Anda di halaman 1dari 11

MENGENAL THORIQOH AS-SYADZILIYAH DAN AJARANNYA

Ridwan Nurdiansyah∗

Thoriqoh As-Syadziliyah didirikan oleh Syeikh Abu Hasan As-Syadzili dan kemudian diteruskan oleh
murid-muridnya. Yang paling terkemuka di antara mereka adalah Syeikh Abu Abbas al-Mursi dan
Syeikh Ibn Athoillah As-Sakandari. Thoriqoh ini lebih menekankan pelatihan hati (Riyadlotul Qolb)
dibanding pelatihan fisik (Mujahadah). Thoriqoh As-Syadziliyah tidak menganjurkan jama’ahnya
untuk hidup miskin dan meninggalkan dunia, melainkan untuk mengurus hal keduniaan.

Tariqa As-Syadziliyya was established by Syeikh Abu Hasan As-Syadzili and then forwarded by his
disciples. Syeikh Abu Abbas al-Mursi and Syeikh Ibn Athoillah As-Sakandari are two of the most
prominent Among them. This tariqa emphasize the training of the heart (Riyadlotul Qolb) rather then
of the physical training (Mujahadah). Tariqa As-Syadziliyya does not advocate the congregation to live
poor and leave the world, but rather regulates for mundane.

(Keywords: Thoriqoh As-Syadziliyah, Riyadlotul Qolb, Mujahadah)

