asy’ari dalam kitab Risalah Ahli Sunah
Wal Jama’ah bahwa ada banyak ahli ibadah yang bodoh dan ahli baca Al Qur’an
yang fasik.
Artinya: “Pada akhir zaman kelak akan ada banyak ahli ibadah yang bodoh dan
ahli qiroat (pembaca Al-Qur’an) yang fasik.” (diriwayatkan dari Anas ra oleh Abu
Nuaim dalam Hilyatul Auliyaa dan juga Al-Hakim dalam Al-Mustadrak).
Orang yang hanya melaksanakan ta’lim tanpa disertai tarbiyah maka orang
tersebut akan sulit untuk tawadhu’, qona’ah, tawakal, ridho dan ikhlas, beribadah.
Oleh karena itu perlunya tarbiyah qolbi agar hati ini bisa berubah, dari pekerti
yang tidak baik menjadi baik, dari akhlak yang tidak bagus menjadi bagus, sifat
yang madmumat diganti dengan sifat yang mahmudah. Sehingga dalam alqur’an
dijelaskan bahwa orang yang sudah berhasil dalam menempuh jalan tarbiyah
qolbiyah itulah orang yang sukses di akhirat dan juga di dunia. Allah berfirman
dalam Q.S Asyu’ara ayat 88-89:
ٍ اِاَّل َم ْن اَتَى هّٰللا َ بِقَ ْل٨٨ ۙ َيَوْ َم اَل يَ ْنفَ ُع َما ٌل َّواَل بَنُوْ ن
٨٩ ۗ ب َسلِي ٍْم
Artinya: “(yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna,(88), kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih(89), dan surga
didekatkan kepada orang-orang yang bertakwa,(90)”
Hari dimana harta benda dan anak hanya bisa dibanggakan di dunia tidak bisa
dibanggakan dihadapan Allah swt. Satu-satunya orang yang selamat adalah yang
diterima sowan kepada Allah, menghadap Allah, tawajjuh kepada Allah dengan
hati penuh ketundukan. Untuk mendapatkan qolbi yang salim itu butuh latihan
menundukkan nafsu.
ﺑِ ْﺎﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ ﻓَ َﻌﻠَ ْﻴ ِﻪ ﺍﻟ ُّﺪ ْﻧﻴَﺎ ﺃَ َﺭﺍ َﺩ َﻣ ْﻦ، ﺑِ ْﺎﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ ﻓَ َﻌﻠَ ْﻴ ِﻪ ﺍﻷَ ِﺧ َﺮﺓَ ﺃَ َﺭﺍ َﺩ َﻭ َﻣ ْﻦ، ﺑِ ْﺎﻟ ِﻌ ْﻠ ِﻢ ﻓَ َﻌﻠَ ْﻴ ِﻪ ﺃَ َﺭﺍ َﺩﻫُ َﻤﺎ َﻭ َﻣ ْﻦ
“Man aroda dunya fa’alaihi bil ‘ilmi,Man arodal akhiroh fa’alaihi bil ilmi, Wa
man aroda huma fa’alaihi bil ‘ilmi.”
Maka dengan berbekal ilmu akan membuat kita menjadi orang yang cerdas,
karena apa yang kita pelajari kita akan dapat mengamalkannya. Kita juga akan
lebih selektif memilih kegiatan yang bermanfaat di dunia dan di akhirat.
Sebagaimana firman Allah dalam al-qur’an Q.S Al-Fathir ayat 29:
وا ٱل َّ هّٰللا
۟ ُ لَّن تِ ٰ َج َرةً يَرْ جُونَ َو َعاَل نِيَةً ِس ًّرا َر َز ْق ٰنَهُ ْم ِم َّما َوَأنفَق٢٩-تَبُو َر
َ َصلَ ٰوةَ ِ َواَقَا ُموا ِك ٰت
ب يَ ْتلُونَ ٱلَّ ِذينَ ِإ َّن
Dalam ayat di atas yang dimaksud dengan lafadz تَبُو َر لَّنbukan hanya orang yang
pergi melaksanakan haji dan umroh saja, akan tetapi semua orang yang mau
belajar dan megamalkan kitab Allah. Sedangkan lafadz َ َواَقَا ُموا الص َّٰلوةmaknanya
yaitu melaksanakan sholat dengan tertib, denga khusyuk dan dengan khudur.
Karena sholat menjadi kunci ibadah, jika sholatnya bagus maka bagus pula ibadah
yang lain. Sholat itu ibarat mencharge ruhaniyah, diibaratkan juga dengan apabila
badan kotor maka di bersihkan, apabila gelap mak diterangi, apabila kosong maka
diisi. Ketika seseorang itu sudah bersih, terang dan berenergi maka pastinya
ibadah yang lain agan menjadi bagus.
