Anda di halaman 1dari 20

TUGAS MANDIRI DOSEN PEMBIMBING

Sejarah Islam Asia Tenggara H. Abdul Ghofur, M. Ag.

PROSES ISLAMISASI DAN PERAN WALISONGO DALAM PROSES ISLAMISASI DI


PULAU JAWA

Di susun Oleh:

DIAN WIDIANTI

(11632200619)

IQTA-A

Semester 3

JURUSAN ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Proses Islamisasi dan
Peran Walisongo dalam Proses islamisasi di Pulau Jawa”

Penulisan tugas ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Islam Asia
Tenggara semester tiga. Makalah ini diharapkan dapat membantu dalam penerapannya pada
kehidupan sehari-hari dan membantu dalam proses pembelajaran.

Dalam penulisan ini penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kesempurnaan,
oleh karena itu, kritik dan saran sangat dibutuhkan untuk membangun menjadi lebih baik
kedepannya. Sekian dan terima kasih, semoga makalah ini bermanfaat bagi pembacanya.

Pekanbaru, 18 November 2017

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii
BAB I .............................................................................................................................................. 1
PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 1
BAB II............................................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN ............................................................................................................................. 2
Proses Islamisasi di Pulau Jawa .................................................Error! Bookmark not defined.
Kebudayaan Jawa pra-Islam .................................................................................................... 2
Sejarah Islamisasi di tanah Jawa ............................................................................................. 3
Peran Walisongo dalam Proses Islamisasi di Tanah Jawa .......................................................... 4
Asal –Usul Walisongo ............................................................................................................. 4
Biografi Walisongo.................................................................................................................. 5
Nilai-Nilai Ajaran Walisongo ................................................................................................ 11
BAB III ......................................................................................................................................... 16
PENUTUP .................................................................................................................................... 16
Simpulan.................................................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 17

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia dikenal dengan penduduknya yang mayoritas beragama Islam, salah


satunya adalah penduduk Pulau Jawa. Masyarakat Pulau Jawa dulunya merupakan
penganut paham animsme dan dinamisme. Setelah itu masuk pula kebudayaan dan
kepercayaan Hindu-Budha.

Sejak zaman prasejarah penduduk Indonesia dikenal sebagai pelayar yang handal
yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute
pelayaran dan perdagangan antara Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia
Tenggara.

Wilayah barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah
yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil bumi yang dijual disana menarik bagi
para pedagang dan menjadi daerah lintasan penting antara Cina dan India.1

Pada abad ke-1 dan ke-7 M banyak pelabuhan penting di pulau Sumatra dan Jawa
yang sering disinggahi oleh para pedagang asing. Banyak juga pedagang muslim yang
sampai di kepulauan Indonesia pada abad ke-7, seperti muslim dari Arab, Persia dan
India. Dan pada abad ke-12, Islam sudah sampai di Pulau Jawa.

Maka dari itu, penulis tertarik untuk membahas tentang proses islamisasi di Pulau
Jawa dan peran Wali Songo terhadap proses tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana proses islamisasi di Pulau jawa?
2. Bagaimana peran Wali Songo dalam proses islamisasi di Pulau Jawa?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui dan memahami proses islamisasi di Pulau Jawa.
2. Mengetahui dan memahami peran Wali Songo dalam proses islamisasi di Pulau Jawa.

1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2008), hlm. 191.
1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Proses Islamisasi di Pulau Jawa

1. Kebudayaan Jawa pra-Islam


Masyarakat Jawa merupakan suatu kesatuan masyarakat yang diikat oleh
norma-norma hidup karena sejarah tradisi, maupun agama. Yang dapat dilihat dari
ciri-ciri masyarakat Jawa secara kekerabatan. Sistem hidup kekeluargaan di Jawa
tergambar dalam kekerabatan masyarakat Jawa.2

Ciri-ciri masyarakat Jawa dalam kekerabatan yaitu seperti adanya


semboyan “saiyeg saega praga” yang dalam bahasa Indonesia berarti gotong royong
merupakan suatu rangkaian hidup tolong-menolong sesama warga. Selain itu, di Jawa
anak-anak dibesarkan dan di didik oleh saudara-saudara, orang tua mereka, bahkan
oleh tetangga sekitar. Tidak hanya itu, sampai-sampai dalam urusan desa juga
memakai sistem musyawarahyang disebut dengan rembug desa.

Sebelum tanah Jawa dimasuki oleh agama Islam, masyarakat Jawa pra-sejarah
telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Dan itu
merupakan ciri lain yang menonjol dari struktur masyarakat yang ada pada waktu itu
adalah didasarkan pada aturan-aturan hukum adat serta religinya. Paham ini
mempercayai adanya ruh dan daya aktif yang sangat bertentangan dengan ajaran ruh
dan daya aktif dalam ajaran Islam.3

Setelah itu masuk pula kebudayaan dan kepercayaan Hindu-Budha, pengaruh


Hindu-Budha dalam masyarakat Jawa bersifat ekspansif, sedangkan budaya Jawa yang
menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hinduisme-Budhisme setelah melalui
proses akulturasi tidak saja berpengaruh pada sistem budaya, tetapi juga berpengaruh
terhadap sistem agama.