PENDAHULUAN
Membicarakan Islam tentu saja menjadi kurang sempurna jika tidak membicarakan dunia
tasawuf. Hal ini tentu saja disebabkan oleh sejarah perkembangan Islam yang tidak bisa dilepaskan dari
peran tasawuf di dalamnya. Sejarah mencatat bahwa ajaran tasawuf sambung-menyambung matarantai
keilmuannya (sanad) sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW memang tidak
hanya mengajarkan tentang ber-islam dalam coraknya yang formal-fungsional atau eksoterisme akan
tetapi juga mengajarkan agama yang substansial-fungsional atau esoterisme. Tasawwuf adalah dimensi
intelektual di dalam ajaran Islam yang merupakan ajaran esoterisme di dalamnya. Sedangkan tarekat
adalah dimensi praktis di dalam ajaran tasawuf yang sudah memperoleh pelembagaan melalui
persambungan sanad dari mata rantai guru tarekat dari masa ke masa. Di dalam sejarah Islam kemudian
dikenal ada dua sumber esoterisme di kalangan sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu melalui Abu
Bakar Shiddiq dan Ali bin Abi Talib. Dari dua orang Sahabat Nabi Muhammad SAW inilah semua
ajaran tasawuf dan tarekat bermuara dan bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.
Apa pentingnya membicarakan Thoriqoh atau tarekat? Secara teologis dan ideologis bahwa
tidak ada ajaran tarekat atau tasawuf yang tidak mengembangkan prinsip Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin. Melalui prinsip teologis dan ideologis yang berada di dalam konteks rahmatan lil ‘alamin
tersebut, banyak ahli berkeyakinan bahwa tasawuf bisa dijadikan sebagai instrument bagi
pembangunan peradaban dunia. Prinsip doktriner bahwa Islam adalah agama rahmat tentu akan
mengajarkan tentang keselamatan, keharmonisan dan kerukunan. Melalui prinsip Islam rahmatan lil
‘alamin yang diterjemahkan sebagai pengembangan prinsip kerukunan, keharmonisan dan keselamatan
maka dapat dipastikan bahwa ajaran tarekat akan dapat menjadi pilar penting bagi proses membangun
peradaban dunia berbasis pada perdamaian. Ajaran etika di dalam tarekat sesungguhnya memiliki
kekuatan yang luar biasa sebagai pembentuk tindakan yang baik bagi jama’ahnya.
Di sisi lain, tarekat adalah sebagai medium bagi pendidikan karakter. Tidak ada ajaran yang
sesolid tarekat di dalam mengajarkan pendidikan karakter. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh
Mihmidaty Ya’cub, bahwa penganut tarekat Syadziliyah di Pesantren Urwatul Wutsqo, tarekat ternyata
bisa menjadi medium pendidikan berbasis karakter. Para santri yang diajarkan tarekat Syadziliyah
ternyata memiliki perilaku yang sesuai dengan ajaran tarekatnya tersebut. Melalui proses pembinaan
secara terstruktur berbasis ajaran moralitas tarekat, maka para santri ternyata secara terus menerus
dapat mengamalkan ajaran Islam sesuai dengan ajaran para guru tarekatnya. Bahkan para alumni yang
telah dididik dengan pemahaman Islam ala tarekat Syadziliyah ternyata tetap mengamalkan ajaran
tarekat tersebut dan berakhlak sesuai dengan ajaran tarekatnya.
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi yang terkait langsung dengan dunia tarekat lalu menyusun
sebuah organisasi yang menjadi instrument untuk memahami dan mengukur kemu’tabaran sebuah