Selanjutnya, tidak akan cukup ketika beribadah untuk diri sendiri maka harus
mencari amal ibadah yang juga memberi manfaat untuk orang lain. Misalnya
ketika ada seseorang memperoleh suatu penemuan baru yang dapat dimanfaatkan
oleh orang banyak, maka ketika itulah ia akan mendapatkan barokah pahala
sejumlah dengan banyaknya orang yang memanfaatkan penemuannya tersebut.
۟ ُ َو َعاَل نِيَةً ِس ًّرا َرزَ ْق ٰنَهُ ْم ِم َّما َوَأنفَق, Allah memerintahkan kita untuk berinfaq
Pada lafadz وا
dengan rizki yang telah diberikan baik secara siri maupun secara terang-terangan.
Baik berupa harta benda atau ilmu yang dimiliknya. Rizki yang paling utama
adalah iman, islam dan ihsan. Infaq atau shodaqoh itu lebih baik dilakukan secara
siri. Seperti ilmu yang disampaikan oleh guru dalam keadaan siri. Contohnya
murid yang dalam keadaan tidur tetap dapat mendapat ilmu yang sampaikan
melalui qolbu, dan yang dapat menerima ilmu tersebut adalah murid yang
mendapat ridho gurunya. Seorang murid yang mendapat ridho dari guru adalah
murid yang penuh khidmah dan istiqomah. Tapi tetap saja infaq yang paling
mudah adalah harta benda, dan dapat dilakukan secara terang-terangan. Infaq
yang dilakukan secara terang-terangan itu merupakan bentuk syi’ar, tujuannya
agar orang lain juga mau berlomba dalam kebaikan. Sedangkan infaq secara siri
tujuannya adalah untuk menjaga hati agar tidak dipenuhi dengan sifat riya’. Selain
itu allah juga memerintahkan untuk berinfaq baik dalam keadaan lapang maupun
sempit. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Ali Imran ayat 134:
١٣٤- َاس َوهّٰللا ُ ي ُِحبُّ ْال ُمحْ ِسنِ ْي ۚن ِ ض ۤ َّرا ِء َو ْال َك
ِ ۗ َّاظ ِم ْينَ ْال َغ ْيظَ َو ْال َعافِ ْينَ ع َِن الن َّ الَّ ِذ ْينَ يُ ْنفِقُوْ نَ فِى ال َّس ۤ َّرا ِء َوال
Artinya : (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain.
Dan Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan,
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa agar kita tidak lupa dengan
nasib kita di dunia, maka senantiasa berbisnis lah yang mana dengan bisnis
tersebut dapat meraih nilai dunia juga nilai akhirat. Yang dalam al-qur’an disebut
dengan ً َرةJJو َر لَّن تِ ٰ َجJJJُتَب, yaitu bisnis yang penghasilannya bisa terus menerus.
Contohya mengaji qur’an dan mengamalkannya, sholat dengan tertib dan
berinfaq. Jika bisa melaksanakan ( ً )تَبُو َر لَّن تِ ٰ َج َرةini maka hidupnya akan bahagia
dunia akhirat. Sebagaimana firman Allah dalam Q.S Al-Fathir ayat 30:
َش ُكوْ ٌر َغفُوْ ٌر اِنَّهٗ فَضْ لِ ٖ ۗه ِّم ْن َويَ ِز ْي َدهُ ْم اُجُوْ َرهُ ْم لِي َُوفِّيَهُ ْم- ٣٠
Allah akan menjadikan keluarga dari seseorang yang bisa melaksanakan (تَبُو َر لَّن
ً )تِ ٰ َج َرةsebagai keluarga yang sakinah, anak-anak yang sholeh, dan kebaikan yang
َ َص ْيب
lain dan mendapat barokah. Para ulama dalam menafsiri lafadz َك ِمن َ َواَل تَ ْن
ِ َس ن
ال ُّد ْنيَاmenjelaskan dengan kalimat jangan meninggalkan amal dunia untuk akhirat
sehingga kamu akan selamat dari adzab, maksudnya amal dunia itu tidak bernilai
di akhirat nanti. Karena sesungguhnya hakikat nasib manusia adalah ketika dia
bisa beramal dan mempersiapkan untuk kebahagiaan akhiratnya. Jadi orang yang
bahagia di dunia adalah dia yang mempersiapkan kebahagiaannya di akhirat.
maka selagi masih muda dan sehat manfaatkan waktumu sebaik mungkin untuk
mencari akhirat. Dawuh kanjeng Nabi dalam kitab tafsir Al-Baghawi:
Artinya: “Jagalah lima hal sebelum lima hal. (1) Mudamu sebelum datang masa
tuamu, (2) sehatmu sebelum datang masa sakitmu, (3) waktu luangmu sebelum
datang waktu sibukmu, (4) kayamu sebelum miskinmu, (5) hidupmu sebelum
matimu.”