Sejak awal, budaya Jawa yang dihasilkan pada masa Hindu-Budha bersifat
terbuka untuk menerima agama apapun dengan pemahaman bahwa semua agama itu
baik, maka sangatlah wajar jika kebudayaan Jawa bersifat sinkretis (bersifat momot
atau serba memuat).

2
Drs. H. Shodiq, M.ag, Potret Islam Jawa, (Semarang : PT. Pustaka Rizky Putra, 2013), hlm. 5.
3
Prof. Dr. Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 41.
2
Ciri lain dari budaya Jawa pada saat itu adalah sangat bersifat teokratis.
Pengkultusan terhadap raja-raja sebagai titisan dewa adalah salah satu buktinya.
Dalam hal ini Onghokham menyatakan:

Dalam kerajaan tradisional, agama dijadikan sebagai bentuk legitimasi. Pada


jaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini berarti
bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan dunia
akhirat. Agama diintegrasikan ke dalam kepentingan kerajaan/kekuasaan. Kebudayaan
berkisar pada raja, tahta dan keraton. Raja dan kehidupan keraton adalah puncak
peradaban pada masa itu.

Di pulau Jawa terdapat tiga buah kerajaan masa Hindu Budha, kerajaan-
kerajaan itu adalah Taruma, Ho-Ling, dan Kanjuruhan. Di dalam perekonomian dan
industri salah satu aktivitas masyarakat adalah bertani dan berdagang dalam proses
integrasi bangsa. Dari aspek lain karya seni dan satra juga telah berkembang pesat
antara lain seni musik, seni tari, wayang, lawak, dan tari topeng. Semua itu sebagian
besar terdokumentasikan pada pahatan-pahatan relief dan candi-candi.4

Dalam kenyataanya masyarakat Jawa tempo dulu hanya dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu raja (pangeran), bangsawan, dan petani.puncak feodalisme Jawa
bertepatan dengan pengaruh Belandayang telah merembes bukan saja dalam arti
geografis, melainkan juga merembes ke dalam struktur masarakat Jawa.5

2. Sejarah Islamisasi di tanah Jawa

Pada abad ke-1 dan ke-7 M banyak pelabuhan penting di pulau Sumatra dan
Jawa yang sering disinggahi oleh para pedagang asing. Banyak juga pedagang muslim
yang sampai di kepulauan Indonesia pada abad ke-7, seperti muslim dari Arab, Persia
dan India. Dan pada abad ke-12, Islam sudah sampai di tanah Jawa. Sejalan dengan itu,
abad ke-13 dalam sejarah Islam di Indonesia merupakan gelombang kedua dari
dakwah Islam yang telah pelopori sebelumnya pada pada abad ke-7 atau masa
Khulafaur Rasyidin.

Di Jawa, Islam masuk melalui pesisir utara Pulau Jawa ditandai dengan
ditemukannya makam Fatimah binti Maimun bin Hibatullah yang wafat pada tahun
475 Hijriah atau 1082 Masehi di Desa Leran, Kecamatan Manyar, Gresik. Dilihat dari
namanya, diperkirakan Fatimah adalah keturunan Hibatullah, salah satu dinasti di

4
https://bintangbinfa.wordpress.com/2013/12/13/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/
diunduh tanggal 16 November 2017.
5
Zaini Muhtarom, Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba
Diniyah, 2002), hlm. 6.
3
Persia. Di samping itu, di Gresik juga ditemukan makam Maulana Malik Ibrahim dari
Kasyan (satu tempat di Persia) yang meninggal pada tahun 822 H atau 1419 M. Agak
ke pedalaman, di Mojokerto juga ditemukan ratusan kubur Islam kuno. Makam tertua
berangka tahun 1374 M. Diperkirakan makam-makam ini ialah makam keluarga istana
Majapahit.6

Perkembangan Islam di pulau Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya


posisi raja Majapahit. Hal itu menjadi peluang bagi raja-raja Islam di pesisir untuk
membangun pusat-pusat yang independen. 7 Peran Walisongo lah yang berjuang
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

B. Peran Walisongo dalam Proses Islamisasi di Tanah Jawa

1. Asal –Usul Walisongo

Walisongo atau Walisanga dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah


Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau
Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan-Tuban di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria
di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.

Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya


Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol
penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang
juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan
Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta
dakwah secara langsung, membuat para Walisongo ini lebih banyak disebut
dibanding yang lain.8

Ada beberapa pendapat mengenai arti Walisongo. Pertama adalah wali yang
sembilan, yang menandakan jumlah wali yang ada sembilan, atau sanga dalam
bahasa Jawa. Pendapat lain menyebutkan bahwa kata songo/sanga berasal dari kata
tsana yang dalam bahasa Arab berarti mulia. Pendapat lainnya lagi menyebut kata
sana berasal dari bahasa Jawa, yang berarti tempat.