tarekat yang disebutnya sebagai Jam’iyah Ahli Thoriqoh Mu’tabarah An-Nahdliyah (JATMAN), pada
awal tahun 1970-an. Melalui organisasi ini, maka dibuatlah mana tarekat yang diakui (mu’tabaroh) dan
mana yang tidak diakui (ghairu mu’tabaroh). Tarekat yang mu’tabaroh ditandai dengan
ketersambungan sanad keguruannya sampai kepada Rasulullah. Tasawuf memang telah mengalami
proses pelembagaan melalui jalur thoriqoh ini. Hal ini sebagai proses penyamaan keyakinan, ibadat,
ritual, doktrin dan konsekuensi-konsekuensi logis mengenai tasawuf yang sesuai dengan ajaran-ajaran
Islam yang bersumber pada dua rujuan utama yaitu al- Qur’an dan Hadits.
Mengapa penulis memilih Thoriqoh As-Syadziliyah pada tulisan ini? Di Indonesia banyak
berkembang berbagai aliran thoriqoh dari semenjak dulu sampai sekarang. Ahli thoriqoh di Indonesia
saat ini tergabung dalam satu wadah bernama Jam’iyyah Ahlit Thoriqoh al-Mu’tabaroh an-Nahdliyyah
(JATMAN) yang diketuai oleh Maulana Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan. Thoriqoh-thoriqoh yang
berkembang luas di Indonesia antara lain: Thoriqoh Qodiriah, Naqshabandiyah, Qodiriyah
Naqshabandiyah, Tijjaniyah, Syatariyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah dan banyak lainnya sampai Thoriqoh
Syadziliyah. Di antara thoriqoh yang telah disebutkan tadi, thoriqoh Syadziliyah memiliki banyak
keutamaan seperti yang banyak disebutkan oleh kalangan thoriqoh. Syeikh Dalhar bin Abdirohman
Watucongol dalam bukunya Manaqib Imam As-Syadzili mengatakan bahwa pengikut thoriqoh As-
Syadziliyah dikaruniai kemuliaan tiga macam yang tidak diberikan pada golongan thoriqoh yang
lainnya, yaitu: pengikut thoriqoh Syadziliyah telah dipilih di lauhil mahfudz, pengikut thoriqoh
Syadziliyah apabila jadzab/majdub akan cepat kembali seperti sedia kala dan seluruh Wali Qutub yang
diangkat sesudah masa syaikh Abul Hasan Asy Syadzili RA akan diambil dari golongan ahli thoriqoh
Sadziliyah.
Di Indonesia, thoriqoh Syadziliyah memiliki catatan yang panjang dan menarik. Karena sejarah
mencatat, bahwa ajaran thoriqoh Syadziliyah telah disebarkan semenjak wali angkatan pertama yaitu
Maulana Malik Isropil yang bermakam di Gunung Santri Cilegon, Banten. Thoriqoh Syadziliyah juga
mencetak kader-kader alim ulama besar ternama dari mulai Mbah Cholil Bangkalan, Hadlrotus Syeikh
Hasyim ‘Asy’ari, Syeikh Dalhar Watucongol, Mama Ajengan Pangersa Muhammad Dimyati Cidahu,
Qutbul aqtob Syeikh Abdul Malik Kedungparuk, Syeikh Umar Mangkuyudan Solo, Syeikh Muhaimin
Parakan, KH. Abdul Jalil tulung Agung, KH. M. Idris Boyolali sampai Presiden Ahli thoriqoh dunia
Qutbuzzaman Maulana Habib Lutfi bin Yahya Pekalongan. Disamping itu thoriqoh Syadziliyah
memiliki ajaran-ajaran yang unik dan sedikit berbeda dari semua ajaran thoriqoh yang ada. Thoriqoh
As-Syadziliyah selain bisa menjadi instrument bagi pengembangan peradaban dunia yang didasari oleh
semangat keagamaan esoteric yang menjanjikan juga telah terbukti secara historis dalam pengaruhnya
terhadap kehidupan beragama umat Islam (khususnya di Indonesia). Oleh karena itu, melalui kenyataan
teroritis dan empiris sebagaimana penulis paparkan di atas maka pembahasan mengenai Thoriqoh As-
syadziliyah ini menjadi penting.