Kanjeng Nabi ngendikan, kalau pengen jaya dan jawara maka gunakan
kesempatan lima perkara sebelum lima perkara. Orang yang jawara pasti cerdas
untuk mengatur dan menggunakan waktunya. Karena dengan menggnunakan
waktu untuk akhirat merupakan bentuk dan usaha sadar kita untuk tidak
melupakan nasib kita di dunia. Dalam Q.S Al-Qhosos ayat 77:
هّٰللا وا ْبتَغ ف ْيمٓا ٰا ٰتى َ هّٰللا
ا َد فِىJغ ْالفَ َسJ
ِ Jكَ َواَل تَ ْبJJنَ ُ اِلَ ْيJٓا اَحْ َسJJ ْن َك َمJ ُّد ْنيَا َواَحْ ِسJَص ْيبَكَ ِمنَ ال َ ك ُ ال َّدا َر ااْل ٰ ِخ َرةَ َواَل تَ ْن
ِ سن َ ِ ِ َ
٧٧ – َض ۗاِ َّن هّٰللا َ اَل يُ ِحبُّ ْال ُم ْف ِس ِد ْين
ِ ْااْل َر
Dalam kitab tafsir Al-Qusyairi lafadz َ ْيبَكَ تَ ْنJJJَص
س َواَل ِ ُّد ْنيَا ِمنَ نJJJ الdisarahi dengan
maqolah yang artinya “apakah amal ibadah yang kita lakukan di dunia ini bernilai
ibadah.” Dalam kitab tafsir Jalalain, Imam Suyuthi memaknai lafadz tersebut
dengan “lakukan segala sesuatu yang itu bernilai bagi akhiratmu.”
Menurut imam Qusyairi nasib di dunia itu ada empat (4) perkara yaitu:
1. Ta’atnya nafsu (menundukkan nafsu, ketika nafsu sudah mau tunduk pada
akal);
Jika empat perkara di atas terpenuhi maka akan mendapat bahagia dunia dan
akhirat, jadi nasibnya pasti baik. Perspektif yang berbeda terkait makna lafadz ال ُّد ْنيَا
َ َص ْيبَكَ تَ ْن
س َواَل ِ ِمنَ نyang disampaikan oleh imam Ibnu Katsir yaitu:
“(“janganlah kamu melupakan bagianmu dari [keselamatan] dunia ini”) yaitu apa-
apa yang dibolehkan Allah di dalamnya berupa makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal dan pernikahan. Sesungguhnya Rabbmu memiliki hak, dirimu
memiliki hak, keluargamu memiliki hak serta orang yang berziarah kepadamu pun
memiliki hak. Maka berikanlah setiap sesuatu dengan haknya.” Jadi jangan
melupakan bagianmu di dunia dan melakukan apa-apa yang diperbolehkan oleh
Allah. Serta penuhilah semua yang memiliki hak. Haknya Allah yaitu disembah,
mematuhi segala perintanya, serta menjauhi segala larangannya. Sementara
haknya diri sendiri yaitu makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan
pernikahan. Maka perlu adanya perjuangan untuk kebahagian dunia dan akhirat.
Menurut imam Ibnu Katsir memenuhi perkara yang mubah dengan niatan untuk
meninggalkan perkara yang haram itu bernilai pahala. Misalnya kita makan
(makan perkara mubah) yang niatannya untuk menghindari kemudhorotan yaitu
sakit itu merupakan perinta agama, jadi makannya itu bernilai pahala. Contoh lain
yaitu memakai pakaian dengan niatan menutup aurat dan menikah dengan niatan
menghindari bahaya zina.
Dari seluruh uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa kita tidak boleh
melupakan nasib kita di dunia dan kita boleh melakukan perkara yang
diperbolehkan serta memenuhi hak-hak kita dan hak Allah. Tapi dengan catatan
perkara yang mubah yang boleh dilakukan yaitu sesuai kebutuhan, bukan karna
menuruti nafsu. Dan hal ini sesuai dengan pendapat para mufasir yang lain bahwa
jangan sampai melakukan aktivitas duniawi yang tidak bernilai aktivitas ukhrowi.
Artinya: Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan
Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat
baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan
janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang
yang berbuat kerusakan.