Pendapat lain yang mengatakan bahwa Walisongo adalah sebuah majelis


dakwah yang pertama kali didirikan oleh Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
pada tahun 1404 Masehi (808 Hijriah). 9 Para Walisongo adalah pembaharu
masyarakat pada masanya. Pengaruh mereka terasakan dalam beragam bentuk

6
Op. cit.
7
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Grafindo Persada, 2008), hlm. 198.
8
https://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo diunduh tanggal 16 November 2017.
9
KH. Mohammad Dahlan, Haul Sunan Ampel Ke-555, (Surabaya: Penerbit Yayasan Makam
Sunan Ampel, 1979), hlm 1-2.
4
manifestasi peradaban baru masyarakat Jawa, mulai dari kesehatan, bercocok-tanam,
perniagaan, kebudayaan, kesenian, kemasyarakatan, hingga ke pemerintahan.10

2. Biografi Walisongo

a. Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)

Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia


disebut juga Sunan Gresik, atau Sunan Tandhes, atau Mursyid Akbar Thariqat
Wali Songo . Nasab As-Sayyid Maulana Malik Ibrahim Nasab Maulana Malik
Ibrahim menurut catatan Dari As-Sayyid Bahruddin Ba'alawi Al-Husaini yang
kumpulan catatannya kemudian dibukukan dalam Ensiklopedi Nasab Ahlul Bait
yang terdiri dari beberapa volume (jilid). Dalam Catatan itu tertulis: As-Sayyid
Maulana Malik Ibrahim bin As-Sayyid Barakat Zainal Alam bin As-Sayyid
Husain Jamaluddin bin As-Sayyid Ahmad Jalaluddin bin As-Sayyid Abdullah bin
As-Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin As-Sayyid Alwi Ammil Faqih bin As-
Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin As-Sayyid Ali Khali’ Qasam bin As-
Sayyid Alwi bin As-Sayyid Muhammad bin As-Sayyid Alwi bin As-Sayyid
Ubaidillah bin Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Al-Imam Isa bin Al-Imam
Muhammad bin Al-Imam Ali Al-Uraidhi bin Al-Imam Ja’far Shadiq bin Al-Imam
Muhammad Al-Baqir bin Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra/Ali bin Abi Thalib, binti Nabi Muhammad
Rasulullah

Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad


ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti
pengucapan lidah orang Jawa terhadap As-Samarqandy. Dalam cerita rakyat, ada
yang memanggilnya Kakek Bantal.

Maulana Malik Ibrahim memiliki, 3 isteri bernama:

1) Siti Fathimah binti Ali Nurul Alam Maulana Israil (Raja Champa Dinasti
Azmatkhan 1), memiliki 2 anak, bernama: Maulana Moqfaroh dan Syarifah
Sarah
2) Siti Maryam binti Syaikh Subakir, memiliki 4 anak, yaitu: Abdullah, Ibrahim,
Abdul Ghafur, dan Ahmad
3) Wan Jamilah binti Ibrahim Zainuddin Al-Akbar Asmaraqandi, memiliki 2
anak yaitu: Abbas dan Yusuf.

Selanjutnya Sharifah Sarah binti Maulana Malik Ibrahim dinikahkan


dengan Sayyid Fadhal Ali Murtadha [Sunan Santri/ Raden Santri] dan melahirkan
dua putera yaitu Haji Utsman (Sunan Manyuran) dan Utsman Haji (Sunan
Ngudung). Selanjutnya Sayyid Utsman Haji (Sunan Ngudung) berputera Sayyid
Ja’far Shadiq (Sunan Kudus).

10
Op. cit.
5
Maulana Malik Ibrahim umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
mendakwahkan Islam di Jawa. Ia mengajarkan cara-cara baru bercocok tanam dan
banyak merangkul rakyat kebanyakan, yaitu golongan masyarakat Jawa yang
tersisihkan akhir kekuasaan Majapahit. Malik Ibrahim berusaha menarik hati
masyarakat, yang tengah dilanda krisis ekonomi dan perang saudara. Ia
membangun pondokan tempat belajar agama di Leran, Gresik. Ia juga
membangun masjid sebagai tempat peribadatan pertama di tanah Jawa, yang
sampai sekarang masjid tersebut menjadi masjid Jami' Gresik. Pada tahun 1419,
Malik Ibrahim wafat. Makamnya terdapat di desa Gapura Wetan, Gresik, Jawa
Timur.11

b. Sunan Ampel (Raden Rahmat)

Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-19 dari Nabi
Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan
seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa
Terakhir Dari Dinasti Ming. Nasab lengkapnya sebagai berikut: Sunan Ampel bin
Sayyid Ibrahim Zainuddin Al-Akbar bin Sayyid Jamaluddin Al-Husain bin Sayyid
Ahmad Jalaluddin bin Sayyid Abdullah bin Sayyid Abdul Malik Azmatkhan bin
Sayyid Alwi Ammil Faqih bin Sayyid Muhammad Shahib Mirbath bin Sayyid Ali
Khali’ Qasam bin Sayyid Alwi bin Sayyid Muhammad bin Sayyid Alwi bin
Sayyid Ubaidillah bin Sayyid Ahmad Al-Muhajir bin Sayyid Isa bin Sayyid
Muhammad bin Sayyid Ali Al-Uraidhi bin Imam Ja’far Shadiq bin Imam
Muhammad Al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Al-Husain bin
Sayyidah Fathimah Az-Zahra binti Nabi Muhammad Rasulullah. Sunan Ampel
umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya
bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran
agama Islam tertua di Jawa. Ia menikah dengan Dewi Condrowati yang bergelar
Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja dan menikah juga
dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang Kuning. Pernikahan Sunan Ampel
dengan Dewi Condrowati alias Nyai Ageng Manila binti Aryo Tejo, berputera:
Sunan Bonang,Siti Syari’ah,Sunan Derajat,Sunan Sedayu,Siti Muthmainnah dan
Siti Hafsah. Pernikahan Sunan Ampel dengan Dewi Karimah binti Ki Kembang
Kuning, berputera: Dewi Murtasiyah,Asyiqah,Raden Husamuddin (Sunan
Lamongan,Raden Zainal Abidin (Sunan Demak),Pangeran Tumapel dan Raden
Faqih (Sunan Ampel 2. Makam Sunan Ampel teletak di dekat Masjid Ampel,
Surabaya.12

c. Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)

Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-
23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng
Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak
berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama

11
https://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo diunduh tanggal 16 November 2017.
12
Ibid.
6
Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang
masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah
dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan
namanya. Universitas Leiden menyimpan sebuah karya sastra bahasa Jawa
bernama Het Boek van Bonang atau Buku Bonang. Menurut G.W.J. Drewes, itu
bukan karya Sunan Bonang namun mungkin saja mengandung ajarannya. Sunan
Bonang diperkirakan wafat pada tahun 1525. Ia dimakamkan di daerah Tuban,
Jawa Timur.13

d. Sunan Drajat (Raden Qosim atau Raden Syaifudin)

Raden Qosim atau yang dikenal sebagai Sunan Drajat merupakan saudara
seibu dari Sunan Bonang. Berdasarkan beberapa kisah yang ada beliau juga
terkenal dengan sebutan Raden Syaifudin. Beliau belajar ilmu agama dan berguru
pada Sunan Muria setelah wafatnya sang ayah. Kemudian kembali ke daerah
pesisir Banjarwati, Lamongan untuk berdakwah.

Untuk menunjang dakwah Raden Qosim yang muridnya semakin banyak,


beliau mendirikan sebuahh pondok pesantren di daerah Daleman Dhuwur di Desa
Drajat, Paciran Lamongan. Di sana Sunan Drajat melangsungkan dakwahnya
melalui suluk yang pernah di pelajarinya ketika berguru pada Sunan Muria.

Suluk yang sering beliau sampaikan kepada murid-muridnya ialah “Suluk


Petuah”. Dalam Suluk yang diajarkan Sunan Drajat terdapat beberapa pesan yang
di tanamkan dalam diri manusia untu menolong sesama manusia. Salah satu
kutipan dalam suluk tersebut ialah:

1. “Wenehono teken marang wong kang wuto” maksudnya berilah tongkat kepada
orang yang buta.

2. “Wenehono mangan marang wong kang luwe” maksudnya berilah makanan


kepada orang yang lapar.

3. “Wenehono busono marang wong kang wudo” maksudnya berilah pakaian


kepada orang yang telanjang.

4. “Wenohono ngiyup marang wong kang kudanan” maksudnya berilah tempat


berteduh kepada orang yang kehujanan.

Serta masih banyak lagi suluk lain yang menjadi peninggalan Raden
Syaifudin, namun suluk yang terkenal adalah Suluk Petuah diatas. Suluk tersebut
sampai sekarang masih dipelajari di pondok-pondok Jawa kuno.14

e. Sunan Kalijaga (Raden Syahid)

13
Ibid.
14
https://masbidin.net/nama-nama-sunan/ diunduh tanggal 16 November 2017.
7
Sunan Kalijaga adalah salah satu diantara walisongo yang terkenal sekali
di tanah Jawa. Beliau adalah salah satu putra dari seorang bupati Tuban pada
waktu itu yaitu Arya Wilatika. Ayah dari Sunan Kalijaga sendiri adalah seorang
pemimpin pemberontakan Ronggolawe pada zaman Kerajaan Majapahit.

Ketika muda Raden Syahid telah mewarisi dari semangat ayahnya, beliau
pernah memprotes keras terhadap penarikan pajak yang tidak memiliki rasa
kemanusiaan pada pemerintahan Kerajaan Majapahit. Kemudian dibuatlah
susunan rencana perampokan kepada seluruh anggota pejabat pajak dan kemudian
untuk dibagikan keseluruh rakyat miskin.

Akan tetapi aksi perampokan tersebut berhenti ketika Raden Syahid


bertemu dengan seseorang yang kemudian menjadi gurunya yaitu Sunan Bonang.
Saat bertemu dengan Sunan Bonang, beliau diberi nasehat agar berhenti dari
tindakannya tersebut, karena untuk melakukan suatu kebaikan tidak harus
ditempuh dengan sesuatu yang buruk.

Dan akhirnya Raden Syahid pun berhenti dari tindakan perampokannya


serta kemudian beliau berguru kepada Sunan Bonang untuk mempelajari ilmu
agama. Dari sang gurulah Sunan Kalijaga mendapatkan ide untuk melakukan
dakwah dengan cara yang berbeda yaitu memanfaatkan wayang dan gamelan.

Dalam pertunjukan tersebut beliau menyisipkan sedikit demi sedikit


tentang ajaran Islam. Dan dengan metode dakwah tersebut akhirnya bisa diterima
dengan baik oleh masyarakat. Selain berdakwah dengan wayang dan gamelan,
beliau juga menanamkan nilai-nilai ajaran Islam dalam berbagai kebudayaan
lainnya.