SEJARAH LAHIR THORIQOH AS-SYADZILIYAH

Thoriqoh Syadziliyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Qutb Jami’
Maqom wa Ghouts ‘Adhom Sulthonul Aulia Arifin Sayyidis Syeikh Abu al-Hasan Ali as-Syadzili.
Yang selanjutnya thoriqoh ini dinisbahkan kepada namanya Syadziliyah yang mempunyai ciri khusus
yang berbeda dengan thoriqoh lain. Secara lengkap nama pendirinya adalah ‘Ali bin Abdullah bin
Abdul Jabbar bin Tamim bin Hurmuz bin Qushay bin Yusuf bin Yusya’ bin Ward bin Baththal bin
Ahmad bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib (suami dari Fathimah bin Rasulullah).
Dia dilahirkan di Ghumara, sebuah desa dekat Ceuta saat ini, yaitu di utara Maroko pada tahun
573 H., pada saat Dinasti Muwahhidun mencapai titik nadirnya. Orang bertanya mengapa ia dinamakan
al-Syadzili padahal ia bukan lahir di Syadzili, beliau menjawab bahwa pertanyaan seperti itu pernah
ditanyakan kepada Tuhan dalam Fananya. Konon Tuhan mengatakan, “Ya Ali, Aku menamakan
engkau al-Syadz, yang artinya seseorang yang jarang keistimewaannya dalam berkhidmat kepada-Ku.”
Pendidikannya dimulai dari kedua orang tuanya dan kemudian dilanjutkan ke pendidikan lebih lanjut,
yang mana di antara guru kerohaniannya adalah seorang wali besar ‘Abdussalam Ibn Masyisy yang
juga dikenal sebagai ”Quthb dari Quthub para Wali”, seperti halnya Syeikh Abdul Qodir al-Jillani.
Setelah Imam Syadzili belajar beberapa lama di Tunis ia pergi ke negara-negara Islam sebelah
Timur, di antaranya mengunjungi Mekkah dan melaksanakan ibadah haji beberapa kali dan kemudian
dari sana ia bertolak ke Irak. Dalam sebuah buku dituliskan riwayat Imam Syadzili berkata:
Tatkala aku masuk ke Irak, pertama kali aku bergaul dengan Abu Fath al-Wasithi. Di Arab
terdapat banyak Syaikh yang bersedia mengajar. Ketika aku meminta ditunjukkan guru yang
berkedudukan Quthb, Abu Fath al-Wasithi mengatakan kepadaku bahwa guru yang aku cari itu
ada di negeriku sendiri. Maka aku kembali ke Maghribi. Setelah itu aku bertemu dengan guruku
‘Abdu Salam ibn Masyisy, yang sedang bertapa di sebuah gunung. Aku segera mandi pada
suatu mata air di bawah gunung itu. Ketika aku keluar dari dalam telaga mata air itu, aku
merasa ilmu dan amalku sudah bertambah. Aku segera mendaki gunung itu untuk menemui
guruku. Ia lalu berkata, “marhaban, ya Ali”. Kemudian ia menceritakan panjang lebar tentang
silsilahku sampai kepada Rasulullah”.
Adapun kitab-kitab tasawuf yang pernah dikaji oleh Imam Syadzili dan kemudian hari ia
ajarkan kepada muridnya, antara lain: Ihya ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali, Qut al-qulub karya Abu
Thalib al-Makki, Khatm al-Auliya karya Hakim Tirmidzi, al-Mawaqif wa al-Mukhathabah karya
Muhammad Abd alAbbar an-Nafri, al-Syifa karya Qhadli Iyadh, al-Risalah karya Imam Qusyairi, al-
Ri’ayah karya al-Muhasibi dan al-Muharror al-Wajiz karya Ibn Athiah.
Ketika masih berusia muda, Imam Syadzili meninggalkan kota kelahirannya menuju Tunisia.
Beberapa waktu kemudian, dia menjadi seorang theologi beraliran Sunni yang sangat menentang
Mu’tazilah. Dia sangat menentang sistem pemikiran Mu’tazilah yang sangat mengagungkan akal,
dengan lebih mengedepankan akal daripada wahyu dan menggunakan wahyu hanya sekedar untuk
konfirmasi. Sedangkan dalam fiqih Imam Syadzili mengikuti Madzhab Maliki, karena madzhab ini
sangat dominan di daerah Maghrib (Spanyol, Maroko dan Tunisia).
Di antara guru-guru Imam Syadzili, Ibn Masyisy-lah yang sangat mempengaruhi perjalanan
spiritual dan kehidupannya. Atas nasihatnya pula Imam Syadzili meninggalkan Fez menuju Tunisia
dan tinggal di sebuah daerah bernama Syadzili. Di daerah yang baru ini, ia banyak bertemu dan
bertukar pikiran dengan para ulama dan para sufi. Dan tanpa diduganya, masyarakat menyambutnya
dengan sambutan yang luar biasa. Namun kemudian Imam Syadzili pergi ke pegunungan Zaghwan
dengan ditemani oleh ‘Abdullah ibn Salamah al-Habibi dan berkhalwat di sana.
Setelah dilakukan pelatihan spiritual, berkhalwat di Jabal Zaghwan itu, ia mendapat perintah
dalam sebuah penglihatan spiritual untuk mengajarkan tasawuf. Ia kemudian kembali lagi ke
masyarakat dan menyampaikan dakwah. Ia membangun sebuah Zawiyah di Tunisia pada 625 H,
bersamaan dengan tibanya Abu Zakaria di tempat itu sebagai gubernur baru dan kelak sebagai pendiri
Dinasti Hafsiyyah. Secara periodik dia memberikan ceramah ke desa-desa di daerah Tunisia. Di sini ia
mendapat sambutan yang cukup hangat sampai menimbulkan kebencian qadli Tunisia, Abu al-Barra
yang merasa tersisih. Akibat konflik yang berkepanjangan dengannya, Imam syadzili memutuskan
untuk meninggalkan Tunisia menuju Mesir. Di Mesir inilah Thoriqoh syadziliyah mulai berkembang
pesat hingga ke berbagai penjuru bumi. Dan di Mesir pulalah Imam syadzili dimakamkan, yaitu di
daerah Humaitsara dekat pantai Laut Merah dalam perjalanannya untuk ibadah haji yang terakhir
kalinya.