Berikutnya jika ingin meraih kesuksesan dunia dan akhirat maka “berbuat baiklah
(kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu”
sebagaimana yang dijelaskan dalam salah satu hadis yang diriwayatkan kanjeng
nabi:
عن النبي قــال، خــادم رسـول هللا،عـن أبي حـمـزة أنـس بـن مـالـك رضي هللا عـنـه
{} ال يـُؤمـن أحـدكـم حـتي يـُحـب ألخـيـه مــا يـُحـبـ لـنـفـسـه
[ ومسلم،]رواه البخاري
وادهمJJنين في تJJ قال رسول هللا صلى هللا عليه وسلم ” مثل المؤم:وعن النعمان بن بشير رضي هللا عنهما قال
قJهر والحمى” ((متفJد بالسJائر الجسJه سJداعى لJو تJه عضJتكى منJد إذا اشJ مثل الجس،وتراحمهم وتعاطفهم
))عليه
Ada dua inti dari َواَل تَب ِْغ ْالفَ َسا َد, pertama jangan berbuat maksiat karena seseorang
yang berbuat maksiat itu berdosa. Kedua jangan sampai memiliki keinginan yang
nantinya menyebabkan kerusakan bumi, seperti merambah hutan yang akhirnya
hutannya gundul. Ketika sebuah tanah kosong ditanami itu bisa bernilai pahala
karena sebagai wujud melestarikan alam, menghidupkan tanah mati atau kosong
sehingga terpakai baginya adalah sebuah pahala. Kenikmatan yang diberikan allah
ada dua sisi, berupa rizki dan amanah (anak,istri). Lingkungan yang harmonis
akan mewujudkan masyarakat yang harmonis, dengan itu manusia akan senantiasa
melakukan aktivitas duniawi yang bernilai akhirat.
Penjelasan yang terkandung dalam ayat diatas yang peratama Allah megajarkan
kepada kita untuk meniti tahapan agar kita bisa bertaqwa baik dhohir maupun
batin dan yang kedua yaitu sejak kecil kita sudah di jarkan untuk bertaqwa.
Contohnya sejak kecil kita diajari untuk berdzikir, sholat, puasa, dan lainnya
meskipun saat itu kita belum mengetahui makna dari apa yang kita lakukan. Maka
sudah saatnya bagi kita untuk nambahi ilmu agar taqwa yang sudah kita kerjakan
sejak kecil bisa meningkat kualitasnya.
Terkait pembahasan taqwa disebutkan dalam salah satu ciri thoriqoh yaitu “manut
perintah lan cecegah kudu nerimo”. Maksudnya ialah patuh terhadap semua
perintah dan menerima semua larangan yang telah ditetapkan Allah swt. Kata
kuncinya terlatak pada kata “nerimo”, sebagai orang yang bertaqwa kita sungguh-
sungguh menerima apapun yang menjadi perintah Allah tanpa ada penolakan di
dalam qolbu. Jadi bukan hanya sekedar kita melaksanakan. Seseorang yang benar-
benar bisa menerima maka bisa dikatakan bertaqwa. Seberat apapun perintah
Allah mulai dari perkara yang wajib, sunah hingga fardhu kifayah tetap dilakukan.
Bagi orang thoriqoh menjalankan perintah yang sunah sama dengan menjalankan
yang wajib, karena begitu besar rasa penerimaan terhadap perintah Allah swt.
Jangankan meninggalkan perkara yang haram, bagi orang thoriqoh juga
menghindari perkara yang syubhat dan makruh meskipun perkara tersebut tidak
dosa tapi apabila dikerjakan dapat meyebabkan allah tidak ridho. Dan hal ini
diterima dengan lapang dada kemudian hal inilah yang disebut sebagai kualitas
taqwa. Karena rasa takutnya terhadap Allah sehingga menghindari dosa besar
maupun kecil. Contohnya meninggalkan ghibah (bergunjing), fitnah, berbohong.
Karena bagi orang thoriqoh zinanya lisan itu sama seperti orang yang berzina.
Lalu bagaimana jalan atau cara yang harus kita tempuh agar mencapai taqwa yang
baik?.
Taqwa kita bukan lah lagi perkara yang dhohir maupun batin, akan tetapi semua
hal yang dapat membuat Allah tidak ridho maka harus dihindari. Jadi tidak hanya
berpatokan terhadap hukum yang tertulis, tapi juga yang tidak tertulis. Akan tetapi
sekecil apapun nilai ibadah yang dapat mendatangkan ridho allah maka kita
lakukan. Maka itu semua harus dimulai dengan tarbiyah yaitu 1) Nafsu; 2)
Karakter yang tidak baik; 3) Menghidupkan ruhaniyah. Hal ini terdapat dalam
tafsiran ayat 200 surah Ali-Imran. Imam Suyuthi dalam kitab tafsir jalalain
menjelaskan:
ﻳﺎ أﻳﻬﺎ اﻟﺬﻳﻦ ﺁﻣﻨﻮا اﺻﺒﺮوا { ﻋﻠﻰ اﻟﻄﺎﻋﺎت واﻟﻤﺼﺎﺋﺐ وﻋﻦ اﻟﻤﻌﺎﺻﻲ } وﺻﺎﺑﺮوا { اﻟﻜﻔﺎر ﻓﻼ ﻳﻜﻮﻧﻮا اﺷﺪ
ﺗﻔﻮزونJ ﻟﻌﻠﻜﻢ ﺗﻔﻠﺤﻮنJ} ﻓﻲ ﺟﻤﻴﻊ أﺣﻮاﻟﻜﻢJ{ اﷲJ واﺗﻘﻮاJ} J ﻋﻠﻰ اﻟﺠﻬﺎدJ أﻗﻴﻤﻮاJ{ J وراﺑﻄﻮاJ} ﻣﻨﻜﻢJﺻﺒﺮا
ﺑﺎﻟﺠﻨﺔ وﺗﻨﺠﻮن ﻣﻦ اﻟﻨﺎر
Dalam tafsir Al-Baghawi kesimpulan terkait pentafsiran ayat 200 surah Ali-Imran
yaitu:
اصبروا على النعما ء وصابرو على البأساء والضراء:قال بعض ارباب اللسان, ۞واتقوا هللا لعلكم تفلحون
ورابطوا في داراألعداءواتقوا اله الألض والسماء لعلكم تفلحون في دار البقااء
Dalam hidup ini Allah memberikan kita suatu kenikamatan. Akan tetapi jika
nikmat tersebut tidak disertai dengan sabar, maka tidak akan terasa nikmat.