Dalam peninggalan dari Sunan Kalijaga ada beberapa kesenian yang telah
menjadi seni khas yaitu wayang, gamelan, ukir dan juga ada beberapa lagu jawa
yang terkenal yaitu tembang lir ilir.15

f. Sunan Kudus (Ja’far Shadiq)

Sunan Kudus atau dikenal dengan nama Ja’far Shadiq adalah salah satu
cucu dari Sunan Ampel. Selain itu Sunan Kudus juga salah satu keponakan dari
Sunan Drajat dan Sunan Bonang. Dari beberapa sumber, Sunan Kudus pernah
menuntut ilmu di Yerusalem Palestina yang langsung kepada ulama-ulama dari
Arab.

Setelah lama menuntut ilmu di sana, kemudian Sunan Kudus pulang ke


Jawa lalu mendirikan sebuah pondok pesantren di daerah Kudus. Untuk
mempermudah dalam berdakwah, beliau menyebarkan ajaran Islam dikalangan
para pejabat, bangsawan kerajaan dan para priyayi di tanah Jawa dengan
menyanggupi menjadi seorang pemimpin di sana.
15
https://balubu.com/biografi-walisongo/ diunduh tanggal 16 November 2017.
8
Dalam menyebarkan ajaran Islam beliau juga menggunakan metode yang
hampir sama dengan Sunan Kalijaga yaitu melakukan pendekatan terhadap
kebudayaan daerah setempat. Dengan keluasan ilmunya, sampai-sampai para wali
memberi gelar kepada Sunan Kudus sebagai Wali Al’ilmi yang berarti orang yang
mempunyai ilmu yang luas.

Selama Sunan Kudus berdakwah ada beberapa peninggalan yang sampai


sekarang masih ada yaitu Masjid Menara Kudus, tempat tersebut memiliki sebuah
menara dengan bercorak khas Hindu. Selain menara, beliau juga mewariskan
budaya toleransi yang sangat mulia.16

g. Sunan Muria (Raden Umar Said)

Sunan Muria adalah salah satu putra dari Sunan Kalijaga dengan istrinya
yang bernama Saroh. Selain itu Sunan Muria juga merupakan keponakan dari
Sunan Giri, karena Saroh merupakan adik dari Sunan Giri. Dalam dakwahnya
mengajarkan ajaran Islam, beliau menggunakan metode yang sama dengan
ayahnya.

Beliau menyampaikan ajaran Islam dengan melalui kebudayaan dan


kesenian jawa. Akan tetapi Sunan Muria lebih memilih tempat terpencil di pesisir
pantai sebagai tempatnya berdakwah. Tempat yang ia pilih adalah Gunung Muria
yang berada di daerah Jawa Tengah.

Dari tempatnya berdakwah telah menyebar ajarannya hingga ke Pati,


Kudus, Juana, Tayu dan Jepara. Dimana setiap tempat yang ia datangi hanyalah
pedesaan, pesisir pantai dan pegunungan.

Agar dalam berdakwah menarik banyak orang, beliau menggunakan


sebuah tembang jawa. Tembang jawa yang beliau gunakan salah satunya adalah
tembang Sinom dan Kinanti. Dalam peninggalannya selama berdakwah ada
sebuah Masjid Muria yang berada di daerah pusat tempat beliau berdakwah.17

h. Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah)

Menurut sejarah Sunan Gunung Jati merupakan salah satu putra dari
kerajaan Pajajaran yang bernama Pangeran Walangsungsang dan adiknya yang
bernama Raja Santang. Beliau merupakan salah satu dari Walisongo yang
berdakwah di daerah Jawa Barat. Dalam dakwahnya beliau memilih untuk
menyebarkan ajaran Islam di daerah Cirebon.

Sebelum beliau berdakwah di tanah Jawa, sebenarnya sudah ada seorang


ulama yang berasal dari Baghdad untuk berdakwah di daerah Cirebon. Ulama

16
Ibid.
17
Ibid.
9
tersebut bernama Syekh Kahfi dengan membawa dua puluh muridnya berdakwah
di tanah Jawa.

Selain itu Sunan Gunung Jati juga pernah dinobatkan sebagai Raja
Cirebon ke 2 pada tahun 1479 dengan gelar Maulana Jati. Selain di Cirebon beliau
juga berdakwah sampai ke Banten. Peninggalan sejarah Sunan Gunung Jati salah
satunya adalah Masjid Agung Banten.18

i. Sunan Giri (Raden Paku/Muhammad Ainul Yakin)

Nama Walisongo yang terakhir adalah Sunan Giri atau biasa dikenal
dengan Raden Paku. Beliau adalah putra dari Syekh Maulana Ishaq, seorang
ulama dari Gujarat yang pernah menetap di Pasai atau Aceh. Sementara ibunya
bernama Dewi Sekardadu yang menjadi putri Raja Hindu Blambangan Jawa
Timur.

Awal mula Sunan Giri menyebarkan ajaran Islam sejak beliau bertemu
dengan Sunan Ampel yang asih menjadi sepupunya. Setelah itu kemudian beliau
disarankan oleh Sunan Ampel untuk berdakwah di daerah Blambangan, sebelah
selatan Banyuwangi Jawa Timur. Saat itu masyarakat Blambangan sedang
tertimpa sebuah penyakit. Hingga putri Raja Blambangan pun juga terkena
penyakit tersebut. Akhirnya Sunan Giri pun dapat menyembuhkan putri tersebut
juga para masyarakat Blambangan.