PERKEMBANGAN THORIQOH AS-SYADZILIYAH


Berdasarkan ajaran yang diturunkan oleh Imam Syadzili kepada para muridnya, kemudian
terbentuklah thoriqoh yang dinisbahkan kepadanya, yaitu thoriqoh As-syadziliyah. Thoriqoh ini
berkembang pesat antara lain di Tunisia, Mesir, Aljazair, Sudan, suriah hingga ke wilayah Asia
termasuk Indonesia. Thoriqoh As-syadziliyah memulai keberadaannya di bawah salah satu dinasti
Muwahhidun yakni Hafsiyah di Tunisia. Thoriqoh ini kemudian berkembang dan tumbuh subur di
Mesir dan timur Dekat di bawah kekuasaan dinasti Mamluk. Dalam hal ini yang menarik, sebagaimana
dicatat oleh Victor Danner (seorang peneliti thoriqoh Syadziliyah) adalah bahwa meskipun thoriqoh ini
berkembang pesat di daerah Timur (Mesir), namun awal perkembangannya adalah dari Barat (Tunisia).
Thoriqoh ini pada umumnya tumbuh dan berkembang di wilayah perkotaan (Tunisia dan Alexanderia)
tetapi kemudian juga mempunyai pengikut yang luas sampai daerah pedesaan. Bergabungnya tokoh
terkenal daerah Maghrib pada abad ke-10 Hijriyah seperti Ali al-Shanaji dan muridnya Abdu Rahman
al-Majdzub adalah bukti dari pernyataan tersebut. Sejak dahulu thoriqoh ini juga diikuti oleh sejumlah
intelektual terkenal, misalnya ulama terkenal abad ke-9 H Jalaluddin al-suyuthi.
Sepeninggal Imam syadzili, kepemimpinan thoriqoh ini diteruskan oleh Abu al-Abbas al-Mursi
yang ditunjuk langsung oleh Imam Syadzili. Al-Mursi termasuk murid yang memiliki kualitas spiritual
paling tinggi dibandingkan murid Imam Syadzili lainnya. Suatu ketika Imam Syadzili pernah berkata,
“Wahai Abbas! Pandangan luarku telah menyatu dengan batinku, aku merasa bersatu dengan Tuhan.
Selama saya hidup saya tidak akan meninggalkan orang-orang kepercayaan dan para pengikutku dan
demi Allah, engkaulah yang paling utama di antara mereka.
Seperti gurunya, al-Mursi di samping mempunyai kualitas spiritual yang tinggi ia juga seorang
humanis. Dia sangat concern terhadap kehidupan masyarakat, terhadap orang-orang miskin dan
kelaparan. Seperti juga gurunya, al-Mursi tidak meninggalkan buku atau risalah tasawuf karena
beranggapan bahwa karya-karya semacam itu hanyalah buih yang terdampar di tepian samudera
kesadaran spiritual yang tanpa batas. Namun sebagaimana halnya gurunya, al-Mursi mewariskan
bacaan-bacaan hizib.
Di antara murid-murid al-Mursi adalah al-Busyiri, penyair Mesir terkenal yang berasal dari
Berber, yang amat terkenal dengan dua syairnya berupa puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW,
yakni al-Burdah dan Hamziyah, yang keduanya sering dilantunkan pada peringatan Maulid Nabi.
Murid yang lainnya adalah Syeikh Najm al-Din al-Ishfahani, murid al-Mursi berkebangsaan Persia
yang lama menetap di Mekkah dan menyebarkan ajaran Syadziliyah kepada para jamaah haji. Dan
yang termasuk murid al-Mursi adalah Ibn Athoillah Guru Ketiga yang terkemuka dari rantai silsilah
thoriqoh ini. Melalui tangannyalah dituliskan ajaran, pesan-pesan serta doa-doa Imam Syadzili dan al-
Mursi. Ia pula yang menyusun berbagai aturan thoriqoh ini dalam bentuk buku-buku dan karya-karya
yang tak ternilai untuk memahami perspektif Syadziliyah bagi angkatan sesudahnya.
Syeikh Ibn Athoillah mewariskan sebuah katalog yang berisi tema-tema penting yang diajarkan
oleh sang guru, syaikh Abu Abbas al-Mursi. Ia menulis beberapa buku antara lain: Kitab al-Hikam,
sebuah rangkuman atas jalan sufi dalam elemennya yang abadi; al-Tanwir fi Isqoth at-Tadbir, sebuah
penjelasan akan kesalahan yang dapat ditemukan dalam sebuah tindak pilihan bebas yang egosentris;
Lathaif al-Minan, sebuah biografi tentang dua guru pertama Thoriqoh As-Syadziliyah; al-Qashd al-
Mujarrod fi Ma’rifat al-Ism al-Mufrod, sebuah diskusi metafisikal dan spiritual yang amat baik serta
mengenai asma Allah dan nama-nama lain; Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah, sebuah compendium
tentang zikir dalam pengertian luas; dan sejumlah karya yang banyak lagi jumlahnya. Seluruh karyanya
ini akhirnya mendominasi karya-karya thoriqoh As-syadziliyah, sebab dialah Syeikh pertama yang
menorehkan pena demi menuliskan ajaran-ajaran thoriqoh As-Syadziliyah itu.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul cabang-cabang dalam Thoriqoh As-Syadziliyah.
Pada abad ke-8 H di Mesir muncul sebuah cabang yang akhirnya dinamakan Wafaiyyah, yang
didirikan oleh Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad Wafa yang juga dikenal dengan Bahr al-Shafa,
ayah dari tokoh terkenal Ali bin Wafa. Wafaiyah berkembang dengan jalannya sendiri seiring dengan
pergantian generasi, tersebar di sebagian wilayah Timur dekat di luar Mesir. Setelah abad ke-9 H
mereka menggunakan model pakaian sufi mereka sendiri, seakan gaya Syadziliyah yang umumnya
tidak menonjolkan diri tidak diperhatikan lagi dan tidak dapat ditetapkan dengan sejumlah alasan. Di
samping cabang itu, muncul cabang-cabang lainnya yaitu Hanafiyyah, Jazuliyyah, Nashriyyah,
‘Isawiyyah, Tihamiyyah, Darqawiyyah dan sebagainya.