Contohnya kita diberi nikmat Allah berupa mata, dapat digunakan untuk melihat
perkara yang baik tapi juga untuk melihat perkara yang buruk, maka jika demikian
berarti kita berbuat fasik. Dalam suatu kenikamatan saja harus disertai dengan
sabar apalagi dalam menghadapi ujian.
3. Sambung thoriqoh;
تفسير- Penafsiran Surat Al-Imran dan Rabat adalah semacam kesabaran, tetapi
secara khusus. Kesabaran dikatakan pertama-tama, kesabaran, kemudian
kesabaran, kemudian kesabaran, dan kesabaran, yang merupakan akhir).
Dikatakan bersabar dengan ketaatan dan pelanggaran, dan mereka bertahan dalam
meninggalkan keinginan dan nafsu, memotong semen dan hubungan, dan terkait
dengan kejujuran di perusahaan persahabatan dalam setiap saat dan situasi.
Dikatakan, bersabarlah dengan jiwa Anda, sabar dengan hati Anda, dan ikatan
dengan rahasia Anda. Dikatakan, bersabarlah, memperhatikan pahala, dan gigih
dalam mencari kedekatan, dan mereka terikat di tempat dunia dan pengampunan -
saksi keindahan dan rasa malu. Kesabaran menjadi pahit jika orang itu
menghasutnya untuk menggunjing, dan rasanya enak jika diminum oleh saksi dan
penglihatan. Dan mereka mencari Tuhan, yang mungkin Anda miliki: melihat
sekilas paku dengan struktur, dan hari ini saya membawa mereka ke kemenangan
dalam jiwa mereka, ketika mereka diselamatkan, dan jika mereka menang dalam
jiwa mereka, mereka membantai mereka dengan pedang Mujahidin, dan
menyalibkan mereka pada tongkat penderitaan, dan setelah seniman mereka dari
mereka, mereka mendapatkan Tuhan. Al-Qusayriyat hal. ۱۸۳ - ۱۸۹ (kesabaran)
Kesimpulannya dari tafsir di atas yaitu: 1) Harus sabar megalahkan hawa nafsu, 2)
Sabar mendidik qolbu (hati) dan 3) Sambung Robhitoh secara siri atau ruhaniyah.
Untuk memahami ayat 200 dalam Q.S Ali-Imran di atas terdapat penjelasan dalam
kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’ hal. 271-273, bab 51 dijelaskan terkait hakikat
sabar, hakikat qona’ah dan tanda-tanda mahabah. Dalam kitab ini disebutkan
bahwa sabar itu separuh dari iman sedangkan yakin itu sepenuhnya iman. Perkara
sabar dan yakin tidak lepas dari yang namanya urusan akal, qolbu dan ruhaiyah.
Dan dijelaskan bahwa sabar terhadap nafsu adalah ta’at kepada Allah swt,
sedangkan kalahnya nafsu dengan akal yang berisi ilmu. Latihan sabar bisa
dengan cara suluk, karena sabar perlu riyadhoh dan mujahaddah. Dan sabar tidak
bisa hanya dengan membaca buku saja. Orang yang sabar dalam ujian akan
menumbuhkan keyakinan. Dalam kitab Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’ hal 43,
dijelaskan dawuhnya Imam Abu Hassan Assadili sebagai berikut:
Abu Hasan al-Syadzili berkata:“Matinya nafsu itu dengan ilmu dan ma’rifat, serta
mengikuti Alquran dan sunnah Rasûl” (Jâmi’ al-Ushûl fi al-Auliyâ’,H: 43)
BAB 5. JIHAD
Jihad adalah bentuk masdar dari lafdz jahada ( )جاهدyang berarti ‘berjuang dan
berusaha keras’. Jihad Jihad (bahasa Arab: )جهادmenurut syariat Islam adalah
berjuang/usaha/ikhtiyar dengan sungguh-sungguh. Jihad dalam konteks keislaman
adalah melawan kecenderungan jahat dalam diri sendiri, seperti malas dan dengki.
Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Jihad yang paling utama adalah berjihad berjuang melawan hawa nafsu.” (ibnu
Najjar dari Abu Dzarr).
ِ َر ْا
لجهَا ِد ِمنَ َر َج ْعتُ ْم ِ الجهَا ِد ِإلَى اَْألصْ غ
ِ س ِجهَا ُد فَقَا َل ؟ هللا َرسُوْ َل يَا اَأل ْكبَر ِجهَا ُد َو َما فَقِ ْي َل اَأل ْكبَ ِر
ِ النَّ ْف
Kalian telah pulang dari sebuah pertempuran kecil menuju pertempuran akbar.
Lalu sahabat bertanya, “Apakah pertempuran akbar (yang lebih besar) itu wahai
Rasulullah? Rasul menjawab, "jihad (memerangi) hawa nafsu.”
Hadis lain yang membahas tentang jihad terdapat pada hadis ke-29 dalam kitab
Arabin Nawawi:
Jadi jihad adalah suatu perjuangan yang sangat tinggi nilainya dan merupakan
perjuangan seumur hidup. Maka jihad harus dimulai dengan melawan nafsunya
sendiri. karena jihad yang paling besar dan berat adalah berjihad menundukkan
hawa nafsu. Jihad merupakan puncak dari penghambaan dan ibadah kita kepada
Allah swt. Maka implementasinya ialah berjuang menegakkan kalimatillah, dan
ini merupakan persembahan ibadah yang paling agung kepada Allah swt. Agar
bisa berjuang berjihad maka dibutuhkan ilmu untuk menundukkan nafsu. Karena
menundukkan nafsu agar tetap berada di jalan Allah serta mengarahkan kebaikan
itu bukan hal yang mudah. Maka ilmu itu sangatlah penting bagi kita agar bisa
mengalahkan hawa nafsu. Jika seseorang tidak memiliki ilmu, maka akan dikuasai
oleh nafsu dan itu sangatlah berbahaya. Contohnya jika seorang pemimpin tidak
memiliki ilmu dan dikuasai oleh hawa nafsunya maka itu akan menimbulkan
bahaya bagi banyak orang (rakyat).
Salah satu ayat Al-Qur’an yang menerangkan jihad yaitu dalam Q.S Al-Ankabut
ayat 69:
۟ ْٱل ُمحْ ِسنِينَ لَم َع ٱهَّلل َ َو َّن ۚ ُسبُلَنَا لَنَ ْه ِديَنَّهُ ْم فِينَا ٰ َجهَد
َُوا َوٱلَّ ِذين ِإ َ
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya
Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
} { واﻟﺬﻳﻦ ﺟﺎهﺪوا ﻓﻴﻨﺎ { ﻓﻲ ﺣﻘﻨﺎ } ﻟﻨﻬﺪﻳﻨﻬﻢ ﺳﺒﻠﻨﺎ { أي ﻃﺮق اﻟﺴﻴﺮ إﻟﻴﻨﺎ } وإن اﷲ ﻟﻤﻊ اﻟﻤﺤﺴﻨﻴﻦ
Lafadz فِينَاbermakna segala cobaan yang Allah berikan kepada kita didalam
hakikatnya Allah ()ﻓﻲ ﺣﻘﻨﺎ. Jadi jika seseorang berjuang dijalan Allah secara haqiqi
maka yang dicari dan dituju tidak lain adalah Allah. Sedangkan lafadz بُلَنَاJ ُس
ditafsiri dengan lafadz إﻟﻴﻨﺎ اﻟﺴﻴﺮ ﻃﺮقyang artinya Allah akan menunjukkan jalan
khusus yang mudah yang menuju pada Allah bagi orang beriman yang senantiasa
diberi pertolongan dan kemudahan oleh Allah swt.
Jihad adalah jalan perjuangan yang utama, maka perlu adanya rasa sungguh-
sungguh dalam pelaksanaannya. Dalam berjihad pasti ada suatu proses, karena
tidak ada satu perjuangan yang seketika berhasil. Proses dalam perjuangan itu
tidaklah mudah, terkadang kita harus gagal berulang kali dalam prosesnya. Maka
kita harus tangguh dan kuat dalam setiap ujian dalam berjihad. Poin penting
lainnya yang harus diingat adalah dalam kondisi apapun kita tetap harus berjuang
baik berjuang tenaga, harta, benda maupun pikiran. Tujuannya adalah agar Allah
melihat kesungguhan kita. Jika kita bersungguh-sungguh dalam berjihad maka
Allah akan memberikan jalan kemudahan.