Dalam peninggalannya Sunan Giri juga menciptakan beberapa tembang


jawa yang terkenal oleh masyarakat jawa, yaitu tembang Asmaradana dan Pucung.
Selain itu beliau juga menciptakan beberapa lagu anak-anak dalam bahasa jawa,
diantaranya Jamuran, Cublak-cublak suweng, Jithungan dan Delikan yang
sekarang masih ada dikalangan anak-anak.19

3. Nilai-Nilai Ajaran Walisongo

a. Berdakwah dengan Pendidikan, kelembagaan dan Ilmu Hikmah

Islamisasi juga dilakukan melalui pendidikan, baik pesantren maupun


pondok yang diselenggarakan oleh guru-guru agama. Kiai-kiai dan ulama-ulama.
Di Pesanren atau pondok mereka mendapat pendidikan agama.

Pendidikan merupakan salah satu perhatian sentral masyarakat Islam baik


dalam Negara mayoritas maupun minoritas. Dalam ajaran agama Islam
pendidikan mendapat posisi yang sangat penting dan tinggi. Karenanya, umat
Islam selalu mempunyai perhatian yang tinggi terhadap pelaksanaan pendidikan
untuk kepentingan masa depan umat Islam.

18
Ibid.
19
Ibid.
10
Besarnya arti pendidikan, kepentingan Islamisasi mendorong umat Islam
melaksanakan pengajaran Islam kendati dalam system yang sederhana,
peengajaran diberikan dengan sistem halaqah yang dilakukan di tempat-tempat
ibadah semacam masjid, musallah bahkan juga di rumah-rumah ulama. Kebutuhan
terhadap pendidikan mendorong masyarakat Islam di Indonesia mengadopsi dan
mentransfer lembaga keagamaan dan sosial yang sudah ada (indigeneous religious
and social institution) ke dalam lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Di Jawa,
umat Islam mentransfer lembaga keagamaan Hindu-Budha menjadi pesantren; di
Minangkabau mengambil Surau sebagai peninggalan adat masyarakat setempat
menjadi lembaga pendidikan Islam; demikian halnya di Aceh dengan mentransfer
lembaga meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam.

Menurut Manfred, Pesantren berasal dari masa sebelum Islam serta


mempunyai kesamaan dengan Budha dalam bentuk asrama. Bahwa pendidikan
agama yang melembaga berabad-abad berkembang secara pararel. Pesantren
berarti tempat tinggal para santri. Sedangkan istilah santri berasal dari bahasa
Tamil, yang berarti guru mengaji. Menurut Robson, kata santri berasal dari bahasa
Tamil “sattiri” yang diartikan sebagai orang yang tinggal di sebuah rumah miskin
atau bangunan keagamaan secara umum. Meskipun terdapat perbedaan dari
keduanya, namun keduanya perpendapat bahwa santri berasal dari bahasa Tamil.

Santri dalam arti guru mengaji, jika dilihat dari penomena santri. Santri
adalah orang yang memperdalam agama kemudian mengajarkannya kepada umat
Islam, mereka inilah yang dikenal sebagai “guru mangaji”. Santri dalam arti orang
yang tinggal di sebuah rumah miskin atau bangunan keagamaan, bisa diterima
karena rumusannya mengandung cirri-ciri yang berlaku bagi santri. Ketika
memperdalam ilmu agama, para santri tinggal di rumah miskin, ada benarnya.
Kehidupan santri dikenal sangat sederhana. Sampai Tahun 60-an, pesantren
dikenal dengan nama pondok, karena terbuat dari bambu.

Pada abad ke XV, pesantren telah didirikan oleh para penyebar agama
Islam, diantaranya Wali Songo. Wali Songo dalam menyebarkan agama Islam
mendirikan masjid dan asrama untuk santri-santri. Di Ampel Denta, Sunan Ampel
telah mendirikan lembaga pendidikan Islam sebagai tempat ngelmu atau ngaos
pemuda Islam. Sunan Giri telah ngelmu kepada Sunan Ampel mendirikan
lembaga pendidikan Islam di Giri. Dengan semakin banyaknya lembaga
pendidikan Islam pesantren didirikan, agama Islam semakin tersebar sehingga
dapat dikatakan bahwa lembaga-lembaga ini merupakan ujung tombak
penyebaran Islam di Jawa.

Kehadiran pesantren sebagai upaya untuk mendakwahkan agama bagi


orang-orang Jawa ternyata lambat laun mengalami perluasan peran. Ia kemudian
menjelma menjadi lembaga pendidikan yang bermanfaat untuk mendidik orang
Islam menjadi alim dan cerdas dalam dan pengetahuan agamanya, peran
pendidikan tidak sekedar mengalihkan ilmu-ilmu keagamaan yang berkenaan
dengan penanaman aspek penghayatan agama yang bersifat kesalehan personal

11
(ETIKA) melalui pengenalan dan praktek tasawuf, melainkan juga melebar
kepengajaran ilmu-ilmu syariat yang bekaitan dengan aturan atau tata pergaulan
kemasyarakatan.20