PANDANGAN DAN AJARAN THORIQOH AS-SYADZILIYAH


Di antara thoriqoh-thoriqoh yang ada, thoriqoh As-Syadziliyah memiliki pandangan-
pandangan yang sedikit berbeda dibanding lainnya. Annnemarie Schimel menyebutkan, bahwa Imam
Syadzili mengusung persfektif sufistik yang berbeda dengan ajaran tasawuf yang lain pada masanya,
seperti ajarannya yang tidak menekankan perlunya tapabrata atau kehidupan menyendiri dan tidak juga
menganjurkan bentuk-bentuk dzikir tertentu yang disuarakan dengan lantang. Kemudian Annemarie
Schimmel melanjutkan bahwa anggota thoriqoh Syadziliyah tidak diperkenankan mengemis dan tidak
mendukung kemiskinan. Sebaliknya, sumber-sumber Mesir abad ke-14 dan ke-15 mengisahkan
bagaimana tiap anggota thoriqoh ini menonjol dalam kerapian pakaian mereka, berbeda dengan sufi-
sufi yang ada di sekitar Kairo pada masa itu. Masih menurut Annemarie Schimmel, ciri khas yang yang
mendasar dari thoriqoh ini adalah bahwa seseorang Syadziliyyah pasti sudah ditakdirkan untuk menjadi
anggota Thoriqoh ini sejak alam baka dan mereka percaya bahwa Quthb akan senantiasa muncul dari
Thoriqoh Syadziliyah.

Imam Syadzili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab yang tertulis, namun
karya-karyanya adalah kitab yang berjalan, yaitu para murid-muridnya. Karena Imam Syadzili sangat
intens dalam perihal pengajaran-pengajaran secara langsung face to face. Karena memang pengetahuan
mengenai Thoriqoh sesungguhnya adalah pengetahuan mengenai hakikat, yang dalam banyak hal tidak
akan mampu dijangkau oleh akal. Seperti halnya dicontohkan dalam kisah Nabi Khidir dan Nabi Musa
‘Alaihimassalaam. Begitu juga muridnya, Abu Abbas al-Mursi, tidak meninggalkan karya tasawuf
tertulis. Semua perkataan Imam Syadzili dan Syeikh Abu Abbas al-Mursi tentang tasawuf, doa-doa,
hizib, dan juga wasiat-wasiatnya dikumpulkan oleh Syeikh Ibn Athoillah dan sekaligus ia merupakan
penulis biografi kedua gurunya itu. Sehingga dengan cara seperti itu, terjagalah warisan ajaran-ajaran
thoriqoh Syadziliyah sampai saat ini. Di samping itu, Syeikh Ibn Athoillah juga merupakan orang
pertama yang menulis sebuah karya tulis utuh yang menjelaskan adab-adab dalam thoriqoh,
mendefinisikannya dan sekaligus meletakkan kaidah-kaidahnya sebagai acuan bagi para jama’ah
thoriqoh Syadziliyah sampai saat ini.