واJJا تلJJا قJJبُلَن َۗا ۞ لنثبتنهم على مJ ِديَنَّهُ ْم ُسJ لَنَ ْه,اJJر ة ديننJَوالَّ ِذ ْينَ َجاهَ ُدوْ ا فِ ْينَا ۞الذين اجا هدو االمشركين لنص
عليه,
يل بنJJال الفضJJ وق.وJJة الهJJاد مخالفJJل الجهJJ افض:نJJال الحسJJ ق. المجاهدة هي الصبر على الطا عات: و قيل
دوا فيJJذين جاهJJ وال:هل ابن عبدهللاJJال سJJ و ق.هJJ والذين جاهدوا في طلب العلم لنهد ينّهم سبل العلم ب:عياض
والذين جاهدوا في طا عتنا لنهد ينّهم سبل ثوابنا: وروي عن ابن عباس.إقامة السنة لنهد ينّهم سبل الجنة
Menurut Sahhal bin Abdillah dalam tafsir Al-Baghawi “orang yang berjuang
menegakkan perkara sunah maka Allah akan memberikan jalan-jalan kemudahan
menuju surga”. Karena orang yang menegakkan perkara sunah berarti orang
tersebut kewajibannya dan fardhu ‘ainnya sudah kokoh dan terjaga. Misalnya
orang yang melakukan taraweh (ibadah sunah) berarti orang tersebut sudah
menjaga sholat isya’nya (ibadah wajib). Contoh lain yaitu memberi makan orang
lain (sunah) berarti orang tersebut sudah memberi makan keluarganya (wajib
memberi nafkah). Jadi dapat disimpulkan bahwa:
1. Jihad itu dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sesuai dengan bidang atau
passionnya;
Pada lafadz نين لمعJ الحسAllah menggunakan lam taukid yang fungsinya adalah
untuk menunjukkan bahwa janjinya Allah itu sangat bersungguh-sungguh.
Artinya Allah akan sungguh-sungguh berada (bersama) orang-orang yang berbuat
baik. Pada lafadz tersebut makna tafsirnya yaitu orang yang bersungguh-sungguh
dalam berjihad maka jangan takut melarat dalam menegakkan kalimat Allah.
Karena Allah akan senantiasa membantu urusan di dunia dan menjamin semua
urusan di akhirat. Allah juga akan menjamin pahala di dunia dan di akhirat.
Semua manusia itu memiliki dosa, jadi jangan khawatir karena Allah maha
pengampun. Yang namanya berjuang pasti tidak pernah dari kesalahan, tapi
selama kita terus mau meminta maghfiroh atau ampunan pasti Allah akan
mengampuni.
Kemudian perbedaan antara hassan dan muhsiin yaitu: derajat hassan itu masih
dalam kategori mudah sedangkan derajatnya muhsiin itu butuh perjuangan. Orang
yang bagus dan masyhur karena kesuksesannya (keilmuan dan kekayaannya) akan
tetapi bagusnya hanya untuk diri sendiri. Sedangkan muhsiin derajatnya lebih
tinggi dari pada hassan, karena ilmu dan harta yang dimiliki digunakan untuk
berjuang. Jadi bagusnya juga untuk orang lain karena mengajak dan mengajari
orang lain berbuat baik.
Dari keterangan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa orang yang jihad dengan
sungguh-sungguh (derajat muhsiin) maka oleh Allah akan memberi anugrah yaitu
Allah menyertainya, diantaranya yaitu:
Karena Allah senantiasa menyertai, maka dalam berjihad jangan takut hina,
jangan takut miskin.
BAB 6. BERBAHAGIALAH MENJADI ORANG ISLAM
ُنَ ْفـسُــــهُ َأ ْن فِي َوال َّشــقَــا َوةُ نَ ْف َسهُ ال َّر ُج ُل يَ ْملِكَ َأ ْن فِي ُكلُّهَا ال َّس َعا َدةُ تَ ْمـلِـ َكـــه
Bahagia merupakan sebuah kondisi spiritual, saat manusia berada dalam satu
puncak ketakwaan. Bahagia merupakan kenikmatan dari Allah SWT. Bahagia
atau yang dalam bahasa jawa disebut bungah adalah suatu perasaan yang mampu
mengalahkan segalanya. Sebagai contoh dalam kehidupan ini terkadang seseorang
memiliki harta yang melimpah, jabatan yang baik, memiliki kekuasaan dan
kehormatan yang kuat, akan tetapi hidupnya tidak bahagia. Mengapa bisa
demikian? Karena rasa bahagia itu tidak bisa diukur dengan itu semua. Lalu orang
yang bahagia itu yang seperti apa? Orang yang bahagia adalah orang yang bisa
merasakan karunia Allah, anugrah Allah dan mendapat rahmat Allah.