Dengan mengambil model institusi pondok, perlahan-lahan ia menjelma


menjadi lembaga keagamaan yang mengalami pergeseran makna yang bernuansa
Islam, bahkan menjadi institusi Islam. Dalam hal ini pondok atau pesantren
memainkan peran penting dalam penyebaran agama Islam di Pulau Jawa, oleh
karena itu dari segi historis, pesantren tidak hanya identik dengan makna
keIslaman, tetapi juga mengandung identitas keaslian. Sebab lembaga ini
sebenarnya sudah ada sejak masa Hindu-Budha.21

Meskipun pada mulanya pesantren berfungsi sebagai lembaga pendidikan


yang bercorak keagamaan, dan menjadi pusat pertumbuhan dari system zawiyah
(qilda) yang dikembangkan oleh kaum sufi dengan berbagai aliran tarekatnya,
justru dalam pertumbuhannya yang tidak disadari, pesantren malah berubah
menjadi markas gerakan yang bernuansa politik. Dengan demikian, kedua
orientasi tersebut terdapat di pesantren tersebut ternyata membawa dampak bagi
santri untuk mengartikulasikan ajaran agamanya di tengah-tengah masyarakat
Jawa.

Selain fiqih, mistisisme yang diajarkan dan dipraktikkan di pesantren


melalui kitab-kitab tasawuf menemukan lahannya yang subur di Jawa. Tuhan
dalam mitisisme Jawa yang besifat imanen sangat cocok dengan imanensi Allah
dalam tradisi tasawuf.22

Interelasi Islam dan kebudayaan jawa di bidang pendidikan tidak lupa dari
perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan perkembangan
pendidikan pesantren di tanah Jawa. Secara historis, asal-usul pesantren tidak
dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16. pesantren
merupakan Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama
berabad-abad dan merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia.

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat


anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang
tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk
mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda akan
mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis berabad-abad
yang lalu. Seorang ahli sejarah yang mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga

20
Masroer Ch., The History of Java; Sejarah Perjumpaan Agama-agama di Jawa, (Yogyakarta:
Ar-Ruzz, 2004), hal. 44.

21
Ibid, hal. 42.
22
Ibid.
12
pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan pra-
Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit dan
berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan
mandala dibangun di tas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas
dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak kraton
serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah
tempat yang di anggap suci karena di situ tempat tinggal para pendeta atau par
pertapa yang memberikan kehidupan yang patut di contoh masyarakat sekitar
karena kesalehannya, dan lain-lain.23

b. Menggunakan kebijaksanaan dan melakukan akulturasi ajaran Islam


dengan kebudayaan setempat.

Wali Songo sebagai figur agamis menjadi simbol kesalihan masyarakat


pada saat itu. Sehingga apa yang dilakukan oleh para wali menjadi contoh yang
baik bagi masyarakat. Dalam kehidupan Wali Songo mengembangkan sikap hidup
sederhana, tidak berlebih-lebihan, peduli terhadap fakir miskin, bahkan menjadi
pelopor dalam memberantas kemiskinan dan kebodohan. Dalam memilih tempat
tinggal, Wali Songo lebih memilih tempat terpencil, mereka lebih suka hidup di
gunung dan perkampungan daripada di perkotaan. Hal ini sesuai dengan salahsatu
ajaran tasawuf yang disebut dengan ‘uzlah (mengasingkan diri).

Pada masa Sunan Giri ajaran tasawuf diadopsi menjadi norma yang harus
dipegang oleh masyarakat, diantara isi dari norma tersebut adalah Meper
Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu) Heneng -
Hening -Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan
dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita -cita luhur). Mulyo guno
Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat
lima waktu).

Wali Songo juga mengajak masyarakat untuk selalu berzikir mengingat


Allah SWT dan menumbuhkan kesadaran kehambaan, yang dikemas dalam
bentuk karya seni sesuai dengan budaya setempat, seperti tembang “Tombo Ati”,
tembang “Lir Ilir”, “Suluk Wijil” yang dipengaruhi kitab al-Shidiq, perseteruan
Pandawa-Kurawa yang ditafsirkan sebagai peperangan antara nafi (peniadaan)
dan ‘isbah (peneguhan) dan lain-lain.24

23
Sultoni, Nilai-Nilai Ajaran Tasawuf Walisongo, dan Perkembangannya di Nusantara,
(Tulungagung:Kabilah, Desember 2016), vol. 1, no. 2, hal. 370.
24
Ibid. hal. 374.

13
c. Mengakulturasi Kesenian dengan Ajaran Tasawuf

Para walisongo mentransfer tasawuf dengan cara akulturasi kesenian. Jadi


dengan cara memasukkan ajaran tasawuf melalui kesenian. Saluran Islamisasi
melalui kesenian yang paling terkenal adalah pertunjukan wayang, wayang
sebagai hasil budaya Jawa di dalamnya memuat nilai-nilai edukatif yang lengkap.
Tidak hanya contoh kepahlawanan saja, tetapi juga pendidikan moral, kesetiaan
dan kejujuran.

Pada tahun 1443 saka, bersamaan dengan pergantian pemerintah Jawa


yang berdasarkan Agama Budha (majapahit) kepemerintahan berdasarkan Islam
(Demak) misalnya dalam wayang Beber, wujud wayang ini kemudian diubah
menjadi wayang kulit yang tokohnya terperinci satu persatu, yang melakukan
pengubahan ini adalah para wali. Dalam hal ini para pemuka Islam telah dapat
menghilangkan unsur-unsur kemusrikan. Dalam Islam terdapat tiga macam
hukum mengenai gambar-gambar yaitu mubah, makruh dan musyrik.