Abu Wafa al-Taftazani menyebutkan bahwa ajaran tasawuf thoriqoh Syadziliyah sangat
berbeda dengan aliran-aliran tasawuf falsafi semodel ajaran tasawuf Ibn Arabi tentang Wahdatul
wujudnya. Tak satupun dari guru besar thoriqoh Syadziliyah menyebutkan tentang pemikiran Wahdatul
Wujud itu. Di saat mereka sangat jauh dengan gaya tasawuf falsafi, ternyata mereka sangat dekat
dengan ajaran tasawuf al-Ghazali. Hal ini bisa dibuktikan dengan salah satu perkataan Imam Syadzili
kepada muridnya, “Jika engkau ingin mengadukan kebutuhanmu kepada Allah, maka berwasilahlah
melalui Imam Ghazali”. Kemudian ia berkata, “Kitab Ihya Ulumuddin (karya al-Ghazali) akan
mewariskan kepadamu keilmuan, kitab Qut Qulub (karya al-Makki) akan mewariskan kepadamu
sebuah cahaya.”
Syeikh Ibn Athoillah menyebutkan Imam al-Ghazali dalam beberapa tempat yang sangat
banyak dalam kitab-kitabnya yang sangat besar dan terkemuka, karena disamping meneladani guru-
gurunya, ia juga terpengaruh olehnya dalam berbagai macam hal. Untuk itu, sebagian besar ajaran
thoriqoh Syadziliyah banyak dipengaruhi oleh ajaran tasawuf al-Ghazali. Meskipun antara al-Ghazali
dan ajaran thoriqoh Syadziliyah memiliki banyak kesamaan, namun juga memiliki sedikit perbedaan
yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Apabila al-Ghazali lebih
menekankan pada riyadlah al-badan atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan
adanya musyaqqoh seperti bangun untuk sholat malam, lapar, dan lain-lain. Maka Imam Syadzili lebih
menekankan pada riyadlah al-qulub tanpa menekankan adanya musyaqqah al-abdan, misalnya dengan
lebih menekankan senang (al-farh), rela (al-ridlo), dan selalu bersyukur (al-syukr) atas nikmat Allah.
Menurut Abu Wafa al-Taftazani, ajaran-ajaran dalam thoriqoh As-Syadziliyah bisa diringkas di
dalam lima prinsip, yaitu takwa kepada Allah di dalam kerahasiaan maupun tempat terbuka, mengikuti
sunah dalam perkataan dan perbuatan, memaligkan diri dari makhluk di dalam kerahasiaan maupun
tidak, ridla terhadap Allah dalam hal yang sedikit maupun banyak dan kembali kepada Allah di saat
senang maupun kesusahan. Dan masih dalam penjelasan Abu Wafa, menurutnya, salah satu ajarannya
yang terkemuka adalah menghilangkan tradisi memprediksi hal yang akan dating. Ini merupakan dasar
yang membangun keseluruhan thoriqoh ini dan sekaligus dijadikan sebagai ciri khas alirannya dalam
tasawuf.
Dalam ajaran thoriqoh As-syadziliyah, dalam hal pandangannya mengenai pakaian, makanan
dan kendaraan yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada
Allah dan akan membuat hati mengenal rahmat Illahi. Sedangkan meninggalkan dunia yang berlebihan
akan menimbulkan hilangnya rasa syukur dan berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta akan
membawa kepada kezaliman. Dalam pandangan thoriqoh ini, sebaiknya manusia menggunakan nikmat
Allah dengan sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan rasul-Nya.
Thoriqoh As-Syadziliyah tidak menganjurkan kepada murid-muridnya untuk meninggalkan
profesi keduniaan mereka. Syeikh Ibn Athoillah membahas perihal mengatur dunia tanpa tertipu
dengannya. Menurutnya, mengatur dunia itu ada dua macam. Yaitu, mengatru dunia untuk dunia
semata dan mengatur dunia untuk akhirat. Yang pertama adalah merancang cara mengumpulkan dunia
dengan rasa bangga dan cinta kepadanya. Setiap kali dunianya bertambah, ia bertambah lalai terhadap
akhirat, tambah terbuai dan tambah terperosok dalam maksiat. Tandanya, dunia tersebut membuatnya
lalai dan tidak mengindahkan syariat. Sementara yang kedua (mengatur dunia untuk akhirat) sepeti
orang yang mengelola dagangannya agar bisa makan dari hasil yang halal dan baik, agar bisa berinfak
kepada fakir miskin, agar bisa menyambung silaturahmi, bisa menjaga diri untuk tidak mengemis dan
bisa menjaga kehormatan. Tandanya, ia tidak sibuk memperkaya diri, tidak mendunia, selalu
membantu penderitaan kaum muslim dan memudahkan orang-orang yang berada dalam kesulitan.
Zuhud dalam pandangan thoriqoh As-Syadziliyah tidak berarti harus menjauhi dunia karena
pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Allah. Dunia yang dibenci kaum sufi,
adalah dunia yang memalingkan seorang hamba dari Tuhannya, yang melengahkan dan memperbudak
manusia karena kesenangan yang berlebihan terhadapnya. Bagi kalangan thoriqoh As-Syadziliyah,
tidak ada larangan bagi kaum salik untuk menjadi miliuner yang kaya raya, asalkan hatinya tidak
bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik dibolehkan untuk mencari harta kekayaan,
namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, yaitu dengan tidak
sedih ketika harta hilang dan tidak bangga ketika hartanya bertambah.