Terkadang manusia itu tidak bisa mensyukuri karunia Allah. Padahal jika kita
mau merenungi ada begitu banyak karunia yang telah Allah berikan. Contoh kecil
saja, ketika kita dalam keadaan susah, ekonomi susah, memiliki masalah tapi kita
masih bisa merasakan senang. Senang dalam wujud kita masih diberi kesehatan,
masih memiliki teman, masih bisa bercerita itulah karunia Allah.
Di dalam Al-Qur’an disebutkan bahwa bahagia itu ada 3 macam yaitu bahagia di
akhirat saja, bahagia di dunia saja dan bahagia di keduanya. Orang yang hanya
mencintai dunia maka pada akhirnya akan merasa bosan dan kecewa. Contohnya
dalam hal pekerjaan, satu jabatan atau pekerjaan setelah ditekuni cukup lama pasti
akan merasa bosan. Dan merasakan kecewa karena tidak bisa mendapatkan
kebahagiaan. Maka sekali lagi urusan bahagia itu terletak dari kesadaran kita akan
fadhol, karunia, anugrah serta rahmat dari Allah swt.
Salah satu ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan perihal bahagia terdapat
dalam Q.S Yunnus ayat 57-58, sebagai berikut:
“Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan
penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta
rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57) Katakanlah: ‘Dengan karunia
Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Karunia dan
rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. 10:58)”
(Yunus: 57-58).
Dalam tafsir jalalain hal 212 ayat tersebut ditafsiri sebagai berikut:
} ﻳﺎ أﻳﻬﺎ اﻟﻨﺎس { أي أهﻞ ﻣﻜﺔ } ﻗﺪ ﺟﺎءﺗﻜﻢ ﻣﻮﻋﻈﺔ ﻣﻦ رﺑﻜﻢ { آﺘﺎب ﻓﻴﻪ ﻣﺎﻟﻜﻢ وﻣﺎ ﻋﻠﻴﻜﻢ وهﻮ اﻟﻘﺮﺁن
} وﺷﻔﺎء { دواء } ﻟﻤﺎ ﻓﻲ اﻟﺼﺪور { ﻣﻦ اﻟﻌﻘﺎﺋﺪ اﻟﻔﺎﺳﺪة واﻟﺸﻜﻮك } وهﺪى { ﻣﻦ اﻟﻀﻼل } ورﺣﻤﺔ
ﻟﻠﻤﺆﻣﻨﻴﻦ { ﺑﻪ
(Hai manusia) yakni penduduk Mekah (sesungguhnya telah datang kepada kalian
pelajaran dari Rabb kalian) berupa Alkitab yang di dalamnya dijelaskan hal-hal
yang bermanfaat dan hal-hal yang mudarat bagi diri kalian, yaitu berupa kitab
Alquran (dan penyembuh) penawar (bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam
dada) yakni penyakit akidah yang rusak dan keragu-raguan (dan petunjuk) dari
kesesatan (serta rahmat bagi orang-orang yang beriman) kepadanya. (57)
(Katakanlah, "Dengan karunia Allah) yaitu agama Islam (dan rahmat-Nya) yaitu
Alquran (maka dengan hal itu) dengan karunia dan rahmat tersebut (hendaklah
mereka bergembira. Karunia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik daripada
apa yang mereka kumpulkan.") yaitu berupa duniawi. Lafal yajma'uuna dapat
dibaca tajma'uuna. (58).
****
Selain diutusnya kanjeng nabi, Allah memberikan fasilitas yang lain yaitu berupa
mauidhoh. Dalam tafsir Al-baghawi mauidhoh ditafsiri dengan lafadz tadkirroh
yang artinya pengingat-ingat. Dalam kitab ini ayat di atas di tafsiri dengan kalimat
“ wahai manusia sesungguhnya Allah telah mendatangkan tadkiroh berupa Al-
Qur’an”. Mauidhoh atau tadkirroh tersebut datangnya dari gusti Allah.
Sedangkan lafadz syifaa’un berarti gusti Allah itu menyiapkan syifaa atau obat
untuk penyakit hati. Jadi Al-Qur’an berisi tuntunan hidup yang apabila kita
mengikuti tuntunan tersebut akan hidup bahagia.
4. Rahmat.
Kemudian empat perkara di atas oleh Imam Al-Qusyairi diringkas menjadi dua
perkara yaitu fadhol dan rahmat. Imam Al-Qusyairi menjelaskan yang di maksud
dengan mau’idhoh adalah kelasnya orang awam. Yang dimaksud dengan syifa’
adalah 1) rahmat bagi orang yang mempunyai dosa; 2) nikmat bagi orang yang
ta’at; 3) taqarub (dekat) dengan Allah bagi orang yang ma’rifat, dan 4)
musyahadah (menyaksikan) hakikat Allah bagi orang yang sudah mengetahui
wujud hakikatnya Allah.