Para wali mengubah wayang kulit itu bukan sekedar untuk memberantas
kemusyrikan, tetapi juga lebih untuk mengenalkan agama Islam, sehingga orang
bersedia memeluk dan mengenalkan ajaran-ajarannya. Dalam setiap lakon dapat
diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakon
agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang
lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa. Disamping ajaran-ajaran yang
disampaikan oleh para pujangga Jawa dikatakan, sunan Kalijaga tokoh yang
paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia mengarang lakon-lakon wayang
yang baru, dan menjadi dalang pagelaran wayang yang mementaskan “kalimat
syahadat” ia bersedia memainkan lakon wayang dengan syarat pihak
penyelenggara pagelaran sudi mengucapkan syahadat sebagai tanda kerelaan
memeluk Islam, dan dia juga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia
meminta para penonton juga untuk mengikutinya mengucapkan kalimat sahadat.

Wayang bisa dipakai sebagai sumber nilai hidup, didalam memuat nilai-
nilai keluhuran juga memuat nilai-nilai ketidak luhuran, nilai-nilai keluhuran
diharapkan untuk ditiru karena mencerminkan kebaikan. Disamping itu dalam
berbagai lakon maupun gambaran para tokohnya menunjukkan nilai-nilai etis,
misalnya nilai kebenaran sejati, kedudukan nilai kebenaran sejati dalam wayang
dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua kesatria yang baik dalam wayang selalu
berusaha menjadi manusia kebenaran yang dilambangkan oleh tindakan mereka
untuk melenyapkan ketidak kebenaran (sura dira jaya ningrat lebur dening
pangastuti).

14
Ajaran tentang kebenaran dalam wayang merupakan ajaran pokok Resi
Wiyasa dalam lakon wahyu purba sejati mengajarkan kepada manusia untuk
percaya kepada enam hal. Yaitu: manembah (menyembah kepada Tuhan), menepi
(tidak boleh bertengkar), maguru (berguru), mengabdi kepada anak isteri, dan
makarya (bekerja) tanpa pamrih, maka perlahan-lahan ceritanya diarahkan kepada
cerita yang mengenalkan ajaran Islam. Para wali itulah yang mula-mula
memberikan pengaruh Islam kepada cerita-cerita mereka.

Pertunjukan wayang yang jalannya ceritanya banyak digubah dari kitab


aslinya yaitu kitab Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama, yaitu
memberikan petunjuk kepada manusia kejalan yang baik dan benar, kejalan yang
dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk memacu cipta rasa dan karsa
manusia agar tergugah untuk ikut memperindah bebrayan agung untuk ikut
mahayu hayuning bawana. Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya
sebagai tuntunan dan alat penghibur, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan
manusia.

Semua itu apabila kita telaah dengan teliti adalah merupakan perjuangan
dan hasil kerja keras yang dilakukan oleh para walisongo untuk menyebarkan
agama Islam di pulau Jawa.25

25
Ibid. hal. 375.
15
BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Sebelum tanah Jawa dimasuki oleh agama Islam, masyarakat Jawa pra-sejarah
telah memeluk keyakinan yang bercorak animisme dan dinamisme. Setelah itu masuk
pada zaman Hindu-Budha diperkenalkan konsep dewa-raja atau raja titising dewa. Ini
berarti bahwa rakyat harus tunduk pada kedudukan raja untuk mencapai keselamatan
dunia akhirat.
Perkembangan Islam di pulau Jawa bersamaan waktunya dengan melemahnya
posisi raja Majapahit. Hal itu menjadi peluang bagi raja-raja Islam di pesisir untuk
membangun pusat-pusat yang independen. Peran Walisongo lah yang berjuang
menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.
Walisongo yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan
Bonang, Sunan Dradjad, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Muria, serta Sunan
Gunung Jati. Mereka tidak hidup pada saat yang persis bersamaan. Namun satu sama lain
mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-
murid.
Peran Walisongo dalam proses islamisasi di Pulau Jawa diantaranya: berdakwah
dengan pendidikan, kelembagaan dan ilmu hikmah, menggunakan kebijaksanaan dan
melakukan akulturasi ajaran islam dengan kebudayaan setempat, mengakulturasi
kesenian dengan ajaran tasawuf, dan lain sebagainya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Muhtarom, Zaini. 2002. Islam di Jawa dalam Perspektif Santri dan Abangan. Jakarta: Salemba
Diniyah.

Shodiq. 2013. Potret Islam Jawa. Semarang : PT. Pustaka Rizky Putra.

Simuh. 2003. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Jakarta: Teraju.

Sultoni. 2016. Nilai-Nilai Ajaran Tasawuf Walisongo, dan Perkembangannya di Nusantara.


Tulungagung:Kabilah. vol. 1, no. 2, 357-378.

Yatim, Badri. 2008. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Grafindo Persada.

https://balubu.com/biografi-walisongo/

https://bintangbinfa.wordpress.com/2013/12/13/sejarah-awal-agama-islam-masuk-ke-tanah-jawa/

https://id.wikipedia.org/wiki/Walisongo

https://masbidin.net/nama-nama-sunan/

17

Anda mungkin juga menyukai