PENUTUP
Demikianlah penjelasan tentang wacana thoriqoh As-Syadziliyah dan ajarannya.
Pemikiran-pemikiran orisinal dari tokoh-tokoh pemimpin thoriqoh As-Syadziliyah membawa gagasan-
gagasan yang berbeda dari setiap gagasan yang muncul dari kalangangan tasawuf. Wacananya tentang
pentingnya mengedepankan riyadlotul qolb ketimbang riyadlotul abdan merupakan wujud dari
pemikiran tokoh Syadziliyah tentang esensi tertinggi dari cita-cita sufistik. Oleh karena itu, pemikiran-
pemikiran sufistik thoriqoh As-Syadziliyah merupakan salah satu jawaban agama Islam terhadap
realitas kehidupan modern. Demikian juga, pemikiran thoriqoh As-Syadziliyah menepis tuduhan
miring yang sering dialamatkan kepada kelompok thoriqoh yang seringkali dianggap sebagai salah satu
penyebab kemunduran umat Islam. Wa Allahu a’lam bis showwab
Al-Taftazani, Abu Wafa, 1997, Sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Pustaka.

____________________, 2008, Tasawuf Islam, (Subkhan Anshori terj.) Jakarta: Gaya Media Pratama.

As-Sakandari, Ibn Athoillah, 2002, Pencerah Kalbu, (A. Fauzy Bahreisy terj.), Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.

Asririfin, tt, Tokoh-Tokoh Sufi, Surabaya: Karya Utama.

Atjeh, Aboebakar, 1984, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, Solo: Ramadhani Press.

Ibrahim, Umar, 2001, Thariqah ‘alawiyah: Napak tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah
Sayid Abdullah al-Hadda, Tokoh Sufi Abad ke-17, Bandung: Mizan.

Jumantoro , Totok, 2012, Kamus Ilmu Tasawuf, Jakarta: Penerbit Amzah.

Madjid, Nurcholis, 1984, Khazanah Intelektual Islam, Jakarta: Bulan Bintang.

Mahmud, Abdul Halim, 2010, Al-Madrosah al-Syadziliyah, Mesir: Maktabah Taufiqiyyah.

Schimmel, Annemarie, 2000, Dimensi Mistik Dalam Islam, (Sapardi Djoko Damono terj.), Jakarta: Pustaka
Firdaus.

Mansur, HM., Laili, 1996, Ajaran dan Teladan para Sufi, Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Mulyati, Sri, 2004, Tarekat-tarekat Mua’tabarah di Indonesia, Jakarta: Penerbit Kencana.

Siraj al-Din, Abu Hafsh, tt, Thobaqat al-aulia, Mesir: Maktabah al-Khanji.

Syeikh Dalhar Watucongol, 2013, Manaqib al-Imam as-Syadzili, Pekalongan, As-syarifah.

Anda mungkin juga menyukai